Pemimpin Wanita dalam Tinjauan
Mungkin sebagian orang masih ragu mengenai masalah ini. Ada yang
masih ngotot bahwa pemimpin boleh-boleh saja dari kaum wanita. Caleg,
Bupati, Gubernur dan Presiden boleh saja dari wanita. Namun tentu saja
yang menjadi hakim dalam pro-kontra yang ada adalah bukanlah hawa nafsu.
Kalau dengan hawa nafsu, maka semua akan berbicara seenaknya berbicara
sendiri. Allah dan Rasul-Nya lah sebaik-baik hakim dalam masalah ini.
Oleh karena itu, dalam tulisan kali ini kami ingin meluruskan
persepsi sebagian orang mengenai hal ini. Namun, kami bukan maksud
membela golongan tertentu atau meremehkan mereka. Tidak sama sekali.
Yang kami sajikan hanyalah perkataan Allah dan Rasul-Nya (dari Al Qur’an
dan Hadits Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam), bukan pendapat si A dan
si B yang bisa saja salah. Semoga Allah memberi taufik pada siapa saja
yang membaca tulisan ini.
Dalam Al Qur’an, Kaum Laki-laki adalah Pemimpin bagi Kaum Wanita
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
الرِّجَالُ
قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى
بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ
حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ
نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ
وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا
إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.
Oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas
sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah
menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang
saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya
tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita
yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah
mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. An Nisaa’ : 34)
Bagaimana maksud ayat ini menurut para ulama yang mendalam ilmunya?
Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim mengatakan mengenai ’ar rijaalu qowwamuna ’alan nisaa’, maksudnya adalah laki-laki adalah pemimpin wanita. (Ad Darul Mantsur, Jalaluddin As Suyuthi)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Laki-lakilah yang seharusnya mengurusi kaum wanita. Laki-laki
adalah pemimpin bagi kaum wanita, sebagai hakim bagi mereka dan
laki-lakilah yang meluruskan apabila wanita menyimpang dari kebenaran.
Lalu ayat (yang artinya), ’Allah melebihkan sebagian mereka dari yang
lain’, maksudnya adalah Allah melebihkan kaum pria dari wanita. Hal ini
disebabkan karena laki-laki adalah lebih utama dari wanita dan lebih
baik dari wanita. Oleh karena itu, kenabian hanya khusus diberikan pada
laki-laki, begitu pula dengan kerajaan yang megah diberikan pada
laki-laki. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam,
”Suatu kaum itu tidak akan bahagia apabila mereka menyerahkan
kepemimpinan mereka kepada wanita.” Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari
dari hadits ‘Abdur Rohman bin Abu Bakroh dari ayahnya. (Lihat Tafsir Al
Qur’an Al ‘Azhim pada tafsir surat An Nisaa’ ayat 34)
Asy Syaukani rahimahullah juga mengatakan bahwa maksud ’qowwamuna’
dalam ayat ini: laki-laki seharusnya yang jadi pemimpin bagi wanita.
(Fathul Qodir pada tafsir surat An Nisaa’ ayat 34)
Syaikh ‘Abdur Rahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata, “Kaum prialah yang mengurusi kaum wanita
agar wanita tetap memperhatikan hak-hak Allah Ta’ala yaitu melaksanakan
yang wajib, mencegah mereka dari berbuat kerusakan. Kaum laki-laki
(baca: suami) berkewajiban pula mencari nafkah, pakaian dan tempat
tinggal bagi kaum wanita.” (Taisir Karimir Rahman)
Dalam surat An Nisaa’ ayat 34 juga terdapat dalil lain yang menunjukkan bahwa laki-laki adalah pemimpin wanita yaitu pada ayat:
فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا
”Kemudian jika mereka (para istri) mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.”
Ayat di atas menunjukkan bahwa istri harus menaati suaminya, bukan
sebaliknya suami harus mentaati istri. (Tafsir Al Qur’an Lil Utsaimin,
5/81, Mawqi’ Al ’Allamah Al Utsaimin)
Jika laki-laki adalah pemimpin bagi wanita dalam rumah tangga yang lingkupnya lebih kecil, bagaimana mungkin wanita dibolehkan jadi pemimpin bagi desa, kecamatan, kabupaten, propinsi apalagi negara!!
Banyak Ayat Lain dalam Al Qur’an yang Mendukung Hal Ini
Pertama; Allah melebihkan derajat laki-laki daripada wanita
وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada
isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al Baqarah:
228)
Kedua; Para Nabi dan Rasul adalah laki-laki.
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى
“Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang
Kami berikan wahyu kepadanya diantara penduduk negeri.” (QS. Yusuf :
109)
Ketiga; Para istri Nabi berada di bawah kekuasaan para Nabi.
ضَرَبَ
اللَّهُ مَثَلًا لِلَّذِينَ كَفَرُوا اِمْرَأَةَ نُوحٍ وَامْرَأَةَ لُوطٍ
كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ فَخَانَتَاهُمَا
فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ اللَّهِ شَيْئًا وَقِيلَ ادْخُلَا
النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِينَ
“Allah membuat isteri Nuh dan isteri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan
dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua
isteri itu berkhianat kepada suaminya (masing-masing).” (QS. At Tahrim :
10)
Kata-kata di bawah dalam ayat ini menunjukkan bahwa
wanita itu dipimpin, bukan yang memimpin. Ketentuan ini bukan hanya
syari’at Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam, namun juga ini
adalah ketentuan nabi terdahulu yaitu Nabi Nuh ’alaihis salam.
Keempat; Warisan laki-laki setara dengan dua wanita.
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ
“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua
orang anak perempuan” (QS. An Nisa’ : 11)
Saksi laki-laki setara dengan dua wanita (dalam transaksi finansial
bukan dalam semua persaksian), sebagaimana firman-Nya yang artinya,”Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di
antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki
dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika
seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya.” (QS. Al Baqarah : 282)
5 Bukti Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam Menetapkan bahwa Kaum Laki-laki Seharusnya Yang Memimpin
Bukti pertama; Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam tidak pernah mengangkat pemimpin (amir) dari kaum wanita.
Bukti kedua;
Imam shalat tidak pernah seorang wanita, tetapi seorang laki-laki.
Bahkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sakit tidaklah
menyuruh istrinya untuk menjadi imam.
Bukti ketiga; Hak laki-laki lebih mulia daripada wanita.
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
“Andai aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada yang
lain, tentu akan kuperintahkan wanita sujud kepada suaminya.” (HR.
Tirmidzi no. 1159. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih)
Bukti keempat;
Wanita harus izin kalau ingin puasa sunnah. Hal ini ditegaskan dari
hadits Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ’alaihi
wa sallam barsabda,
لا يحل للمرأة أن تصوم وزوجها شاهد إلا بأذنه
“Hendaklah wanita tidak berpuasa (sunnah) apabila suaminya ada di rumah selain dengan seizin suaminya.”(HR. Bukhari).
Pesan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam ini ditujukan kepada
sang isteri bukan kepada suami, karena suami adalah pemimpin.
Bukti kelima;
Laki-laki wajib ditaati, sebagaimana hadits Abu Hurairah radhiyallahu
’anhu, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا
دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَلَمْ تَأْتِهِ فَبَاتَ
غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“Apabila seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidurnya, lalu
istrinya enggan mendatanginya, sehingga suaminya tidur dalam keadaan
marah, maka malaikat akan melaknat istri tersebut sampai pagi hari.”
(HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits ini menunjukkan bahwa suami punya hak memerintah isterinya karena suami adalah pemimpin.
Bukti lain dari sejarah Islam adalah bahwa semua para Rasul dan Nabi
adalah laki-laki, begitu juga semua khalifah ada laki-laki dan pemimpin
pasukan tempur untuk melawan musuh juga seorang laki-laki.
Alasan Wanita Tidak Jadi Pemimpin
Mengapa Wanita Tidak Jadi Pemimpin?
Alasan Pertama; Pemimpin wanita pasti merugikan
Abu Bakrah berkata,
لَمَّا
بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ
مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى قَالَ « لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ
وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً »
“Tatkala ada berita sampai kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
bahwa bangsa Persia mengangkat putri Kisro (gelar raja Persia dahulu)
menjadi raja, beliau shallallahu ’alaihi wa sallam lantas bersabda,
”Suatu kaum itu tidak akan bahagia apabila mereka menyerahkan
kepemimpinan mereka kepada wanita”. ” (HR. Bukhari no. 4425)
Dari hadits ini, para ulama bersepakat bahwa syarat al imam al a’zhom
(kepala negara atau presiden) haruslah laki-laki. (Lihat Adhwa’ul
Bayan, 3/34, Asy Syamilah)
Al Baghowiy mengatakan dalam Syarhus Sunnah (10/77) pada Bab ”Terlarangnya Wanita Sebagai Pemimpin”:
”Para ulama sepakat bahwa wanita tidak boleh jadi pemimpin dan juga
hakim. Alasannya, karena pemimpin harus memimpin jihad. Begitu juga
seorang pemimpin negara haruslah menyelesaikan urusan kaum muslimin.
Seorang hakim haruslah bisa menyelesaikan sengketa. Sedangkan wanita
adalah aurat, tidak diperkenankan berhias (apabila keluar rumah). Wanita
itu lemah, tidak mampu menyelesaikan setiap urusan karena mereka kurang
(akal dan agamanya). Kepemimpinan dan masalah memutuskan suatu perkara
adalah tanggung jawab yang begitu urgent. Oleh karena itu yang
menyelesaikannya adalah orang yang tidak memiliki kekurangan (seperti
wanita) yaitu kaum pria-lah yang pantas menyelesaikannya.”
Alasan Kedua; Wanita kurang akal dan agama
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ الْحَازِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ
“Tidaklah aku pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya
sehingga dapat menggoyangkan laki-laki yang teguh selain salah satu di
antara kalian wahai wanita.” (HR. Bukhari no. 304)
Apa yang dimaksud dengan kurang akal dan agamanya?
Ada yang menanyakan kepada Syaikh ’Abdul Aziz bin ’Abdillah bin Baz:
Saya seringkali mendengar hadits ”wanita itu kurang akal dan agamanya.”
Dari hadits ini sebagian pria akhirnya menganiaya para wanita. Oleh
karena itu –wahai Syaikh- kami memintamu untuk menerangkan makna hadits
ini.
Adapun makna hadits Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam:
ما رأيت
من ناقصات عقل ودين أغلب للب الرجل الحازم من إحداكن فقيل يا رسول الله ما
نقصان عقلها ؟ قال أليست شهادة المرأتين بشهادة رجل ؟ قيل يا رسول الله ما
نقصان دينها ؟ قال أليست إذا حاضت لم تصل ولم تصم ؟
“Tidaklah aku pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya
sehingga dapat menggoyangkan laki-laki yang teguh selain salah satu di
antara kalian wahai wanita.” Lalu ada yang menanyakan kepada Rasulullah,
”Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud kurang akalnya?” Beliau
shallallahu ’alaihi wa sallam pun menjawab, ”Bukankah persaksian dua
wanita sama dengan satu pria?” Ada yang menanyakan lagi, ”Wahai
Rasulullah, apa yang dimaksud dengan kurang agamanya? ” Beliau
shallallahu ’alaihi wa sallam pun menjawab, ”Bukankah ketika seorang
wanita mengalami haidh, dia tidak dapat melaksanakan shalat dan tidak
dapat berpuasa?” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jadi, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kurang akalnya adalah
dari sisi penjagaan dirinya dan persaksian tidak bisa sendirian, harus
bersama wanita lainnya. Inilah kekurangannya, seringkali wanita itu
lupa. Akhirnya dia pun sering menambah-nambah dan mengurang-ngurangi
dalam persaksiannya. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman,
وَاسْتَشْهِدُوا
شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ
وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ
إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki
(di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki
dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika
seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya.” (QS. Al Baqarah: 282)
Yang dimaksud dengan kurangnya agama adalah ketika
wanita tersebut dalam kondisi haidh dan nifas, dia pun meninggalkan
shalat dan puasa, juga dia tidak mengqodho shalatnya. Inilah yang
dimaksud kurang agamanya. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 4/292)
Alasan Ketiga; Wanita ketika shalat berjama’ah menduduki shaf paling belakang
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا
“Sebaik-baik shof untuk laki-laki adalah paling depan sedangkan
paling jeleknya adalah paling belakang, dan sebaik-baik shof untuk
wanita adalah paling belakang sedangkan paling jeleknya adalah paling
depan.” (HR. Muslim no. 440)
Alasan Keempat; Wanita tidak dapat menikahkan dirinya sendiri, tetapi harus dengan wali
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِىٍّ
“Tidak ada nikah kecuali dengan wali.” (HR. Abu Daud no. 2085,
Tirmidzi no. 1101 dan Ibnu Majah no. 1880. Syaikh Al Albani mengatakan
bahwa hadits ini shohih).
Alasan Kelima; Wanita menurut tabiatnya cenderung pada kerusakan
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
وَاسْتَوْصُوا
بِالنِّسَاءِ خَيْرًا ، فَإِنَّهُنَّ خُلِقْنَ مِنْ ضِلَعٍ ، وَإِنَّ
أَعْوَجَ شَىْءٍ فِى الضِّلَعِ أَعْلاَهُ ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ
كَسَرْتَهُ ، وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوا
بِالنِّسَاءِ خَيْرًا
“Bersikaplah yang baik terhadap wanita karena sesungguhnya mereka
diciptakan dari tulang rusuk. Bagian yang paling bengkok dari tulang
rusuk tersebut adalah bagian atasnya. Jika engkau memaksa untuk
meluruskan tulang rusuk tadi, maka dia akan patah. Namun, jika kamu
membiarkan wanita, ia akan selalu bengkok, maka bersikaplah yang baik
terhadap wanita.” (HR. Bukhari no. 5184)
Alasan Keenam; Wanita mengalami haidh, hamil, melahirkan, dan menyusui
Allah Ta’ala berfirman,
وَاللَّائِي
يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ
فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ وَأُولَاتُ
الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَنْ يَتَّقِ
اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara
perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka
masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula)
perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil,
waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan
barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan
baginya kemudahan dalam urusannya.” (QS. Ath Tholaq : 4)
Jika datang waktu seperti ini, maka di mana tanggung jawab wanita sebagai pemimpin?
Alasan Ketujuh; Wanita mudah putus asa dan tidak sabar
Kita telah menyaksikan pada saat kematian dan datangnya musibah,
seringnya para wanita melakukan perbuatan yang terlarang dan melampaui
batas seperti menampar pipi, memecah barang-barang, dan membanting
badan. Padahal seorang pemimpin haruslah memiliki sifat sabar dan tabah.
Di Mana Kepemimpinan Wanita?
Wanita hanya diperbolehkan menjadi pemimpin di rumahnya, itu pun di
bawah pengawasan suaminya, atau orang yang sederajat dengannya. Mereka
memimpin dalam hal yang khusus yaitu terutama memelihara diri, mendidik
anak dan memelihara harta suami yang ada di rumah. Tujuan dari ini semua
adalah agar kebutuhan perbaikan keluarga teratasi oleh wanita sedangkan
perbaikan masyarakat nantinya dilakukan oleh kaum laki-laki. Allah
Ta’ala berfirman,
وَقَرْنَ
فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآَتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ
وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ
أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan
bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah
shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya.
Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai
ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al Ahzab: 33)
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
وَالْمَرْأَةُ فِى بَيْتِ زَوْجِهَا رَاعِيَةٌ وَهْىَ مَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا
“Dan wanita menjadi pemimpin di rumah suaminya, dia akan dimintai
pertanggungjawaban mengenai orang yang diurusnya.” (HR. Bukhari no.
2409)
Kita hendaknya menerima ketentuan Allah yang Maha Bijaksana ini.
Bukanlah Allah membendung hak asasi manusia, tetapi Dialah yang mengatur
makhluk-Nya sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, dan kebahagiaannya
masing-masing.
Masih Ngotot Adanya Persamaan Gender
Syaikh Bakar Abu Zaid berkata, “Masing-masing wajib mengimani dan
menerima bahwa harus ada perbedaan antara laki-laki dan wanita, baik
dari segi lahir dan batin, menurut tinjauan syari’at Islam.
Masing-masing harus ridho dengan taqdir Allah dan syari’at Islam.
Perbedaan ini adalah semata-mata menuju keadilan, dengan perbedaan ini
kehidupan bermasyarakat menjadi teratur.
Tidak boleh masing-masing
berharap memiliki kekhususan yang lain, sebab akan mengundang kemarahan
Allah, karena masing-masing tidak menerima ketentuan Allah dan tidak
ridho dengan hukum dan syari’at-Nya. Seorang hamba hendaknya memohon
karunia kepada Rabbnya. Inilah adab syari’at Islam untuk menghilangkan
kedengkian dan agar orang mukmin ridha dengan pemberian Allah. Oleh
karena itu, Allah berfirman di dalam surat An Nisaa’ ayat 32 yang
maksudnya adalah kita dilarang iri dengan kedudukan orang lain.
Selanjutnya, jika hanya berharap ingin meraih sifat lain jenis dilarang
di dalam Al Qur’an, maka bagaimana apabila mengingkari syari’at Islam
yang membedakan antara laki-laki dan wanita, menyeru manusia untuk
menghapusnya, dan menuntut supaya ada kesamaan antara laki-laki dan
wanita, yang sering disebut dengan istilah emansipasi wanita. Tidak
diragukan lagi bahwa ini adalah teori sekuler, karena menentang taqdir
Allah ….” (Hirosatul Fadhilah)
Sadarlah!
Inilah ketentuan di dalam Islam. Tentunya bila dilaksanakan, kebaikan
dan kejayaan akan diraih kaum muslimin sebagaimana yang pernah dialami
para Rasul, para sahabatnya, dan generasi sesudahnya. Tetapi jika
peraturan ini dilanggar, jangan berharap perdamaian di dunia apalagi
kenikmatan di akhirat. Tetapi lihatlah perzinaan dan fitnah wanita serta
kehancuran aqidah, ibadah, akhlaq, dan ekonomi yang ini tidak bisa kita
tutupi lagi, belum lagi besok di alam kubur, belum lagi di alam
akhirat.
Ya Allah, tunjukilah kami (dengan izin-Mu) pada kebenaran
dari apa-apa yang kami perselisihkan di dalamnya. Sesungguhnya Engkaulah
yang memberi petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki ke jalan yang
lurus.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa
shalallahu ’ala nabiyyina Muhammad wa ’ala alihi wa shohbihi wa sallam.
****
Diselesaikan sore hari di Wisma MTI, 11 Rabi’ul Akhir 1430 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama