Boleh
jadi kaum Muslim tak perlu lagi dinasihati perihal shalat. Sebagai
tiang agama dan kewajiban pertama setelah seseorang bersyahadat, shalat
merupakan ibadah luar biasa yang tiada bandingannya. Bahkan shalat wajib
haram ditinggalkan oleh seorang Muslim dalam keadaan apa pun sebelum
dirinya meninggal dunia. Wajar bila kita mudah menemukan stiker berbunyi
begini: Dirikanlah shalat, sebelum kamu dishalatkan.
Bila
sesama Muslim bertemu, salah satu pertanyaan yang terucap dalam obrolan
ialah, “Kamu sudah shalat belum?” Bahkan saking khas Islam, sebagian
kaum Muslim menolak memadankan shalat dengan istilah “sembahyang.”
Lepas
bahwa shalat merupakan bagian utama Islam, ternyata khazanahnya lebih
kaya dari yang saya sangka. Ini terbukti dari Kamus Shalat karya Muhsin
Labib (Arifa, 2008). Dalam kamus tersebut ragam shalat begitu banyak,
bahkan boleh jadi sebagian besar di antaranya merupakan sesuatu yang
baru dan mengayakan umat Islam. Penulis menghimpun 200 macam shalat,
mulai dari shalat wajib dan sunah yang tentu saja sudah dihayati kaum
Muslim, hingga shalat untuk berbagai keperluan khusus (misal shalat
ketika sakit atau di kendaraan), juga yang dilakukan oleh para imam
Ahlul Bayt. Khazanah sumber yang digunakan pun komprehensif, mengambil
kekayaan lima mazhab, ditambah berbagai kitab dan catatan rujukan.
Fikih
Ja’fari mendapat perhatian besar di kamus ini, misal dengan menekankan
bahwa shalat jenis tertentu hanya ada dalam fikih tersebut. Misal shalat
Isti’jar, yang dilakukan untuk menunaikan shalat wajib yang
ditinggalkan seseorang ketika dia masih hidup. Shalat ini dilakukan
berdasar perjanjian antara pelaku shalat yang disewa dengan orang yang
memberi wewenang kepadanya (hlm 83). Sebaliknya, fikih Ja’fari tak
memberlakukan shalat Muharamah, yakni waktu yang diharamkan melakukan
shalat, antara lain sesudah Subuh, sesudah Ashar sampai terbenam
matahari sampai waktu Magrib (hlm 179).
Dari
kamus ini kaum Muslim akan tahu betapa ajaran Islam tampak
sebentar-sebentar memaklumkan shalat untuk segala macam kesempatan. Ada
shalat mengharapkan kebebasan dari penjara, memohon jodoh, bahkan shalat
lapar. Jelas ini menunjukkan betapa shalat mendapat keistimewaan
sebagai pilihan cara beribadah. Ia lebih dari sekadar ritual dan
rutinitas, dan juga mengandung hikmah yang boleh jadi berkembang terus
sesuai kecenderungan zaman. Shalat bukan sekadar gerakan tertentu dengan
khasiat tertentu. Ia merupakan wasiat terakhir Nabi Muhammad SAW bagi
umat manusia yang memiliki banyak aspek.
Barangkali
demi fokus mengeksplorasi pada jenis shalat, Kamus Shalat kurang
menggali aspek seputar shalat, misal pra-shalat, adzan, rukun shalat,
sujud sahwi, doa qunut, termasuk bersuci (thaharah). Padahal, aspek
tersebut merupakan sesuatu yang menyatu dalam ibadah shalat. Boleh jadi
penulis beranggapan hal-hal seperti itu sudah diketahui Muslim sejak
awal, jadi diabaikan.
Saya
pernah dapat spam yang mengibaratkan shalat itu merupakan jadwal
keberangkatan pesawat. Bila terlambat satu menit saja, pesawat sudah
terbang meninggalkan kita. Tiada maaf bagi orang meski ia punya tiket
terbang, dan tiket itu akhirnya usang, tak bisa diuangkan, sementara
pemegangnya diam di tempat. Mereka malas menunggu orang yang barangkali
terlambat karena menolong nenek-nenek keserempet motor ugal-ugalan.
Toleransinya nol. Kesalahan ada di pihak yang terlambat. Karena itu
tunaikanlah shalat tepat waktu, siapa tahu kita terlambat mengerjakan
sedetik saja gara-gara didahului kedatangan malaikat Izrail. Kalau sudah
begitu fatal, kita kalah selangkah mengerjakan amal baik.
Saya
juga pernah menerima kiriman tentang Imam Ja`far Ash-Shaddiq yang
berkata, “Bila terdapat sungai kecil di rumah seseorang di antara kalian
yang dipakai untuk mandi lima kali dalam satu hari, apakah badannya
akan tetap terkena kotoran? Sesungguhnya permisalan shalat adalah sama
dengan permisalan sungai kecil tersebut. Orang yang mendirikan shalat
wajib akan menanggalkan dosa-dosanya, selain dosa yang mengeluarkan dia
dari keimanan yang dia percayai” (Bihar al-Anwar, jilid 82, hlm 236).
Kalau
begitu ceritanya, habis alasan untuk menghindari Dia: Dalam keadaan
sulit atau lega, seorang Muslim harus tetap bertemu Tuhan. Mau dalam
keadaan babak belur atau jengkel, difitnah, dijelek-jelekkan, kalah,
apalagi berdosa… Muslim harus kembali menunaikan shalat. Muslim
diharamkan cari alasan menghindari shalat. Meninggalkan shalat itu
toleransinya nol.
Membolak-balik
Kamus Shalat, saya bukan lagi mendapat satu-dua spam tentang keutamaan
shalat, melainkan khazanah yang amat luas perihal shalat dari berbagai
sumber Islam. Keluasan ilmu penulisnya sungguh merupakan kekayaan yang
patut dihargai sepantas mungkin.
Dengan
mendirikan shalat wajib saja, mestinya setiap Muslim bisa menebar
kebaikan dan mencegah perbuatan keji dan munkar. Apalagi bila mendirikan
berbagai shalat yang ada dalam kamus ini untuk berbagai aspek
kehidupan. Terbayang betapa shalat jelas merupakan batas pembeda antara
seorang Muslim dan kafir.
(Ditulis oleh Anwar Holid di kolom Pustaka
Republika Ahad 4 Mei 2008)
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama