Padahal kuburan yg ada di foto ini adalah kuburannya orang2 yang
memiliki keutamaan di sisi Allah, yaitu kuburannya para Shahabat Nabi
radhiyallahu anhum di Baqi’, Madinah. Kuburannya tidak lebih bagus dari
kuburannya pak RT atau pak Lurah atau Kyai di tempat kita. Seperti
inilah yang dapat membuat Islam bertambah Kejayaannya. Subhanallah
Dari Abu Al-Hayyaj Al-Asadi dia berkata: Ali bin Abu Thalib berkata kepadaku:
أَلَا أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا تَدَعَ تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتَهُ وَلَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ
أَلَا أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا تَدَعَ تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتَهُ وَلَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ
“Maukah kamu aku utus sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengutusku? Hendaklah kamu jangan meninggalkan gambar-gambar kecuali kamu hapus dan jangan pula kamu meninggalkan kuburan kecuali kamu ratakan.” (HR. Muslim no. 969)
Fadhalah bin Ubaid radhiallahu anhu berkata:
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُ بِتَسْوِيَتِهَا
“Saya telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk meratakannya (kuburan).” (HR. Muslim no. 968)
Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu anhuma dia berkata:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang mengapur kuburan, duduk di atasnya, dan membuat bangunan di atasnya.” (HR. Muslim no. 970)
Al-Imam At-Tirmidzi dan yang lain meriwayatkan dengan sanad yang
shahih dengan tambahan lafadz:وَأَنْ يُكْتَبَ عَلَيْهِ“dan ditulisi.”
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu menerangkan: “Ketahuilah bahwa
kaum muslimin yang dahulu dan akan datang, yang awal dan akhir, sejak
zaman sahabat sampai waktu kita ini, telah bersepakat bahwa meninggikan
kuburan dan membangun di atasnya… termasuk perkara bid’ah, yang telah
ada larangan dan ancaman keras dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam atas para pelakunya.”
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: “Aku menginginkan kuburan
itu tidak dibangun dan tidak dikapur (dicat), karena perbuatan seperti
itu menyerupai hiasan atau kesombongan, sedangkan kematian bukanlah
tempat salah satu di antara dua hal tersebut. Aku tidak pernah melihat
kuburan Muhajirin dan Anshar dicat. Perawi berkata dari Thawus: ‘Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kuburan dibangun atau dicat’.”
Beliau rahimahullahu juga berkata: “Aku membenci dibangunnya masjid di atas kuburan.”
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata pula: “Aku membenci ini berdasarkan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan atsar…”
Asy-Syaikh Sulaiman Alu Syaikh rahimahullahu berkata: “Al-Imam Nawawi rahimahullahu menegaskan dalam Syarh Al-Muhadzdzab akan haramnya membangun kuburan secara mutlak. Juga beliau sebutkan semisalnya dalam Syarh Shahih Muslim.”
Beliau rahimahullahu juga berkata: “Aku membenci dibangunnya masjid di atas kuburan.”
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata pula: “Aku membenci ini berdasarkan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan atsar…”
Asy-Syaikh Sulaiman Alu Syaikh rahimahullahu berkata: “Al-Imam Nawawi rahimahullahu menegaskan dalam Syarh Al-Muhadzdzab akan haramnya membangun kuburan secara mutlak. Juga beliau sebutkan semisalnya dalam Syarh Shahih Muslim.”
Dari Jabir radhiallahu ‘anhu.
“Bahwa Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam telah dibuatkan untuk beliau liang lahad dan diletakkan di atasnya batu serta ditinggikannya di atas tanah sekitar satu jengkal” (HR. Ibnu Hibban dalam kitab Shahiihnya no. 2160 dan al Baihaqi III/410, hadits ini sanadnya hasan)
“Bahwa Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam telah dibuatkan untuk beliau liang lahad dan diletakkan di atasnya batu serta ditinggikannya di atas tanah sekitar satu jengkal” (HR. Ibnu Hibban dalam kitab Shahiihnya no. 2160 dan al Baihaqi III/410, hadits ini sanadnya hasan)
Dari Sufyan at Tamar, dia berkata,
“Aku melihat makam Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam dibuat gundukkan seperti punuk” (HR. al Bukhari III/198-199 dan al Baihaqi IV/3)
Ibnul Qayyim berkata dalam kitabnya Zaadul Ma’aad, “Dan makam beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam digunduki tanah seperti punuk yang berada di tanah lapang merah. Tidak ada bangunan dan tidak juga diplester. Demikian itu pula makam kedua sahabatnya (Abu Bakar dan Umar)”
Hal tsb menunjukkan bhw kuburan Nabi tidaklah dibangun seperti bangunan sekarang ini pada awalnya. Jadi dibangunnya kuburan Nabi bukanlah hujjah yg dpt dipakai, kecuali jika yg membangunannya tsb adalah para shahabat nabi dan atas ijma mrk. Wallahu a’lam.
“Aku melihat makam Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam dibuat gundukkan seperti punuk” (HR. al Bukhari III/198-199 dan al Baihaqi IV/3)
Ibnul Qayyim berkata dalam kitabnya Zaadul Ma’aad, “Dan makam beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam digunduki tanah seperti punuk yang berada di tanah lapang merah. Tidak ada bangunan dan tidak juga diplester. Demikian itu pula makam kedua sahabatnya (Abu Bakar dan Umar)”
Hal tsb menunjukkan bhw kuburan Nabi tidaklah dibangun seperti bangunan sekarang ini pada awalnya. Jadi dibangunnya kuburan Nabi bukanlah hujjah yg dpt dipakai, kecuali jika yg membangunannya tsb adalah para shahabat nabi dan atas ijma mrk. Wallahu a’lam.
Syaikh Albani ditanya :
“Kuburan Nabi saw ada di dalam Masjid beliau, yang dapat disaksikan hingga saat ini. Kalau memang hal ini dilarang, lalu mengapa beliau dikuburkan disitu ?
“Kuburan Nabi saw ada di dalam Masjid beliau, yang dapat disaksikan hingga saat ini. Kalau memang hal ini dilarang, lalu mengapa beliau dikuburkan disitu ?
Jawabannya:
Keadaan yang kita saksikan pada jaman sekarang ini tidak seperti yang
terjadi pada jaman sahabat. Setelah beliau wafat, mereka menguburkannya
didalam biliknya yang letaknya bersebelahan dengan masjid, dipisahkan
oleh dinding yang ada pintunya. Beliau biasa masuk masjid lewat pintu
itu.
Hal ini telah disepakati oleh semua ulama, dan tidak ada pertentangan diantara mereka. Para sahabat mengubur jasad beliau didalam
biliknya, agar nantinya orang-orang sesudah mereka tidak menggunakan
kuburan beliau sebagai tempat untuk shalat, seperti yang sudah kita
terangkan dalam hadits ‘Aisyah dibagian muka. Tapi apa yang terjadi
dikemudian hari di luar perhitungan mereka. Pada tahun 88 Hijriah, Al Walid bin Abdul Malik merehab masjid Nabi dan memperluas masjid hingga kekamar ‘Aisyah. Berarti kuburan beliau masuk
ke dalam area masjid. Sementara pada saat itu sudah tidak ada satu
sahabatpun yang masih hidup, sehingga dapat menentang tindakan Al Walid
ini seperti yang diragukan oleh sebagian manusia.
Al Hafizh Muhamad Abdul-Hady menjelaskan didalam bukunya Ash-Sharimul
Manky: “Bilik Rasulullah masuk dalam masjid pada jaman Al Walid bin
Abdul Malik, setelah semua sahabat beliau di Madinah meninggal. Sahabat
terakhir yang meninggal adalah Jabir bin Abdullah. Ia meninggal pada
jaman Abdul Malik, yang meninggal pada tahun 78 Hijriah. Sementara Al Walid menjadi khalifah pada tahun 86 Hijriah, dan meninggal pada tahun 96 Hijriah. Rehabilitasi masjid dan
memasukkan bilik beliau kedalam masjid, dilakukan antara tahun-tahun
itu.
Abu Zaid Umar bin Syabbah An Numairy berkata di dalam buku
karangannya Akhbarul-Madinah: “Ketika Umar bin Abdul Aziz menjadi
gubernur Madinah pada tahun 91 Hijriah, ia meribohkan masjid lalu
membangunnya lagi dengan menggunakan batu-batu yang diukir, atapnya
terbuat dari jenis kayu yang bagus. Bilik istri-istri Nabi saw
dirobohkan pula lalu dimasukkan kedalam masjid. Berarti kuburan beliau
juga masuk kedalam masjid.”
Dari penjelasan ini jelaslah sudah bahwa kuburan beliau masuk menjadi
bagian dari masjid nabawi, ketika di Madinah sudah tidak ada seorang
sahabatpun. Hal ini ternyata berlainan dengan tujuan saat mereka
menguburkan jasad Rasulullah di dalam biliknya.
Maka setiap orang muslim yang mengetahui hakikat ini, tidak boleh
berhujjah dengan sesuatu yang terjadi sesudah meninggalnya para sahabat.
Sebab hal ini bertentangan dengan hadits-hadits shahih dan pengertian
yang diserap para sahabat serta pendapat para imam.
Hal ini juga bertentangan dengan apa yang dilakukan Umar dan Utsman
ketika meluaskan masjid Nabawi tersebut. Mereka berdua tidak memasukkan
kuburan beliau ke dalam masjid.
Maka dapat kita putuskan, perbuatan Al Walid adalah salah. Kalaupun
ia terdesak untuk meluaskan masjid Nabawi, toh ia bisa meluaskan dari
sisi lain sehingga tidak mengusik kuburan beliau. Umat bin Khattab
pernah mengisyaratkan segi kesalahan semacam ini. Ketika meluaskan
masjid, ia mengadakan perluasan di sisi lain dan tidak mengusik kuburan
beliau. Ia berkata: “Tidak ada alasan untuk berbuat seperti itu.” Umar memberi peringatan agar tidak merobohkan masjid, lalu memasukkan kuburan beliau ke dalam masjid.
Karena tidak ingin bertentangan dengan hadits dan kebiasaan
khulafa’urrasyidin, maka orang-orang Islam sesudah itu sangat
berhati-hati dalam meluaskan masjid Nabawi. Mereka mengurangi
kontroversi sebisa mungkin. Dalam hal ini An-Nawawi menjelaskan di dalam
Syarh Muslim: “Ketika para sahabat yang masih hidup dan tabi’in merasa
perlu untuk meluaskan masjid Nabawi karena banyaknya jumlah kaum muslimin, maka perkuasan masjid itu mencapai rumah
Ummahatul-Mukminin, termasuk bilik ‘Aisyah, tempat dikuburkannya
Rasulullah dan juga kuburan dua sahabat beliau, Abubakar dan Umar.
Mereka membuat dinding pemisah yang tinggi disekeliling kuburan,
bentuknya melingkar. Sehingga kuburan tidak langsung nampak sebagai
bagian dari masjid. Dan orang-orangpun tidak shalat ke arah kuburan itu,
sehingga merekapun tidak terseret pada hal-hal yang dilarang.
Ibnu Taimiyah dan Ibnu Rajab yang menukil dari l-Qurthuby, menjelaskan: “Ketika bilik beliau masuk ke dalam masjid, maka pintunya di kunci, lalu disekelilingnya dibangun pagar tembok yang
tinggi. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga agar rumah beliau tidak
dipergunakan untuk acara-acara peringatan dan kuburan beliau dijadikan
patung sesembahan.”
Dapat kami katakan: Memang sangat disayangkan bangunan tersebut sudah
didirikan sejak berabad-abad di atas kuburan Nabi saw. Disana ada kubah
menjulang tinggi berwarna hijau, kuburan beliau dikelilingi
jendela-jendela yang terbuat dari bahan tembaga, berbagai hiasan dan
tabir. Padahal semua itu tidak diridhai oleh orang yang dikuburkan
disitu, yaitu Rasulullah saw. Bahkan ketika kami berkunjung kesana, kami
lihat disamping tembok sebelah utara terdapat mihrab kecil. Ini
merupakan isyarat bahwa tempat itu dikhususkan untuk shalat dibelakang
kuburan . Kami benar-benar heran. Bagaimana bisa terjadi paganisme yang
sangat mencolok ini dibiarkan begitu saja oleh suatu negara yang mengagung-agungkan masalah tauhid ?
Namun begitu kami mengakui secara jujur, selama disana kami tidak
meliahat seorangpun mendirikan shalat didalam mihrab itu. Para penjaga
yang sudah ditugaskan disana mengawasi secara ketat agar mencegah
manusia yang datang kesana dan melakukan suatu yang bertentangan dengan
syariat disekitar kuburan Nabi saw. Ini merupakan suatu yang perlu
disyukuri atas sikap pemerintah Saudi.
Tetapi ini belum cukup dan tidak memberikan jalan keluar yang tuntas.
Tentang hal ini sudah lama kami katakan di dalam buku Ahkamul Jana’ iz
wa Bida’uha: “Seharusnya masjid Nabawi dikembalikan ke jamannya semula,
yaitu dengan membuat tabir pemisah antara kuburan dengan masjid, berupa
tembok yang membentang dari uatara ke selatan. Sehingga setiap orang yang masuk ke masjid tidak dikejar oleh
macam-macam pertentangan yang tidak diridhai pendirinya. Kami merasa
yakin, ini merupakan kewajiban pemerintah Saudi, kalau ia masih ingin
menjaga tauhid yang benar. Andaikata ada rencana perluasan kembali, maka
bisa melebar kesebelah barat atau sisi lainnya. Tapi ketika diadakan
perbaikan lagi, ternyata masjid Nabawi tidak dikembalikan ke bentuknya
yang pertama pada jaman sahabat.”
[Oleh Syeikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, diambil dari Buku "Peringatan ! Menggunakan Kuburan Sebagai Masjid" Bab. IV/Hal.50-83]
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama