Bahasan tatacara memandikan jenazah adalah shalat jenazah.
Barangkali sebagian kita telah berulang kali mengamalkannya.
Namun kajian ini insya Allah tetap memiliki nuansa lain karena kita diajak untuk menyelami dalil-dalilnya.
Purna sudah tugas
memandikan dan mengafani jenazah. Yang tertinggal sekarang adalah
menshalati, mengantarkannya ke pekuburan dan memakamkannya. Untuk
mengantarkan ke pekuburan dan memakam-kannya merupakan tugas laki-laki,
karena Rasulullah n telah melarang wanita untuk mengikuti jenazah sebagaimana diberitakan Ummu ‘Athiyyah x:
“Kami dilarang (dalam satu riwayat: Rasulullah n melarang kami) untuk mengikuti jenazah namun tidak ditekankan (larangan tersebut) terhadap kami.”1
Al-Imam Ibnul Daqiqil ‘Ied t berkata:“Hadits ini mengandung dalil
dibencinya wanita mengikuti jenazah, namun tidak sampai pada keharaman.
Demikian yang dipahami dari ucapan Ummu ‘Athiyyah x: (namun tidak
ditekankan larangan tersebut terhadap kami) karena ‘azimah menunjukkan
ta`kid (penekanan).” (Ihkamul Ahkam fi Syarhi ‘Umdatil Ahkam, kitab
Al-Jana`iz, hal. 199)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani tberkata: “Seakan-akan Ummu
‘Athiyyah xhendak menyatakan bahwa: ‘Beliau n benci bila kami mengikuti
jenazah, namun beliau tidak mengharamkannya’.” Al-Qurthubi t berkata:
“Yang tampak dari konteks ucapan Ummu ‘Athiyyahxadalah larangan tersebut
merupakan nahi tanzih (larangan makruh, bukan haram). Demikian pendapat
jumhur ahlul ilmi2.” (Fathul Bari, 3/186).
Sementara ulama Madinah membo-lehkannya, termasuk Al-Imam Malik t,
namun untuk wanita yang masih muda/ remaja beliau memakruhkannya.”
(Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, Al-Imam An-Nawawi 7/5, Ihkamul Ahkam,
kitab Al-Janaiz, hal. 200)
Dengan demikian, keutamaan mengikuti jenazah seperti ditunjukkan
dalam hadits Abu Hurairahz3 hanya berlaku untuk lelaki secara khusus
(Ahkamul Janaiz, Asy-Syaikh Al-Albani v, hal. 88,90).
Shalat Jenazah
Menshalati jenazah seorang muslim hukumnya fardhu/ wajib kifayah4, karena adanya perintah Nabi n dalam beberapa hadits. Di antaranya hadits Abu Qatadahz, ia menceritakan:
Didatangkan jenazah seorang lelaki dari kalangan Anshar di hadapan
Rasulullah n agar beliau menshalatinya, ternyata beliau n, bersabda:
“Shalatilah teman kalian ini, (aku tidak mau menshalatinya) karena ia
meninggal dengan menanggung hutang.” Mendengar hal itu berkatalah Abu
Qatadah: “Hutang itu menjadi tanggunganku.” Nabi n bersabda: “Janji ini
akan disertai dengan penunaian?”. “Janji ini akan disertai dengan
penunaian,“ jawab Abu Qatadah. Maka Nabi pun menshalatinya.”5
Dikecualikan dalam hal ini dua jenis jenazah yang tidak wajib dishalati, yaitu:
1. Anak kecil yang belum baligh, karena Nabi n tidak menshalati putra beliau Ibrahim ketika wafatnya sebagaimana diberitakan ‘Aisyahx:
“Ibrahim putra Nabi n meninggal dunia dalam usia 18 bulan, beliau n tidak menshalatinya.”6
2. Orang yang gugur fi sabilillah (syahid) karena Nabi n tidak menshalati syuhada perang Uhud dan selain mereka. Anas bin Malik z mengabarkan:
“Syuhada perang Uhud tidak dimandikan, dan mereka dimakamkan dengan
darah-darah mereka, juga tidak dishalati kecuali jenazah Hamzah.”7
Kedua golongan di atas, kalaupun
hendak dishalati maka tidak menjadi masalah bahkan hal ini
disyariatkan. Namun pensyariatannya tidaklah wajib.
Kenapa kita katakan hal ini disyariatkan? Karena Nabi n pernah pula
menshalati jenazah anak kecil seperti tersebut dalam hadits Aisyah x:
“Didatangkan kepada Rasulullah n jenazah anak kecil dari kalangan Anshar, beliau pun menshalatinya…”8
Sebagaimana Nabi n pernah menshalati jenazah seorang A‘rabi (Badui) yang gugur di medan jihad. Syaddad ibnul Haad berkisah:
“Seorang lelaki dari kalangan A‘rabi datang menemui Nabi n . Ia pun
beriman dan mengikuti beliau. Kemudian ia berkata: “Aku berhijrah
bersamamu.” Nabi n berpesan kepada beberapa shahabatnya untuk
memperhatikan A‘rabi ini. Ketika perang Khaibar, Nabi n mendapatkan
ghanimah, beliau membaginya, dan memberikan bagian kepada A‘rabi
tersebut dengan menyerahkannya lewat sebagian shahabat beliau. Saat itu
si A‘rabi ini sedang menggembalakan tunggangan mereka. Ketika ia
kembali, mereka menyerahkan bagian ghanimah tersebut kepadanya.
“Apa ini ?” tanya A’rabi tersebut.
“Bagian yang diberikan Nabi n untukmu,” jawab mereka.
A‘rabi ini mengambil harta tersebut lalu membawanya ke hadapan Nabi n, seraya bertanya: “Harta apa ini?”
“Aku membaginya untukmu,” sabda Nabi n .
“Bukan untuk ini aku mengikutimu, akan tetapi aku mengikutimu agar
aku dipanah di sini – ia memberi isyarat ke tenggorokannya– hingga aku
mati, lalu masuk surga,” kata A’rabi.
Nabi n bersabda: “Bila engkau jujur terhadap Allah (dengan keinginanmu tersebut), niscaya Dia akan menepatimu.”
Mereka tinggal sejenak. Setelahnya mereka bangkit untuk memerangi
musuh (A‘rabi turut serta bersama mereka, akhirnya ia gugur di medan
laga, –pent.) Ia dibopong ke hadapan Nabi n, setelah sebelumnya ia
terkena panah pada bagian tubuh yang telah diisyaratkannya.
“Apakah ini A’rabi itu?” tanya Nabi n.
“Ya,“ jawab mereka yang ditanya.
“Dia jujur kepada Allah maka Allah pun menepati keinginannya,” kata
Nabi n. Kemudian Nabi n mengafaninya dengan jubah beliau. Setelahnya,
beliau meletakkannya di hadapan beliau untuk dishalati. Di antara doa
Nabi n dalam shalat jenazah tersebut: “Ya Allah, inilah hamba-Mu, dia
keluar dari negerinya untuk berhijrah di jalan-Mu, lalu ia terbunuh
sebagai syahid, aku menjadi saksi atas semua itu.”9
Ibnul Qayyim t berkata: “Yang benar dalam masalah ini, seseorang
diberi pilihan antara menshalati mereka atau tidak, karena masing-masing
ada atsarnya. Demikian salah satu riwayat dari pendapat Al-Imam Ahmad
t. Dan pendapat inilah yang paling men-cocoki ushul dan madzhabnya.”
(Tahdzibus Sunan , 4/295 sebagaimana dalam Ahkamul Jana`iz , hal. 108)
Apakah Disyariatkan Menshalati Janin yang Gugur?
Janin yang gugur dishalati apabila telah ditiupkan ruh kepadanya, yakni ketika telah genap usia 4 bulan. Hal ini ditunjukkan dalam hadits Ibnu Mas‘ud z secara marfu‘:
“Sesungguhnya salah seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya di
perut ibunya selama 40 hari, kemudian menjadi ‘alaqah (segumpal darah)
selama 40 hari juga, kemudian menjadi mudhghah (segumpal daging) selama
40 hari juga. Setelah itu (ketika janin telah berusia 120 hari atau 4
bulan, –pent.) Allah mengutus seorang malaikat yang diperintah dengan
empat kata, dikatakan kepada malaikat tersebut: “Tulislah amal dan
rizkinya. (Tulis pula) apakah ia bahagia atau sengsara. Kemudian
ditiupkan ruh pada janin tersebut….”10
Adapun bila janin itu gugur sebelum 4 bulan maka tidak
dishalati, karena janin tersebut tidak bisa dianggap sebagai mayat
(karena belum mempunyai ruh). (Al-Hawil Kabir, 3/31, Al-Muhalla 3/386-387, Nailul Authar 4/61)
Shalat Jenazah Dilakukan Secara Berjamaah
Disyariatkan shalat jenazah secara berjamaah sebagaimana shalat lima waktu, dengan dalil:
1. Nabi n senantiasa melaksanakannya secara berjamaah.
2. Nabi n telah bersabda:
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat.” 11
Namun bila mereka mengerjakannya sendiri-sendiri maka telah
tertunaikan kewajiban, sebagaimana kata Al-Imam An-Nawawi t: “Tidak ada
perbedaan pendapat bahwa shalat jenazah boleh dilakukan sendiri-sendiri.
Namun yang sunnah, shalat jenazah itu dilakukan secara berjamaah.
Karena demikianlah yang ditunjukkan dalam hadits-hadits masyhur yang ada
dalam kitab Ash-Shahih, bersamaan dengan adanya ijma’ kaum muslimin
dalam masalah ini.” (Al-Majmu’, 5/172)
Semakin banyak jamaah yang menshalati jenazah tersebut, semakin afdhal dan ber-manfaat bagi si mayat12, karena Nabi n bersabda:
“Tidak ada satu mayat pun yang dishalati oleh suatu umat dari kaum
muslimin yang mencapai jumlah 100 orang, di mana mereka memberikan
syafaat kepada si mayat, melainkan mayat tersebut disyafaati.”13
Bahkan jumlah yang kurang dari 100 pun bermanfaat bagi si mayat,
dengan syarat mereka yang menshalatinya itu dari kalangan muwahhidin
(orang-orang yang bertauhid dengan tidak mencampurinya dengan kesyirikan
sedikit pun). Seperti tersebut dalam sabda Nabi n:
“Tidak ada seorang
muslimpun yang meninggal, lalu 40 orang yang tidak berbuat syirik
terhadap Allah sedikit pun menshalati jenazahnya, melainkan Allah
memberikan syafaat mereka itu terhadapnya.”14
Disunnahkan makmum yang ikut shalat jenazah tersebut membentuk tiga shaf atau lebih di belakang imam15, sebagaimana ditunjukkan dalam hadits dari Abu Umamah t, ia berkata:
“Rasulullah n pernah shalat jenazah bersama tujuh orang, maka beliau
menjadikan tiga orang berada dalam satu shaf, dua orang yang lain dalam
satu shaf dan dua orang yang tersisa dalam satu shaf.”16
Yang afdhal pelaksanaan shalat jenazah itu di luar masjid, di tempat yang memang khusus disiapkan untuk shalat jenazah, sebagaimana hal ini dilakukan di masa Nabi n (Ahkamul Jana`iz, hal. 135).
Masbuq dalam Shalat Jenazah
Ibnu Hazm t berkata: “Bila seseorang luput dari mendapatkan beberapa takbir dalam shalat jenazah (bersama imamnya), maka
ia langsung bertakbir ketika tiba di tempat shalat tersebut tanpa
menanti takbir imam yang berikutnya. Apabila imam telah salam, ia
menyempurnakan apa yang luput dari takbirnya, dan berdoa di antara
takbir yang satu dengan takbir yang lain sebagaimana yang ia perbuat
bersama imam. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah n terhadap
orang yang (terlambat) mendatangi shalat berjamaah (masbuq) agar ia
mengerjakan apa yang sempat ia dapatkan bersama imam dan ia sempurnakan
apa yang tertinggal….” (Al-Muhalla, 3/410)
Posisi Berdiri Imam
Ketika jenazah diletakkan untuk dishalati, bila
jenazahnya lelaki, imam berdiri di belakangnya pada posisi kepala.
Adapun jika jenazahnya wanita maka imam berdiri pada posisi tengahnya. Hal ini ditunjukkan dalam hadits Samurah bin Jundabzyang dikelu-arkan dalam Shahihain17. Samurah berkata:
“Aku pernah menjadi makmum di belakang Nabi n ketika menshalati
seorang wanita bernama Ummu Ka’ab yang meninggal karena melahirkan. Nabi
n berdiri pada posisi tengah jenazah dan beliau bertakbir empat
kali.”18
Abu Ghalib Al-Khayyath t berkisah: “Aku pernah menyaksikan Anas bin
Malik z menshalati jenazah seorang lelaki, ia berdiri di bagian yang
bersisian dengan kepala jenazah. Ketika jenazah tersebut telah diangkat,
didatangkan jenazah seorang wanita dari Anshar, maka dikatakan kepada
Anas: ‘Wahai Abu Hamzah (kunyah Anas), tolong shalatilah.’ Anas pun
menshalatinya dan ia berdiri pada posisi tengah jenazah.
Di antara kami ketika itu ada Al-’Ala` bin Ziyad Al-’Adawi (seorang
yang tsiqah dari kalangan tabi’in, termasuk ahli ibadah dan qurra`
penduduk Bashrah). Ketika melihat perbedaan berdirinya Anas tersebut, ia
berkata: ‘Wahai Abu Hamzah, apakah demikian Rasulullah n berdiri
sebagaimana engkau berdiri ketika menshalati jenazah laki-laki dan
ketika menshalati jenazah wanita?’ Anas menjawab: ‘Iya’.”19
Wanita Menshalati Jenazah
Al-Imam An-Nawawi t berkata: “Apabila tidak ada yang
menghadiri jenazah kecuali para wanita, maka tidak ada perbedaan
pendapat tentang wajibnya mereka menshalati jenazah tersebut.
Dan tidak ada perbedaan pendapat bahwasanya ketika itu gugurlah
kewajiban (menshalati jenazah) dengan apa yang mereka lakukan. Dan
mereka menshalati jenazah tersebut secara sendiri-sendiri. Namun tidak
apa-apa bila mereka mengerjakan secara berjamaah (dengan sesama
mereka).” (Al-Majmu’, 5/169)
Tata Cara Shalat Jenazah
Shalat jenazah memiliki tata cara yang berbeda dengan shalat yang
lain, karena shalat ini dilaksanakan tanpa ruku’, tanpa sujud, tanpa
duduk, dan tanpa tasyahhud (Al-Muhalla, 3/345). Berikut perinciannya:
1. Bertakbir 4 kali, demikian pendapat mayoritas shahabat, jumhur tabi‘in, dan madzhab fuqaha seluruhnya.
2. Takbir pertama dengan mengangkat tangan, lalu tangan kanan diletakkan di atas tangan kiri (sedekap)
sebagaimana hal ini dilakukan pada shalat-shalat lain. Al-Imam
Al-Hafizh Ibnul Qaththan t berkata: “Ulama bersepakat bahwa orang yang
menshalati jenazah, ia bertakbir dan mengangkat kedua tangannya pada
takbir yang awal.” (Al-Iqna’ fi Masa`ilil Ijma’, 1/186)
Ibnu Hazm t menyatakan: “Adapun mengangkat tangan ketika takbir dalam
shalat jenazah, maka tidak ada keterangan yang menunjukkan bahwa Nabi n
melakukannya, kecuali hanya pada awal takbir saja.” (Al-Muhalla, 3/351)
Asy-Syaikh Al-Albani t berkata: “Tidak didapatkan dalam As-Sunnah
adanya dalil yang menunjukkan disyariatkannya mengangkat tangan pada
selain takbir yang pertama. Sehingga kita memandang meng-angkat tangan
di selain takbir pertama tidaklah disyariatkan. Demikianlah pendapat
madzhab Hanafiyyah dan selain mereka. Pendapat ini yang dipilih oleh
Asy-Syaukani t 21 dan lainnya dari kalangan muhaqqiq.” (Ahkamul Jana`iz ,
hal.148)
3. Setelahnya, berta‘awwudz lalu membaca Al-Fatihah22 dan surah lain dari Al-Qur`an23.
Thalhah bin Abdillah bin ‘Auf berkata: “Aku pernah shalat jenazah di
belakang Ibnu ‘Abbas c, ia membaca Al-Fatihah dan surah lain. Ia
mengeraskan (menjahrkan) bacaannya hingga terdengar oleh kami. Ketika
selesai shalat, aku memegang tangannya seraya bertanya tentang jahr
tersebut. Beliau menjawab: “Hanyalah aku menjahrkan bacaanku agar kalian
mengetahui bahwa (membaca Al-Fatihah dan surah dalam shalat jenazah)
itu adalah sunnah24 dan haq (kebenaran)25”.
Sebenarnya bacaan dalam shalat jenazah tidaklah dijahrkan namun dengan sirr (pelan),
berdasarkan keterangan yang ada dalam hadits Abu Umamah bin Sahl,
ia berkata: “Yang sunnah dalam shalat jenazah, pada takbir pertama
membaca Al-Fatihah dengan perlahan kemudian bertakbir tiga kali dan
mengucapkan salam setelah takbir yang akhir.”26
Ibnu Qudamahtberkata: “Bacaan (qira`ah) dan doa dalam shalat
jenazah dibaca secara sirr. Kami tidak mengetahui adanya perbedaan
pendapat dalam masalah ini di kalangan ahlul ilmi. Adapun
riwayat dari Ibnu ‘Abbas c di atas, maka kata Al-Imam Ahmad t: ‘Hanyalah
beliau melakukan hal itu (men-jahrkan bacaan) untuk mengajari mereka’.”
(Al-Mughni, fashl Al-Israr bil Qira`ah wad Du’a` fi Shalatil Janazah)
Al-Imam Asy-Syaukani t berkata: “Jumhur ulama berpendapat tidak
disunnahkan menjahrkan bacaan dalam shalat jenazah.” (Nailul Authar
4/81)
4. Takbir kedua, lalu bershalawat untuk Nabi n sebagaimana lafadz shalawat dalam tasyahhud. (Al-Mughni, fashl Al-Israr bil Qira`ah wad Du’a` fi Shalatil Janazah, Asy-Syarhul Mumti’, 2/526)
5. Takbir ketiga, lalu berdoa secara khusus untuk si mayat secara sirr menurut pendapat jumhur ulama. (Al-Minhaj 7/34) Nabi n bersabda:
“Apabila kalian menshalati mayat, khususkanlah doa untuknya.”27
Kata Al-Munawi t menerangkan makna hadits di atas: “Yakni doakanlah
si mayat dengan ikhlas dan menghadirkan hati karena maksud dari shalat
jenazah tersebut adalah untuk memintakan ampun dan syafaat bagi si
mayat. Diharapkan permintaan tersebut akan dikabulkan dengan
terkumpulnya keikhlasan dan doa dengan sepenuh hati.” (Catatan kaki
Ahkamul Janaiz, hal. 156)
Dalam hal ini, mengucapkan doa yang pernah diajarkan Nabi n lebih
utama daripada mengamalkan yang selainnya. (Asy-Syarhul Mumti‘ 2/530,
At-Ta‘liqat Ar Radhiyyah 1/444).
Di antara sekian doa yang pernah diucapkan Nabi n untuk jenazah adalah:
“Allahummaghfir lahu warhamhu, wa ‘aafihi wa’fu ‘anhu, wa akrim nuzulahu, wa wassi’ mudkhalahu. Waghsilhu bil maa-i wats tsalji wal barad. Wa naqqihi minadz dzunuubi wal khathaayaa kamaa yunaqqats tsaubul abyadhu minad danas. Wa abdilhu daaran khairan min daarihi, wa zaujan khairan min zaujihi. Wa adkhilhul jannata wa a’idz-hu min ‘adzaabil qabri wa min ‘adzaabin naari.”
“Ya Allah, ampuni dan rahmatilah dia. Lindungilah dia dari perkara
yang tidak baik dan maafkanlah dia, muliakanlah tempat tinggalnya,
luaskan/ lapangkanlah tempat masuknya. Basuhlah ia (dari bekas-bekas
dosa) dengan air, salju dan es. Sucikanlah dia dari
kesalahan-kesalahannya sebagaimana engkau mensucikan pakaian putih dari
noda. Gantikanlah untuknya negeri yang lebih baik daripada negerinya,
keluarga yang lebih baik daripada keluarganya dan pasangan yang lebih
baik daripada pasangan hidupnya. Masukkanlah ia ke dalam surga,
lindungilah dia dari adzab kubur dan adzab neraka.”29
“Allahummaghfir lihayyinaa wa mayyitinaa, wa syaahidinaa wa ghaa-ibinaa, wa shaghiirinaa wa kabiirinaa, wadzakarinaa wa utsaanaa. Allahumma man ahyaitahu minna fa ahyihi ‘alal Islaam, wa man tawaffaitahu minnaa fa tawaffahu ‘alal imaan. Allahumma laa tahrimnaa ajrahu wa laa tudhilnaa ba’dahu.”
“Ya Allah, ampunilah orang yang masih hidup di antara kami dan orang
yang sudah meninggal, orang yang sekarang ada (hadir) dan orang yang
tidak hadir, anak kecil di antara kami dan orang besar, laki-laki dan
wanita kami. Ya Allah siapa yang engkau hidupkan di antara kami maka
hidupkanlah ia di atas Islam dan siapa yang engkau wafatkan di antara
kami maka wafat-kanlah dia di atas iman. Ya Allah janganlah engkau
haramkan bagi kami pahalanya dan jangan engkau sesatkan kami
sepeninggalnya.”30
Bila mayat itu anak kecil, maka disenangi untuk mendoakan kedua orang
tuanya31 agar mendapatkan ampunan dan rahmah seperti tersebut dalam
hadits Al-Mughirah bin Syu‘bah z.32
Ulama menganggap baik untuk mengucapkan doa berikut ini:
“Allahummaj’alhu dzukh-ran liwaalidaihi wa farathan wa ajran wa syafii’an mujaaban. Allahumm tsaqqil bihi mawaaziinahuma wa a’dhim bihi ujuurahuma wa alhiq-hu bi shaalihi salafil mukminin. Waj’alhu fii kifaalati Ibraahiima wa qihi birahmatika ‘adzaabal Jahiim…..dst”
Artinya:
“Ya Allah jadikanlah anak ini (si mayat) sebagai pendahulu bagi kedua
orang tuanya, tabungan/ simpanan dan pahala bagi keduanya. Ya Allah
beratkanlah timbangan keduanya dengan kematian si anak, besarkanlah
pahala keduanya. Ya Allah, jadikanlah anak ini dalam tanggungan Nabi
Ibrahim33 dan gabungkanlah dia dengan pendahulu yang shalih dari
kalangan (anak-anak kecil) kaum mukminin. Lepaskanlah dia dari adzab
neraka Jahim dengan rahmat-Mu34. Gantikanlah untuknya rumah/ negeri yang
lebih baik daripada rumah/ negerinya, keluarga yang lebih baik daripada
keluarganya. Ya Allah, ampunilah salaf kami, orang-orang yang
mendahului kami dan orang-orang yang mendahului kami dalam keimanan.”35
(Al-Mughni, fashl Ad-Du’a` li Walidayith Thifl Al-Mayyit)
6. Pada takbir terakhir, disyariatkan berdoa sebelum mengucapkan salam
dengan dalil hadits Abu Ya‘fur dari Abdullah bin Abi Aufa z ia berkata:
“Aku menyaksikan Nabi n (ketika shalat jenazah) beliau bertakbir empat
kali, kemudian (setelah takbir keempat) beliau berdiri sesaat –untuk
berdoa–.”36
Al-Imam Ahmad t berpendapat disunnahkan berdoa setelah takbir
terakhir ini, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Masa`il
Al-Imam Ahmad (153). Demikian pula pendapat dalam madzhab
Asy-Syafi‘iyyah. (Ahkamul Jana`iz, hal. 161)
7. Kemudian salam seperti
salam dalam shalat lima waktu, dan yang sunnah diucapkan secara sirr
(pelan), baik ia imam ataupun makmum. (Al-Hawil Kabir 3/55-57, Nailul Authar 4/82)
Demikian yang bisa kami susun untuk pembaca yang mulia. Semoga Allah I
menja-dikannya bermanfaat untuk kami pribadi dan orang yang membacanya.
Amin.
Kebenaran itu datangnya dari Allah I. Adapun bila ada kesalahan dan
kekeliruan maka hal itu semata karena kebodohan kami. Kami istighfar
(memohon ampun) karenanya kepada At-Tawwabur Rahim (Dzat Yang Banyak
Mengampuni hamba-hamba-Nya lagi Maha Penyayang).
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al Atsariyyah
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama