ADA pula yang mencari kebahagiaan dengan pendekatan seni. Bahkan seni
yang mengandung unsur pornografi, cabul dan amoral. Dengan seni ia
memancing birahi, mempermainkan perasaan, menggelisahkan hati, menyemai
asmara di hati orang lain, seolah-olah dengan begitu kebahagiaan akan
sampai pada hati dan jiwanya. Padahal, pada akhirnya hatinyalah yang
buta. Semakin tenggelam dalam syahwat, seperti minum air laut. Semakin
banyak yang diteguk bertambah haus.
Dosa panca indra yang dilakukan, beranak pinak. Mengajak kepada
kejahatan berikutnya. Ia kehilangan sifat malu. Ia semakin jauh dari
hidayah Allah Subhanahu Wata’ala. Kebahagiaan yang ada pada dirinya
dicabut. Dan barangsiapa berpaling dariNYA, baginya penghidupan
yang sempit, dan akan dihimpunkannya pada hari kiamat dalam “keadaan
buta”.
قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنتُ بَصِيراً
قَالَ كَذَلِكَ أَتَتْكَ آيَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذَلِكَ الْيَوْمَ تُنسَى
“Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal
aku dahulunya adalah seorang yang melihat?” Allah berfirman,
“Demikian¬lah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu
melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamu pun dilupakan.” (QS: Thaha [20]: 124-126)
Di manakah kebahagiaan itu ditemukan? Apakah kebahagiaan itu berupa
benda yang bisa dicari di tempat tertentu? Siapakah yang membawa bahagia
itu dan memasukkannya di dalam hati manusia?
Nabi Yunus ibn Matta menemukan kebahagiaan di dalam kegelapan malam,
kegelapan di dasar laut, dan kegelapan di dalam perut ikan. Ketika
terputus semua bentuk ketergantungan, kecuali ketergantungan kepada-Nya.
Ia keluar dari perut ikan dan mengucapkan doa dengan suara yang lembut
dan sedih.
“Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam
keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya
(menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap (di
malam hari, di dasar laut, di dalam perut ikan), “Bahwa tidak ada Tuhan
selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk
orang-orang yang zalim.” (QS. al-Anbiya’ [21]: 87)
Setelah mengucapkan itu, ia pun merasakan kebahagiaan sejati.
Kebahagiaan para shiddiqun dan Nabi
Sementara Nabi Musa as, mendapatkan kebahagiaan ketika berada di
tengah gelombang ombak lautan. Ia meminta penderitaan itu demi menemukan
Allah Yang Maha Kuasa.
فَلَمَّا تَرَاءى الْجَمْعَانِ قَالَ أَصْحَابُ مُوسَى إِنَّا لَمُدْرَكُونَ
قَالَ كَلَّا إِنَّ مَعِيَ رَبِّي سَيَهْدِينِ
“Maka setelah kedua golongan itu saling melihat, berkatalah
pengikut-pengikut Musa, “Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul”.
Musa menjawab, “Sekali-kali tidak akan tersusul; sesungguhnya Tuhanku
be¬sertaku, kelak dia akan memberi petunjuk kepadaku.” (QS. asy-Syu’ara [26]: 61-62)
Sementara Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam menemukan
kebahagiaan ketika bersembunyi di goa Tsur dari kejaran orang-orang
kafir. Beliau menyaksikan kematian di depan matanya, lalu menoleh kepada
Abu Bakar dan mengucapkan kata berikut seraya menenangkan.
إِلاَّ تَنصُرُوهُ فَقَدْ نَصَرَهُ اللّهُ إِذْ أَخْرَجَهُ الَّذِينَ
كَفَرُواْ ثَانِيَ اثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ إِذْ يَقُولُ
لِصَاحِبِهِ لاَ تَحْزَنْ إِنَّ اللّهَ مَعَنَا فَأَنزَلَ اللّهُ
سَكِينَتَهُ عَلَيْهِ وَأَيَّدَهُ بِجُنُودٍ لَّمْ تَرَوْهَا وَجَعَلَ
كَلِمَةَ الَّذِينَ كَفَرُواْ السُّفْلَى وَكَلِمَةُ اللّهِ هِيَ
الْعُلْيَا وَاللّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya
Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin
Makkah) mengeluarkannya (dari Makkah) sedang dia salah seorang dari dua
orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada
temannya, “Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta
kita.” Maka Allah menurunkan keterangan-Nya kepada (Muhammad) dan
membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan al-Qur’an
menjadikan orang-orang kafir itulah yang rendah. dan kalimat Allah
itulah yang Tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. at-Taubah [9]: 40)
Begitulah cara Allah. Bahkan Nabi Yusuf menemukan kebahagiaan ketika ia dipenjara selama tujuh tahun.
Ahmad ibn Hanbal, Ibnu Taimiyah menemukan kebahagiaan di balik terali
besi. Sekalipun fisiknya disiksa, tetapi jiwanya bebas melayang. Ia
menemukan kebahagiaan yang hakiki, ketika dalam suasana berpihak kepada
Allah Subhanahu Wata’ala. Mengharumkan nama-Nya, menjunjung tinggi
kalimat-Nya, membela kebenaran dari-Nya se¬kalipun rasanya pahit.
Sementara itu Ibrahim ibn Adham menemukan kebahagiaan ketika sedang
tertidur di ujung jalan kota Baghdad. Ia tidak menemukan sepotong roti
pun yang dapat dikonsumsi. Namun demikian, ia berkata, Demi Zat yang
tidak ada Tuhan selain Dia. Aku dalam sebuah kehidupan yang lezat, yang
sekiranya para raja itu tahu, tentu mereka akan mengambilnya dengan
pedang-pedang.
Itulah sekilas kondisi pendahulu kita yang berbahagia. Mereka para
Nabi, Shiddiqun, Syuhada dan Shalihun. Mereka telah menemukan jalan yang
lurus. Kebahagiaan itu mustahil didapatkan kecuali dengan iman dan amal
shalih. Tanpa keduanya kebahagia¬an yang diburu semakin menjauh.
Ketika Harun ar-Rasyid memangku kekhalifahan yang diwarisinya dari
bapaknya, ia mengalokasikan harta yang sangat banyak untuk membangun
sebuah istana di tepi sungai Dazlah. Sungai itu dialirkan dari sebelah
utara istana dan keluar dari sebelah selatan. Ia membangun taman yang
luar biasa dan menonjok ke sungai. Ia lalu membuat tirai-tirai dan
tempat berkumpul orang-orang.
Setelah pembangunan selesai, orang-orang berkerumun mendatanginya
untuk memberi ucapan selamat kepadanya. Salah seorang di antara yang
datang adalah Abu al-‘Athiyah. Ia berdiri di hadapan Harun ar-Rasyid dan
berkata. Perkataan kali ketiga yang berbunyi:
Apabila jiwa telah berkumur
Dengan napas sekaratul maut (mabuk kematian) di dalam dada
Di sana Anda mengetahui dengan haqqul yaqin
Tidaklah Anda kecuali dalam (keadaan) tertipu
Dengan napas sekaratul maut (mabuk kematian) di dalam dada
Di sana Anda mengetahui dengan haqqul yaqin
Tidaklah Anda kecuali dalam (keadaan) tertipu
Maka, Harun menangis sampai terjatuh ke tanah. Ia kemudian
memerintahkan tirai-tirai itu dihancurkan, pintu-pintu digembok, dan ia
kembali menempati istana yang lama. Tidak mencapai sebulan kemudian, ia
meninggal dunia.
Abdul Malik ibn Marwan yang menguasai dunia Islam, dari timur dan
barat. Namun, ketika sakarat, ia turun dari ranjang kerajaannya yang
telah dikuasai orang lain. Setelah lengser dari kekuasaannya ia
mendengar tukang cuci di samping istana tampaknya diselimuti
kebahagiaan. Padahal, ia tidak memiliki kekuasaan, kesibukan dan
permasalahan. Ia bernyanyi sambil mencuci pakaian. Abdul Malik berkata,
“Sekiranya aku tukang cuci, dan tidak mengenal kekhalifahan, seandainya
aku tidak pernah men¬jabat sebagai raja.” Ia kemudian meninggal.
Hanya Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassallam contoh afdhal (paling
utama) dari Allah Subhanahu Wata’ala. Siapapun, sekalipun dengan kerja
keras tidak bisa mencapai kedudukan mulia ini (maqaman mahmudah). Dengan
al-Quran, Muhammad menjadikan akhlak, perilaku, spiritual, bisnis, cara
perang, cara menjadi kepala keluarga, dan memimpin masyarakat.
Itulah sebabnya beliau mengadakan perenungan yang luar biasa di gua
Hira’ selama tiga tahun berturut-turut. Menggali potensi dirinya untuk
berhubungan dengan realitas metafisik. Setelah ia menyadari bahwa dunia
dan seisinya, termasuk dirinya hanyalah sebuah titik di alam semesta
ini. Dari sinilah terjadi perubahan spektakuler, berubah secara total
orientasi kehidupannya, cara memandang dirinya, lingkungan sosialnya,
misi kehadirannya di muka bumi ini, dan cara memandang Rabb-nya.
سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ
لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَى كُلِّ
شَيْءٍ شَهِيدٌ
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan)
Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas
bagi mereka bahwa al-Qur’an itu adalah benar tiadakah cukup bahwa
sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (QS. Fushshilat [41]: 53)
Karena itu, wahai manusia, barangsiapa yang menginginkan kebahagiaan
hakiki, maka carilah di rumah-rumah Allah Subhanahu Wata’ala, majelis
shalat jamaah, majelis ilmu, majelis zikir, dan yang terpenting
mencontoh (ittiba’ dan iqtida serta taassi) manusia yang paling bahagia di dunia dan akhirat, yani Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam.
Oleh: Shalih Hasyim
Penulis adalah kolumnis hidayatullah, tinggal di Kudus.
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama