1/ makruh yang mempunyai makna asli, yaitu makruh secara istilah , yaitu :
1.a/Sesuatu yang dilarang oleh syara’ secara tidak tegas,
2.b/Sesuatu yang bila dikerjakan tidak tercela, dan jika ditinggalkan akan mendapatkan pahala
3.c/Sesuatu yang tidak tercela secara syara’ jika dikerjakan dia dan terpuji seacra syara’ jika ditinggalkan.
2/ Makruh kadang berarti haram. Arti
inilah yang sering dimaksudkan oleh para ulama di dalam buku-buku
turast. Sebagaimana Imam Syafi’I jika mengatakan : “ saya menganggap
hal ini makruh “ maksudnya adalah haram . Sikap seperti ini didasarkan
kepada kehati-hatian di dalam mengistinbatkan suatu hukum, karena
Allah berfirman :
Allah berfirman :
وَلاَ تَقُولُواْ لِمَا تَصِفُ
أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَـذَا حَلاَلٌ وَهَـذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُواْ
عَلَى اللّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللّهِ
الْكَذِبَ لاَ يُفْلِحُونَ
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.” ( QS An Nahl : 116 )
3/ Makruh berarti meninggalkan
sesuatu yang afdhol, cirinya adalah tidak ada larangan secara khusus
dalam hal ini, seperti orang yang meninggalkan sholat dhuha
Sebagian ulama membagi makruh menjadi dua :
1/ Makruh karahata tahrim
yaitu sesuatu yang dilarang oleh syara’ secara tegas tetapi dalilnya
masih bersifat dhany , dengan melalui hadist ahad atau qiyas. Seperti
larangan laki-laki memakai baju dari sutra dan emas.
Larangan ini berdasarkan hadits ahad, yaitu apa yang diriwayatkan oleh Abu Musa Al-Asy’ari bahwa
Rosulullah saw bersabda :
Larangan ini berdasarkan hadits ahad, yaitu apa yang diriwayatkan oleh Abu Musa Al-Asy’ari bahwa
Rosulullah saw bersabda :
حرم لباس الحرير والذهب على ذكور أمتي وأحل لإناثهم
« Diharamkan bagi laki-laki umat-ku untuk memakai sutra dan emas , dan dihalalkan bagi perempuan mereka « ( HR Tirmidzi )
Seperti halnya juga larangan yang tersebut dalam hadist yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar ra bahwa Rosulullah saw bersabda :
لا يخطب أحدكم على خطبة أخيه ، ولا بيع على بيع أخيه إلا بإذنه
« Jangalah seseorang diantara kamu meminang atas pinangan saudaranya , dan janganlah membeli atau pembelian sauadaranya,kecuali dengan ijin-nya « ( HR Abu Daud ) [1]
2/ Makruh karahata tanzih,
yaitu segala sesuatu yang dilarang oleh syara’ secara tidak tegas,
dengan melalui dalil yang masih dhanni, seperti : larangan makan daging
kuda, larangan berwudhu dengan air liur kucing dan burung buas, dan
lain-lainnya.
Salah satu contoh dari makruh adalah Sabda Rosulullah saw :
لا يمسكن أحدكم ذكره بيمينه وهو يبول ، ولا يتمسح من الخلاء بيمينه ، ولا يتنفس في الإناء ”
“ Janganlah salah satu dari kalian memegang kemaluan-nya dengan tangan kanan, ketika sedang kencing, dan jangan cebok dengan tangan kanan, serta jangan bernafas ketika minum. “ ( HR Bukhari, no : 153, Muslim , no : 602 )
Larangan dalam hadist di atas,
menurut mayoritas ulama adalah larangan yang tidak tegas, maka dihukumi
“ makruh “ , bukan haram. Kalau ada pertanyaan, apa ciri yang
membedakan antara larangan tegas dan tidak tegas ? maka jawabannya :
untuk hadist ini kita katakan bahwa larangan di sini berhubungan dengan
adab dan akhlaq saja, dan tidak berhubungan dengan ibadah mahdho (
ibadat ansich ) . [2]
Disana ada pertanyaan lagi,
apakah orang yang meninggalkan sesuatu yang makruh, pasti diberi pahala
? jawabannya secara terperinci adalah :
1/ Jika dia meninggalkannya dengan niat bahwa syare’at melarang-nya, maka dia akan mendapatkan pahala.
1/ Jika dia meninggalkannya dengan niat bahwa syare’at melarang-nya, maka dia akan mendapatkan pahala.
2/ Jika dia meninggalkannya, hanya karena memang tidak terpikir di dalam benaknya, maka dia tidak mendapatkan pahala. [3]
[1] Larangan ini hanya berlaku, jika sang perempuan sudah menyetujui lamaran sebelumnya. Tetapi, jika perempuan tersebut belum menjawab lamaran orang pertama, maka dibolehkan orang lain melamar perempuan tersebut. Tersebut dalam suatu hadits bahwa Fatimah binti Umais pada suatu hari datang kepada Rosulullah saw, seraya menceritakan bahwa telah ada dua orang yang melamarnya yaitu Mu’awiyah dan Abu Jahm, tapi kedua pelamar tersebut belum ditanggapinya. Mendengar cerita tersebut Rosulullah saw tidak mengingkari dua pelamar tersebut. Seandainya dilarang, tentu beliau akan menegur pelamar yang kedua.
[2] Sebagian ulama, diantaranya
adalah madzhab Al Dhohiriyah mengatakan bahwa larangan dalam hadist
tersebut berarti haram. Dan jika dikerjakan maka perbuatan ceboknya
tidak syah.
[3] Itu rincian ketika seseorang meninggalkan makruh. Adapun
kalau dia meninggalkan sesuatu yang haram, maka rinciannya sebagai
berikut :
1/ Jika dia meninggalkan yang haram, karena syara’ melarangnya, maka dia akan mendapatkan pahala.
2/ Jika dia meninggalkan yang haram karena tidak terpikir dalam benaknya, maka dia tidak mendapatkan pahala.
3/ Jika dia meninggalkan yang
haram karena tidak mampu dan tidak berusaha untuk melakukannya , maka
dia akan dikenakan sangsi karena niatnya
4/ Jika dia meninggalkan yang
haram karena tidak mampu dan berusaha untuk melakukannya, maka dia
dihukumi seperti orang yang mengerjakan haram.
Dalil rincian tersebut adalah
sabda Rosulullah saw tentang orang miskin yang tidak mempunyai harta,
tapi ketika melihat orang kaya yang berfoya-foya menghamburkan hartanya
pada hal-hal yag haram, dia berkata :
“ Seandainya saya mempunyai uang seperti dia, maka saya akan melakukan seperti yang ia lakukan “ ,
maka dengan niatnya tersebut dia sama-sama menanggung dosa “ ( Hadist Shohih Riwayat Ahmad ( 4/ 231) , Berkata Tirmidzi dalam hadits no : 2325 : Hadist ini derajatnya Hasan Shohih , Ibnu Majah , no : 4228 )
“ Seandainya saya mempunyai uang seperti dia, maka saya akan melakukan seperti yang ia lakukan “ ,
maka dengan niatnya tersebut dia sama-sama menanggung dosa “ ( Hadist Shohih Riwayat Ahmad ( 4/ 231) , Berkata Tirmidzi dalam hadits no : 2325 : Hadist ini derajatnya Hasan Shohih , Ibnu Majah , no : 4228 )
Dalam hadist tersebut orang
miskin yang tidak mengerjakan maksiat, tetapi mempunyai niat dan kemauan
untuk berbuat maksiat, maka dia sama-sama menanggung dosa, karena
niatnya.
Dalil tersebut dikuatkan dengan sabda Rosulullah saw :
إذا التقي المسلمان بسيفهما
فالقاتل والمقتول في النار ، قالوا يا رسول الله ، هذا القاتل ، فما بال
المقتول ؟ قال : إنه كان حريصا على قتل صاحبه
“ Jika dua orang muslim berperang dengan pedangnya, maka yang membunuh dan yang terbunuh, kedua-duanya masuk api neraka. Para sahabat bertanya : “ Wahai Rosulullah saw, itu balasan orang yang membunuh, bagaimana orang yang terbunuh ? Rosulullah saw bersabda : “ Iya , karena dia juga berusaha untuk membunuh temannya “ ( HR Bukhari, no : 31. Muslim , no : 7113 )
Dalam hadist ini, Rosulullah
saw menyamakan orang yang terbunuh dengan orang yang membunuh, karena
kedua-duanya berusaha untuk membunuh saudaranya. Wallahu A’lam.
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama