Jilbab adalah masalah fundamental yang bukanlah masalah furu’iyyah
sebagaimana dikira segelintir orang. Sampai-sampai para ulama berkata
bahwa siapa yang menentang wajibnya jilbab, maka ia kafir dan murtad.
Sedangkan orang yang tidak mau mengenakan jilbab karena mengikuti
segelintir orang tanpa mengingkari wajibnya, maka ia adalah orang yang
berdosa, namun tidak kafir.
Dalil yang Menunjukkan Wajibnya Jilbab
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ
وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ
جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ
اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka“.
Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu
mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59).
Ayat ini menunjukkan wajibnya jilbab bagi seluruh wanita muslimah.
Ayat lain yang menunjukkan wajibnya jilbab,
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ
أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ
اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ (30) وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ
مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ
زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ
عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ
أَوْ آَبَائِهِنَّ أَوْ آَبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ
أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ
أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ
الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ
النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ
مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا
الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (31)
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah
mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian
itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
apa yang mereka perbuat”. Katakanlah kepada wanita yang beriman:
“Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak
dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya,
dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka,
atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka,
atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka,
atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara
perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang
mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai
keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang
aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada
Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An Nur: 30-31).
Dalil yang menunjukkan wajibnya jilbab adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ أُمِرْنَا أَنْ
نُخْرِجَ الْحُيَّضَ يَوْمَ الْعِيدَيْنِ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ ،
فَيَشْهَدْنَ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَدَعْوَتَهُمْ ، وَيَعْتَزِلُ
الْحُيَّضُ عَنْ مُصَلاَّهُنَّ . قَالَتِ امْرَأَةٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ ،
إِحْدَانَا لَيْسَ لَهَا جِلْبَابٌ . قَالَ « لِتُلْبِسْهَا صَاحِبَتُهَا
مِنْ جِلْبَابِهَا »
Dari Ummu ‘Athiyyah, ia berkata, “Pada dua hari raya, kami
diperintahkan untuk mengeluarkan wanita-wanita haid dan gadis-gadis
pingitan untuk menghadiri jamaah kaum muslimin dan doa mereka. Tetapi
wanita-wanita haid harus menjauhi tempat shalat mereka. Seorang wanita
bertanya:, “Wahai Rasulullah, seorang wanita di antara kami tidak memiliki jilbab (bolehkan dia keluar)?” Beliau menjawab, “Hendaklah kawannya meminjamkan jilbabnya untuk dipakai wanita tersebut.” (HR. Bukhari no. 351 dan Muslim no. 890)
.
Para ulama sepakat (berijma’) bahwa berjilbab itu wajib. Yang mereka
perselisihkan adalah dalam masalah wajah dan kedua telapak tangan apakah
wajib ditutupi.
Apa Itu Jilbab?
Dalam Lisanul ‘Arob, jilbab adalah pakaian yang lebar yang lebih luas
dari khimar (kerudung) berbeda dengan selendang (rida’) dipakai
perempuan untuk menutupi kepala dan dadanya.[1]
Jadi kalau kita melihat dari istilah bahasa itu sendiri, jilbab adalah
seperti mantel karena menutupi kepala dan dada sekaligus.
Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan bahwa jilbab adalah pakaian atas (rida’)[2]
yang menutupi khimar. Demikian yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud,
‘Ubaidah, Al Hasan Al Bashri, Sa’id bin Jubair, Ibrahim An Nakho’i, dan
‘Atho’ Al Khurosaani. Untuk saat ini, jilbab itu semisal izar (pakaian
bawah). Al Jauhari berkata bahwa jilbab adalah “milhafah” (kain
penutup).[3]
Asy Syaukani rahimahullah berkata bahwa jilbab adalah pakaian yang ukurannya lebih besar dari khimar.[4] Ada ulama yang katakan bahwa jilbab adalah pakaian yang menutupi seluruh badan wanita. Dalam hadits shahih dari ‘Ummu ‘Athiyah, ia berkata, “Wahai Rasulullah, salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda,
لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا
“Hendaklah saudaranya mengenakan jilbab untuknya.” Al Wahidi mengatakan bahwa pakar tafsir mengatakan, “Yaitu hendaklah ia menutupi wajah dan kepalanya kecuali satu mata saja.”[5]
Ibnul Jauzi rahimahullah dalam Zaadul Masiir memberi keterangan
mengenai jilbab. Beliau nukil perkataan Ibnu Qutaibah, di mana ia
memberikan penjelasan, “Hendaklah wanita itu mengenakan rida’nya
(pakaian atasnya).” Ulama lainnya berkata, “Hendaklah para wanita
menutup kepala dan wajah mereka, supaya orang-orang tahu bahwa ia adalah
wanita merdeka (bukan budak).”[6]
Syaikh As Sa’di rahimahullah menerangkan bahwa jilbab adalah
milhafah (kain penutup atas), khimar, rida’ (kain penutup badan atas)
atau selainnya yang dikenakan di atas pakaian. Hendaklah jilbab tersebut
menutupi diri wanita itu, menutupi wajah dan dadanya.[7]
Kita pun dapat menyaksikan praktek jilbab di masa salaf dahulu.
قال علي بن أبي طلحة، عن ابن عباس: أمر الله
نساء المؤمنين إذا خرجن من بيوتهن في حاجة أن يغطين وجوههن من فوق رؤوسهن
بالجلابيب، ويبدين عينًا واحدة.
‘Ali bin Abi Tholhah berkata, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Allah
telah memerintahkan kepada wanita beriman jika mereka keluar dari rumah
mereka dalam keadaan tertutup wajah dan atas kepala mereka dengan jilbab
dan yang nampak hanyalah satu mata.”[8]
وقال محمد بن سيرين: سألت عَبيدةَ السّلماني
عن قول الله تعالى: { يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ } ، فغطى
وجهه ورأسه وأبرز عينه اليسرى.
Muhammad bin Sirin berkata, “Aku pernah bertanya pada As Salmani
mengenai firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”, lalu beliau berkata,
“Hendaklah menutup wajah dan kepalanya, dan hanya menampakkan mata
sebelah kiri.”[9]
Pandangan Kalangan Liberal Mengenai Jilbab
Salah satu tokoh JIL (Jaringan Islam Liberal), Siti Musdah Mulia,
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah (Ciputat, Banten) punya beberapa
pendapat yang nyleneh mengenai jilbab dan ia terkenal dengan pemikiran kebebasannya. Dalam talkshow dan bedah buku yang berjudul “Psychology of Fashion: Fenomena Perempuan (Melepas Jilbab)”, juga di forum lainnya, beliau mengeluarkan beberapa pendapat kontroversial mengenai jilbab yang kami rinci sebagai berikut[10]:
Pertama:
Menurut Bu Profesor Musdah Mulia, guru besar Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Ciputat, realitas sosiologis di masyarakat,
jilbab tidak menyimbolkan apa-apa, tidak menjadi lambang kesalehan dan
ketakwaan. Tidak ada jaminan bahwa pemakai jilbab adalah perempuan
shalehah, atau sebaliknya perempuan yang tidak memakai jilbab bukan
perempuan shalehah. Jilbab tidak identik dengan kesalehan dan ketakwaan
seseorang.
Sanggahan:
Bagaimana mungkin kita katakan jilbab bukanlah lambang kesalehan dan
ketakwaan. Orang liberal biasa hanya pintar berkoar-koar tetapi tidak
pernah ilmiah. Kalau mau ilmiah, yah seharusnya berhujjah dengan dalil.
Ibnul Qayyim menukilkan perkataan seorang penyair:
العلم قال الله قال رسوله
“Ilmu adalah apa kata Allah, apa kata Rasul-Nya.” Jadi kalau bukan Al Qur’an dan hadits yang dibawa namun hanya pintar omong, maka itu berarti tidak ilmiah.[11]
Bagaimana dikatakan berjilbab bukan lambang ketakwaan? Sedangkan takwa sebagaimana kata Tholq bin Habib,
التَّقْوَى : أَنْ تَعْمَلَ بِطَاعَةِ اللَّهِ
عَلَى نُورٍ مِنْ اللَّهِ تَرْجُو رَحْمَةَ اللَّهِ وَأَنْ تَتْرُكَ
مَعْصِيَةَ اللَّهِ عَلَى نُورٍ مِنْ اللَّهِ تَخَافَ عَذَابَ اللَّهِ
“Takwa: engkau melakukan ketaatan pada Allah atas cahaya dari
Allah dalam rangka mengharap rahmat Allah dan engkau meninggalkan
maksiat pada Allah atas cahaya dari Allah dalam rangka takut akan adzab
Allah.”[12] Bukankah kewajiban mengenakan jilbab sudah diperintahkan dalam ayat,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka“ (QS. Al Ahzab: 59). Juga dalam ayat,
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya”(QS. An Nur: 31). Ini jelas perintah dan menjalankan perintah adalah bagian dari ketakwaan dan bentuk taat pada Allah.
Enggan berjilbab jelas termasuk maksiat karena dalam ayat setelah menerangkan sifat mulia wanita yang berjilbab ditutup dengan,
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”
(QS. An Nur: 31). Kalau disuruh bertaubat berarti tidak berjilbab
termasuk maksiat. Lantas bagaimana dikatakan berjilbab bukan bagian dari
takwa? Sungguh aneh jalan pikirannya.
Jika jilbab bukan lambang ketakwaan karena ada yang berjilbab
bermaksiat, maka kita boleh saja menyatakan shalat juga bukan lambing
ketakwaan karena ada yang shalat namun masih bermaksiat. Namun tidak ada
yang berani menyatakan untuk shalat pun demikian. Jadi, tidak jelas bagaimana cara berpikir para pengagum kebebasan (orang liberal).
Kata Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat terakhir di atas, yang
namanya keberuntungan diraih dengan melakukan perintah Allah dan
Rasul-Nya dan meninggalkan yang dilarang.[13] Jadi, biar selamat di akhirat dan selamat dari jilatan neraka, maka berjilbablah.
Kedua: Bu
Profesor yang sangat mengagumi Gus Dur berkata pula, “Tidaklah keliru
jika dikatakan bahwa jilbab dan batas aurat perempuan merupakan masalah
khilafiyah yang tidak harus menimbulkan tuduh menuduh apalagi kafir
mengkafirkan. Mengenakan, tidak mengenakan, atau menanggalkan jilbab
sesungguhnya merupakan pilihan, apapun alasannya. Yang paling bijak
adalah menghargai dan menghormati pilihan setiap orang, tanpa perlu
menghakimi sebagai benar atau salah terhadap setiap pilihan.”
Ibu Musdah menyampaikan pula, “Kalau begitu, jelas bahwa menggunakan
jilbab tidak menjadi keharusan bagi perempuan Islam, tetapi bisa
dianggap sebagai cerminan sikap kehati-hatian dalam melaksanakan
tuntutan Islam. Kita perlu membangun sikap apresiasi terhadap perempuan
yang atas kerelaannya sendiri memakai jilbab, sebaliknya juga menghargai
mereka yang dengan pilihan bebasnya melepas atau membuka kembali
jilbabnya. Termasuk mengapresiasi mereka yang sama sekali tidak tertarik
memakai jilbab.”
Sanggahan:
Waw … satu lagi pendapat yang aneh. Bagaimana bisa dikatakan jilbab adalah suatu pilihan bukan suatu kewajiban?
Ayat-ayat yang menerangkan wajibnya jilbab sudah jelas. Hadits pun
mengiyakannya. Begitu pula ijma’ para ulama menyatakan wajib bagi wanita
menutup seluruh badannya dengan jilbab kecuali terdapat perselisihan
pada wajah dan kedua telapak tangan. Sebagian ulama menyatakan bahwa
wajah dan telapak tangan juga wajib ditutup. Sebagaian lain mengatakan
bahwa wajah dan telapak tangan boleh dibuka, namun menutupnya adalah sunnah
(bukan wajib). Dalil keduanya sama-sama kuat, jadi tetap kedua pendapat
tersebut mewajibkan jilbab, namun diperselisihkan manakah yang boleh
ditampakkan.
Jadi batasan aurat wanita memang ada khilaf apakah wajah dan telapak
tangan termasuk aurat. Namun para ulama sepakat akan wajibnya jilbab.
Sehingga pendapat Bu Profesor barangkali perlu dirujuk kembali dan harus
membuktikan keilmiahannya, bukan hanya asal berkoar.
Kalau jilbab telah dinyatakan wajib, maka tidak ada kata tawar
menawar atau dijadikan pilihan. Kalau dipaksakan dalam Perda agar para
pegawai berjilbab, itu langkah yang patut didukung. Bukan malah seperti
kata JIL yang menganggap Perda tersebut malah mengekang wanita.
Begitu pula tidak boleh mengapresiasi orang yang memamerkan lekuk
tubuhnya, gaya rambut dan pamer aurat. Karena perbuatan mereka patut
diingkari. Jika punya kekuasaan (sebagai penguasa), maka diingkari
dengan tangan. Jika tidak mampu, maka dengan lisan dan tulisan sebagai
peringatan dan pengingkaran. Jika tidak mampu, maka wajib diingkari
dengan hati. Jika dengan hati tidak ada pengingkaran malah memberikan
apresiasi, maka ini jelas tanda persetujuan pada kemungkaran dan tanda
bermasalahnya iman. Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا
فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ
لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ
“Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah dia
merubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu, hendaklah dia merubah
hal itu dengan lisannya. Apabila tidak mampu lagi, hendaknya dia ingkari
dengan hatinya dan inilah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim no. 49)
-bersambung insya Allah-
[1] Lisanul ‘Arob, Ibnu Manzhur, 1: 272.
[2] Rida’ dan Izar adalah pakaian seperti ketika berihrom. Rida’ untuk bagian atas, ihrom untuk bagian bawahnya.
[3] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, Muassasah Qurthubah, 11: 242
[4] Fathul Qodir, Asy Syaukani, Mawqi’ At Tafasir, 6: 79
[5] Idem.
[6] Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, Mawqi’ At Tafasir, 5/150
[7] Taisir Al Karimir Rahman, ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, Muassasah Ar Risalah, hal. 671.
[8] Disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim.
[9] Idem.
[10] Pendapat Bu Musdah Mulia, kami cuplik dari http://www.voa-islam.com/islamia/liberalism/2010/12/14/12281/inilah-argumen-ngawur-ratu-sepilis-musdah-mulia-soal-jilbab/
[11] I’lamul Muwaqi’in, 1: 79.
[12] Majmu’ Al Fatawa, 7: 163.
[13] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 10: 225.
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama