Aku bertemu suami hampir sebelas tahun lalu semasa semester akhir di
perguruan tinggi. Awal yang tak sengaja, saat aku kena tilang (Istilah
untuk pelanggaran aturan lalu lintas) di jalan sepulang kuliah. Suami
lah yang kala itu menilangku. Karena tergesa-gesa pulang, helemku yang
usai dipinjam teman ketinggalan di parkiran kampus. Seminggu berikutnya,
aku kena razia lagi, gara-gara lupa membawa SIM. Itulah aku, masih muda
tapi pelupa. Belum lagi kebiasaanku yang ceroboh dan asal taruh makin
menambah daftar hitam “sifat burukku”. Bapak dan ibu sering sekali
menegurku. Dan saat razia ini lagi-lagi aku berhadapan dengan polisi
yang sama. Ya suamiku itu.
“Saudari tidak malu kena tilang terus?” Tanyanya kala itu sambil senyum-senyum.
Ya, malu pak. Bapak juga nggak bosen nilang saya?” Jawabku sekenanya.
Dia dan beberapa temannya tertawa. Aku diam-diam merasa dongkol. Siapa yang pingin lupa dan siapa juga pingin kena tilang? Aku menggerutu dalam hati.
Ya, malu pak. Bapak juga nggak bosen nilang saya?” Jawabku sekenanya.
Dia dan beberapa temannya tertawa. Aku diam-diam merasa dongkol. Siapa yang pingin lupa dan siapa juga pingin kena tilang? Aku menggerutu dalam hati.
Pertemuan ketiga terjadi saat tak sengaja ketemu. Suamiku yang kala
itu masih bujang, dia belanja ke pasar! Ini benar-benar kejutan.
Laki-laki pergi ke pasar, masih berpakaian dinas lagi. Ia begitu “pede”
dan tampak terbiasa melakukannya. Saat aku masih terbengong melihatnya,
dia melihat dan mendekatiku.
“Apa kabar, Mbak. Belanja ya?” sapanya ramah.
Ya, nganter ibu.
Belanja juga ya, Pak?”
Biasa kok, belanja titipan itu. Jangan panggil saya pak. Nama saya Suryo.” Aku manggut-manggut.
Ya, nganter ibu.
Belanja juga ya, Pak?”
Biasa kok, belanja titipan itu. Jangan panggil saya pak. Nama saya Suryo.” Aku manggut-manggut.
Aku sempat “dekat” dengannya selama tiga bulan. Qadarullah, saat itu
aku mulai kenal Islam lebih dekat. Awalnya saat persiapan skripsi, aku
harus “mendadak” jadi anak kost. Tujuanku untuk hemat energi dan bisa
lebih konsen dalam mempersiapkan makalah. Kebetulan setelah mencari kos
kian kemari, yang kosong cuma “kos-kosan ninja”, kata teman yang
membantu mencari kos. Awalnya aku enggan dan tak berminat. Ternyata
hikmah dan “skenario langit” itu kusadari kini. Musim hujan yang sering
turun kala itu, juga membuatku tak bisa menolak untuk tidak kos di sana.
Intinya, Allah tak memberiku pilihan lain. Meski awalnya asing bersama
“ninja” tapi akhirnya, syukur alhamdulillah, tak pernah henti-henti
kuucap.
Dari gaul dengan teman-teman akhwat itu, aku tahu kenapa tak ada
istilah pacaran dalam Islam. Padahal, hampir tiga bulan aku di kos-kosan
itu. Tiap malam Ahad aku “diapelin”. Astaghfirullah, malurasanya bila
ingat itu.
Akhirnya, aku memutuskan baik-baik hubunganku dengannya. Meski
awalnya ia tak mau. Aku memberinya pengertian dan asal pembaca tahu,
suamiku saat itu masih non muslim. Ia Katholik taat. Bahkan, aku sening
mengantarnya ke gereja. Itu kulakukan karena saat itu pemahaman agamaku
sangat minim.
Sedih. Tentu dan itu pasti, Tapi aku telah memilih “jalan baru”. Aku
hapus semua tentangnya, dari foto, nomor HP atau segala hal yang
berhubungan dengannya. Hatiku ringan karena niatku semata merigharap
nidha Allah. Skripsiku pun berjalan lancar. Dan saat wisuda IP-ku sangat
memuaskan. Walhamdulillah.
Selesai kuliah, aku minta ijin ortu untuk tetap tinggal di kost. Itu
kulakukan untuk menjaga ghirah dan istiqamah. Maklum, aku baru hitungan
bulan mengenal manhaj ini, jadi butuh lingkungan yang mendukung. Aku tak
yakin bila di rumah, sebab di numah bapak membuka rental PS
(Playstation).
Rumah kecilku biasa jadi tongkrongan anak-anak dan remaja. Aku merasa
tak nyaman di rumah. Untuk melarang bapak pun aku tak berani.
Untuk biaya hidup, aku mengajar. Hingga delapan bulan dari kelulusan.
Sebuah sms kuterima dari Suryo. Padahal aku sudah ganti nomor
handphone. Rupanya ia minta ke orang tuaku.
Pesannya singkat, “Maukah kau menikah denganku?”
Ya Allah pria ini masih saja mengharapkanku. Padahal aku telah membuang jauh tentangnya. Aku hapus SMS-nya, tanpa kubalas.
Malam Ahad, seperti biasa aku pulang ke rumah. Dan yang mengejutkanku
Suryo mencariku. Penting kata bapak. Kepada bapak Suryo bilang ingin
melamarku. Ia juga titip susuatu untukku. Amplop besar kubuka selepas
Suryo pulang. Masya Allah, isinya adalah SK beberapa surat keterangan
dari atasan hingga kantor pusat mengenai kepindahan agamanya. Surto
telah menjadi mualaf.
Air mataku berlingang, tangisku pecah. Ternyata begitu putus dariku,
ia langsung mengurus surat pindah agama pada kantor dinasnya. Yang luar
biasa, ia juga belajar dien mulia ini pada sebuah kajian salaf,
subhanallah. Kuharap kepindahan agamanya semata karena Allah.
Akhirnya kuberi jawaban “ya” pada suryo lewat bapak. Kami baru bisa
menikah beberapa bulan kemudian, karena harus menyelesaikan beberapa
urusan terkait dinas.
Mahar terindah untukku adalah keislamannya. Sepanjang pernikahan itu
aku tak henti berurai airmata, airmata bahagia. Bayangkan, usai akad
nikah, 5 dari 7 saudara Mas Suryo juga menjadi mualaf-mualaf baru
menyusul Mas Suryo. Walhamdulillah. Bapak dan ibu Mas Suryo tak
bermasalah. Bahkan beliau berdua dekat dengan kami siang malam. Tak
henti kumohon pada Allah agar memberi hidayah pada beliau berdua.
Apalagi bila kuingat begitu luar biasanya baiknya mereka padaku, pada
besan, pada keluarga, tetangga juga lingkungan sekelilingnya. Aku selalu
berharap hidayah itu datang, amin.
Kini, kami sudah punya dua momongan. Aku dan suami selalu berangkat
taklim bila ia tak dinas. Harapanku, keluarga yang kami bangun langgeng,
sakinah mawaddah wa rahmah. (***).
Sebagaimana diceritakan shahibul qishah pada Ummu Nawwaf
sumber : Majalah NIKAH SAKINAH vol 9 no 12
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama