Banyak persoalan yang dialami oleh kaum wanita di abad modern ini, oleh
karena tidak lah mudah untuk mengaplikasikan konsep-konsep kaum wanita
terima di majelis ilmu and be perfect sebagai seorang muslimah. Terutama
bagi kaum wanita yang sudah sampai merambah perguruan tinggi kemudian
lulus serta dihadapkan pada kenyataan harus bekerja atau mencari nafkah.
Jangan lah berputus asa wahai ukhti, tidak semua wanita mulus jalannya,
setelah kelar study-nya kemudian ada pria sholeh yang melamarnya dan
siap menempatkannya dalam istana dan ketenangan rumah tangganya.
Tidak
semua wanita setelah menikah tinggal di bawah perlindungan seorang
suami yang kokoh bangunan rumah tangga dan ekonominya. Dan tidak semua
wanita memiliki orang tua yang siap men-supportnya dalam kondisi apapun
yang dialaminya. Bagi ikhwah yang mengalami banyak hal-hal sulit dan
harus berjuang dalam hidupnya, jangan lah runtuh semangatnya, cobaan
adalah ujian keimanan bagi kita umat islam, wujud cinta dari Rabb kita.
Di bawah ini ada beberapa fatwa Syaikh Bin Baz tentang hukum bekerja
bagi wanita juga kedudukan gaji yang diperolehnya. Semoga bermanfaat
bagi ukhti sekaliyan, dan menjadikan kita selalu berjalan diatas koridor
ilmu, menggigit erat-erat sunnah, dan berjalan semampu kita, se-idealis
yang bisa kita kerjakan. Wallohu a'lam.
Syaikh Bin Baz ditanya
tentang apa hukum bekerja bagi seorang wanita dan apa lapangan pekerjaan
yang dibolehkan bagi seorang wanita. Beliau pun menjawab sebagai
berikut:
Tidak seorang pun ulama yang melarang kaum wanita untuk
bekerja mencari uang. Perbedaan pendapat hanya terjadi mengenai lapangan
pekerjaan apa yang boleh untuk dirambah oleh kaum wanita. Penjelasannya
adalah bahwa seorang wanita memiliki tanggung jawab menyelesaikan
beberapa tugas rumah tangga dalam keluarganya seperti memasak,
membersihkan rumah, mencuci pakaian dan semua jenis bantuan yang bisa ia
lakukan untuk rumah tangga dan keluarganya.
Adapun untuk
lapangan pekerjaan di luar rumah yang diperbolehkan bagi kaum wanita
adalah seperti menjadi seorang guru dan pedagang. Sebagai contoh kerja
di pabrik jahit atau lapangan pekerjaan lain yang tidak membawa
terbukanya maksiyat yang dilarang oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala,
seperti berduaan di tempat kerja dengan laki-laki asing, atau bercampur
di tempat kerja dengan laki-laki yang bukan mahram-nya (ikhtilat),
karena besar kemungkinannya hal ini akan melahirkan fitnah bagi dirinya
dan rumah tangganya. Pekerjaan lain yang membuat dirinya lalai melakukan
tugas rumah tangganya (tanpa menunjuk seseorang untuk
mengurusnya/pembantu atau saudara) juga dilarang dalam agama. Bekerja
(Pekerjaan) tanpa izin keluarga dan atau suaminya juga larangan dalam
agama islam
Beberapa Kesimpulan yang bisa diambil:
1.
Kewajiban utama wanita adalah dirumahnya dan tetap dirumahnya,
menjalankan segala aktivitas rumah tangganya. Itu adalah keutamaan yang
tidak bisa dibeli dan dibandingkan dengan kesuksesan karirnya di luar
rumah, begitu banyak hadist dan sunnah rasulullah menjelaskan tentang
keutamaan dan kedudukan kaum wanita di dalam rumahnya.
2.
Kewajiban dan keutamaan diatas menjadikan pertimbangan utama bagi kaum
wanita ketika memutuskan untuk bekerja diluar rumahnya.
3. Cukup
dan tidaknya penghasilan suami adalah tergantung pada bagaimana setiap
diri muslim bersikap wara' dan zuhud terhadap dunia. Ilmu dan agama lah
yang menjadi filternya. Hal ini juga pertimbangan tambahan untuk wanita
bila memutuskan bekerja.
4. Bekerja boleh bagi wanita, hanya saja
harus ada syarat-syarat syar'i yang harus dipenuhi seperti penjelasan
Syaikh Bin Baz rahimahullahu ta'ala diatas. Adapun jika dihubungkan
dengan kondisi Indonesia yang serba penuh dengan ikhtilat, di sekolah,
kampus, perkantoran, pasar dan perdagangan. Wallahu a'lam bi shawwab.
Hal ini menjadi PR dan bahan renungan bagi kita semua kaum wanita.
Wanita yang sholeh dan cerdas adalah wanita yang tahu apa-apa yang
dibutuhkannya bagi dunia dan terutama akhiratnya. Mengenali diri pribadi
dan potensi diri, dengan pembekalan ilmu dan agama yang cukup sangat
dibutuhkan bagi kaum wanita untuk tetap tegar, bersabar dalam kehidupan,
wara' dan memilih serta mencari yang terbaik bagi dirinya dan agamanya.
(1) Fatwa no. 4167 tanggal 11/11/1401 H
Syaikh
Bin Baz ditanya apa hukumnya menggunakan gaji wanita yang bekerja di
luar rumahnya, bagaimana halnya jika penampilannya waktu pergi bekerja
seperti dandanan orang jahiliyah atau membuka aurat (tabaruj). Demikian
pula bagaimana hukumnya memberi uang beasiswa pada mahasiswi yang
belajar di perguruan tinggi sedangkan ia ke kampus dengan dandanan
seperti orang jahiliyah (tabaruj)?
Jawaban beliau:
Pertama,
hukum asalnya, seorang wanita tidak boleh keluar rumah kecuali atas
izin suaminya (bagi yang sudah menikah). Bila suaminya telah
mengizinkan, maka ia boleh keluar dengan dandanan yang tidak mengundang
kaum laki-laki untuk tertarik melihatnya, ia mesti memakai hijab syar'i
dan tidak tabarruj (1). Seperti larangan Allah Subhanahu Wa Ta'ala dalam
Qs. Al-Ahzab:33),
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلا تَبَرَّجْنَ
تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الأولَى وَأَقِمْنَ الصَّلاةَ وآتِينَ
الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ
لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ
تَطْهِيرًا
yang artinya: "Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan
janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang
Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan
taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak
menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu
sebersih-bersihnya."
Para suami berhak melarang istrinya keluar
rumah dalam keadaan berhias seperti orang jahiliyah. Sedangkan gaji
wanita tersebut yang ia peroleh dari bekerja di luar rumah, dan dengan
berhias seperti orang jahiliyah pun, boleh hukumnya untuk dikonsumsi
asal pekerjaan yang dikerjaan sesuai syari'at (halal), Walaupun wanita
tersebut tetap terkena dosa karena dandanan jahiliyahnya. Akan tetapi
bila pekerjaan tersebut sifatnya haram, maka memakan gaji yang
dihasilkannya juga haram (2). Dan wanita tersebut terkena dosa lipat
karena melakukan pekerjaan yang haram dan berdandan yang diharamkan.
Kedua,
mahasiswi yang pergi ke kampus wajib memakai hijab syar'i. Sedangkan
uang beasiswa yang diserahkan kepadanya, hukumnya sama dengan gaji, yang
ia peroleh dengan statusnya sebagai pelajar, halal. Akan tetapi jika
uang itu ia peroleh sebagai upah atas pekerjaan yang haram, maka
mengkonsumsinya hukumnya haram. Sementara dandanannya pergi kuliah yang
seperti orang jahiliyah itu tidak mempengaruhi hukum mengkonsumsi uang
yang diberikan kepadanya, yakni tetap halal. Dosa terletak karena
perbuatannya yang berdandan ala jahiliyah tersebut. Wabillahittaufiq (3)
==================================
(1)
mengenai hijab syar'i ada khilafiyah tentang memakai cadar/purdah bagi
wanita di kalangan ulama, ada yang mewajibkan, sebagaimana sebagian
besar ulama arab Saudi. Juga ada sebagian ulama yang mensunnahkannya,
sebagai contoh, Beliau Syaikh Albani Rahimahullahu ta'ala. Namun satu
hal penting yang harus dipegang, ulama yang mensunnahkan pemakaian
penutup wajah, juga tetap mengakui bahwa yang terbaik bagi wanita adalah
menutup seluruh anggota badannya, termasuk muka dan telapak tangannya.
Adapun standart pemakaian hijab secara umum menurut syar'i sudah banyak
kitab-kitab ulama yang membahasnya. Wallahu alam.
(2) Dengan kata
lain keharaman gaji dihubungkan dengan keharaman jenis pekerjaan yang
dilakukannya bukan dandanan jahiliyahnya. Jika pekerjaannya halal, maka
dosa tertimpa pada wanita tersebut karena dandanannya, tidak
mempengaruhi hukum memakan gajinya.
(3) fatwa No. 3429 tanggal 2/2/1401 H
Maroji:
183
Masalah Aktual Muslimah, Prof. Abdul Aziz Bin Baz dan Syaikh Muhammad
bin Shaleh Al-Utsaimin. Ditambah foot note, kesimpulan juga pembuka dari
penulis.
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama