Rebo Wekasan, Hari Rabu terakhir di di bulan Shafar, Bukan Bagian Dari Syariah Islam
Apakah Rebo Wekasan itu?
Sebagian kaum muslimin meyakini bahwa setiap tahun akan turun 320.000 bala’, musibah, ataupun bencana (dalam referensi lain 360.000 malapetaka dan 20.000 bahaya), dan itu akan terjadi pada hari Rabu terakhir bulan Shafar. Sehingga dalam upaya tolak bala’ darinya, diadakanlah ritual-ritual tertentu pada hari itu.
Di antara anggapan dan keyakinan keliru yang terjadi di bulan Shafar
adalah adanya sebuah hari yang diistilahkan dengan Rebo Wekasan. Dalam
bahasa Jawa ‘Rebo’ artinya hari Rabu, dan ‘Wekasan’ artinya terakhir.
Kemudian istilah ini dipakai untuk menamai hari Rabu terakhir pada bulan
Shafar (diperkirakan pada bulan Shafar tahun ini (1435 H) bertepatan
dengan tanggal 01 Januari 2014). Di sebagian daerah, hari ini juga
dikenal dengan hari Rabu Pungkasan.
Apakah Rebo Wekasan itu?
Sebagian kaum muslimin meyakini bahwa setiap tahun akan turun 320.000 bala’, musibah, ataupun bencana (dalam referensi lain 360.000
malapetaka dan 20.000 bahaya), dan itu akan terjadi pada hari Rabu
terakhir bulan Shafar. Sehingga dalam upaya tolak bala’ darinya,
diadakanlah ritual-ritual tertentu pada hari itu. Di antara ritual
tersebut adalah dengan mengerjakan shalat empat raka’at -yang
diistilahkan dengan shalat sunnah lidaf’il bala’ (shalat sunnah untuk
menolak bala’)- yang dikerjakan pada waktu dhuha atau setelah shalat
isyraq (setelah terbit matahari) dengan satu kali salam. Pada setiap
raka’at membaca surat Al-Fatihah kemudian surat Al-Kautsar 17 kali,
surat Al-Ikhlas 50 kali (dalam referensi lain 5 kali), Al-Mu’awwidzatain
(surat Al-Falaq dan surat An-Nas) masing-masing satu kali. Ketika salam
membaca sebanyak 360 kali ayat ke-21 dari surat Yusuf yang berbunyi:
وَاللَّهُ غَالِبٌ عَلَى أَمْرِهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ.
“Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya. ”
Kemudian ditambah dengan Jauharatul Kamal tiga kali dan ditutup dengan bacaan (surat Ash-Shaffat ayat 180-182) berikut:
سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ.
Ritual ini kemudian dilanjutkan dengan memberikan sedekah roti kepada
fakir miskin. Tidak cukup sampai di situ, dia juga harus membuat
rajah-rajah dengan model tulisan tertentu pada secarik kertas, kemudian
dimasukkan ke dalam sumur, bak kamar mandi, atau tempat-tempat
penampungan air lainnya. Barangsiapa yang pada hari itu melakukan ritual
tersebut, maka dia akan terjaga dari segala bentuk musibah dan bencana
yang turun ketika itu. Kaum muslimin rahimakumullah, dari mana dan
siapakah yang mengajarkan tata cara / ritual ‘ibadah’ seperti itu?
Dalam sebagian referensi disebutkan bahwa di dalam kitab Kanzun Najah
karangan Syaikh Abdul Hamid Kudus yang katanya pernah mengajar di
Masjidil Haram Makkah Al-Mukarramah, diterangkan bahwa telah berkata
sebagian ulama ‘arifin dari ahli mukasyafah[1] bahwa pada setiap tahun
akan turun 360.000 malapetaka dan 20.000 bahaya, yang turunnya pada
setiap hari Rabu terakhir bulan Shafar. Bagi yang shalat pada hari itu
dengan tata cara sebagaimana tersebut di atas, maka akan selamat dari
semua bencana dan bahaya tersebut.
Mungkin inilah yang dijadikan dasar hukum tentang ‘disyari’atkannya’
ritual di hari Rebo Wekasan tersebut. Namun ternyata amaliyah yang
demikian tidak ada dasarnya sama sekali dari Al-Qur’an maupun Sunnah
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Generasi salaf dari kalangan
shahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in tidak pernah melakukan apalagi
mengajarkan ritual semacam itu. Demikian pula generasi setelahnya yang
senantiasa mengikuti jejak mereka dengan baik. Keyakinan tentang Rebo
Wekasan sebagai hari turunnya bala’ dan musibah adalah keyakinan yang
batil. Lebih batil lagi karena berangkat dari keyakinan tersebut,
dilaksanakanlah ritual tertentu untuk menolak bala’ dengan tata cara
yang disebutkan di atas. Sementara keyakinan dan ritual tersebut tidak
pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para
shahabatnya radhiyallahu ‘anhum, dan tidak pula dicontohkan oleh para
imam madzhab yang empat (Abu Hanifah, Malik bin Anas, Asy-Syafi’i, dan
Ahmad bin Hanbal), tidak pula mereka membimbing dan mengajak para murid
serta pengikut madzhabnya untuk melakukan yang demikian.
Para ulama dan kaum muslimin yang senantiasa menjaga aqidah dan
berpegang teguh dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya hingga hari ini
-sampai akhir zaman nanti- juga tidak akan berkeyakinan dengan keyakinan
seperti ini dan tidak pula beramal dengan amalan yang tidak pernah
dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan generasi salaf
tersebut. Jika keyakinan dan ritual ibadah tersebut tidak berdasar pada
Al-Qur’an dan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak pula
sebagai amalan para shahabat radhiyallahu ‘anhum dan para imam madzhab
yang empat, maka sungguh amalan tersebut bukan bagian dari agama yang
murni. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
“Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang bukan termasuk bimbingan dan petunjuk kami, maka amalan itu tertolak. ” (HR. Muslim).
Semoga Allah subhanahu wata’ala senantiasa menjaga kita dan kaum
muslimin dari berbagai penyimpangan dalam menjalankan agama ini. Amin.
Ditulis oleh Abu ‘Abdillah Kediri.
[1] Istilah ulama ‘arifin (secara bahasa maknanya adalah orang-orang yang mengetahui) dan ahli mukasyafah (secara bahasa maknanya adalah orang-orang yang bisa menyingkap) inipun juga tidak dikenal di kalangan salaf. Istilah ini dikenal di kalangan penganut paham shufiyyah sebagai penamaan bagi orang-orang ‘khusus’ yang mengerti sesuatu tanpa melalui proses belajar, dalam bahasa jawa disebut ngerti sakdurunge winarah. Mereka -yakni ulama ‘arifin dan ahli mukasyafah itu- juga diyakini bisa bertemu langsung dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan bahkan bertemu dengan Allah subhanahu wata’ala di dunia maya, sehingga mereka bisa menyingkap sesuatu (dari perkara ghaib) yang tidak bisa diketahui oleh selain mereka.
[1] Istilah ulama ‘arifin (secara bahasa maknanya adalah orang-orang yang mengetahui) dan ahli mukasyafah (secara bahasa maknanya adalah orang-orang yang bisa menyingkap) inipun juga tidak dikenal di kalangan salaf. Istilah ini dikenal di kalangan penganut paham shufiyyah sebagai penamaan bagi orang-orang ‘khusus’ yang mengerti sesuatu tanpa melalui proses belajar, dalam bahasa jawa disebut ngerti sakdurunge winarah. Mereka -yakni ulama ‘arifin dan ahli mukasyafah itu- juga diyakini bisa bertemu langsung dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan bahkan bertemu dengan Allah subhanahu wata’ala di dunia maya, sehingga mereka bisa menyingkap sesuatu (dari perkara ghaib) yang tidak bisa diketahui oleh selain mereka.
Ini semua tentunya adalah keyakinan yang batil, dan pembahasan
seperti ini sangatlah panjang. Yang penting bagi kita adalah berupaya
menjalankan agama ini -beraqidah, beribadah, berakhlak, bermu’amalah,
dan lainnya dari urusan diniyyah- benar-benar bersumber dan sesuai
dengan bimbingan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman as-salafus
shalih, bukan pemahaman selain mereka.
Wallahu a’lam.
www. assalafy. org/mahad/?p=448#more-448 sumber: www. darussalaf. or. id, penulis: Abu
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama