“Aku ingin menyelesaikan studiku di salah satu negara Eropa. Tidak 
ada cara lain selain aku bepergian ke sana sendirian dan tanpa ditemani 
mahrom. Aku sendiri tahu bahwa nantinya aku akan tinggal di asrama yang 
khusus wanita sehingga tidak mungkin ada ikhtilath (campur baur dengan 
kaum pria). Apa hukum hal ini?”
Syaikh rahimahullah menjawab,
Nasehat kami yang pertama adalah hendaknya dia tidak bersafar ke 
negeri kafir seperti Eropa karena hal ini dapat membahayakan agamanya.
Nasehat kami yang kedua, seharusnya diketahui bahwa sebaik-baik 
tempat wanita adalah di rumah. Tugas wanita adalah mengabdi pada suami 
dan berkewajiban mengurus anak-anaknya.
Nasehat kami yang ketiga, ketahuilah bahwa seorang wanita dilarang 
bersafar tanpa mahrom kecuali jika dalam keadaan darurat. Atau ia 
bersafar tersebut dengan diantarkan oleh mahromnya ke pesawat, lalu 
diwakilkan kepada kerabat atau kepada saudaranya yang dapat memegang 
amanat (terpercaya) sehingga ia bisa mengantarkan pada orang yang 
benar-benar amanat nantinya (di sana, di tempat ia belajar).
Dalam kondisi ini jika memang dalam kondisi terpaksa untuk menyelesaikan studi (di Eropa), maka  boleh saja safar ke sana jika itu kurang dari sehari semalam.
 Namun hendaklah ketika safar ia ditemani oleh orang yang benar-benar 
amanat di pesawat dan sudah dipastikan tidak memberikan bahaya. Juga di 
negeri tempat ia belajar dipastikan pula wanita tersebut terlepas dari 
tindak bahaya dan kerusakan.
Sumber: http://ibn-jebreen.com/
Dari fatwa ini Syaikh ‘Abdullah Al Jibrin memberikan syarat utama 
seseorang boleh belajar di Eropa atau negeri kafir lainnya (seperti 
Amerika, Jepang atau Korea):
Pertama: Ia yakin akan terlepas dari bahaya, terutama yang membahayakan agamanya selama ia di perjalanan dan selama ia belajar di sana.
Dari sini, maka seseorang tetap wajib menjaga shalat lima waktu, 
shalat jama’ah bagi pria, jilbab bagi wanita, berjenggot bagi pria, juga
 menjauhkan diri dari makanan yang haram dan kewajiban lainnya. Namun 
sangat sulit sekali untuk shalat di sana, apalagi shalat secara 
berjama’ah. Lebih prihatin lagi adalah dalam masalah mencari makanan 
yang halal.
Kedua: Untuk selamat dari hal ini, tentu saja harus 
memiliki bekal ilmu agama yang cukup dan kesabaran untuk membentangi 
diri dari berbagai syahwat (perang nafsu bejat) dan syubhat (perang 
pemikiran).
Namun jarang sekali yang punya bekal ini ketika berangkat untuk 
melanjutkan kuliah ke negeri kafir, bahkan sebagian mereka adalah orang 
yang jauh dari Islam sehingga semakin rusak sepulang ia dari negeri 
kafir.
Ketiga: Dibolehkan belajar di sana jika dalam keadaan darurat.
Ini berarti jika ilmu tersebut masih didapati di negeri muslim atau 
di negerinya sendiri dengan kualitas yang tidak kalah jauhnya, maka 
sudah seharusnya ia tidak belajar di negeri kafir. Jika belajar di sana 
adalah darurat, maka tentu saja berada di sana sesuai kebutuhan dan cuma
 sekadarnya saja. Jika sudah selesai kebutuhannya, maka dia harus 
kembali ke negeri kaum muslimin. Ada sebuah kaedah fiqhiyah:
أن الضرورات تبيح المحظورات
أن الضرورة تُقَدَّر بقدرها
Keadaan darurat membolehkan sesuatu yang sebenarnya terlarang,
Dalam keadaan bahaya semacam itu dibolehkan, namun sesuai kadarnya.
Catatan penting, Syaikh Ibnu Jibrin memberikan catatan bahwa yang dibolehkan bagi wanita dalam keadaan terpaksa di sini adalah apabila sehari semalam (artinya, tidak boleh lebih dari itu). Karena jika lebih dari sehari semalam atau lebih lama dari itu, tentu saja akan memberikan dampak bahaya lebih besar. Alasan beliau adalah hadits,
لا يحل لامرأة تُؤمن بالله واليوم الآخر أن تُسافر مسيرة يوم وليلة إلا مع ذي محرم
“Tidak boleh bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir bersafar sejauh perjalanan sehari semalam kecuali disertai dengan mahromnya.” (HR. Bukhari no. 1088 dan Muslim no. 1339). Penjelasan ini sebagaimana Syaikh rahimahullah sebutkan pada fatwa lainnya.
Keempat: Seorang wanita yang hendak pergi ke luar negeri hendaklah ditemani mahromnya.
Ini syarat yang mesti diperhatikan sebagaiman disebutkan dalam hadits,
لاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلاَّ مَعَ ذِى 
مَحْرَمٍ ، وَلاَ يَدْخُلُ عَلَيْهَا رَجُلٌ إِلاَّ وَمَعَهَا مَحْرَمٌ » .
 فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّى أُرِيدُ أَنْ أَخْرُجَ فِى 
جَيْشِ كَذَا وَكَذَا ، وَامْرَأَتِى تُرِيدُ الْحَجَّ . فَقَالَ « اخْرُجْ
 مَعَهَا »
“Tidak boleh seorang wanita bersafar kecuali bersama mahromnya. Tidak boleh berkhalwat (berdua-duaan) dengan wanita kecuali bersama mahromnya.” Kemudian ada seseorang yang berkata, “Wahai Rasulullah, aku ingin keluar mengikuti peperangan ini dan itu. Namun istriku ingin berhaji.” Beliau bersabda, “Lebih baik engkau berhaji bersama istrimu.” (Diriwayatkan oleh Bukhari, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma)
Semoga sajian singkat ini bermanfaat.

0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama