PERTANYAAN
Telah terjadi polemik dalam beberapa
surat kabar di Kairo seputar masalah "cadar" yang dipakai sebagian remaja
muslimah, khususnya para mahasiswi. Hal itu berawal dari keputusan Pengadilan
Mesir yang menangani tuntutan mahasiswi beberapa perguruan tinggi, yang mengajukan tuntutan ke pengadilan karena
merasa teraniaya dengan keputusan sebagian dekan yang memaksa mereka melepas cadar apabila masuk
kampus.
Para mahasiswi itu mengatakan bahwa
mereka siap membuka tutup wajah mereka manakala diperlukan, apabila ada tuntutan dari pihak yang
bertanggung jawab, pada waktu ujian atau lainnya.
Seorang wartawan terkenal, Ustadz Ahmad Bahauddin, menulis artikel - dalam surat kabar al-Ahram - yang
isinya bertentangan dengan keputusan pengadilan.
Menurutnya, cadar dan penutup wajah itu merupakan bid'ah yang masuk ke kalangan Islam dan umat Islam. Hal
ini diperkuat oleh salah seorang dosen al-Azhar, yang mengaku
bahwa dirinya adalah Dekan Fakultas Ushuluddin, dan sedikit banyak tahu tentang
peradilan.
Kami mohon Ustadz berkenan menjelaskan tentang masalah yang masih campur aduk
antara yang hak dan yang batil ini. Semoga Allah berkenan memberikan balasan kepada Ustadz
dengan balasan yang sebaik-baiknya.
JAWABAN
Alhamdulillah, segala puji kepunyaan Allah, Rabb semesta alam. Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Rasul
paling mulia, junjungan kita Nabi Muhammad saw., kepada keluarganya, dan para sahabatnya.
Pada kenyataannya, mengidentifikasi cadar sebagai bid'ah yang datang dari luar serta sama
sekali bukan berasal dari agama dan bukan dari Islam, bahkan menyimpulkan bahwa cadar masuk ke kalangan umat Islam pada zaman
kemunduran yang parah, tidaklah ilmiah dan tidak tepat sasaran. Identifikasi seperti ini
hanyalah bentuk perluasan yang merusak inti persoalan dan hanya menyesatkan usaha untuk mencari kejelasan masalah yang sebenarnya.
Satu hal yang tidak akan disangkal
oleh siapa pun yang mengetahui
sumber-sumber ilmu dan pendapat ulama, bahwa masalah tersebut merupakan masalah
khilafiyah. Artinya, persoalan
apakah boleh membuka wajah atau wajib menutupnya - demikian pula dengan
hukum kedua telapak tangan - adalah masalah yang masih
diperselisihkan.
Masalah ini masih diperselisihkan
oleh para ulama, baik dari kalangan ahli fiqih, ahli tafsir, maupun ahli hadits, sejak zaman
dahulu hingga sekarang.
Sebab perbedaan pendapat itu kembali kepada pandangan mereka terhadap nash-nash yang
berkenaan dengan masalah ini dan sejauh mana pemahaman mereka terhadapnya, karena tidak didapatinya nash yang
qath'i tsubut (jalan periwayatannya) dan dilalahnya (petunjuknya) mengenai masalah ini. Seandainya ada nash yang tegas (tidak samar), sudah tentu masalah ini
sudah terselesaikan.
Mereka berbeda pendapat dalam
menafsirkan firman Allah:
"... Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan
mereka kecuali yang biasa tampak daripadanya ..." (an-Nur: 31)
Mereka meriwayatkan dari Ibnu
Mas'ud, dia berkata bahwa yang dimaksud dengan "kecuali apa yang biasa tampak daripadanya" ialah pakaian dan jilbab, yakni pakaian luar yang tidak
mungkin disembunyikan.
Mereka juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa beliau menafsirkan "apa yang
biasa tampak" itu dengan celak dan cincin. Penafsiran yang sama juga diriwayatkan dari Anas bin
Malik. Dan penafsiran yang hampir sama lagi diriwayatkan dari Aisyah. Selain itu, kadang-kadang lbnu
Abbas menyamakan dengan celak dan cincin, terhadap pemerah kuku, gelang,
anting-anting, atau kalung.
Ada pula yang menganggap bahwa yang dimaksud dengan "perhiasan" disini ialah
tempatnya. Ibnu Abbas berkata, "(Yang dimaksud ialah) bagian wajah dan telapak tangan." Dan penafsiran serupa
juga diriwayatkan dari Sa'id bin Jubair, Atha', dan
lain-lain.
Sebagian ulama
lagi menganggap bahwa
sebagian dari lengan termasuk "apa yang biasa
tampak" itu.
Ibnu Athiyah menafsirkannya dengan apa yang tampak secara darurat, misalnya karena dihembus angin atau lainnya.1
Mereka juga berbeda pendapat dalam menafsirkan firman Allah:
Mereka juga berbeda pendapat dalam menafsirkan firman Allah:
"Hai Nabi, katakanlah
kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-isti orang mukmin, 'Hendaklah mereka, mengulurkan jilbabnya ke
seluruh tubuh mereka.' Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan
Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang." (al-Ahzab:59)
Maka
apakah yang dimaksud dengan
"mengulurkan jilbab" dalam ayat tersebut?
Mereka meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang merupakan kebalikan dari penafsirannya terhadap ayat pertama. Mereka meriwayatkan dari sebagian tabi'in - Ubaidah as-Salmani - bahwa beliau menafsirkan "mengulurkan jilbab" itu dengan penafsiran
praktis (dalam bentuk peragaan), yaitu beliau menutup muka
dan kepala beliau, dan membuka mata beliau yang sebelah kiri. Demikian pula yang diriwayatkan dari Muhammad
Ka'ab al-Qurazhi.
Tetapi penafsiran
kedua beliau ini ditentang oleh Ikrimah, maula (mantan budak) Ibnu
Abbas. Dia berkata, "Hendaklah ia
(wanita) menutup lubang
(pangkal) tenggorokannya dengan
jilbabnya, dengan mengulurkan jilbab tersebut atasnya."
Sa'id bin Jubair berkata, "Tidak
halal bagi wanita muslimah dilihat
oleh lelaki asing
kecuali ia mengenakan kain
di atas kerudungnya, dan
ia mengikatkannya pada kepalanya dan
lehernya."2
Dalam hal ini
saya termasuk orang
yang menguatkan pendapat yang mengatakan bahwa wajah dan kedua telapak tangan bukan aurat dan tidak wajib
bagi wanita muslimah menutupnya. Karena menurut saya, dalil-dalil pendapat ini lebih kuat daripada pendapat
yang lain.
Disamping itu, banyak sekali ulama
zaman sekarang yang sependapat dengan saya, misalnya Syekh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam
kitabnya Hijabul Mar'atil Muslimah fil-Kitab was-Sunnah dan mayoritas
ulama al-Azhar di
Mesir, ulama Zaitunah
di Tunisia, Qarawiyyin di Maghrib (Maroko), dan tidak sedikit dari ulama Pakistan, India, Turki, dan
lain-lain.
Meskipun demikian, dakwaan (klaim)
adanya ijma' ulamasekarang terhadap
pendapat ini juga tidaklah benar,karena di
kalangan ulama Mesir
sendiri ada yang menentangnya.
Ulama-ulama Saudi dan sejumlah ulama negara-negara Teluk menentang pendapat ini, dan sebagai tokohnya adalah ulama besar Syekh Abdul Aziz
bin Baz.
Banyak pula ulama Pakistan dan India yang menentang pendapat ini, mereka berpendapat kaum wanita wajib menutup mukanya.
Dan diantara ulama
terkenal yang berpendapat demikian
ialah ulama besar dan da'i
terkenal, mujaddid Islam yang masyhur, yaitu al-Ustadz Abul A'la al-Maududi dalam kitabnya
al-Hijab.
Adapun diantara ulama masa kini yang
masih hidup yang mengumandangkan wajibnya menutup
muka bagi wanita ialah penulis kenamaan
dari Suriah, Dr.
Muhammad Sa'id Ramadhan al-Buthi, yang mengemukakan
pendapat ini dalam risalahnya Ilaa Kulli Fataatin
Tu'minu billaahi (Kepada setiap Remaja Putri yang Beriman
kepada Allah).
Disamping itu,
masih terus saja
bermunculan risalah-risalah dan fatwa-fatwa dari
waktu ke waktu yang
menganggap aib jika wanita
membuka wajah. Mereka menyeru kaum wanita dengan mengatasnamakan agama dan iman
agar mereka mengenakan cadar, dan menganjurkan agar jangan patuh kepada ulama-ulama "modern" yang ingin menyesuaikan
agama dengan peradaban
modern. Barangkali mereka
memasukkan saya kedalam
kelompok ulama seperti ini.
Jika dijumpai diantara wanita-wanita muslimah yang merasa mantap dengan pendapat ini,
dan menganggap membuka wajah itu haram, dan
menutupnya itu wajib, maka bagaimana kita
akan mewajibkan kepadanya
mengikuti pendapat lain, yang dia anggap keliru dan bertentangan dengan nash?
Kami hanya mengingkari mereka jika mereka memasukkan pendapatnya kepada orang lain, dan menganggap dosa dan fasik terhadap orang yang menerapkan
pendapat lain itu, serta menganggapnya sebagai
kemunkaran yang wajib diperangi, padahal para ulama muhaqiq telah sepakat mengenai tidak bolehnya menganggap munkar
terhadap masalah-masalah ijtihadiyah
khilafiyah.
Kalau kami mengingkari (menganggap
munkar) pelaksanaan pendapat yang
berbeda dengan pendapat kami - yaitu pendapat yang muttabar dalam bingkai
fiqih Islam yang lapang -
kemudian mencampakkan pendapat
tersebut dan tidak memberinya hak hidup, hanya semata-mata karena berbeda dengan
pendapat kami, berarti kami terjatuh kedalam hal yang terlarang,
yang justru kami
perangi dan kami seru manusia untuk membebaskan diri daripadanya.
Bahkan seandainya
wanita muslimah tersebut
tidak menganggap wajib
menutup muka, tetapi
ia hanya menganggapnya lebih
wara' dan lebih
takwa demi membebaskan diri
dari perselisihan pendapat, dan
dia mengamalkan yang lebih
hati-hati, maka siapakah
yang akan
melarang dia mengamalkan
pendapat yang lebih hati-hati untuk dirinya dan
agamanya? Dan apakah pantas dia
dicela selama tidak
mengganggu orang lain, dan tidak membahayakan kemaslahatan
(kepentingan) umum dan
khusus?
Saya mencela
penulis terkenal Ustadz Ahmad
Bahauddin yang menulis masalah ini dengan tidak merujuk kepada sumber-sumber tepercaya, lebih-lebih tulisannya ini dimaksudkan sebagai sanggahan terhadap putusan pengadilan khusus yang bergengsi. Sementara kalau dia menulis masalah politik, dia
menulisnya dengan cermat, penuh pertimbangan, dan dengan pandangan yang menyeluruh.
Boleh jadi
karena dia bersandar
pada sebagian tulisan-tulisan ringan yang tergesa-gesa dan sembarang yang membuatnya terjatuh ke dalam
kesalahan sehingga dia menganggap "cadar"
sebagai sesuatu yang munkar, dan dikiaskannya dengan "pakaian
renang" yang sama-sama tidak memberi kebebasan pribadi.
Tidak seorang pun ulama dahulu dan sekarang yang mengharamkan memakai cadar bagi wanita secara umum, kecuali hanya pada waktu ihram.Dalam hal ini
mereka hanya berbeda pendapat antara yang
mengatakannya wajib, mustahab, dan jaiz.
Sedangkan tentang keharamannya, tidak seorang pun ahli fiqih yang
berpendapat demikian, bahkan
yang memakruhkannya pun
tidak ada. Maka saya sangat heran kepada Ustadz Bahauddin yang mengecam
sebagian ulama al-Azhar yang
mewajibkan menutup muka (cadar) sebagai telah mengharamkan apa
yang dihalalkan Allah,
atau sebagai pendapat orang yang tidak
memiliki kemajuan dan pengetahuan yang
mendalam mengenai Al-Qur'an, as-Sunnah, fiqih, dan ushul Fiqih.
Kalau hal
itu hanya sekadar
mubah - sebagaimana pendapat yang saya pilih, bukan
wajib dan bukan
pula mustahab -
maka merupakan hak
bagi muslimah untuk membiasakannya, dan tidak boleh bagi
seseorang untuk melarangnya, karena
ia cuma melaksanakan hak pribadinya. Apalagi,
dalam membiasakan atau mengenakannya itu tidak merusak sesuatu yang wajib dan tidak membahayakan seseorang.
Ada pepatah Mesir
yang menyindir orang yang bersikap
demikian:
"Seseorang bertopang
dagu, mengapa Anda
kesal terhadapnya?"
Hukum buatan
manusia sendiri mengakui
hak-hak perseorangan ini dan melindunginya.
Bagaimana mungkin kita akan
mengingkari wanita muslimah yang komitmen pada agamanya dan
hendak memakai cadar, sementara diantara
mahasiswi-mahasiswi di perguruan tinggi itu ada yang mengenakan
pakaian mini, tipis, membentuk potongan tubuhnya yang dapat
menimbulkan fitnah (rangsangan), dan memakai bermacam-macam make-up, tanpa seorang pun yang mengingkarinya, karena
dianggapnya sebagai kebebasan pribadi. Padahal
pakaian yang tipis, yang
menampakkan kulit, atau tidak menutup bagian
tubuh selain wajah
dan kedua tangan
itu diharamkan oleh syara'
demikian menurut kesepakatan kaum
muslim.
Kalau pihak yang bertanggung jawab
di kampus melarang pakaian yang
seronok itu, sudah tentu akan didukung oleh syara'
dan undang-undang yang
telah menetapkan bahwa agama
resmi negara adalah
Islam, dan bahwa hukum-hukum syariat
Islam merupakan sumber
pokok perundang-undangan.
Namun kenyataannya, tidak seorang
pun yang melarangnya!
Sungguh mengherankan! Mengapa wanita-wanita
yang berpakaian tetapi telanjang, yang
berlenggak-lenggok dan bergaya untuk memikat orang lain kepada
kemaksiatan dibebaskan saja tanpa ada seorang pun yang menegurnya? Kemudian mereka
tumpahkan seluruh kebencian dan celaan serta caci maki terhadap wanita-wanita bercadar,
yang berkeyakinan bahwa hal itu termasuk ajaran agama yang tidak
boleh disia-siakan atau dibuat sembarang?
Kepada Allah-lah kembalinya segala
urusan sebelum dan sesudahnya. Tidak ada daya untuk menjauhi kemaksiatan dan
tidak ada kekuatan untuk melakukan ketaatan kecuali dengan pertolongan
Catatan kaki:
1 Lihat penafsiran ayat ini oleh
Ibnu Jarir, Ibnu Katsir, al-Qurthubi, dan pada ad-Durrul Mantsur (5: 41-42),
dan lain-lain.
2 Lihat: ad-Durrul Mantsur, 5:
221-222, dan sumber-sumber terdahulu mengenai penafsiran ayat tersebut.
-----------------------
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi
Gema Insani Press
Jln. Kalibata Utara II No. 84
Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388
ISBN 979-561-276-X
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama