PENGANTAR
Akhir-akhir ini, fenomena pembaharuan mencuat kepermukaan bersamaan dengan bermulanya era reformasi. Reformasi sekarang bukan terbatas pada reformasi pembangunan bangsa dengan memperbaiki ekonomi, kebudayaan, dan sosial saja, akan tetapi meluas dan menembus peradaban dan agama.
Berhubung dengan perkembangan zaman yang
begitu pesat, dan terjadinya gesekan peradaban yang menglobal,
khususnya pada era globalisasi, tentunya para agamis juga tertuntut
untuk memperbaharuhi ajaran agamanya. Agama Islam yang ajarannya
tentunya selalu luwes dan up to date dengan perkembangan zaman, yang sementara ini dinilai oleh sebagian kalangan masih bersifat kaku dan jumud.
Di berbagai tempat mulai tumbuh generasi
yang mulai sadar akan arti reformasi dan tajdid. Mereka menginginkan
pembumian ajaran Islam. Mereka mencoba menerapkan ajaran Islam dalam
kontek lokal. Mereka juga berusaha menafsirkan pesan- pesan yang ada
dalam Al Quran dan Al Hadits agar sesuai dengan keadaan yang ada.
Usaha- usaha tersebut patut disyukuri,
karena sebagai seorang muslim tentunya menginginkan agar ajaran Islam
ini mampu menghantarkan bangsa dan umat manusia ini kepada kehidupan
yang lebih baik. Akan tetapi perlu diingat bahwa untuk mencapai sebuah
cita-cita dan tujuan, seseorang harus mempersiapkan segala sesuatu yang
diperlukan di tengah-tengah perjalanannya nanti. Dia harus menpersiapkan
bekal dan modal, dia harus mempunyai pengetahuan tentang jalan yang
dituju , sarana yang mengantarkannya, serta cara menggunakannya,
sehingga tujuan yang dicita-citakan selama ini bisa tercapai.
Jadi, modal semangat saja tidak cukup.
Tanpa disertai dengan penguasaan ilmu yang mapan, usaha- usaha
pembaharuan dan tajdid hanya akan menemui jalan buntu, bahkan
sebaliknya, bukan tajdid dan penyegaran yang di dapat, akan tetapi
justru kerusakan-lah yang terjadi. Begitu juga seorang dokter, yang
ingin melakukan operasi pada pasiennya yang sedang menderita penyakit
akut, dia harus mempunyai keahlian dan keilmuan yang matang tentang
operasi dan penyakit yang diderita pasien tersebut. Tanpa itu, berarti
dia telah bertindak sembrono , karena bisa mengakibatkan melayangnya
nyawa pasien tersebut. Jika dokter tersebut mempunyai ilmu dan
pengalaman yang mapan dan matang dan telah “ berusaha “ dengan sekuat
tenaga dan secara sungguh- sungguh untuk menyelamatkan nyawa pasien,
kemudian tiba-tiba berakhir dengan kematian, maka insya Allah, dokter
tersebut akan mendapatkan pahala , karena kesungguhannya, walaupun dia
tidak berhasil. Lain halnya, jika yang melakukan pembedahan adalah
seorang petani, atau sopir taksi yang tidak mengetahui kedokteran dan
ilmu bedah sama sekali, maka dia akan berdosa, bahkan mungkin akan
dipenjara, karena gegabah dalam bertindak dan tidak mau menyerahkan
urusan tersebut kepada para ahlinya.
Begitulah kira-kira permisalan tentang
pentingnya ilmu agama. Melakukan pembaharuan agama atau berfatwa tentang
agama tanpa mempunyai bekal yang cukup dan tanpa mengindahkan
aturan-aturan main yang telah disepakati oleh para ulama, tidak hanya
menyebabkan kematian seseorang, tapi lebih dari itu, akan menjerumuskan
masyarakat secara keseluruhan ke dalam pemahaman yang keliru dan
berakibat fatal.
Ushul Fiqh adalah salah satu ilmu yang
sangat diperlukan oleh siapa saja yang mempunyai kepentingan di dalam
proses pengambilan hukum dalam Syareat Islam. Seorang pembaharu agama
dituntut untuk memahami ilmu ini dengan baik. Para ulama telah
meletakkan ilmu Ushul Fiqih ini sebagai bekal untuk menjawab setiap
permasalahan yang akan terus mencuat dan berkembang sesuai dengan
perubahan waktu dan tempat. Jadi, Ushul Fiqih ini, selain telah mampu
menjawab berbagai masalah yang terjadi pada masa silam dan pada saat
ini, juga dipersiapkan untuk generasi masa depan. Ushul Fiqh ini adalah
ilmu yang tidak pernah lekang dan rapuh sepanjang masa.
Maka tidak berlebihan jika kita nyatakan
bahwa ilmu Ushul Fiqih ini menduduki poros terdepan di dalam gerakan
pembaharuan masa kini. Garda terdepan di dalam membela kepentingan umat
dalam koridor ajaran agama Islam yang anggun dan penuh dengan rahmat dan
berkah ini. Semoga tulisan sederhana ini, bisa dijadikan bekal awal di
dalam melakukan reformasi dan pembaharuan di dalam segala bidang dan
sektor kehidupan Bangsa dan Negara, karena semua itu tidak bisa terlepas
dari ajaran Islam ini, semoga.
ME- REVISI ULANG KAJIAN USHUL FIQH
Kenapa ushul fiqh perlu direvisi kembali
? Ya, karena Ushul Fiqh pertama kali dimunculkan sebagai salah satu
bidang keilmuan pada abad kedua Hijriyah. Artinya ilmu ushul fiqh ini
sudah berumur 13 abad lamanya.
Kalau kita telusuri perjalan dan
perkembangan ushul fiqh dari waktu ke waktu selama 13 abad tersebut,
ternyata telah terjadi perubahan-perubahan yang sangat mendasar, baik
dari segi metodolgi penulisan , maupun dari segi materi pembahasan ushul
fiqh itu sendiri.
Kita dapati, umpamanya, Imam Syafi’ di dalam ” Ar Risalah
” –nya yang juga dikatagorikan sebagai peletak batu pertama dalam
sejarah ushul fiqh, menulis tentang ushul fiqh dengan metodologi yang
masih sangat sederhana dan jauh dari sistematis, namun isinya sangat
padat dan berbobot. Kemudian buku “Ar Risalah ” yang masih
sangat sederhana tersebut dikembangkan oleh ulama Syafi’yah, seperti
Imam Haramain ( 478 H ) , Imam Ghozali ( 505 H ) , dan di susun secara
lebih sitematis dan apik oleh Imam Fakhru Rozi ( 606 H ) . Kemudian
dikembangkan oleh Imam Qarafi ( 687 H ) dari ulama Malikiyah.
Di sisi lain, para ulama Hanafiyah,
seperti Abu Mansur Al Maturidi ( 333 H ) , Abu Hasan Al Karkhi ( 340 H )
, Abu Bakar Al Jashos, Al- Dabusi ( 430 H ) Al Bazdawi, As Sarakhsi (
483 H ) , dan An Nasfi ( 710 H ) telah menyusun ushul Fiqh dengan
metodologi tersendiri.
Disamping itu, terdapat beberapa ulama
mutakhirin yang menulis ushul fiqh dengan cara menggabungkan dua
metodologi di atas, seperti Imam Qarafi, Imam As Subki, Imam Ibnu Qoyim (
751 H ) , Imam Syatibi, Imam Syaukani dan lain-lainya.
Kemudian pada abad ke 15 H sekarang ini,
setelah melalui modifikasi dan perkembangan selama 13 abad lamanya,
bermunculan buku- buku ushul fiqh yang metodogi penulisannya menggunakan
pendekatan- pendekatan tertentu seperti pendekatan yang memudahkan para
penuntut ilmu, atau yang menekankan pada penelitian, atau yang
cenderung kepada studi komperatif , ataupun yang cenderung untuk
mengambilkan fungsi awal ushul fiqh yang digunakan untuk memahami Al
Qur’an dan Hadist.
Tentunya, perkembangan – perkembangan
tersebut tidak boleh berhenti sampai di situ saja. Kita sebagai insan
akademis dituntut untuk tidak puas dengan apa yang telah dikembangkan
oleh para ulama tersebut. Pembaharuan dan reformasi harus berjalan
terus. Buku- buku turast yang telah ditulis oleh para pendahulu kita,
tidak boleh kita pandang sebagai kitab suci yang tidak meninggalkan satu
celah sedikitpun. Sehingga kita meng-agung-agungkan dan mendewakan di
luar batas kewajaran serta tidak mau keluar dari apa yang telah ditulis
oleh para pendahulu tersebut. Begitu juga sebaliknya, kitapun tidak
boleh terlalu meremehkan turats-turast tersebut, dengan berdalih sebuah
slogan yang berbunyi ” Haula Rijal wa Nahnu Rijal ” , ( Mereka adalah para tokoh kita pun para tokoh pada zaman ini ).
Posisi yang paling tepat adalah pada
posisi pertengahan, artinya kita menghormati buku-buku turast tersebut,
tetapi di dalam satu waktu kita harus kritis terhadap apa yang ditulis
di dalamnya. Kritis dalam artian meninjau ulang kembali metodologi dan
sistematis penulisan, kesesuaian materi dengan kondisi saat ini,
pengembangan pada contoh –contoh materi , memaksimalkan peran ushul
fiqih di dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi umat
manusia pada abad ini, dan seterusnya.
Sebab-sebab itulah yang menuntut adanya
pembaharuan ushul fiqh. Yaitu dengan membungkus kajian ushul fiqh dengan
bingkai dan metodologi yang memihak kepada maslahat kehidupan manusia.
Kalau kita perhatikan, ternyata para
ulama pendahulu kita, juga bersikap kritis terhadap karya- karya
sebelumnya. Kita dapatkan umpamanya Imam Abu Mudhaffar al- Sam’ani yang
meninggal tahun 489 H menulis di dalam bukunya ” Qawati’ al Adilah ” :
” Sepanjang hari saya meneliti
karya-karya para ulama dalam bidang ushul fiqh ini, ternyata saya
mendapatkan mayoritas dari mereka telah puas dengan menulis ilmu kalam
dan untaian kata yang indah , sehingga tidak bisa menyentuh hakikat
ushul fiqih yang sesuai dengan kebutuhan fiqh itu sendiri. Dan saya
mendapatkan sebagian dari mereka terlalu bertele-tele, sehingga sering
keluar dari metodologi para ahli Fiqh dalam banyak masalah, dan
cenderung untuk memilih metodologi para ahli kalam yang sebenarnya tidak
punya kepentingan dengan Fiqh dan masalah sekitarnya … ”
Hal yang senada juga ditulis oleh Imam Syatibi di dalam ” Muwafaqat” (1/ 42) :
” Setiap masalah yang tertulis di dalam
ushul fiqh dan tidak bisa dijadikan sandaran di dalam masalah-masalah
fiqh atau adab-adab Islam , atau tidak bisa menopang keduanya, maka
penyebutannya di dalam ushul fiqh hanya sia-sia belaka. ”
Dalam buku yang sama ( 1/ 46 ) beliau juga menulis :
” Setiap masalah yang tidak bisa
dijadikan dasar untuk beramal, maka menekuninya adalah sebuah perbuatan
yang tidak ada dasarnya di dalam Syare’ah. Dan yang saya maksud beramal
di sini adalah amal perbuatan hati dan anggota badan. ”
Begitu juga apa yang pernah disinggung
oleh Al Isnawi ( 772 H ) bahwa sebagian masalah yang berhubungan dengan
bahasa, sebenarnya kurang tepat jika diletakkan pada pembahasan ushul
fiqh, bahkan permasalahan tersebut hanya akan menambah ruwet pembahasan
di dalam ilmu ushul fiqh. Ibnu Rusyd ( 595 H ) di dalam ” Muhtasar Mustasfa ‘ juga mengungkapkan hal sama.
Prof . Dr. Ali Jum’ah -Mufti Mesir –
yang konsen dalam ilmu Ushul Fiqh pernah mengritisi beberapa
permasalahan yang muncul di dalam Ilmu Ushul Fiqh, beliau menulis dalam
bukunya ( Aliyat Al Ijtihad ) hlm : 61 :
” Sesungguhnya sangat aneh sekali, kita
dapatkan seorang yang menguasai ushul fiqh dan fiqh secara bersamaan,
akan tetapi ternyata dia hanya menguasai ushul fiqh dalam pengajaran
saja, tidak lebih dari itu, dan hanya mengetahui fiqh dalam ruang
lingkup materi pelajaran saja, tidak leboh dari itu… Sesungguhnya
kebanyakan buku-buku ushul fiqh telah membawa kita menjauhi dari fungsi
ushul fiqh itu sendiri, dan mendorong kita untuk menjadikannya sebagai
tujuan dari materi pelajaran itu sendiri, hanya akan menambah gelar bagi
yang mengajar ushul fiqh sebagai ulama ushul . ”
Beliau juga menyatakan dalam (( Aliyat Al Ijtihad hlm ; 48 ) bahwa :
” Kita terus belajar sehingga
menyelesaikan semua pembahasan di dalam ushul fiqh, bahkan diantara kita
ada yang hafal matan…akan tetapi kita tidak mengetahui cara mengambil
manfaat darinya, menggunakan dalil dan maksud dari dalil tersebut. ”
Dari keterangan di atas, kita bisa
menyimpulkan bahwa ilmu ushul fiqh ini , benar- benar memerlukan
pembaharuan dan revisi. Diantara masalah yang perlu kaji ulang dan
revisi adalah sbb :
1. Penyederhanaan bahasa, terutama di dalam membuat defenisi.
2. Tidak terlalu membesarkan masalah yang diperselisihkan para ulama.
3. Membuang masalah-masalah yang
tidak ada kaitannya dengan ushul fiqh, seperti beberapa masalah tentang
bahasa, ilmu kalam, filsafat , mustholah hadits, kode etik perdebatan
dan lain-lainnya.
4. Mengaplikasikan setiap masalah yang dibahas dengan contoh-contoh konkrit yang dibutuhkan di masyarakat .
5. Berusaha menggunakannya untuk
memahami Al Qur’an dan hadist yang merupakan tujuan utama dari ilmu
ushul fiqh itu sendiri.
PERAN USHUL FIQH DALAM PEMBAHARUAN .
Salah satu bentuk pembaharuan adalah
memperbaharui kehidupan dan keadaan umat manusia ini dengan
memaksimalkan peran ushul fiqh di dalam memecahkan beberapa problematika
yang dihadapi masyarakat saat ini. Mungkin anda bertanya, mungkinkah
hal itu ? bagaimana hubungan antara ushul fiqh dengan kehidupan kita ini
?
Jawabannya adalah mungkin, dan hubungan
antara keduanya akan bisa dilihat secara jelas, jika kita telah
mempelajari ushul fiqh secara lebih sempurna. Harus kita ketahui bahwa
Ilmu Ushul Fiqh bersifat luwes dan elastis, bisa menembus sekat-sekat
ruangan dan waktu. Sehingga sangat mungkin untuk dikembangkan bebarengan
dengan perkembangan zaman.
Paling tidak ada dua hal yang menjadikan ushul fiqih sebagai sesuatu yang sangat penting pada zaman ini :
1/ Teks-teks yang terdapat di dalam Al
Qur’an dan Hadist sangat terbatas, sedangkan kondisi selalu berubah dan
berkembang. Hal ini menuntut adanya suatu bidang keilmuan yang membahas
metodologi pembacaan teks yang sesuai tuntutan zaman. Metodologi
tersebut ada di dalam Ushul Fiqh.
Imam Haramain ( 478 H ) pernah menyatakan di dalam bukunya Al Burhan (
hlm : 716 ) bahwa 90 % Fatwa yang dikeluarkan para sahabat dan tabi’in
dan generasi sesudahnya berasal dari istinbath dan bukan berasal dari
teks-teks agama secara langsung . Artinya Fatwa-fatwa yang dikeluarkan
para ulama sepanjang zaman sebagian besar adalah dari hasil pengolahan
ushul fiqh, dan hasil aplikasi ilmu ushul fiqh di dalam memecahkan
problematika umat.
2/ Sebagian besar teks Al Qur’an dan
Hadist , mempunyai banyak penafsiran, sehingga sangat memungkinkan untuk
dijadikan sandaran hukum pada berbagai kondisi dan situasi.
Dari situ diharapkan, orang- orang yang
menguasai ushul fiqh secara benar, untuk mampu memberikan hukum, atau
bahkan solusi pada setiap permasalahan yang dihadapi oleh umat manusia
saat ini. Tanpa memahami ilmu ini, nampaknya sangat sulit untuk bisa
melihat masalah secara obyektif dari kaca mata Syare’ah Islamiyah.
Dengan demikian, bagi siapa saja yang
ingin memberikan kontribusi di dalam kehidupan yang nyata ini dan
menyakini bahwa hanya Syari’ah Islamiyah saja yang mampu membawa
kemajuan spiritual dan material, wajib baginya mempelajari ushul fiqh
ini secara lebih sempurna dan mengaplikasikannya di dalam kehidupan
sehari- hari.
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama