
Dalam melaksanakan puasa Sunnah, ada suatu aturan yang mesti
diperhatikan oleh wanita muslimah. Aturan yang dimaksud adalah ia harus
meminta izin pada suaminya ketika ingin menjalankan puasa sunnah.
Keterangan selengkapnya silakan disimak dengan seksama dalam risalah
berikut.
Dalil Pendukung
Para fuqoha telah sepakat bahwa seorang wanita tidak diperkenankan untuk melaksanakan puasa sunnah melainkan dengan izin suaminya.[1]
Dalam hadits yang muttafaqun ‘alaih, dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tidaklah halal bagi seorang wanita untuk berpuasa sedangkan suaminya ada (tidak bepergian) kecuali dengan izin suaminya.”[2]
Dalam lafazh lainnya disebutkan,
لاَ تَصُومُ الْمَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ غَيْرَ رَمَضَانَ
“Tidak boleh seorang wanita berpuasa selain Ramadhan sedangkan suaminya sedang ada (tidak bepergian) kecuali dengan izin suaminya”[3]
Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan izin bisa jadi dengan ridho suami. Ridho suami sudah sama dengan izinnya.[4]
An Nawawi rahimahullah menerangkan, “Larangan pada hadits di
atas dimaksudkan untuk puasa tathowwu’ dan puasa sunnah yang tidak
ditentukan waktunya. Menurut ulama Syafi’iyah, larangan yang dimaksudkan
dalam hadits di atas adalah larangan haram.”[5]
Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud
larangan puasa tanpa izin suami di sini adalah untuk puasa selain puasa
di bulan Ramadhan. Adapun jika puasanya adalah wajib, dilakukan di luar
Ramadhan dan waktunya masih lapang untuk menunaikannya, maka tetap
harus dengan izin suami. ... Hadits ini menunjukkan diharamkannya puasa
yang dimaksudkan tanpa izin suami. Demikianlah pendapat mayoritas
ulama.”[6]
Dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah disebutkan, “Jika seorang wanita menjalankan puasa (selain puasa Ramadhan) tanpa izin suaminya, puasanya tetap sah, namun ia telah melakukan keharaman. Demikian pendapat mayoritas fuqoha. Ulama Hanafiyah menganggapnya makruh tahrim. Ulama Syafi’iyah menyatakan seperti itu haram jika puasanya berulang kali.
Akan tetapi jika puasanya tidak berulang kali (artinya, memiliki
batasan waktu tertentu) seperti puasa ‘Arofah, puasa ‘Asyura, puasa enam
hari di bulan Syawal, maka boleh dilakukan tanpa izin suami, kecuali
jika memang suami melarangnya.”[7]
Jadi, puasa yang mesti dilakukan dengan izin suami
ada dua macam: (1) puasa sunnah yang tidak memiliki batasan waktu
tertentu (seperti puasa senin kamis[8]),
(2) puasa wajib yang masih ada waktu longgar untuk melakukannya. Contoh
dari yang kedua adalah qodho’ puasa yang waktunya masih longgar sampai
Ramadhan berikutnya.[9]
Jika Suami Tidak di Tempat
Berdasarkan pemahaman dalil yang telah disebutkan, jika suami tidak di tempat,
maka istri tidak perlu meminta izin pada suami ketika ingin melakukan
puasa sunnah. Keadaan yang dimaksudkan seperti ketika suami sedang bersafar, sedang sakit, sedang berihrom atau suami sendiri sedang puasa.[10]
Kondisi sakit membuat suami tidak mungkin melakukan jima’ (hubungan
badan). Keadaan ihrom terlarang untuk jima’, begitu pula ketika suami
sedang puasa. Inilah yang dimaksud kondisi suami tidak di tempat.
Hikmah Mengapa Harus dengan Izin Suami
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah menerangkan, “Dalam
hadits yang menerangkan masalah ini terdapat pelajaran bahwa menunaikan
hak suami itu lebih utama daripada menjalankan kebaikan yang hukumnya
sunnah. Karena menunaikan hak suami adalah suatu kewajiban. Menjalankan
yang wajib tentu mesti didahulukan dari menjalankan ibadah yang sifatnya
sunnah.”[11]
An Nawawi rahimahullah menerangkan, “Sebab terlarangnya
berpuasa tanpa izin suami di atas adalah karena suami memiliki hak untuk
bersenang-senang (dengan bersetubuh, pen) bersama pasangannya setiap
harinya. Hak suami ini tidak bisa ditunda karena sebab ia melakukan
puasa sunnah atau melakukan puasa wajib yang masih bisa ditunda.”[12]
Semoga sajian singkat ini bermanfaat bagi wanita muslimah dan pembaca
rumaysho.com lainnya. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya
segala kebaikan menjadi sempurna.
Selesai disusun setelah ‘Isya’, 5 Ramadhan 1431 H (13/09/2010), di Panggang-Gunung Kidul
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
[1] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9996, index “Shoum At Tathowwu’ “, point 21.
[2] HR. Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026.
[3] HR. Abu Daud no. 2458. An Nawawi dalam Al Majmu’ (6/392) mengatakan, “Sanad riwayat ini shahih sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim.”
[4] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9997, index “Shoum At Tathowwu’ “, point 21.
[5] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, Dar Ihya’ At Turots, 1392, 7/115.
[6] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, Darul Ma’rifah, 1379, 9/295
[7] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9997, index “Shoum At Tathowwu’ “, point 21.
[8] Puasa senin kamis bisa saja dilaksanakan di minggu-minggu berikutnya. Jadi waktunya begitu longgar.
[9]
Ini berarti kalau puasanya adalah puasa Syawal, maka boleh tanpa izin
suami karena puasa Syawal adalah puasa yang memiliki batasan waktu
tertentu hanya di bulan Syawal.
[10] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9997, index “Shoum At Tathowwu’ “, point 21; dan lihat Fathul Bari, 9/296.
[11] Fathul Bari, 9/296.
[12] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/115
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama