SADAR atau tidak, kita pernah atau bahkan sering melakukan kesalahan dan dosa. Tidak seorangpun yang luput dari noda dosa, baik sengaja maupun tidak. Rasulullah Sallallahu A’laihi Wasallam bersabda, “Setiap anak Adam ada kesalahan (dosa), dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah orang yang bertaubat.”
Meskipun demikian, Allah Subhanahu
wa-ta’ala Maha Pengampun. Dengan rahmat-Nya, Allah
Subhanahu wa-ta’ala memberi peluang bagi orang yang
berbuat dosa untuk bertaubat kepada-Nya. Betapa pun banyak dosa yang
kita lakukan dan sebesar apapun dosa tersebut, bila kita bertaubat dan
memohon ampun kepada Allah, maka Dia akan mengampuninya.
Allah berfirman;
“Katakanlah, “Wahai hamba-hambaku yang
melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus
asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya.
Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang.” (az-Zumar:
54). Allah Subhanahu wa-ta’ala juga berfirman, “Dan barangsiapa berdosa
atau menganiaya dirinya, kemudian dia memohon ampun, niscaya dia akan
mendapatkan Allah Maha Pengampun.” (an-Nisa’: 110).
Dikecualikan dosa syirik, Allah Subhanahu wa-ta’ala tidak akan mengampuninya. Allah berfirman ;
“Sesungguhnya Allah tidak akan
mengampuni dosa syirik (mempersekutukan Allah dengan sesuatu), dan Dia
mengampuni dosa selainnya itu bagi siapa yang Dia kehendaki.” (An-Nisa’:
48 dan 116).
Kewajiban Bertaubat Kepada Allah SWT
Hanya Rasulullah Shallahu ‘Alaihi
Wassalam yang ma’shum (suci), karena beliau dijaga Allah Swt dari dosa
dan maksiat. Dosa-dosa beliau telah diampuni oleh Allah, baik yang
terdahulu maupun akan datang. Beliau adalah sosok manusia yang paling
bertakwa dan mendapat jaminan masuk surga. Walaupun demikian, Rasulullah
tetap beristighfar dan bertaubat kepada Allah setiap harinya seratus
kali, sebagaimana sabdanya: “Demi Allah, sesungguhnya saya beristighfar
dan bertaubat kepada Allah Subhanahu wa-ta’ala dalam
sehari lebih dari tujuh puluh kali.” (HR. Bukhari).
Dalam riwayat lain, beliau bersabda:
“Wahai manusia, bertaubatlah pada Allah Swt dan mohonlah ampun
kepada-Nya. Sesungguhnya saya bertaubat kepada-Nya dalam sehari seratus
kali.” (HR. Muslim).
Ada beberapa pelajaran penting yang dapat kita petik dari kedua hadits diatas:
Pertama, kedua hadits tersebut merupakan dalil atas wajibnya bertaubat, karena Nabi saw memerintahkannya.
Kedua, hadits ini menjadi dalil bahwa
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam adalah orang yang paling kuat
ibadahnya kepada Allah Subhanahu wa-ta’ala dan paling bertakwa.
Ketiga, hadits ini menunjukkan bahwa
Rasul adalah guru kebaikan dengan lisan dan perbuatannya. Namun
demikian, beliau senantiasa memohon ampun kepada Allah dan menyuruh
manusia agar membaca istighfar, hingga mereka meneladani beliau dalam
menjalankan perintah dan mengikuti sunnahnya.
Keempat, ini merupakan kesempurnaan
nasihat Rasulullah kepada ummatnya. Maka kita juga harus meneladani
beliau, yaitu jika kita menyuruh manusia dengan suatu perintah, maka
kita harus melaksanakannya terlebih dahulu. Sebaiknya jika kita melarang
mereka dari sesuatu, maka kitapun harus menjadi orang yang pertama yang
menghindari larangan tersebut, karena ini adalah hakikat seorang da’i
kepada Allah, bahkan inilah hakikat dakwah kepada Allah, yaitu
melaksanakan apa yang kita perintahkan dan meninggalkan apa yang kita
larang darinya.
Menurut Dr. Musthafa Bugha, Rasulullah
mengajarkan dan mendorong ummatnya untuk selalu beristighfar dan
bertaubat seperti dirinya, karena dengan rutinitas beristighfar dan
bertaubat ini akan menghapus dosa-dosa yang kadangkala dilakukan oleh
seorang manusia tanpa disadari. Kemudian, hadits tersebut tidak
bermaksud jumlah tertentu dalam istighfar, namun yang ditegaskan adalah
kualiti dan kuantitas istighfar, sesuai dengan kemampuan masing-masing
kita.” (Nuzhatul Muttaqin, 1/ 31).
Dosa yang kita lakukan pun beragam macam
dan kadarnya, bisa berupa dosa kecil maupun dosa besar. Tergantung
jenis maksiat yang kita lakukan. Terkadang kita menyakiti hati saudara
kita dengan cacian, ghibah dan fitnah. Kadang pula kita menyalahi amanah
(khianat) terhadap jabatan kita dan mengambil hak orang lain dengan
cara yang bathil (korupsi, menyuap, mencuri dll). Kita juga pernah
berdusta, manipulasi, dan sebagainya. Kitapun pernah tidak shalat, puasa
dan membayar zakat.
Dalam kondisi berlumuran dosa ini, wajib
hukumnya bagi kita untuk bertaubat kepada Allah. Kewajiban ini Allah
sebutkan dalam al-Quran (an-Nur: 3, Ali Imran: 33, at-Tahrim: 8).
Syarat-Syarat Taubat
Agar taubat kita diterima Allah
Subhanahu wa-ta’ala, maka harus memenuhi kriteria tertentu. Jika dosa
itu berkaitan dengan Allah Subhanahu wa-ta’ala, maka taubat yang sejati
itu harus memenuhi tiga kriteria:
Pertama; meninggalkan kemaksiatan tersebut.
Kedua; menyesali perbuatannya. Ketiga;
bertekad untuk tidak mengulanginya lagi untuk selama-lamanya. Jika salah
satu dari ketiga syarat tersebut tidak terpenuhi, maka taubatnya itu
tidak sah.
Jika dosa yang berkaitan dengan manusia,
maka syaratnya ada empat, yaitu yang tiga sama dengan diatas dan
ditambah menunaikan hak manusia. Jika hak itu berupa harta dan
sebagainya, maka dia harus mengembalikannya. Jika hak itu berupa hukuman
had qazf (tuduhan berzina), maka mintalah dihukum atau minta maaf. Dan
jika kemaksiatan itu berupa ghibah, maka dia harus meminta maaf.
(Riyadlus Shalihin, 46).
Taubat harus disertai dengan kejujuran,
maka jika seseorang bertaubat kepada Allah, dia harus melepaskan diri
dari dosa (Ali Imran: 135-136). Sedangkan orang yang bertaubat dengan
lisan saja, sementara hatinya masih berniat mengerjakan maksiat atau
meninggalkan kewajiban atau bertaubat dengan lisannya, sementara anggota
tubuhnya terus berbuat maksiat, maka taubatnya tidak bermanfaat, bahkan
taubatnya itu bisa dianggap menghina Allah.
Selain itu, bertaubat harus disertai
dengan amal shalih. Karena dengan amal tersebut, dosa-dosa kita terhapus
sebagaimana cahaya matahari menghilangkan kegelapan malam.
Allah berfirman, “(Yaitu) barangsiapa
berbuat kejahatan di antara kamu karena kebodohan, kemudian dia
bertaubat setelah itu dan memperbaiki diri, maka Dia Maha Pengampun dan
Maha Penyayang.” (al-An’am: 54).
Allah berfirman;
“Dan sungguh, Aku Maha Pengampun bagi
yang bertaubat, beriman dan beramal shalih (berbuat kebaikan), kemudian
tetap dalam petunjuk.” (QS: Thaha: 82).
Berjanji untuk tidak mengulanginya lagi
Hadis riwayat Abu Hurairah ra. :Dari Rasulullah Sallallahu A’laihi Wasallam bersabda : Seorang mukmin tidak boleh dua kali jatuh dalam lubang yang sama. (Shahih Muslim No.5317)
Dan Hadits di atas menekankan bahwa setelah bertaubat, jangan sekali2 mengulanginya lagi
Kesempatan Untuk Bertaubat
Di antara bukti kasih sayang Allah
Subhanahu wa-ta’ala yang paling agung untuk kita adalah Dia tetap
memberi peluang dan kesempatan kepada kita untuk bertaubat dan kembali
kepada-Nya, hingga saat ini. Tak peduli berapa lebarnya jarak yang
memisahkan kita lakukan lewat kekeliruan dan dosa kepada-Nya. Allah
Subhanahu wa-ta’ala ternyata tetap saja memberi kesempatan buat kita
untuk menoleh dan kembali kepada-Nya. Tak peduli bagaimanapun legamnya
hati kita oleh dosa kemaksiatan yang terus-menerus kita lakukan.
Kesempatan untuk memperbaiki diri dan
kembali mendekat kepada-Nya itu ada pada kesempatan hidup yang Allah
berikan pada kita hingga saat ini. Karena rentang kehidupan yang kita
jalani sebenarnya adalah rentang pintu taubat yang tak mungkin tertutup
kecuali hingga kehidupan kita berakhir. Disaat kita merasakan
kerongkongan tercekik menghembuskan nafas terakhir, di sanalah pintu
kesempatan kembali kita sudah tertutup. “Sesungguhnya Allah Swt menerima
taubat seorang hamba, selama ruhnya belum sampai di kerongkongannya.”
(HR. Tirmizi).
Kita harus terus waspada. Karena di
antara gangguan dan bisikan syaitan kepada orang yang bertaubat adalah
bisikan yang membesar-besarkan prilaku dosa dan kemaksiatan yang telah
dilakukan hingga seseorang merasa lunglai dan percuma bertaubat.
Sementara di sisi yang lain, syaitan juga menghembuskan bisikan untuk
mengecil-ngecilkan dan menyepelekan dosa dan kemaksiatan, sehingga
seseorang terus-menerus melakukan dosa dan kemaksiatan itu.
Dalam Fiqih syaitan, suasana putus asa
yang memalingkan seseorang dari taubat, itu lebih utama daripada
mendorong orang untuk melakukan dosa dan kemaksiatan. Apa sebabnya?
Karena pelaku dosa dan kemaksiatan bisa saja bertaubat dan taubatnya
diterima Allah swt. Tapi orang yang putus asa dari rahmat Allah dan
tidak mau bertaubat, akan semakin jauh untuk kepada Allah.
Mungkin hal inilah yang menjadikan
sebagian ulama berpendapat, tentang keutamaan seorang berilmu yang
beribadah kepada Allah dengan ilmu dan pemahamannya, meski amal
ibadahnya tidak terlalu banyak. Dibandingkan dengan seribu orang ahli
ibadah yang menjalankan amal ibadah begitu banyak, tapi miskin ilmu.
Pelaku ibadah yang berilmu, akan bersikap lebih keras dan lebih waspada
terhadap gangguan syaitan, ketimbang mereka yang melakukan ibadah, tanpa
ilmu. Itu karena, gangguan syaitan biasa mengelabui ahli ibadah yang
lugu dari tipu syaitan.
Jika kita termasuk orang-orang yang
sedang bertaubat kepada Allah Subhanahu wa-ta’ala waspadalah. Karena
saat-saat itulah syaitan lebih meningkatkan intaiannya untuk masuk
melalui sisi-sisi lengah dan celah kelemahan kita. Syaitan berupaya
menghiasi hati kita untuk menjadi senang dan bangga dengan taubat, namun
kemudian kita terpedaya menganggap bahwa pertarungan dengan nafsu sudah
selesai. Kondisi seperti ini sangat berbahaya, karena bisa jadi tipuan
seperti itu sulit diditeksi kecuali oleh mereka yang tajam mata batinnya
karena keimanan. Dia-lah yang bisa membedakan, antara taubat yang
sejati dan taubat palsu.
Boleh saja kita yang merasa suka cita
dan gembira karena telah kembali kepada Allah swt. Sebagaimana Allah swt
juga sangat suka cita menerima hamba-Nya yang kembali kepada-Nya (HR.
Bukhari). Tapi, berhati-hatilah, dari kesenangan dan kegembiraan yang
bisa menipu dan menjadikan kita tenang serta yakin dengan nasib di
akhirat lalu merasa aman dari azab Allah.
Pertarungan dan kewaspadaan ini belum
selesai, sampai kedua kaki kita menginjak surga. Dan kitapun tidak tahu
apakah kelak akan masuk surga atau tidak.
Beristighfar dan bertaubatlah segera..!
Jangan menunda taubat dan amal. Karena kitapun tidak tahu kapan maut
menjemput kita, dimana pada saat itu pintu taubat telah ditutup. Maka
gunakanlah pintu taubat selagi masih ada kesempatan, selama masih
terbuka lebar bagi hamba-Nya yang ingin kembali kepada-Nya.
Oleh: Muhammad Yusran Hadi, Lc., MA
Penulis adalah Dosen IAIN Ar-Raniry, kandidat Doktor (Ph.D) Ushul Fiqh, International Islamic University Malaysia (IIUM)
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama