Tema pembahasan kali ini seputar tarif ustadz Seleb atau Da’i
Kondang. Banyak fenomena yang terjadi di masyarakat kita ini berhubungan
dengan mahalnya tarif seorang da’i kondang, walaupun ini menyangkut
individu namun kondisi seperti ini membuat nama atau gelar seorang
ustadz tercemar atau terbawa akibatnya. Hal ini sangat jarang dibahas
oleh sebagian orang karena masih terkesan aib, namun jika hal ini selalu
ditutup-tutupi maka akan membawa dampak yang tidak baik juga untuk kita
semua. Sudah banyak sejarah menceritakan tentang kisah-kisah teladan
dari orang-orang shalih terdahulu, khususnya para Salafush Shalih ketika
mereka berdakwah tanpa membutuhkan upah atau tarif yang mahal, bahkan
sangat banyak dari mereka yang tidak mau dibayar atau ikhlas demi
mencari Wajah Allah.
Maka itu, pada kesempatan kali ini, akan ana nukil beberapa komentar
dari saudara-saudara kita mengenai mahalnya tarif untuk seorang Da’i
Kondang atau Ustadz Seleb, yang membuktikan bahwa segala sesuatu yang
jauh dari Sunnah (alias Bid’ah) maka mahal harganya. Berikut sebagian
komentar-komentar mereka:
- Ustadz Selebritis Mematok Tarif Rp.30Juta/15 Menit.
Komentar ust. Ahmad Sarwat, “Ramadhan kemarin ada panitia ceramah yang
ngaku terus terang ke saya bahwa seharusnya yang diundang bukan saya,
tapi ustadz X. Tapi gagal gak jadi diundang lantaran pihak manager gak
mau turun lagi TARIF-nya dari angka 30 juta untuk ceramah 15 menit
menjelang buka puasa. Akhirnya yang diundang saya yang bisa dikasih
“syukron” doang,” terangnya.
(Sumber:http://www.fimadani.com/ahmad-sarwat-ustadz-selebritis-mematok-tarif-rp-30-juta-per-15-menit/)
- Biaya mendatangkan ustadz (seleb) itu, bisa menghabiskan dana 90 jutaan!
Komentar Fulan : “…….dulu pernah menjadi bagian dari “dakwah jutawan”
semacam ini, contohnya ingin mendatangkan seorang dai dari bandung,
mungkin hampir 100 jutaan, alasannya sich mereka punya kantor, punya
anak buah yang harus dibiayain, uang hotelnya (minta hotel yang
bagus/mahal), dan saat kita minta datang sendiri atau paling tidak
minimal dengan beberapa orang saja maka bagian agennya bilang tidak bisa
karena harus datang dengan rombongan, karena tidak ada dananya maka
yang begitu itu tidak jadi dilakukan.
Pernah denger juga cerita, jadi di kampus saya pernah mau datangi
seorang ustadz. Bliau bersedia asal dibayar minimal 40 juta. Gilaaaa!!!”
- Tentang ustadz kondang yang tarifnya 15 juta/jam.
Bisa dilihat disini: http://twicsy.com/i/vNyX2
- Berapa honor ustadz seleb?
Komentar seseorang: “…honornya untuk setiap acara berbeda tetapi minimum
sekarang 15 juta, ada yang bahkan memberikan ratusan juta rupiah,
karena memang beliau tidak mau menetapkan tarif, jadi terserah yang
memberi (yang memiliki acara) dan 5 juta setiap pertemuan untuk acara2
yang tampil secara rutin di televisi.”
- Tarif ust. C**** sebesar Rp.10 juta!
Menurut pernyataan dari ibu Kenah,biaya atau tarif Ustadz C**** sebesar
10 juta rupiah.Kendati biaya itu cukup mahal untuk ukuran masyarakat
yang berada di daerah pedesaan,ia tidak berkeberatan.Sejak dari awal
memang sudah berencana untuk menghadirkan ceramah dari ustadz kondang
itu.Tepat pukul 21.00 ustadz C**** datang dan langsung memulai
ceramahnya di hadapan kurang lebih 1000 penonton yang sudah hadir
memenuhi area halaman rumah ibu Kenah. Sekedar pertimbangan buat yang
ingin mengundang beberapa ustadz kondang, Ibu Kenah sempat menanyakan
tarif ustadz yang lainnya. Diantaranya Ustadz A* G** mempunyai tarif 8
juta rupiah, Ustadz J**** mempunyai tarif 11 juta.Itu adalah tarif untuk
panggilan ke wilayah Cirebon.
- Ustadz-ustadz Kapitalis?
Komentar ust. YM: “Dahulu ada Ustadz yang tarifnya mencapai 40 juta
sekali ceramah. Sebenarnya bukan salah Ustadz itu 100% sih. Gara-gara
persaingan antar televisi aja yang menyebabkan si Ustadz pasang tarif
segede gitu… si Ustadz 40 juta itu asalnya cuma sebagai Penceramah di
masjid Al Azhar. Rupanya ada Produser R*** (salah satu stasiun TV
swasta) yang tertarik dengan ceramah sang Ustadz. Jadilah si Ustadz
masuk televisi. Sekali dua kali tampil, ada S*** (salah satu stasiun TV
swasta) yang juga tertarik buat mengundang Ustadz 40 juta ini. Entah ada
setan apa, si Ustadz meluncurkan kata-kata: “Kalo mau munculin ane di
televisi, ente berani bayar 15 juta nggak? Namanya juga persaingan
bebas, S*** tanpa ba-bi-bu langsung “membajak” Ustadz berinisial KB ini.
Sejak itulah KB menjadi Ustadz dengan honor tertinggi. Dari 15 juta
beranjak ke 20 juta, dan sampai akhirnya bertarif 40 juta. Gokil! Memang
sih, gaya bertausyiahnya keren, menyejukkan, dan segar. Memang juga
sih, spot iklan di televisi akhirnya bisa menutup tarif Ustadz KB ini.
Tapi wajar nggak sih Ustadz mengkomersilkan diri?
Ustadz YM cerita lagi soal Ustadz lain. Kali ini inisialnya JK. Gw
kenal dengan Ustadz JK, tapi sayang doi nggak kenal gw. Gw kenal karena
JK ini dahulu sebelum ngetop jadi Ustadz, profesinya sebagai Model dan
Bintang Sinetron. Dahulu kala hidupnya gawat. Mabok-mabokan, free seks,
dan menjadi pengguna narkoba. Sampai suatu saat, doi sekarat dan
mendapat hidayah buat kembali ke jalan yang benar. JK kemudian berubah
jadi Ustadz. Awalnya mungkin nggak ada dalam benaknya mengkomersilkan
diri. Tausyiahnya semata-mata buat Allah. Eh, lama kelamaan, matanya
hijau juga ngeliat tarif. Apalagi doi udah menggabdikan diri melakukan
syiar, sementara kebutuhan rumah tangga nggak bisa ditawar-tawar. Mana
ada Manusia yang mau kelaparan? Nah, doi akhirnya memanfaatkan Ustadz
buat mencari duit gila-gilaan dengan memasang tarif. Dua tahun lalu
tarifnya mencapai 15 juta,” kata Ustadz YM. “Kalo sekarang ada yang
ngundang dengan tarif 5 juta pun dikejar. Maklum, persaingan Ustadz
gila-gilaan. Kalo sok pasang tarif tinggi, Ustadz itu bisa nggak makan.”
Ustadz YM sebenarnya menyayangkan temannya (maksudnya Ustadz JK) itu
pasang tarif. Banyak cerita-cerita miring soal Ustadz JK ini. Salah
satunya dari sebuah Institusi yang ingin mengundang doi. Oleh Management
Ustadz JK, Institusi itu diwajibkan menyetor dana senilai 20 juta cash
via transfer. Padahal waktu tausyiah Ustadz JK masih 3 bulan lagi.
“Nggak bisa DP dulu, Pak,” kata salah seorang Panitia dari Institusi tersebut, sebagaimana diceritakan oleh Ustadz YM.
“Nggak bisa!” Galak banget jawaban Mas-Mas dari Management Ustadz JK
itu. “Ustadz JK itu schedule-nya penuh. Dia mau menyempatkan diri hadir
di tausyiah Anda, eh kok Anda menawar gitu?”
Mas-Mas Management semakin marah ketika Panitia memutuskan mengganti
Ustadz JK dengan Ustadz lain. “Anda udah berjanji buat mengundang Ustadz
JK. Anda harus teransfer sekarang juga!” Idiiiiih, kok maksa gitu ya?
Ya gitu deh kalo Ustadz udah berubah jadi Ustadz Kapitalis.
“Nggak heran kalo dengan jadi Ustadz cari uang jadi mudah,” cerita
Ustadz YM lagi. “Tinggal bilang banyak-banyaklah bershodaqah atau amal
jariah, Jamaah yang kaya raya itu pasti bakal ngasih duit.”
Percaya nggak, ada Ustadz yang dikasih mobil Jaguar, even Celica sama
Jamaah-nya. Hah?! Sumpeh loe?! Iya, bener! Ustadz ini cari duit gampang
banget. Saking mudahnya, cari 100 juta udah kayak cari 10 ribu perak.
Hanya dengan tempo 1 tahun, Ustadz berinisial KK ini berhasil memiliki
duit senilai 1,5 miliar. Memang sih terlalu kecil buat ukuran Pengusaha.
Tapi buat Ustadz KK, ini jadi sebuah prestasi yang gemilang nan jaya.
Sayang, semua sumbangan dimasukkan ke dalam rekening pribadi, bukan buat
kesejahteraan Ummat. Memang sih, doi dapat jatah dari sumbangan itu,
karena gara-gara doi, Jamaah mau bershadaqoh atau menyumbang. Tapi masa
50% duit buat pribadi? Bukan 2,5% atau kurang dari angka itu?
Bahkan Ustadz KK berhasil menipu salah satu pemilik stasiun televisi
swasta nasional. Kata Ustadz YM, awal tipu menipu itu gara-gara Ustadz
KK berhasil menjual diri. Ustadz KK bilang, Ummatnya banyak, jadi rugi
kalo nggak menggontrak dirinya. Walhasil, Bos televisi swasta setuju.
You know nilai kontrak si Ustadz KK itu, Bro? 2,5 miliar per tahun. Masa
kontrak yang diminta di Ustadz lima tahun. Artinya, dalam lima tahun
Ustadz itu berhasil mengantongi duit senilai 12,5 miliar. Wow?!
“Gara-gara rating si Ustadz jeblok, maka kontraknya cuma bertahan
setahun,” jelas Ustadz YM. “Tapi lumayan kan setahun dapat 2,5 miliar?”
Kini, Ustadz-Ustadz Kapitalis masih merajelela. Sebenarnya, Ustadz
kayak gini memang nggak bisa dipersalahkan 100%. Keadaan yang membentuk
diri si Ustadz jadi Kapitalis. Persaingan antar stasiun televisi,
kebutuhan rumah tangga yang gila-gilaan (apalagi kalo si Ustadz menganut
aliran poligami), dan kita sendiri yang memberikan penghargaan terlalu
“berlebihan” pada Ustadz (baca: mengkultuskan). Nggak ketinggalan pula,
negara ini pun juga udah mengarah ke Negara Kapitalis. So, jangan
salahkan kalo Ustadz-Ustadz berubah wujudnya. Sekali lagi, Ustadz juga
Manusia bukan?
- Ustadz minta DP.
Komentar ust. Fulan: “Ummat: “Ustadz Ganteng, mohon maaf, berapa ya kami
perlu ganti untuk transportasi?”Ustadz Ganteng: “Untuk administrasi aja
ya, sediakan aja 30 juta, 10 juta dibayar di depan ke account saya.
Oya, kalo nggak jadi DP nya angus ya..”
Percaya atau nggak percaya, fakta semacam ini ada. Begitulah suatu hari,
ketua DKM salah satu masjid bilang ke saya. Saya jadi mikir “pantes aja
mobil si Ustadz Ganteng Fortuner dll” hehe..
Saya pribadi juga seringkali ditanya, “Ustadz, maaf nih, administrasinya
berapa yang harus kita siapkan?”Jawab saya “Saya nggak pernah minta
bayaran untuk dakwah, berapapun yang panitia kasih akan saya terima,
kalo nggak ada pun nggak papa, asal transportasi dan akomodasi
ditanggung panitia”
Parahnya masa kini, banyak orang yang udah nggak malu menjadikan Ustadz
dan Da’i sebagai profesi. Pekerjaan profesional. Karena itu layaknya
seorang pembicara publik, mereka mematok tarif sekali pengajian. Kalo
udah masuk TV apalagi, matoknya diatas 10 juta. Subhanallah.”
- Awas, Banyak Ustadz ‘Gadungan’ di Televisi.
Majelis Ulama Indonesia melihat banyak ulama yang tidak berkompeten dan
berintegrasi tampil menjadi penceramah agama di televisi. “Harusnya
kualitas dan validitas serta keteladanan juru dakwah diperhitungkan,”
kata Wakil Ketua Tim Pemantau TV Ramadan 1431 H dari Majelis Ulama
Indonesia (MUI), Imam Suhardjo di Kantor Kementerian Komunikasi dan
Informatika, Senin, 6 Agustus 2012.
- Adzan Disisipi Iklan dan Ustadz Melawak.
Banyak tayangan TV yang nggak ada gunanya, yang ditampilkan cuma ketawa
ketiwi badut-badut TV tersebut. Bahkan tayangan adzan pun disisipi
iklan, keterlaluan, serba komersil semua. Ustadz juga malah ikut-ikutan
melawak, kacau deh. Berikut hasil pengawasan KPI tentang
tayangan-tayangan TV tersebut. KPI menangkap dua fenomena yang berbeda
dalam penayangan program Ramadhan di tahun ini. Hal ini diungkapkan
dalam pengumuman hasil pantauan tayangan Ramadhan selama dua pekan,
Senin (22/8). Fenomena yang pertama adalah adanya iklan dalam adzan dan
fenomena ustad yang ikut bergabung dengan berbagai program lawak di
televisi ketika sahur.
Berkenaan dengan hal tersebut, KPI sudah berbincang dengan Kementrian
Agama dan meminta pertimbangan kepada MUI. “KPI tidak bisa memberikan
sanksi terahadap penayangan adzan yang ada iklannya, karena memang tidak
ada larangan iklan dalam simbol-simbol keagamaan. Kami hanya mampu
menghimbau dan memberikan peringatan untuk segera diganti,” kata ketua
KPI Dadang Rahmat Hidayat. Imam Suharjo dari MUI berkata, “Itu akan
dapat mencederai peran mereka sebagai pendakwah. Penampilan ustad
sebaiknya biasa saja tidak berlebihan dalam hal pakaian dan make up, dan
jangan ikut melawak seperti pelawak dan jangan ikutan nyanyi seperi
penyanyi,” ungkapnya.
(Sumber: Republika.co.id )
- Ustadz Harus Ganteng?
Komentar al akh Bayu Gawtama : “…Ustadz dan ustadzah ini, karena
kegantengannya dan kecantikannya cepat meroket, melesat bak selebritis.
Bahkan hampir tidak ada bedanya dengan selebritis, sebab ia pun kerap
masuk dalam beragam acara infotainment yang sebelumnya menjadi hegemoni
penuh para selebritis kita. Dan lantaran ingin memenuhi selera pasar
pula, penampilan sang ustadz dan ustadzah pun dipermak layaknya seorang
artis. Pakaiannya jadi trendsetter, banyak para jama’ah yang berupaya
mengikuti semua gaya dan penampilannya, dari baju gamis, kacamata,
jilbab, sampai sepatu.
Ustadz dan ustadzah pun jadi bintang iklan, cenderung dimanfaatkan
oleh orang-orang yang mencari keuntungan dari popularitas keustadzannya.
Mereka pikir, ustadz dan ustadzah kan punya pengikut, jama’ah, atau
bahkan fans, jadi yang diincar itu bukan ustadznya, tapi yang berada di
belakang ustadz itu. Kemudian, makin terkenallah ustadz dan ustadzah
ini, diundang ceramah ke berbagai daerah dan kota seluruh Indonesia,
sampai ke luar negeri. Kehadirannya disambut meriah, pakai tepuk tangan
agar tambah ramai. Ustadz dielu-elukan, dan orang-orang pun berebut
menyentuh tangannya untuk diciumi. Tidak peduli ustadznya masih muda,
sedangkan yang mencium tangan muda itu adalah lelaki tua yang jalannya
sudah membungkuk.
Permintaan ceramah pun semakin banyak, sehingga ustadz bisa memilih
mana bayaran yang paling besar jika terdapat jadwal yang bentrok. Bahkan
pada saatnya, sang ustadz melalui manajernya boleh mengajukan tarif
tertentu kepada panitia penyelenggara atau tidak jadi sama sekali.
Maklum, permintaan tinggi, harga juga bisa ditinggikan. Gigit jarilah
para pengurus masjid di kampung-kampung, di desa-desa, dan di berbagai
pelosok negeri yang nyata-nyata tidak sanggup menyediakan uang transpor
dan akomodasi yang memadai saat harus mengundang ustadz kondang ini
berceramah di masjidnya. Sebab, kelas ustadz ini memang bukan lagi di
masjid-masjid kecil, di kampung-kampung becek, melainkan di masjid
besar, dan hotel.
Coba hitung, selain tarif yang mahal, masih harus menyediakan tiket
pesawat, akomodasi yang layak sekelas selebritis. Ujung-ujungnya, ustadz
kampung lagi yang dipakai, selain bayarannya murah, tidak perlu tiket
pesawat, hotel, dan bisa dijemput pakai motor. Meskipun seringkali yang
disebut ustadz ‘kampung’ ini kualitasnya boleh jadi lebih bagus dari
ustadz kondang dari kota. Baik kualitas materinya, juga integritas
kepribadiannya. Sayangnya, jama’ah kita sudah silau oleh ketenaran sang
ustadz kota.
- Ustadz Pamer Harta
Komentar al akh Jauhar Ridhoni Marzuq ( Mahasiswa Al Azhar Mesir & Kru QommunityRadio Kairo ):
“…Yang membuat saya resah adalah munculnya dai-dai selebritis yang jauh
dari kualitas keulamaan. Bukan hanya kualitas keilmuan agamanya yang di
bawah standar pas-pasan, tapi juga karena komersialisasi dakwah dan
perangai buruk yang diperagakan. Sehingga hal itu bukan mendukung misi
dakwahnya, tapi justru menghancurkan nilai-nilai Islam yang didakwahkan.
Kondisi semacam ini tentu sangat berbahaya, karena bisa melahirkan
sikap apatis bahkan kebencian terhadap agama.
Saya tak habis pikir bagaimana bisa seorang dai, ulama, ustadz,
kiyai, atau apapun itu namanya, memasang tarif puluhan juta rupiah untuk
setiap kali memberikan ceramah?! Jika bayaran yang diberikan kurang
dari harga yang dipatok, sang dai tak mau memberikan ceramah. Belum
lagi, dai tersebut juga seperti selebritis yang memiliki manajer,
sehingga konsultasi keagamaan dan lain sebagainya harus melalui manajer
tersebut. Dengan demikian, ikatan antara dai dengan umat seperti ikatan
bisnisman dengan pelanggannya, bukan seperti ikatan antara orang tua dan
anak, guru dan murid, atau bahkan antara Nabi Muhammad dan para
sahabat. Dakwah kemudian bukan menjadi kewajiban atau amanah yang harus
dijalankan dengan keikhlasan, tapi justru dijadikan alat untuk mendulang
uang. Karunia Allah yang menjadikan mereka diterima masyarakat justru
dimanfaatkan untuk mendulang popularitas. Mereka pun kemudian jadi artis
dadakan.
Saat muncul di infotainment, bukan nilai-nilai agama atau pengalaman
mereka belajar agama yang menjadi topik wawancara, melainkan tentang
rumah baru, mobil baru, koleksi sepatu baru, sampai motor besar seharga
ratusan juta rupiah. Bahkan kehidupan pribadi mereka pun diekspos
seluas-luasnya. Lebih memprihatinkan lagi, sang dai tak malu-malu
menonton bisokop berduaan dengan wanita yang bukan mahramnya di tengah
sorotan kamera. Tentu tak ada salahnya jika seorang dai mempunyai banyak
harta dan kaya raya, selama kekayaan itu tidak didapatkan dengan
cara-cara yang haram, seperti korupsi, menipu mencuri, dan lain
sebagainya. Kekayaan itu justru bisa dijadikan penunjang aktifitas
dakwah, seperti yang dilakukan oleh Ibunda Khadijah Ra, Abu Bakar
al-Shiddiq Ra, dan Utsman bin Affan Ra.. Tapi secara akal sehat yang
paling dangkal pun, sungguh tidak layak bagi seorang dai atau ustadz
yang mengajarkan nilai-nilai luruh agama untuk pamer harta, bahkan pamer
kemesraan seperti layaknya artis sinetron di layar infotainment…”
- Pertanyaan:
Assalamu’alaikum. Apakah da’i-da’i ataupun ustadz-ustadz yang memasang
tarif tertentu untuk dakwah dianggap menjual ayat-ayat Allah -Subhanahu
wa ta’ala-?
Jawaban:
Tidak diragukan lagi bahwa berdakwah kepada Allah -Subhanahu wa ta’ala-
adalah termasuk amal yang paling mulia, yang paling agung pahalanya di
sisi Allah -Subhanahu wa ta’ala-. Terutama jika pelakunya tidak
mengambil balasan karenanya karena mencontoh para Nabi -Shalallahu
alaihi wa salam-. Allah -Subhanahu wa ta’ala- telah mengabarkan kepada
kita tentang perkataan di antara mereka:
وَيَا قَوْمِ لا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مَالا إِنْ أَجْرِيَ إِلا عَلَى اللَّهِ
“Dan (Dia berkata): “Hai kaumku, Aku tiada meminta harta benda kepada
kamu (sebagai upah) bagi seruanku, upahku hanyalah dari Allah” (QS.
Huud: 29)
يَا قَوْمِ لا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِنْ أَجْرِيَ إِلا عَلَى الَّذِي فَطَرَنِي أَفَلا تَعْقِلُونَ
“Hai kaumku, Aku tidak meminta upah kepadamu bagi seruanku ini.
Upahku tidak lain hanyalah dari Allah yang telah menciptakanku. Maka
tidakkah kamu memikirkan(nya)?” (QS. Huud: 51)
وَمَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِيَ إِلا عَلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ (١٠٩)
“Dan Aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan
itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam.” (QS.
Asy-Syu’ara`: 109)
Akan tetapi jika da’i tersebut benar-benar mencurahkan waktu dan
tenaganya untuk dakwah, maka tidak mengapa dia mengambil upah darinya.
Dan memungkinkan baginya untuk menentukan imbalan atas jasanya yang
zhahir, seperti pembelian kitab, menyiapkan makalah, transportasi,
akomodasi dan lain-lain, atau orang lain yang menentukan imbalannya.
Yang demikian ini berdasarkan riwayat al-Bukhari dan lainnya, bahwa ada
sekelompok dari sahabat Rasulullah r yang turun ke sebuah perkampungan
dari perkampungan badui. Kemudian kepala kampung tersebut terpatuk ular,
maka salah seorang sahabat membacakan atasnya al-Quran yang mulia, dan
Allahpun menyembuhkannya. Kemudian mereka mengambil upah atas hal
tersebut.
Kemudian mereka mengabarkan kejadian ini kepada Rasulullah r,
maka beliau bersabda kepada mereka:
« إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ »
“Sesungguhnya pahala yang paling berhak kalian ambil atasnya adalah Kitabullah.” (HR. Bukhari: 5296)
Sesungguhnya seorang da’i dan thalibul ilmi, jika diantara keduanya
mengambil uang transport menuju daerah yang dia berdakwah di dalamnya,
maka ia tidak tergolong mengambil upah karena dakwah atau mengajar, akan
tetapi itu hanyalah bagian dari saling tolong menolong dalam kebaikan
dan ketaatan. Dan Allah -Subhanahu wa ta’ala- telah memerintahkan untuk
saling menolong di atasnya. Allah -Subhanahu wa ta’ala- berfirman:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,
dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS.
Al-Maidah: 2)
Dan tidak boleh seorang da’i memberikan syarat upah yang besar di
atas kemampuan panitia sebagai balasan dari muhadharah atau ceramahnya,
terutama jika dia memiliki gaji bulanan yang aman baginya untuk hidup
mulia. Aku nasihatkan untuk tidak mahal di dalam mengambil upah, dan
ambillah yang masuk akal, sekalipun yang utama adalah sukarela, jika dia
mampu. Wallahu a’lam. (AR)*
(Sumber: http://qiblati.com/)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا
Dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah. (QS al-Baqarah [2]: 41)
Rasulullah bersabda, ‘Bacalah Alquran dan niatkanlah hanya untuk
Allah, sebelum datang sekelompok orang yang membaca Alquran lalu dia
jadikan Alquran sebagai alat untuk meminta-minta harta.’ (H.R. Ahmad,
dan lain-lain; sahih, sebagaimana dalam Shahih Al-Jami Ash-Shaghir, no.
1169)
Al-Minawi, dalam Faydh al-Qadîr, mengatakan, “Bencana bagi umatku
(datang) dari ulama sû’, yaitu ulama yang dengan ilmunya bertujuan
mencari kenikmatan dunia, meraih gengsi dan kedudukan. Setiap orang dari
mereka adalah tawanan setan. Ia telah dibinasakan oleh hawa nafsunya
dan dikuasai oleh kesengsaraannya. Siapa saja yang kondisinya demikian,
maka bahayanya terhadap umat datang dari beberapa sisi. Dari sisi umat;
mereka mengikuti ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatannya. Ia
memperindah penguasa yang menzalimi manusia dan gampang mengeluarkan
fatwa untuk penguasa. Pena dan lisannya mengeluarkan kebohongan dan
kedustaan. Karena sombong, ia mengatakan sesuatu yang tidak ia ketahui.”
[Al-Minawi, Faydh al-Qadîr, VI/369.]
Wallahu a’lam
Oleh Abu Fahd Negara Tauhid.
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama