Kedudukan Sunnah Dalam Menyikapi Penguasa Negeri

بسم الله الرحمن الرحيم

إن الحمد لله نحمده و نستعينه و نستغفره و نعوذ بالله من شرور أنفسنا و من سيئات أعمالنا من يهده الله فلا مضل له و من يضلل فلا هادي له و أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له و أشهد أن محمداً عبده و رسوله

{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ} (آل عمران:102) .

{ يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيراً وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيباً}. (النساء:1) .

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيداً . يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزاً عَظِيماً} (الأحزاب:70-71) .

فإن أصدق الكلام كلام الله و خير الهدي هدي محمد صلى الله عليه وسلم و شر الأمور محدثاتها و كل محدثة بدعة و كل بدعة ضلالة و كل ضلالة في النار .

أما بعد :

 

Pendahuluan


Ini adalah risalah yang ringkas, yang aku sebutkan padanya nash-nash dari Sunnah Nabawiyyah yang mutawatir dalam menjelaskan kewajiban mendengar dan taat kepada penguasa selama bukan dalam hal kemaksiatan, serta menjelaskan kewajiban menghormati, memuliakan dan menasehatinya, dan penjelasan tentang diharamkannya melepaskan baiat ketaatan dan haramnya memberontak terhadap mereka.

Sejumlah hadits-hadits Nabi Shallallahu'alaihi wasallam ini memberikan faedah peringatan dari sekte khawarij, yang pada hadits-hadits tersebut terdapat kecukupan bagi orang yang Allah pelihara dari terjerumus ke dalam sekte khawarij tersebut dan bagi orang yang tidak sependapat dengan mereka dan bersabar dalam menyikapi kedzaliman para penguasa dan pemimpin Negara, dan tidak melakukan perlawanan dengan pedang-nya terhadap mereka, serta memohon kepada Allah Ta’ala agar menghilangkan kedzaliman yang menimpa dirinya dan kaum muslimin dan mendoakan penguasa agar diberi kebaikan.



Jika penguasa memerintahkannya untuk taat dan memungkinkan baginya untuk mentaatinya maka hendaklah ia mentaatinya, dan apabila dia tidak mampu maka hendaklah dia meminta udzur kepada mereka. Dan jika mereka memerintahkan kepada kemaksiatan maka jangan ia mentaatinya, maka barangsiapa yang memiliki sifat ini maka dia berada diatas jalan yang lurus insya Allah (Asy-syari’ah, Al- ajurri:1/371).

Dan aku beri nama risalah ini “Kedudukan sunnah dalam menyikapi penguasa negeri”, hanya kepada Allah aku memohon agar menjadikan amalanku senantiasa bersih dari riya’ dan sum’ah, dan menjadikannya sebagai simpanan amalku pada hari yang tidak bermanfa’at harta dan anak keturunan, kecuali yang menghadap kepada-Nya dengan membawa hati yang suci.

Ditulis oleh: Abu Umar Ahmad bin Umar Bazemul
Pengajar di Ma’had Harom, Makkah Syarifah.

Keutamaan Seorang Pemimpin Yang Adil


Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam menjelaskan bahwa seorang pemimpin yang adil adalah seorang yang mengikuti perintah Allah dengan meletakkan sesuatu pada tempatnya tanpa berlebihan dan tidak pula meremehkan, maka dialah yang termasuk di antara yang mendapatkan perlindungan Allah pada hari kiamat pada hari yang tiada naungan kecuali naunganNya, dan bahwa dia termasuk diantara ahli surga, sebagaimana yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dalam shahihnya dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu'alaihi wasallam bersabda:

سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ إِمَامٌ عَادِلٌ وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ اللَّهِ وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ فِي خَلَاءٍ فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسْجِدِ وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ إِلَى نَفْسِهَا قَالَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا صَنَعَتْ يَمِينُهُ ".

”Ada tujuh golongan yang Allah beri naungan pada hari kiamat di bawah naungan-Nya dimana tidak ada naungan kecuali naungan-Nya: seorang pemimpin yang adil, seorang pemuda yang tumbuh dalam beribadah kepada Allah, seorang yang berdzikir kepada Allah dalam keadaan sendiri lalu berlinang air matanya, seorang laki-laki yang hatinya terpaut dengan masjid, dua orang yang saling mencintai karena Allah, seorang lelaki yang dirayu oleh seorang wanita berkedudukan dan berparas cantik lalu ia berkata: sesungguhnya aku takut kepada Allah, seorang yang bersedekah lalu dia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang dikerjakan oleh tangan kanannya.”

Dan dikeluarkan pula oleh Imam Muslim dalam shahihnya dari ‘Iyyadh bin Himar al- mujasyi’i bahwa Rasululullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda:

:" أَهْلُ الْجَنَّةِ ثَلَاثَةٌ ذُو سُلْطَانٍ مُقْسِطٌ مُتَصَدِّقٌ مُوَفَّقٌ وَرَجُلٌ رَحِيمٌ رَقِيقُ الْقَلْبِ لِكُلِّ ذِي قُرْبَى وَمُسْلِمٍ وَعَفِيفٌ مُتَعَفِّفٌ ذُو عِيَالٍ "

“Penduduk surga ada tiga golongan: penguasa yang adil, bersedekah dan mendapat taufik, dan seorang yang pengasih, berhati lembut kepada setiap kerabat dan setiap muslim, seorang yang miskin dan memelihara kehormatannya (merasa cukup dengan apa yang ada), dan memiliki tanggungan keluarga.”

Pemimpin yang adil adalah yang bijaksana dalam kepemimpinannya, dan seorang penguasa yang adil tidak tertolak do’anya sebagaimana yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam sunan-nya dari hadits Abu Hurairah berkata: bersabda Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam:

:" ثَلَاثَةٌ لَا تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ وَالْإِمَامُ الْعَادِلُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ يَرْفَعُهَا اللَّهُ فَوْقَ الْغَمَامِ وَيَفْتَحُ لَهَا أَبْوَابَ السَّمَاءِ وَيَقُولُ الرَّبُّ وَعِزَّتِي لَأَنْصُرَنَّكِ وَلَوْ بَعْدَ حِينٍ "

“Tiga golongan yang tidak ditolak do’anya: orang yang berpuasa hingga dia berbuka, seorang pemimpin yang adil, dan do’anya orang yang terdzalimi, Allah mengangkatnya di atas awan dan membukakan baginya pintu-pintu langit, dan Allah berfirman: “Demi kemuliaan-Ku, aku pasti akan menolongmu kapan saja.” (Riwayat ini dilemahkan Al- Allamah Al-Albani dalam silsilah al-ahadits adh-dho’ifah:jil:3, no: 1358. -Pent.)

Mencintai Penguasa, Memuliakan, Dan Menghormatinya 


Sesungguhnya seorang pemimpin negara telah menguras kemampuannya, waktunya untuk memelihara kemaslahatan rakyatnya, dan memberikan berbagai jalan-jalan kemudahan bagi mereka, dan menolak adanya marabahaya dan kejelekan dari mereka dengan izin Allah Azza wajalla. Oleh karenanya, dialah yang memelihara kita, sebagaimana yang telah dikeluarkan Al Bukhari dalam shahihnya dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda:

" كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ "

“Kalian semua adalah pemelihara, dan kalian semua akan ditanya tentang peliharaannya, seorang pemimpin akan ditanya tentang rakyatnya.”

Maka wajib bagi kita untuk mengetahui kedudukannya dan menghormatinya, bahkan mencintai apa yang telah dia tegakkan dari berbagai tugas yang berat dan tanggung jawab yang sempurna.Telah dikeluarkan Imam Muslim dalam shahihnya dari ‘Auf bin Malik Al-asyja’i berkata: bersabda Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam :

:" خِيَارُ أَئِمَّتِكُمِ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ "

“ Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian, kalian mendo’akan mereka dan mereka mendo’akan kalian.”

Barangsiapa yang memuliakan dan menghormati penguasanya, maka Allah akan memuliakannya pada hari kiamat, dan barangsiapa yang tidak memuliakannya, maka Allah akan menghinakannya pada hari kiamat sebagaimana yang dikeluarkan Imam Ahmad dalam musnad- nya dari Abu Bakroh berkata: aku mendengar Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda:

" مَنْ أَكْرَمَ سُلْطَانَ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فِي الدُّنْيَا أَكْرَمَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فِي الدُّنْيَا أَهَانَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ".

“Barangsiapa yang memuliakan penguasanya Allah tabaroka wata’ala di dunia, maka Allah akan memuliakannya pada hari kiamat, dan barangsiapa yang menghinakan penguasanya Allah tabaroka wata’ala di dunia maka Allah akan menghinakannya pada hari kiamat.” (Sanadnya dho’if, dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang bernama Ziyad bin Kusaib Al- Adawi. Berkata Al-Hafidz: maqbul. -pent)

Dan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjelaskan bahwa yang ingin menemui penguasa dalam rangka memuliakannya maka senantiasa dia mendapat jaminan dari Allah Ta’ala sebagaimana yang dikeluarkan Imam Ahmad dalam musnad-nya dari Mu’adz berkata:

" عَهِدَ إِلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلمَ فِي خَمْسٍ مَنْ فَعَلَ مِنْهُنَّ كَانَ ضَامِنًا عَلَى اللَّهِ مَنْ عَادَ مَرِيضًا أَوْ خَرَجَ مَعَ جَنَازَةٍ أَوْ خَرَجَ غَازِيًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَوْ دَخَلَ عَلَى إِمَامٍ يُرِيدُ بِذَلِكَ تَعْزِيرَهُ وَتَوْقِيرَهُ أَوْ قَعَدَ فِي بَيْتِهِ فَيَسْلَمُ النَّاسُ مِنْهُ وَيَسْلَمُ "

“Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam telah menjanjikan kami lima perkara yang barangsiapa yang melakukan salah satu darinya maka senantiasa dia mendapat jaminan keamanan dari Allah: barangsiapa yang mengunjungi orang sakit, atau keluar bersama jenazah, atau keluar berperang di jalan Allah atau menemui seorang imam yang dia ingin memuliakan dan menghormatinya ataukah duduk di rumahnya agar manusia selamat darinya dan diapun selamat.” (Hadits ini dishahihkan Al-Albani dalam shahih al-jami’:3253.-pent)

Dan adalah para ulama salaf mendatangi penguasa dan menghormatinya, sebagaimana yang diriwayatkan Ad-Darimi dalam musnad-nya dari Mughiroh rahimahullah bahwa dia berkata:

" كُنَّا نَهَابُ إِبْرَاهِيمَ هَيْبَةَ الْأَمِيرِ "

“Sesungguhnya kami segan kepada Ibrohim seperti segannya kami kepada penguasa.”

Hormatnya Ulama Kepada Pemerintah Bukan Menjilat


Sesungguhnya penghormatan para ulama terhadap penguasa merupakan hal yang sunnah dan merupakan petunjuk salafus shalih –semoga Allah meridhai mereka semua-, berbeda halnya apa yang diseru oleh sebagian orang-orang yang jahil bahwa penghormatan ulama kepada penguasa dengan tujuan mendapatkan kedudukan atau menjilat dihadapan para penguasa.

Berkata para Imam Dakwah: “Diantara yang perlu menjadi perhatian adalah apa yang disangka kebanyakan orang-orang yang jahil dalam hal tuduhan mereka terhadap ahli ilmu dan agama bahwa mereka menjilat, merendahkan kedudukannya, dan meninggalkan kewajiban yang wajib ditegakkannya dari perintah Allah subhanahu wata’ala dan menyembunyikan apa yang mereka ketahui dari kebenaran, dan berdiam diri untuk menjelaskannya. Sementara orang-orang jahil ini tidak tahu bahwa menggunjing ahli ilmu dan agama, dan merusak kehormatan kaum mukminin adalah racun pembunuh, penyakit terpendam, dan dosa yang jelas dan nyata. Allah Ta’ala berfirman:

وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَاناً وَإِثْماً مُبِيناً (الأحزاب:58)

“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mu'min dan mu'minat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS. Al-Ahzab:58)

Hukuman Bagi Orang Yang Menghinakan Penguasa


Barangsiapa yang merendahkan penguasa, maka sungguh dia telah melepaskan tali kekang Islam dari lehernya, sebagaimana yang dikeluarkan Imam Ahmad dalam musnadnya dari Abu Dzar radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa-alihi wasallam berkhutbah dihadapan kami lalu bersabda:

" إِنَّهُ كَائِنٌ بَعْدِي سُلْطَانٌ فَلَا تُذِلُّوهُ فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يُذِلَّهُ فَقَدْ خَلَعَ رِبْقَةَ الْإِسْلَامِ مِنْ عُنُقِهِ "

“Sesungguhnya akan muncul setelahku penguasa, maka janganlah engkau menghinakannya, barangsiapa yang ingin menghinakannya maka sungguh dia telah melepaskan tali kekang Islam dari lehernya.” (Hadits ini dilemahkan oleh Al-Albani rahimahullah Ta’ala dalam tahqiqnya terhadap kitab As- sunnah, karangan Ibnu Abi Ashim:no: 1020. -pent.)

Yang dimaksud ribqoh adalah tali yang diletakkan dileher hewan, dan yang dimaksud adalah perjanjian.

Berkata Ibnul Atsir: ribqoh asalnya adalah ikatan tali yang diletakkan pada leher binatang ternak atau ditangannya sehingga menahannya, maka digunakan istilah ini kepada Islam, yaitu apa yang seorang muslim mengikat dirinya dengannya berupa ikatan tali Islam, berupa batasan-batasannya, hukum-hukumnya, perintah dan larangannya.” (An-nihayah:2/190)

Wajib Mendengar Dan Taat Kepada Penguasa


Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ (النساء: من الآية59)

“Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar- benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS.An-Nisaa:59)

Berkata syeikhul Islam Ibnu Taymiyyah rahimahullah:

" طَاعَةُ اللهِ وَ رَسُوْلِهِ وَاجِبَةٌ عَلَى كُلِّ أَحَدٍ وَ طَاعَةُ وُلَاةِ الأُمُوْرِ وَاجِبَةٌ لِأَمْرِ اللهِ بِطَاعَتِهِمْ "

“Taat kepada Allah dan Rasul-Nya adalah kewajiban bagi setiap orang, dan taat kepada penguasa adalah kewajiban berdasarkan perintah Allah untuk mentaati mereka.” (Majmu’ fatawa:35/16)

Berkata Ibnu Katsir rahimahullah: “Secara zahir –wallahu a’lam- bahwa ayat ini umum mencakup setiap ulil amri dari para penguasa dan ulama (Tafsir Ibnu Katsir:1/530)

Dan berkata Imam Nawawi rahimahullah: ”Yang dimaksud dengan ulil amri adalah siapa yang Allah wajibkan untuk mentaatinya dan para pemimpin dan penguasa. Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama salaf dan khalaf dari kalangan ahli tafsir, fuqaha dan selainnya.” (Syarah Muslim,An-Nawawi:12/308)

Dan berkata As Syaikh Bin Baaz rahimahullah Ta’ala: ”Ayat ini adalah nash tentang wajibnya taat kepada ulil amri, yaitu penguasa dan para ulama, dan telah datang dalam sunnah yang shahih dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjelaskan bahwa ketaatan ini sifatnya harus, dan merupakan kewajiban selama dalam perkara ma’ruf.” (Al-ma’lum: 7)

Butuhnya Manusia Kepada Hakim Yang Mereka Dengar Dan Taati


Telah diketahui secara pasti dalam Islam bahwa tidak ada agama kecuali dengan jama’ah, dan tidak ada jama’ah kecuali dengan imamah, dan tidak ada imamah kecuali dengan mendengar dan taat, dan keluar dari ketaatan kepada waliyyul amri termasuk diantara sebab terbesar munculnya kerusakan diberbagai negara, rusaknya para hamba dan penyimpangan dari jalan hidayah dan petunjuk.” (Nasihah muhimmah:23)

Berkata Al Imam Al Hasan Al Bashri Rahimahullah Ta’ala:

و الله لا يستقيم الدين إلا بولاة الأمر و إن جاروا و ظلموا و الله لما يصلح الله بهم أكثر مما يفسدون

“Demi Allah, tidaklah tegak agama kecuali dengan penguasa, walaupun mereka berbuat kedzaliman, demi Allah apa yang mereka perbaiki lebih banyak daripada kerusakan mereka.” (Jami’ al-‘ulum wal hikam:2/117)

Berkata Ibnu Rojab Al Hambali Rahimahullah Ta’ala: ”Mendengar dan taat kepada yang mengatur urusan kaum muslimin, padanya terdapat kebahagiaan dunia, dan dengannya akan teratur kemaslahatan para hamba dalam mata pencaharian mereka, dan dengan sikap tersebut akan membantu mereka untuk menegakkan agamanya dan taat kepada robb-nya.” (Jami’ al-‘ulum wal hikam:2/117)

Dan keluar dari ketaatan kepada penguasa dan memberontak kepadanya dengan perang atau yang lainnya adalah merupakan kemaksiatan dan penyimpangan dari jalan Allah dan Rasul-Nya, dan menyelisihi keyakinan ahlus sunnah wal jama’ah dan as-salafus shaleh. (Lihat :an-nasihah al-muhimmah:29)

Taat Kepada Penguasa Berarti Taat Kepada Rasul Shallallahu 'Alaihi Wasallam


Telah dijelaskan oleh Nabi Shallallahu'alaihi wasallam bahwa mentaati penguasa merupakan bentuk ketaatan kepadanya Shallallahu'alaihi wasallam, sebagaimana yang dikeluarkan Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu dari Nabi Shallallahu'alaihi wasallam bersabda:

مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ يَعْصِنِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَمَنْ يُطِعِ الْأَمِيرَ فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ يَعْصِ الْأَمِيرَ فَقَدْ عَصَانِي

“Barangsiapa yang taat kepadaku maka sungguh dia telah taat kepada Allah dan barangsiapa yang durhaka kepadaku maka sungguh dia telah durhaka (bermaksiat) kepada Allah, dan barangsiapa yang mentaati pemimpin maka sungguh dia telah mentaatiku, dan barangsiapa yang durhaka kepada pemimpin maka sungguh dia telah durhaka kepadaku.”

Wasiat Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam Agar Mendengar Dan Taat Kepada Pemimpin


Bahkan Nabi Shallallahu'alaihi wasallam menjadikan kewajiban mendengar dan taat kepada pemimpin sebagai wasiat Beliau setelah wasiat taqwa kepada Allah azza wajalla, sebagaimana yang diriwayatkan Ad-Darimi dalam sunan-nya dari Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu’anhu berkata: Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam telah menasehati kami dengan nasehat yang sangat menyentuh, yang menyebabkan berlinang air mata kami, dan bergetar hati-hati kami, maka seseorang berkata: wahai Rasulullah, seakan-akan ini merupakan nasehat orang yang hendak berpisah, maka berikanlah kepada kami wasiat, maka Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda :

أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ كَانَ عَبْدًا حَبَشِيًّا "

“Aku wasiatkan kepada kalian agar bertaqwa kepada Allah, mendengar dan taat (kepada pemimpin) walaupun dia seorang budak dari habsyi.” (Di shahihkan Al-Albani dalam silsilah al-ahadits as-shahihah,jil:6.No: 2735. (penterjemah))

Dan dikeluarkan Imam Muslim dalam shahihnya dari Abu Dzar Radhiyallahu’anhu berkata:

 أَوْصَانِي أَنْ أَسْمَعَ وَأُطِيعَ:" إِنَّ خَلِيلِي  وَإِنْ كَانَ عَبْدًا مُجَدَّعَ الْأَطْرَافِ "

“Sesungguhnya kekasihku shallallahu alaihi wasallam telah mewasiatkan kepadaku agar aku mendengar dan taat walaupun dia seorang budak yang terpotong bagian- bagian tubuhnya.”

Perintah Mendengar Dan Taat Dalam Setiap Keadaan


Nabi shallallahu alaihi wasallam memerintahkan untuk senantiasa mendengar dan taat kepada penguasa dalam setiap keadaan, sebagaimana yang dikeluarkan Imam Muslim dalam shahihnya dari Abu Hurairoh Radhiyallahu’anhu berkata: bersabda Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam :

" عَلَيْكَ السَّمْعَ وَالطَّاعَةَ فِي عُسْرِكَ وَيُسْرِكَ وَمَنْشَطِكَ وَمَكْرَهِكَ وَأَثَرَةٍ عَلَيْكَ "

“Wajib atas kalian mendengar dan taat dalam keadaan sulitmu dan mudahmu, dalam keadaan rajinmu dan terpaksamu, dan mereka merampas hak-hakmu.”

Makna “mansyat” adalah disaat engkau rajin, dan makna “makroh” adalah disaat engkau benci, dan yang dimaksud adalah disaat engkau senang dan marah, sulit dan mudah.

Tidak Boleh Mendengar Dan Taat Dalam Kemaksiatan


Nabi Shallallahu'alaihi wasallam menjelaskan bahwa mendengar dan taat kepada penguasa adalah wajib selama tidak memerintahkan kepada kemaksiatan. Jika mereka memerintahkan untuk bermaksiat maka tidak boleh didengar dan ditaat dalam kemaksiatan tersebut secara khusus, adapun perintah yang lainnya maka tetap wajib didengar dan ditaati, sebagaimana yang dikeluarkan Imam Bukhari dalam shahihnya dari Abdullah radhiallahu anhu dari Nabi Shallallahu'alaihi wasallam bersabda:

" السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ حَقٌّ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ "

“Mendengar dan taat adalah kewajiban atas setiap muslim terhadap apa yang dia senangi dan yang dia benci, selama tidak diperintah untuk berbuat kemaksiatan, maka jika diperintah untuk bermaksiat maka tidak boleh mendengar dan taat.”

Berkata para Ulama: maknanya adalah: wajib mentaati penguasa disaat sulit dan tidak disukai oleh jiwa, dan selainnya selama dalam perkara yang bukan kemaksiatan. Jika berupa kemaksiatan maka tidak boleh mendengar dan taat. Sedangkan makna: “tidak boleh mendengar dan taat” adalah dalam perkara yang diperintahkan berbuat maksiat saja, jika diperintah untuk mengerjakan yang haram, maka wajib untuk tidak mentaatinya dalam perkara tersebut, maka jangan dia menurutinya, sebab taat kepada Allah lebih wajib. Dan jangan difahami bahwa jika diperintah berbuat maksiat maka tidak boleh mendengar dan taat secara mutlak dalam setiap perintahnya, namun dia tetap mendengar dan taat secara mutlak, kecuali dalam kemaksiatan maka tidak boleh mendengar dan taat. (Mu’amalatul hukkam: 78)

Berkata Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah: “Jika penguasa memerintahkan dengan suatu perintah, maka tidak terlepas dari tiga keadaan:

Pertama: bahwa itu termasuk yang Allah perintahkan, maka wajib bagi kita mematuhinya, karena adanya perintah Allah terhadapnya, dan perintah mereka pula. Maka jika mereka mengatakan: tegakkanlah sholat, maka wajib atas kita menegakkannya karena mematuhi perintah Allah dan mematuhi perintah mereka. Allah Ta’ala berfirman:

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ }

“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul-Nya dan ulil amri diantara kalian.” (QS.An-Nisaa: 59).

Kedua: mereka memerintahkan dengan sesuatu yang Allah melarangnya, maka dalam keadaan ini kita mengatakan: kami mendengar dan taat kepada Allah dan kami menyelisihi kalian, sebab tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada al-Kholiq, seperti kalau mereka mengatakan: janganlah kalian sholat jama’ah di masjid-masjid, maka kita menjawab: tidak boleh mendengar dan mentaatinya.

Keadaan Ketiga: mereka memerintahkan dengan sesuatu yang tidak terdapat perintah Allah dan Rasul-Nya, dan tidak terdapat pula larangan dari Allah dan Rasul- Nya: maka kita wajib mendengar dan taat. Kita tidak mentaati mereka karena mereka adalah si-ini dan si-itu, namun karena Allah yang memerintahkan kita untuk taat kepadanya, dan Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam memerintahkan hal itu kepada kita. Dimana beliau bersabda:

"اسمع و أطع و إن ضرب ظهرك و أخذ مالك"

“Dengar dan taatlah, walaupun dia memukul punggungmu dan merampas hartamu.” (Hadits ini dari Hudzaifah radhiallahu anhu, dishahihkan Al-Albani dalam silsilah al- ahadits as- shahihah,jil: 6, no:2739. (pent.))

Dan para shahabat Radhiyallahu’anhum bertanya kepada beliau shallallahu alaihi wasallam tentang para penguasa yang merampas harta mereka dan mengambil hak- hak rakyatnya? Maka beliau menjawab:

عليهم ما حملوا و عليكم ما حملتم

“Mereka menanggung atas perbuatan mereka (atas kedhalimannya), sedangkan kalian menanggung atas apa yang kalian lakukan.”

Dan beliau telah memikulkan kepada kita tanggung jawab untuk mendengar dan taat. (Dari kaset: taat kepada penguasa. (tambahan penerjemah): adapun hadits yang disebutkan diriwayatkan At-Thabrani dari Zaid bin Salamah Al-Ju’fi.dishahihkan Al- Albani dalam shahih al-jami’: 4088.)

Kesalahan Pendapat Yang Mengatakan: Tidak Boleh Mendengar Dan Taat Kepada Pemerintah


Diantara manusia ada yang mengatakan: tidak boleh mendengar dan taat kepada pemerintah dengan alasan bahwa hadits-hadits yang disebutkan tentang mendengar dan taat hanyalah pada imam yang menyeluruh (khalifah) bukan yang khusus, dan ini sudah tentu perkataan yang batil yang menyelisishi ijma’ para ahli ilmu.

Berkata syeikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab: ”Para imam dari setiap madzhab sepakat bahwa barangsiapa yang menguasai sebuah negeri, maka dia hukumnya sama dengan hukum imam dalam setiap keadaan, kalau bukan karena hal ini maka urusan dunia tidak akan tegak, sebab manusia semenjak zaman yang berkepanjangan, dari sebelum zaman imam Ahmad hingga zaman kita sekarang ini, mereka tidak sepakat di atas satu imam, namun mereka tidak mengetahui seorangpun dari ulama yang mengatakan bahwa tidak sah hukum apa pun yang diterapkan kecuali bila ada imam yang menyeluruh.” (Ad-duror as-saniyyah:7/239,dan mu’amalatul hukkam: 24)

Berkata Imam Asy-Syaukani: ”Merupakan hal yang dimaklumi bahwa pada setiap wilayah mempunyai penguasa tersendiri, demikian pula diwilayah lainnya, dan tidaklah mengapa bila terdapat beberapa penguasa, dan wajib mentaati setiap dari mereka setelah dibaiat oleh penduduk negeri tersebut yang akan menjalankan perintah dan larangannya, demikian pula penduduk dinegeri yang lain. Barangsiapa yang mengingkari ini maka dia telah mendustakan nash, dan tidak sepantasnya diajak berdialog tentang hujjah sebab dia tidak memahaminya.” (As-sail al-jarror:4/512.secara ringkas)

Kesalahan Orang Yang Mendudukkan Dirinya Seperti Penguasa


Di antara manusia ada yang mendudukkan dirinya seperti kedudukan penguasa yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan dalam mengatur manusia, maka diapun mengajak sekelompok manusia untuk mendengar dan taat kepadanya, ataukah sekelompok manusia itu membaiatnya untuk mereka dengar dan taati aturannya, padahal di negeri tersebut ada penguasa yang nampak ditengah mereka !

Tidaklah diragukan lagi bahwa ini merupakan kesalahan besar dan dosa yang berat, barangsiapa yang melakukan ini maka sungguh dia telah menentang Allah dan Rasul- Nya shallallahu alaihi wasallam, dan menyelisihi nash-nash syari’at, maka tidak wajib mentaatinya bahkan diharamkan, sebab dia tidak punya kekuasaan dan tidak punya kemampuan sama sekali, maka atas dasar apa ucapannya didengar dan ditaati sebagaimana didengar dan ditaatinya penguasa yang tegak dan nampak.

Berkata syeikhul Islam Ibnu Taymiyyah rahimahullah: “Nabi shallallahu alaihi wasallam memerintahkan untuk mentaati para pemimpin yang ada wujudnya dan diketahui memiliki kekuasaan yang dengannya mereka mampu untuk mengatur manusia, bukan mentaati yang tidak ada wujudnya dan yang majhul, dan juga tidak memiliki kekuasaan dan kemampuan sama sekali.” (Al-minhaj: 1/115)

Kesalahan Orang Yang Menyangka Bahwa Aturan Umum Tidak Wajib Didengar Dan Ditaati


Di antara manusia ada yang mengatakan: seseorang punya hak untuk keluar dari aturan umum yang telah diatur oleh pemerintah, dan tidak wajib terikat dengannya, dan tidak wajib mentaatinya, seperti tanda lalu lintas, pengurusan surat-surat paspor, dan yang lainnya. Dengan alasan bahwa itu tidak dibangun diatas pondasi syari’at, dan mentaati penguasa hanyalah dalam perkara- perkara syari’at saja, adapun dalam perkara yang mubah dan mandub (disukai) maka tidak wajib !!! Dan tidaklah diragukan bahwa kesalahan ini muncul dari minimnya ilmu yang dimilikinya.

Berkata Imam Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah Ta’ala: “Ini adalah suatu kebatilan dan kemungkaran, bahkan wajib hukumnya mendengar dan taat dalam perkara-perkara tersebut yang tidak ada kemungkaran padanya, Dimana penguasa telah mengaturnya demi kemaslahatan kaum muslimin, wajib tunduk terhadapnya, mendengar dan taat dalam perkara tersebut, sebab ini termasuk perkara yang ma’ruf yang memberi manfa’at kepada kaum muslimin.” (Al-ma’lum:19)

Berkata Al-Allamah Al-Mubarakfuri: “seorang pemimpin jika memerintahkan kepada perkara yang mandub dan mubah maka wajib (ditaati).” (Tuhfatul ahwadzi: 5/365)

Kesalahan Orang Yang Menyangka Bahwa Boleh Berpegang Kepada Dua Baiat


Sebagian manusia ada yang menyangka bahwa boleh baginya berpegang kepada dua baiat : baiat untuk penguasa muslim, dan baiat untuk pemimpin kelompoknya. Tidaklah diragukan bahwa ini merupakan kesalahan yang besar.

Berkata syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullah: “Tidak boleh bagi seseorang memegang dua baiat, baiat untuk penguasa yang menyeluruh di sebuah negeri, dan baiat untuk pemimpin kelompok yang dia berloyal kepadanya. Sementara Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda terhadap para musafir yang berjumlah tiga orang: “Hendaklan mereka mengangkat pemimpin salah seorang dari mereka.”, bukan berarti bahwa mereka berbaiat kepadanya, namun ini bermakna bahwa bagi suatu kumpulan manusia haruslah ada seseorang yang yang menjadi pemberi keputusan di antara mereka agar mereka tidak berselisih. Hal ini menunjukkan bahwa perselisihan, sepantasnya bagi kita berusaha untuk menutup pintunya dari setiap jalan.” (Dari kaset: taat kepada penguasa)

Kesalahan Orang Yang Menyangka Bahwa Dia Tidak Wajib Mendengar Dan Taat Karena Dia Tidak Pernah Berbaiat Kepada Penguasa


Sebagian manusia ada yang mengatakan: saya tidak pernah membaiat penguasa tersebut maka saya tidak wajib mendengar dan taat !. Tidak diragukan lagi bahwa ini adalah ucapan ngawur dan bodoh.

Berkata syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah rahimahullah: “Apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wasallam dari ketaatan kepada penguasa dan menasehati mereka adalah perkara yang wajib atas setiap manusia, walaupun dia tidak pernah mengikat perjanjian (baiat) kepadanya, dan walaupun dia tidak bersumpah dengan berbagai sumpah yang menekankan. ”(Al-majmu’:35/9)

Dan berkata Syaikh Bin Baaz: ”Jika kaum muslimin telah bersepakat di atas satu pemimpin, maka wajib secara keseluruhan untuk taat kepadanya, walaupun dia tidak secara langsung membaiatnya. Para shahabat dan kaum muslimin mereka tidak membaiat Abu Bakar, namun yang membaiatnya adalah penduduk Madinah, maka baiat tersebut berkonsekwensi bagi seluruhnya.” (Dari kaset: taat terhadap penguasa)

Panggilan Jihad Merupakan Kekhususan Penguasa


Jihad merupakan kekhususan yang paling agung dan yang terbesar dari kekhususan yang dimiliki penguasa. Maka bila setiap individu boleh menyerukannya maka akan membuat kekacauan. Maka kapan manusia, para ulama, atau para penuntut ilmu diperkenankan menyeru kepada jihad ? Jawabannya adalah apabila penguasa telah menyerukannya. Allah Ta’ala berfirman:

{ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَال }

“Berilah semangat kepada kaum mukminin untuk berperang.” (QS.al-anfal:65)

Maka kaum mukminin mengikuti penguasa dalam hal ini. (oleh alus syaikh, majalah dakwah, vol: 1816/16 sya’ban/ 1422 H (33))

Melakukan Qunut Dimasjid Harus Dengan Izin Penguasa 


Qunut merupakan hal yang dianjurkan dan bukan wajib hukumnya. Nabi Shallallahu'alaihi wasallam melakukan qunut dalam satu tragedi dan meninggalkan qunut ketika terjadi tragedi yang lain. Dan madzhab ahlul hadits serta pendapat Imam Ahmad dan yang dipilih oleh Syaikh Ibnu Utsaimin: bahwa qunut hanyalah bagi penguasa tertinggi, dan wakil imam boleh qunut dengan idzinnya menurut salah satu riwayat dari Imam Ahmad.

Dan Jumhur ulama berhujjah bahwa Nabi Shallallahu'alaihi wasallam hanyalah qunut di masjidnya yang paling besar dan masjid lain di Madinah tidak melakukan qunut, demikian pula di masa Umar, beliau qunut dan masjid lain tidak melakukannya.” (Sholeh alus syaikh, majalah dakwah, vol: 1816/16 sya’ban/1422 H (14))

Penguasa Berhak Melarang Seorang Alim Untuk Mengajar


Berkata syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah: ”Jika penguasa memandang untuk menyuruh salah seorang di antara kita untuk diam dan mengatakan: "kamu jangan berbicara!", maka ini adalah udzur di sisi Allah untuk saya tidak berbicara sebagaimana yang dia perintahkan kepadaku, sebab menjelaskan kebenaran hukumnya adalah fardhu kifayah, tidak terkhusus hanya kepada si Zaid atau Amr, sebab kalau kita menyandarkan kebenaran kepada individu tertentu, maka kebenaran akan mati dengan matinya orang tersebut. Namun kebenaran tidaklah disandarkan kepada individu tertentu. Anggaplah mereka melarang saya dengan mengatakan: "jangan kamu berbicara, jangan kamu berkhutbah, jangan kamu menjelaskan pelajaran!", maka saya mendengar dan taat.

Maka ketika saya pergi sholat, jika mereka izinkan saya untuk menjadi imam maka saya menjadi imam. Dan jika mereka mengatakan: "jangan kamu mengimami manusia!", maka akupun tidak mengimaminya dan cukup menjadi makmum, sebab hak tersebut telah didirikan oleh yang lain, dan bukan berarti bahwa jika mereka melarangku, berarti telah melarang semua manusia. Dan kami memiliki contoh dalam hal ini, dimana Ammar bin Yasir radhiallahu’anhu memberitakan dari Rasul Shallallahu alaihi wasallam bahwa beliau memerintahkan orang yang sedang junub untuk bertayammum, sedangkan Umar bin Khattab tidak memandang demikian, lalu Umar memanggilnya suatu hari lalu berkata: hadits yang engkau sampaikan kepada manusia bahwa orang junub bertayammum apabila tidak mendapatkan air? Maka dia menjawab: apakah engkau tidak mengingat ketika Nabi shallallahu alaihi wasallam mengutusku bersamamu dalam satu kebutuhan, lalu aku dalam keadaan junub, maka akupun berguling-guling di tanah. Lalu aku mendatangi Nabi shallallahu alaihi wasallam dan aku mengabarkannya dan beliau menjawab:”cukuplah bagimu berbuat dengan tanganmu demikian", lalu beliau mengajarkan tayammum. Akan tetapi wahai amirul mukminin, Sesungguhnya Allah telah mewajibkan atasku untuk taat kepadamu, maka jika engkau melihat untuk aku tidak memberitakannya, maka saya melakukannya.”

Allahu akbar, shahabat yang mulia menahan diri untuk memberitakan hadits dari Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam karena adanya perintah khalifah yang wajib ditaati, Namun Umar berkata kepadanya: "tidak, aku tidak mencegahmu, tapi aku menyerahkan hal tersebut kepadamu.”

Maka jika penguasa memandang untuk melarang kaset-kaset Ibnu Utsaimin, ataukah kaset Ibnu Baaz, atau kaset yang lainnya, maka kami tidak menolak diri. Adapun kalau kita hendak menjadikan adanya prosedur semacam ini untuk membangkitkan emosi masyarakat, terkhusus para pemuda, untuk menjadikan hati mereka benci kepada penguasanya, maka ini –demi Allah wahai saudaraku- merupakan kemaksiatan, dan merupakan salah satu faktor terbesar yang menimbulkan fitnah di kalangan manusia. Dan negeri kita (saudi) –sebagaimana yang telah kalian ketahui- merupakan negeri kecil, ruang lingkupnya kecil, yang di dalamnya terdapat jutaan kampung yang terpisah dan kabilah yang berbeda, kalau bukan karena Allah Azza wajalla menganugerahi kita dengan disatukannya kalimat diatas kekuasaan Abdul Aziz bin Su’ud, maka kita telah berpecah dan saling membunuh. Di negeri ini, salah satu dari orang tua kami mengabarkan kepadaku bahwa dahulu di bulan Ramadhan, mereka tidak keluar untuk sholat tarawih kecuali apabila setiap mereka membawa senjata disebabkan rasa takut yang terjadi di tengah negeri, adapun sekarang sudah dalam keadaan aman, apa persangkaan kalian jika hal ini berubah –semoga Allah tidak mentaqdirkannya-, apakah masih ada rasa aman seperti ini?. Sekarang ini seseorang tatkala keluar dalam keadaan mobilnya dipenuhi barang-barang berharga, apabila telah dikumandangkan adzan maghrib, dia turun sholat sedangkan mobilnya diletakkan di marmal hajar (Nama tempat kosong tanpa penghuni) atau didekatnya, dan dia tidak takut kecuali hanya kepada Allah. Mengapa kita tidak menghargai rasa aman ini? Mengapa kita tidak mengetahui bahwa jika hati manusia dalam keadaan saling membenci, maka rasa aman menjadi hilang dan manusia menjadi kalap.

Walaupun mereka melarang kaset si fulan dan fulan, tidak masalah, dan kita tetap mengatakan: kami memohon kepada Allah agar memberi hidayah kepada mereka. Apakah kita lebih berilmu, lebih faqih, lebih mengerti tentang agama daripada Imam Ahmad. Beliau dipukuli dan bahkan diseret dengan baghlah (Peranakan kuda,atau jenis kuda kecil), dipukul dengan cambuk sehingga beliau tidak sadarkan diri. Namun beliau tetap mengatakan: "jikalau sekiranya aku memiliki do’a yang mustajab, maka aku akan menujukannya untuk penguasa." Dan beliau tetap memanggil khalifah Ma’mun dengan sebutan Amirul mukminin, dalam keadaan Makmun menyeru kepada bid’ah yang besar, yaitu berpendapat bahwa Al-Qur’an makhluk, bahkan keyakinan ini mereka ajarkan di sekolah. Lalu bagaiman jika kita melihat hal tersebut ada pada penguasa kita? Apakah kalian mengetahui dari mereka (Maksudnya adalah pemerintah Sa’udi arabia) bahwa mereka mengajak kepada bid’ah lalu mengatakan: "barangsiapa yang menentang kami maka kami akan membunuhnya, atau memenjarakannya, atau memukulnya"? Aku tidak mengetahui adanya hal tersebut!

Sesunggunya ikhwan yang meributkan hal-hal seperti ini, mereka tidak membantu kecuali kepada sekularisme, apakah kaum sekuler sekarang ini senang negeri kita tetap ada? Tidak, sebab mereka tidak menghendaki Islam, mereka menginginkan negara komunis yang mensederajatkan setiap orang apakah dia yahudi, nashrani, penyembah berhala, ataukah muslim. Mereka senang bila penguasa negeri marah terhadap kalian dengan adanya selentingan seperti ini, sehingga mereka menghukum kalian, lalu mereka (rakyat) pun hendak menyikapi pemerintahnya, sebab masyarakat umum apabila hati mereka tidak senang kepada penguasanya, maka mereka membencinya dan marah kepadanya lalu berusaha menjatuhkan tahtanya dengan kekuatan, lalu mereka sendiri yang hendak menerapkan hukum setelah (runtuhnya kekuasaan sebelumnya) –semoga Allah tidak mentakdirkannya-. Perhatikanlah sekarang munculnya berbagai gejolak di Mesir, Irak, Syam, apa yang dialami kaum muslimin, apakah berubah keadaan mereka dari kejelekan menuju arah yang lebih baik, ataukah dari kejelekan kearah yang lebih jelek? Para pemuda yang yang bangkit amarah mereka dengan sebab perkara-perkara ini, mereka telah membantu kaum sekuler dengan bantuan gratis secara tidak langsung.” (Dar kaset: taat kepada penguasa) 

Wajib Iltizam (Komitmen) Kepada Jama’ah 


Sungguh Nabi Shallallahu alaihi wasallam telah menganjurkan untuk beriltizam (komitmen) kepada penguasa, dan tidak memberontak atasnya, sebagaimana yang dikeluarkan Imam Al Bukhari dalam shahih-nya dari Hudzaifah bin Yaman bahwa Nabi Shallallahu'alaihi wasallam berkata kepadanya tentang zaman kejahatan dan fitnah: “Hendaklah engkau komitmen terhadap jama’ah kaum muslimin dan pemimpinnya.”

Hal itu disebabkan karena penguasa adalah perisai dan pelindung bagi siapa yang bersamanya, sebagaimana yang dikeluarkan Imam Al Bukhari dan Muslim dalam shahih kedua nya dari Abu Hurairah Radhiallahu'anhu bahwa Nabi Shallallahu'alaihi wasallam bersabda:

:" إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ وَعَدَلَ فَإِنَّ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرًا وَإِنْ قَالَ بِغَيْرِهِ فَإِنَّ عَلَيْهِ مِنْهُ"

“Sesungguhnya pemimpin itu adalah perisai, yang (suatu kaum) berperang di belakangnya dan membentengi diri dengannya, Maka jika dia memerintahkan untuk bertaqwa kepada Allah dan berbuat adil, maka sesungguhnya dia mendapatkan pahala atas perbuatannya itu, namun jika dia berbuat yang lain, maka dia mendapat dosa.”

Penguasa Adalah Pemelihara, Dan Dia Sebagai Wali Bagi Yang Tidak Memiliki Wali


Telah dijelaskan oleh Nabi Shallallahu'alaihi wasallam bahwa penguasa adalah pemelihara kita, dan kita merupakan peliharaannya, sebagaimana yang dikeluarkan Imam Al Bukhari dalam shahihnya dari Ibnu Umar Radhiallahu'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda:

:" كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ "

“Setiap kalian adalah pemelihara, dan setiap kalian bertanggung jawab atas peliharaannya, seorang Imam adalah pemelihara, dan bertanggung jawab atas peliharaannya.”

Dan beliau Shallallahu'alaihi wasallam, menjelaskan bahwa siapa yang tidak mempunyai wali, maka penguasa adalah walinya, sebagaimana yang dikeluarkan Ibnu Majah dalam sunan-nya dari Aisyah Radhiallahu'anha berkata: bersabda Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam :

"السُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ ".

“Penguasa adalah wali bagi orang yang tidak mempunyai wali.” (Diriwayatkan oleh Ashabus sunan kecuali An-Nasaai dari hadits Aisyah radhiallahu anha. Dishahihkan Al- Albani dalam irwa’ al-gholil: 6/1840. (penerjemah))

Wajib Memuliakan Dan Menghormati Pemimpin, Dan Haramnya Merendahkan Dan Menghinakannya


Nabi Shallallahu'alaihi wasallam menjelaskan bahwa penguasa adalah wajib dimuliakan dan dihormati, dan diharamkan merendahkan dan menghinakannya. Sebagaimana yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam musnad-nya dan Tirmidzi dalam ”sunan” dari Ziyad bin Kusaib Al-Adawi berkata: aku pernah bersama Abu Bakroh dibawah mimbar Ibnu Amir dalam keadaan beliau sedang berkhutbah, memakai pakaian yang halus. Maka dia berkata Abi Bilal: lihatlah pemimpin kita, dia memakai pakaian orang fasiq. Maka Abu Bakroh berkata: diam kamu. Sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda:

مَنْ أَكْرَمَ سُلْطَانَ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فِي الدُّنْيَا أَكْرَمَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فِي الدُّنْيَا أَهَانَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ".

”Barangsiapa yang memuliakan penguasa Allah Tabaroka wata'ala di dunia, maka Allah akan memuliakannya pada hari kiamat, dan barangsiapa yang menghinakan penguasa Allah Tabaroka wata'ala didunia, maka Allah akan menghinakannya pada hari kiamat.” (Telah disebutkan sebelumnya bahwa sanadnya lemah. (penterjemah))

Maka perhatikanlah, bagaimana Abu Bakrah Radhiallahu'anhu menganggap sikap mencela dan menjelekkan penguasa termasuk menghinakannya. Imam Adz-Dzahabi rahimahullah mengomentari kisah ini dengan mengatakan: Abu Bilal ini seorang khawarij, dan termasuk kejahilannya, dia menganggap pakaian halus seseorang sebagai pakaian orang yang fasiq. (Siyaru a’laam an-nubala’:14/508)

Perintah Untuk Bersabar, Larangan Dari Meninggalkan Ketaatan Kepada Penguasa


Sebagaimana Nabi Shallallahu'alaihi wasallam memerintahkan untuk bersabar dan melarang dari melepaskan ketaatan (dalam perkara ma’ruf), walaupun dia melihat penguasa tersebut melakukan kemaksiatan, sebagaimana yang dikeluarkan Imam Muslim dalam shahihnya dari ‘Auf bin Malik berkata: telah bersabda Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam :

:" مَنْ وَلِيَ عَلَيْهِ وَالٍ فَرَآهُ يَأْتِي شَيْئًا مِنْ مَعْصِيَةِ اللَّهِ فَلْيَكْرَهْ مَا يَأْتِي مِنْ مَعْصِيَةِ اللَّهِ وَلَا يَنْزِعَنَّ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ "

“Barangsiapa yang memimpinnya, lalu dia melihat dia melakukan kemaksiatan kepada Allah, maka hendaklah dia membenci apa yang dia kerjakan dari maksiat kepada Allah dan jangan dia melepaskan diri dari ketaatan kepadanya (dalam hal yang ma’ruf)”

Dan dikeluarkan Imam Muslim dalam shahihnya dari Ibnu Abbas Radhiallahu'anhu dari Nabi Shallallahu'alaihi wasallam bersabda:

مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ مِنَ النَّاسِ خَرَجَ مِنَ السُّلْطَانِ شِبْرًا فَمَاتَ عَلَيْهِ إِلَّا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

“Barangsiapa yang melihat dari pemimpinnya sesuatu yang dibencinya, maka hendaklah dia bersabar, karena tidaklah seseorang keluar dari penguasa walapun sejengkal, melainkan dia mati seperti matinya kaum jahiliyyah.”

Dan Imam Al Bukhari mengeluarkan dalam tarikh-nya dari Wa’il bahwa dia bertanya kepada Nabi Shallallahu'alaihi wasallam : bagaimana jika kami memiliki pemimpin yang tidak mengamalkan ketaatan? Beliau Shallallahu'alaihi wasallam menjawab: “Mereka bertanggungjawab atas apa yang mereka pikul dan kalian pun bertanggung jawab atas apa yang kalian pikul”

Dan Imam Muslim mengeluarkan dalam shahihnya dari Hudzaifah bin Yaman Radhiallahu'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda:

:" يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ

“Akan muncul setelahku para pemimpin yang tidak mengambil petunjuk dari petunjukku dan tidak mengikuti sunnahku, dan akan tegak diantara mereka orang-orang yang hatinya adalah hati syetan dalam jasad manusia.”Aku bertanya, “apa yang akan aku lakukan wahai Rasulullah jika aku menemukan yang demikian.” Beliau menjawab: ”engkau mendengar dan taat kepada pemimpin walaupun dia memukul punggungmu dan mengambil hartamu, maka dengar dan taatlah.”

Maka perhatikanlah hadits yang agung ini yang kebanyakan manusia lari darinya, dimana Rasul Shallallahu'alaihi wasallam memerintahkan untuk taat kepada pemimpin walaupun pemimpin itu mendzaliminya dengan merampas harta dan memukul punggung. Maka bagaimana keadaan manusia yang tidak punya kesabaran dan ketaatan, pada mereka belum sampai kepada kondisi demikian ini –Walhamdulillah- bahkan demi Allah mereka dalam keadaan mendapatkan nikmat yang besar dan anugerah yang luar biasa.

Bersabar Dari Kedzaliman Penguasa Termasuk Prinsip Dakwah Salafiyyah


Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah : ”Bersabar terhadap kedzaliman penguasa adalah salah satu prinsip dari prinsip ahlus sunnah wal jama’ah”(Majmu’ fatawa: 28/179)

Dan ini benar, sebab perintah untuk bersabar terhadap kedzaliman penguasa dan penganiayaan mereka mendatangkan kemaslahatan dan menolak adanya kemudhoratan, juga menjadi kebaikan bagi hamba dan negara.

Berkata Ibnu Taimiyyah: “Apa yang terdapat pada kedzaliman mereka dan melampaui batas, apakah dengan penakwilan yang dibenarkan atau tidak, maka tidak boleh dihilangkan dengan sesuatu yang mendatangkan kedzaliman dan melampaui batas pula, sebagaimana kebiasaan kebanyakan manusia yang menghilangkan kejahatan dengan mendatangkan sesuatu yang lebih jahat, dan menghilangkan permusuhan dengan sesuatu yang lebih mendatangkan permusuhan, maka keluar dari ketaatan terhadap mereka menyebabkan kedzaliman dan kerusakan yang lebih dahsyat dari kedzaliman penguasa itu sendiri, maka hendaklah bersabar atasnya sebagaimana halnya sikap sabar ketika beramar ma’ruf nahi munkar atas kedzaliman yang diperintah dan yang dilarang dalam banyak nash.”(Majmu’ fatawa: 28/179)

Berkata Syaikh Bin Baaz: “Keluar dari penguasa menyebabkan kerusakan yang besar, dan kejahatan yang dahsyat, yang menyebabkan rasa aman menjadi hilang, dan terabaikan hak-hak, sehingga tidak memungkinkan untuk menghentikan kelakuan orang yang dzalim dan menolong yang terdzalimi.”(Al-ma’lum:9)

Dan berkata para imam dakwah: ”Apa yang dilakukan oleh para penguasa dari berbagai kemaksiatan dan penyelisihan syari’at yang tidak menyebabkan kekafiran dan keluar dari Islam, maka wajib menasehati mereka dengan cara yang syar’i dengan lemah lembut, dan mengikuti apa yang telah diamalkan salafus shalih dengan tidak menjelek-jelekkan mereka di berbagai majelis dan kumpulan manusia, lalu meyakini bahwa yang demikian itu termasuk dari nahi mungkar yang diingkari oleh setiap hamba. Ini adalah kesalahan fatal, dan kejahilan yang nampak, orang yang mengatakannya tidak mengetahui akibat dari perbuatan tersebut berupa kerusakan yang besar baik dalam dunia dan agama, sebagaimana yang telah diketahui hal tersebut oleh orang yang mendapatkan penerangan hati dari Allah dan mengenal metode salafus shalih dan para pemimpin agama.”(Nasihatun muhimmah:30)

Tatkala sebagian para ulama hendak melepaskan ketaatan dari kekuasaan khalifah al-Watsiq dengan sebab fitnah pernyataan “Al-qur’an itu makhluk”, Imam Ahmad mencegahnya dan mendebat sikap tersebut dan mengatakan: ”Hendaklah kalian mengingkarinya dengan hati-hati kalian, jangan kalian melepaskan ketaatan, dan memecahkan tongkat (persatuan) kaum muslimin, jangan kalian tumpahkan darah kalian dan darah kaum muslimin, darah kaum muslimin bersama kalian, hendaklah kalian memandang akibat perbuatan kalian, bersabarlah sampai merasa tenang orang yang baik, dan diistirahatkan dari orang yang fajir, dan bukanlah hal ini –yaitu melepaskan ketaatan dari penguasa – dibenarkan, ini menyelisihi atsar.”

Sebagian mereka ada yang mengatakan: “Sesungguhnya kami mengkhawatirkan atas anak-anak kami jika perkara ini semakin nampak, dan mereka tidak mengetahui selainnya, sehingga Islam menjadi hilang dan terhapus.”(Syubhat ini dijadikan hujjah kebanyakan mereka yang tidak bersabar atas kedzaliman penguasa!!! Maka perhatikanlah jawaban Imam Ahmad rahimahullah dengan baik,engkau mendapatinya sesuai dengan sunnah)

Maka Imam Ahmad mengatakan kepada mereka:

كلا إن الله عز و جل ناصر دينه و إن هذا الأمر له رب ينصره و إن الإسلام عزيز منيع

”Sekali-kali tidak, sesungguhnya Allah Azza wajalla menolong agamaNya, dan sesungguhnya perkara ini, ada Robb yang akan menolongnya, dan sesungguhnya Islam itu mulia dan terbentengi.”

Maka mereka keluar dari Abu Abdillah (Imam Ahmad), dan beliau tidak menjawab mereka sedikitpun dari perkara yang mereka inginkan melainkan beliau melarang dari perbuatan tersebut, dan membantah mereka untuk senantiasa mendengar dan taat sampai Allah menyelamatkan umat ini darinya, namun mereka tidak menerimanya. (Lihat: mihnah Imam Ahmad: 70-72, al-majmu’:12/488, dan al- mu’amalah:7)

Berkata Al-Allamah Imam Abdul Latif aalus syaikh rahimahullah :

“Mayoritas para pemimpin Islam dari masa Yazid bin Mu’awiyah, kecuali Umar bin Abdil Aziz dan siapa yang Allah kehendaki dari Bani Umayyah, telah terjadi dari mereka berbagai tindakan kelancangan, peristiwa yang besar, keluar dari ketaatan, kerusakan dalam kekuasaan kaum muslimin. Namun sejarah para imam, tokoh-tokoh, para pembesar Islam yang mulia adalah hal yang ma’ruf dan masyhur, mereka tidak melepaskan baiat dari mentaati sesuatu yang Allah dan Rasul-Nya perintahkan dari syari’at Islam. Tidak diketahui bahwa ada seseorang dari kalangan para imam yang melepaskan baiat dari ketaatan, dan tidak berpandangan bolehnya memberontak atas mereka.”(Ad-duror as-saniyyah : 7/177)

Barangsiapa Yang Melepas Ketaatannya, Tidak Ada Hujjah Baginya Pada Hari Kiamat


Nabi Shallallahu'alaihi wasallam telah menjelaskan bahwa barangsiapa yang melepaskan baiat taatnya, maka tidak ada hujjah baginya pada hari kiamat, dan keadaan matinya seperti matinya kaum jahiliyyah, sebagaimana yang dikeluarkan Imam Ahmad dalam musnadnya dari Ibnu Umar Radhiallahu'anhu berkata : bersabda Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam :

:" مَنْ خَرَجَ مِنَ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ فَمَاتَ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً "

“Barangsiapa yang melepaskan baiatnya dari ketaatan, maka dia tidak memiliki hujjah pada hari kiamat, dan barangsiapa yang mati dalam keadaan dia memisahkan diri dari jama’ah maka dia mati seperti matinya kaum jahiliyyah”(Bahkan Imam Muslim pun meriwayatkan hadits ini. (penterjemah))

Berkata Ibnu Abi Jamroh: ”Yang dimaksud memisahkan diri adalah berusaha melepaskan baiat yang telah sah dari seorang pemimpin, walau sekecil apapun, maka beliau menggunakan kata kiasan dengan “sejengkal”, sebab melakukan hal tersebut mengakibatkan tertumpahnya darah tanpa haq”.

Berkata Al-Hafidz: “Yang dimaksud dengan kematian ala jahiliyyah, adalah keadaan matinya seperti matinya kaum jahiliyyah diatas kesesatan dimana ia tidak memiliki seorang pemimpin yang ditaati, sebab mereka tidak mengenal itu, dan bukanlah yang dimaksud bahwa dia mati dalam keadaan kafir, namun dia mati dalam keadaan bermaksiat. (Fathul bari(13/7),dan al-mu’amalah: 68)

Barangsiapa Yang Melepaskan Ketaatannya, Termasuk Orang Yang Mengkhianati Janji Pada Hari Kiamat


Barangsiapa yang melepaskan ketaatannya, maka dia termasuk diantara orang yang ingkar janji pada hari kiamat, sebagaimana yang dikeluarkan Imam Bukhari dalam shahih-nya dari Nafi’ berkata: tatkala penduduk Madinah melepaskan ketaatannya dari Yazid bin Mu’awiyah, Ibnu Umar mengumpulkan para pelayan dan anak-anaknya, lalu berkata: sesungguhnya aku mendengar Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda: “Dipasang bendera bagi setiap yang mengkhianati janji pada hari kiamat”

Dan sesungguhnya kita telah membaiat orang ini (maksudnya Yazid bin Muawiyah, pent) diatas baiat Allah dan Rasul-Nya, dan sesungguhnya aku tidak mengetahui pengkhianatan yang lebih besar dari seseorang yang telah dibaiat di atas baiat Allah dan Rasul-Nya, lalu ditegakkan peperangan terhadapnya. Dan sesungguhnya aku tidak mengetahui seorangpun dari kalian yang melepaskan baiat dan tidak membaiat pemimpin ini melainkan itu adalah pemutus hubungan antaraku dengan dia.

Berkata al-Hafidz Ibnu Hajar: “Dalam hadits ini menunjukkan wajibnya mentaati pemimpin yang telah dtetapkan padanya baiat, dan larangan melakukan pemberontakan terhadapnya walaupun dia dzalim dalam hukumnya, dan sesungguhnya tidak terlepas (ketaatan) dengan sebab adanya kefasikan.”(Fathul bari:13\68)

Hukuman Bagi Yang Membaiat Penguasa Karena Dunia, Jika Dia Diberi Maka Dia Membaiat, Dan Jika Tidak Diberi Maka Dia Tidak Membaiat


Nabi Shallallahu'alaihi wasallam menjelaskan bahwa yang membaiat penguasa karena dunia, jika diberi dia menyempurnakan baiatnya, dan jika tidak maka dia tidak menyempurnakan baiatnya, maka Allah tidak akan berbicara dengannya, tidak memperhatikannya, dan tidak mensucikannya, dan baginya adzab yang pedih. Sebagaimana yang telah dikeluarkan oleh Imam Bukhari dalam shahih-nya dari Abu Hurairoh Radhiyallahu ‘anhu berkata: telah bersabda Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam :

ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ رَجُلٌ عَلَى فَضْلِ مَاءٍ بِطَرِيقٍ يَمْنَعُ مِنْهُ ابْنَ السَّبِيلِ وَرَجُلٌ بَايَعَ رَجُلًا لَا يُبَايِعُهُ إِلَّا لِلدُّنْيَا فَإِنْ أَعْطَاهُ مَا يُرِيدُ وَفَى لَهُ وَإِلَّا لَمْ يَفِ لَهُ وَرَجُلٌ سَاوَمَ رَجُلًا بِسِلْعَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ فَحَلَفَ بِاللَّهِ لَقَدْ أَعْطَى بِهَا كَذَا وَكَذَا فَأَخَذَهَا".

“Tiga golongan yang Allah tidak berbicara dengan mereka, Allah tidak memandang mereka, dan tidak mensucikan mereka, dan bagi mereka azab yang pedih: seseorang memiliki kelebihan air di sebuah jalan, yang dia mencegah ibnu sabil dari mengambilnya. Dan seseorang yang membaiat seorang (pemimpin), dia tidak membaiatnya kecuali hanya karena dunia, jika dia diberi apa yang dia inginkan maka dia menyempurnakan baiatnya, dan jika tidak maka dia tidak menyempurnakannya. Dan seseorang yang menjual barang dagangannya setelah ashar, lalu dia bersumpah dengan nama Allah, sungguh dia telah memberi seharga demikian, maka dia pun mengambilnya.”

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahumullah : “Barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya dengan menaati pemerintahnya karena Allah, maka pahalanya di sisi Allah, dan barangsiapa yang tidak taat kepadanya kecuali sebatas apa yang diperolehnya dari kekuasaan dan harta, jika mereka memberi maka diapun mentaatinya, dan jika mereka enggan memberi maka dia pun membangkang, maka dia tidak akan mendapat bagiannya di akhirat.”(Al-majmu’:35/16)

Perintah Bersabar Walaupun Mereka Lebih Mementingkan Haknya Dan Mencegah Hak Rakyat


Nabi Shallallahu'alaihi wasallam telah menjelaskan bahwa suatu saat nanti akan terjadi atsaroh, yang artinya adalah memonopoli sesuatu terhadap sesuatu yang lain yang memiliki hak padanya. Dan Nabi Shallallahu'alaihi wasallam tidak memerintahkan kita untuk keluar dari ketaatan kepadanya atau membangkang dari perintahnya, bahkan beliau memerintahkan untuk tetap menunaikan kewajibannya. Sebagaimana yang dikeluarkan Imam Bukhari dalam shahihnya dari Abdullah berkata: Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam berkata kepada kami:

إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ بَعْدِي أَثَرَةً وَأُمُورًا تُنْكِرُونَهَا قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَدُّوا إِلَيْهِمْ حَقَّهُمْ وَسَلُوا اللَّهَ حَقَّكُمْ "

“Sesungguhnya kalian akan melihat setelahku atsaroh, dan perkara-perkara yang kalian ingkari.” (para shahabat) bertanya: “Lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: ”Tunaikan kewajiban kalian untuk mereka, dan mintalah kepada Allah hak kalian (yang dirampas oleh mereka).”

Ucapan “perkara-perkara yang kalian ingkari”, maksudnya adalah dalam urusan agama.

Berkata Imam Nawawi Rahimahullah: “Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk senantiasa mendengar dan taat, walaupun pemimpin tersebut dzalim dan melampaui batas, maka diberi haknya berupa ketaatan dan tidak keluar darinya, dan tidak melepaskan (baiat) kepadanya, namun dia berdo’a kepada Allah agar menghilangkan gangguannya dan menolak kejahatannya dan memperbaikinya.”(Syarah Muslim: 12/322)

Hukum Pemerintah Yang Berhukum Dengan Selain Yang Diturunkan Allah


Berkata Syaikh Bin Baaz Rahimahullah : barangsiapa yang berhukum dengan selain yang diturunkan Allah, maka tidak keluar dari empat perkara:

1. Siapa yang berkata: “Saya berhukum dengannya, karena lebih afdhal dari syari’at Islam,” maka orang ini kafir dengan kufur akbar (mengeluarkan dari Islam).

2. Barangsiapa yang berkata: “Saya berhukum dengannya, karena seperti syari’at Islam, maka berhukum denganya boleh dan dengan syari’at Islam pun boleh,” maka orang ini kafir dengan kufur akbar.

3. Dan siapa yang berkata: “Saya berhukum dengan ini, dan berhukum dengan syari’at Islam lebih afdhal, namun boleh berhukum dengan selain dari apa yang diturunkan Allah,” maka dia kafir dengan kufur akbar.

4. Dan siapa yang berkata: “Saya berhukum dengannya, dan saya yakin bahwa berhukum dengan selain dari apa yang diturunkan Allah tidak boleh,” dan dia berkata pula: “Berhukum dengan syari’at Islam labih afdhal, dan tidak boleh berhukum dengan selainnya.” Namun dia terlalu memudah-mudahkan, atau dia melakukannya karena perintah dari penguasanya, maka dia kafir dengan kufur asghar dan tidak mengeluarkan dari agama, dan dia dianggap melakukan dosa yang paling besar.(At- tahdzir min at-tasarru’ fit takfir,karya al-Urayni,: 22)

Mendoakan Kebaikan Untuk Penguasa Termasuk Dari Nasehat


Menasihati penguasa termasuk di antara perkara agama yang terpenting, sebagaimana yang dikeluarkan Imam Muslim dalam shahih-nya dari Tamim Ad-Dari bahwa Nabi Shallallahu'alaihi wasallam bersabda :

الدِّينُ النَّصِيحَةُ قُلْنَا لِمَنْ قَالَ لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ "

“Agama itu nasihat,” kami bertanya: “Bagi siapa?” Beliau menjawab: “Bagi Allah, kitab- Nya, Rasul-Nya, dan bagi pemimpin kaum muslimin dan seluruh kaum muslimin.”

Diantara konsekwensi nasehat terhadap penguasa adalah mencintainya, mentaatinya, dan mendoakan kebaikan untuknya.

Berkata Imam Ibnu Rojab: ”Nasihat bagi para pemimpin kaum muslimin adalah mencintai agar mereka menjadi baik, terbimbing dan adil, dan mencintai bersatunya umat di atas kepemimpinannya, dan membenci terpecahnya umat dari mereka. Dan ketaatan kepada mereka adalah menjadi bagian agama, sebagai ketaatan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan membenci orang yang keluar dari ketaatan terhadap mereka. Dan senang memuliakan mereka adalah bagian ketaatan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala." (Jami’ al-ulum wal-hikam:1/222)

Berkata Syaikh Bin Baaz: “Di antara konsekwensi baiat adalah menasihati penguasa, dan di antara bentuk nasihat adalah mendo’akannya agar diberi taufik dan hidayah, dan kebaikan dalam niat dan amalan, dan mendapatkan penasihat yang baik.”(Al- ma’lum:20)

Para ulama salaf sangat berupaya dan menganjurkan untuk mendo’akan penguasa agar diberi kebaikan dan kesolehan. Fudhail bin ‘Iyyadh berkata:

“Kalaulah sekiranya aku diberi do’a yang terkabul, maka aku tidak berdo’a kecuali untuk kebaikan penguasa.” Lalu ada yang bertanya kepada Fudhail: “Jelaskan kepada kami hal ini?” Berkata Fudhail: “Jika aku peruntukkan bagi diriku, maka tidak akan melampaui diriku sendiri. Namun jika kuperuntukkan bagi penguasa, maka penguasa akan menjadi baik, maka kebaikannya akan mendatangkan kemaslahatan bagi para hamba dan negara.”

Berkata Imam Al-Barbahari: “Kita diperintahkan untuk mendo’akan mereka dengan kebaikan, dan kita tidak diperintahkan untuk mendo’akan mereka dengan kejelekan, walaupun mereka dzalim. Sebab kedzaliman dan sikap melampaui batasnya mereka hanya terbatas pada diri mereka. Dan kebaikan mereka menunjukkan kebaikan bagi diri mereka dan kaum muslimin.”(Syarhus sunnah: 114)

Diantara Tanda Ahlus Sunnah Adalah Mendo’akan Kebaikan Bagi Penguasa Dan Tanda Ahli Bid’ah Adalah Mendoakan Kejelekan Atas Penguasa


Diantara tanda ahlus sunnah adalah mendo’akan penguasa dengan kebaikan dan agar menjadi shalih, serta diberi taufiq, dan di antara tanda ahli bid’ah adalah mendo’akan kejelekan atas penguasa. Berkata Imam Barbahari:

"إذا رأيت الرجل يدعو على السلطان فاعلم أنه صاحب هوى .و إذا رأيت الرجل يدعو للسلطان بالصلاح فاعلم أنه صاحب سنة إن شاء الله "

“Jika engkau melihat seseorang mendo’akan kejelekan atas penguasa maka ketahuilah bahwa dia pengikut hawa nafsu, dan jika engkau melihat seseorang mendo’akan kebaikan bagi penguasa maka ketahuilah bahwa dia adalah Ahlus Sunnah insya Allah.”

Enggan Mendoakan Kebaikan Kepada Penguasa


Sebagian manusia ada yang mencegah diri dari mendo’akan penguasa. Dan tidak diragukan lagi bahwa ini suatu kesalahan.

Berkata Al-Allamah Bin Baaz Rahimahullah tentang orang yang enggan mendo’akan kebaikan bagi penguasa : “Ini termasuk dari kejahilannya, dan tidak memiliki ilmu. Mendo’akan kebaikan untuk penguasa termasuk di antara pendekatan diri kepada Allah yang paling agung, dan amalan ketaatan yang paling afdhal, dan termasuk nasihat bagi Allah dan hamba- hamba-Nya.”

Dan Nabi Shallallahu'alaihi wasallam tatkala dikatakan kepada beliau bahwa kabilah Daus telah membangkang! Maka beliau berdo’a: “Ya Allah, berilah petunjuk kepada kabilah Daus dan datangkanlah mereka.” Beliau mendo’akan kebaikan untuk manusia. Dan penguasa lebih utama untuk dido’akan kebaikan, sebab baiknya penguasa pertanda baiknya umat. Dan mendo’akannya termasuk do’a yang terpenting.” (Al- ma’lum:21)


Sumber: darussalaf.or.id
Share on Google Plus

About Admin

Khazanahislamku.blogspot.com adalah situs yang menyebarkan pengetahuan dengan pemahaman yang benar berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan pemahaman generasi terbaik dari para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam beserta pengikutnya.
    Blogger Comment

0 komentar:

Post a Comment


Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com

Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama