Sorban
atau serban atau turban adalah salah satu jenis pakaian yang dikenakan
di kepala, biasanya berupa kain yang digelung atau diikat di kepala.
Dalam bahasa arab disebut imamah. Yang sejenis dengan imamah juga
ghuthrah dan syimagh. Ghuthrah biasanya berwarna putih, di pakai di atas
peci. Sedangkan syimagh itu mirip seperti ghuthrah, namun ada
corak-corak merah.
Tidak diragukan lagi bahwa sorban dan sejenisnya ini awalnya berasal
dari budaya Arab. Namun yang menjadi masalah sekarang, apakah memakai
sorban ini dikatakan pakaian yang Islami? Karena jika kita katakan
memakai sorban atau imamah adalah pakaian Islami artinya ini dianjurkan
dan diajarkan oleh Islam. Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullah dalam
salah satu ceramahnya pernah mengatakan bahwa, “sesuatu yang
dinisbatkan kepada Islam artinya ia dia diajarkan oleh Islam atau
memiliki landasan dari Islam”. Dan apakah memakai sorban ini lebih utama
dan dinilai sebagai ibadah yang berpahala?
Hadits-Hadits Imamah
Dalam beberapa hadits disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam biasa memakai imamah. Diantaranya sahabat ‘Amr bin Harits menyatakan:
أنَّ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ خطب الناسَ وعليه عمامةٌ سوداءُ
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah berkhutbah di hadapan orang-orang dengan memakai sorban hitam di kepalanya” (HR. Muslim 1359)
Demikian juga hadits mengenai mengusap imamah ketika wudhu, dari Al Mughirah bin Syu’bah beliau mengatakan:
أنَّ النبيَّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ توضأ . فمسح بناصيتِه . وعلى العمامَةِ . وعلى الخُفَّينِ
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah berwudhu beliau mengusap jidatnya dan imamah-nya serta mengusap kedua khuf-nya” (HR. Muslim 274)
Juga hadits dari Abu Sa’id Al Khudri mengenai doa memakai baju baru:
كان رسولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إذا استجدّ ثوبا
سمّاهُ باسمهِ عمامةً أو قميصا أو رداءً ثم يقول اللهمّ لكَ الحمدُ أن
كسوتنِيهِ أسألكُ خيرهُ وخيرَ ما صُنِعَ لهُ وأعوذُ بكَ من شرّهِ وشرّ ما
صُنِعَ لهُ
“Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam jika memakai
pakaian baru, beliau menamainya, baik itu imamah, gamis atau rida,
kemudian berdoa: ”Ya Allah segala puji bagi-Mu atas apa yang engkau
pakaikan padaku ini. Aku memohon kebaikan darinya dan dari apa yang
dibuatnya. Dan aku memohon perlindungan dari kejelekannya dan kejelekan
yang dibuatnya” (HR. At Tirmidzi 1767, ia berkata: “hasan gharib shahih”) dan hadits-hadits lainnya.
Hukum Memakai Imamah
Pada asalnya, hukum suatu model pakaian adalah mubah-mubah saja.
Namun mengingat adanya beberapa hadits yang menyebutkan kebiasaan
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memakai imamah, para
ulama berbeda pendapat mengenai hukumnya apakah mubah saja ataukah
sunnah? Sebagian ulama menyatakan hukumnya sunnah, dalam rangka
meneladani Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Namun yang rajih, hukum memakai imamah adalah mubah saja, tidak sampai sunnah dan tidak bernilai ibadah. Karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memakai imamah hanya sekedar kebiasaan atau adat orang setempat, bukan dalam rangka taqarrub atau ibadah. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani menyatakan, “Imamah, paling maksimal bisa jadi hukumnya mustahab (sunnah). Namun yang rajih, memakai imamah adalah termasuk sunnah ‘adah (adat kebiasaan), bukan sunnah ibadah (Silsilah Adh Dha’ifah, 1/253, dinukil dari Ikhtiyarat Imam Al Albani, 480).
Apakah Memakai Imamah Lebih Utama?
Jika seseorang tinggal di daerah yang mayoritas masyarakatnya biasa
memakai sorban atau sejenisnya, atau jika tidak memakai sorban di daerah
tersebut malah jadi perhatian orang-orang, maka lebih utama memakai
sorban. Adapun jika masyarakat setempat tidak biasa dengan sorban, maka
ketika itu tidak utama memakai sorban, karena membuat pemakainya menjadi
perhatian sehingga termasuk dalam ancaman pakaian syuhrah. Sebagaimana hadits:
من لبِسَ ثوبَ شُهرةٍ في الدُّنيا ألبسَه اللَّهُ ثوبَ مذلَّةٍ يومَ القيامةِ
“barangsiapa memakai pakaian syuhrah di dunia, Allah akan memakaikannya pakaian kehinaan di hari kiamat” (HR. Ahmad 9/87. Ahmad Syakir menyatakan: “shahih”).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan, “Memakai imamah bukanlah sunnah. Bukan sunnah muakkadah ataupun sunnah ghayru muakkadah. Karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dahulu
memakainya dalam rangka mengikuti adat pakaian yang dikenakan orang
setempat pada waktu itu. Oleh karena itu tidak ada satu huruf pun dari
hadits yang memerintahkannya. Maka memakai imamah termasuk perkara adat
kebiasaan yang biasa dilakukan orang-orang. Seseorang memakainya dalam
rangka supaya tidak keluar dari kebiasaan orang setempat, sehingga kalau
memakai selain imamah, pakaiannya malah menjadi pakaian syuhrah.
Jika orang-orang setempat tidak biasa menggunakan imamah maka jangan
memakainya. Inilah pendapat yang rajih dalam masalah imamah” (dinukil
dari Fatawa IslamWeb no. 138986).
Memakai imamah di daerah yang masyarakat biasa memakainya itu lebih
utama, dalam rangka menyelisihi orang kafir. Sehingga dari penampilan
saja bisa terbedakan mana orang kafir dan mana orang Muslim. Syaikh Al
Albani menyatakan, “Seorang Muslim lebih butuh untuk memakai imamah di
luar shalat daripada di dalam shalat, Karena imamah adalah bentuk syiar
kaum Muslimin yang membedakan mereka dengan orang kafir. Lebih lagi di
zaman ini, dimana model pakaian kaum Mu’minin tercampur baur dengan
orang kafir” (Silsilah Adh Dha’ifah, 1/254, dinukil dari Ikhtiyarat Imam Al Albani, 480).
Hukum Ghuthrah, Syimagh dan Penutup Kepala Lainnya
Lalu bagaimana hukum ghuthrah, syimagh dan penutup kepala lainnya yang ada dimasing-masing daerah?
Syaikh Musthafa Al ‘Adawi menjelaskan, “ghuthrah disebut juga khimar, yaitu penutup kepala yang umum dipakai (orang Arab dan Mesir). Dan ada hadits bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ketika
wudhu beliau mengusap khimarnya. Apakah khimar di sini adalah imamah
ataukah sekedar sesuatu yang menutupi kepala? Jawabnya, semuanya
memungkinkan. Maka intinya, memakai ghuthrah hukumnya mubah saja”. (Sumber: http://www.mostafaaladwy.com/play-6587.html).
Dari penjelasan Syaikh Musthafa di atas, dapat diambil faidah hukum memakai ghutrah atau juga syimagh dan
juga penutup kepala lainnya itu sama dengan hukum imamah. Yaitu jika
itu merupakan pakaian yang biasa dipakai masyarakat setempat, hukumnya
mubah. Tentunya selama tidak melanggar aturan syariat, semisal tidak
meniru ciri khas orang kafir, tidak menyerupai wanita dan lainnya. Dan
jika menyelisihi kebiasaan masyarakat setempat atau membuat pemakainya
jadi perhatian orang, maka makruh atau bahkan bisa haram karena termasuk
pakaian syuhrah.
Wabillahi at taufiq wa sadaad.
Artikel Muslim.Or.Id
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama