لَيْسَ عَلَى الضُّعَفَاءِ وَلا عَلَى الْمَرْضَى وَلا عَلَى الَّذِينَ لا يَجِدُونَ مَا يُنْفِقُونَ حَرَجٌ
إِذَا نَصَحُوا لِلَّهِ وَرَسُولِهِ (التوبة: من الآية91)
(Artinya: Tiada berdosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas
orang-orang yang lemah, sakit, dan yang tak memiliki apapun yang dapat
mereka nafkahkan, selagi mereka berlaku ikhlas kepada ALLAH dan
Rasul-NYA) (At-Taubah:91)
Wujud ketulusan kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam sebagaimana yang aku ketahui dari penjelasan Imam Al Qurthuby rahimahullah di dalam tafsirnya:
Pertama: “Membenarkan kenabiannya.”
Tentu saja itu artinya aku harus mengakui segala sifat dan atribut yang melekat pada diri Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam sebagai rasul-ALLAH. Bahwa beliau Shallallahu alaihi wa sallam adalah seorang yang amanah, mustahil khianat. Beliau seorang yang jujur, mustahil pendusta. Beliau Shallallahu alaihi wa sallam seorang mubaligh (menyampaikan ilmu), mustahil kitman (menyembunyikan ilmu). Beliau Shallallahu alaihi wa sallam arif, mustahil ahmaq (pandir).
Dengan pengakuan itu semua, maka tak ada alasan dan kesempatan bagiku untuk memiliki keyakinan bahwa ada kebaikan yang Beliau Shallallahu alaihi wa sallam tidak mengetahui, atau Beliau Shallallahu alaihi wa sallam lupa, bahkan sengaja tidak menyampaikan kepada ummatnya. Bukankah Beliau Shallallahu alaihi wa sallam telah mengatakan:
ما بقي شيء يقرب إلى الجنة ويباعد من النار إلاوقد بين لكم (اخرجه الطبراني)
(“Tidak tertinggal sedikitpun perkara yang dapat mendekatkan ke
surga dan menjauhkan dari neraka, kecuali telah aku jelaskan bagi
kalian.“)
Membenarkan kenabiannya juga artinya tidak menuduh Beliau Shallallahu alaihi wa sallam sebagai penghianat Ar-Risalah. Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam
menghianati Ar-Risalah? Siapa yang begitu lancang, berani, dan tega
menuduh semacam itu ? Tentu saja tak seorangpun berani atau tega sengaja
berkata seperti itu. Ya, memang lidahku tak mungkin mengucapkannya.
Tetapi, boleh jadi perbuatanku yang menunjukkan tuduhan tersebut. Yakni,
manakala aku menganggap ada kebaikan pada perkara-perkara ibadah yang
tidak pernah dicontohkan oleh Beliau Shallallahu alaihi wa sallam. Aku ingat betul apa yang dikatakan oleh Al Imam Malik rahimahullah:
من أبتدع في الإسلام بدعة يراها حسنة, فقد زعم أن محمد r خان الرسالة. لأن الله يقول:
اليم أكملت لكم دينكم. فما لم يكن حينئذ دينا فلا يكون اليوم دينا
(Barangsiapa berbuat bid’ad di dalam Al Islam, kemudian ia
menganggap itu sebagai sesuatu yang baik. Maka sesungguhnya ia telah
menuduh bahwasanya Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam
penghianat Ar-Risalah. Karena sesungguhnya ALLAH telah berfirman: “Hari
ini telah Aku sempurnakan bagi mu agamamu.” Maka yang ketika itu bukan
merupakan bagian dari agama Islam, sampai hari ini pun bukan bagian dari
agama Islam) (Al I’tisham:I/49)
Sudahkah aku?
Ke-dua: “Senantiasa menta’ati perintah dan larangannya.”
Rasulullah Shallallhu alaihi wa sallam bersabda:
ما نهيتكم عنه فاجتنبه. وما أمرتكم به فأتوا منه مااستطعتم
(Apa saja yang aku larang kalian atas nya, jauhilah. Dan apa saja
yang aku perintahkan kalian akan nya, maka kerjakanlah sekuat
kemampuanmu…) (HR: Al Bukhari dan Muslim)
Tentu saja bukan perkara mudah bagi ku untuk senantiasa di dalam keta’atan kepada Beliau Shallallahu alaihi wa sallam. Namun aku senantiasa berharap agar termasuk orang-orang tulus kepada Beliau Shallallhu alaihi wa sallam. Karena menta’ati Beliau Shallallahu alaihi wa sallam merupakan bukti dari ketaatan aku kepada ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa:
(Artinya: Barangsiapa menta’ati Ar-Rasul, maka sesungguhnya ia telah menta’ati ALLAH…) (An-Nisaa’:80)
Menta’ati Beliau Shallallahu alaihi wa sallam juga artinya menta’ati para ulama dan orang-orang yang diberi amanah mengurus ummat. Beliau Shallallahu alaihi wa sallam sendirilah yang menyatakan demikian:
عن أبي هريرة عن رسول الله r أنه قال: من اطاعني فقد اطاع الله. ومن عصاني فقد عصى الله.
ومن اطاع أميري فقد اطاعني ومن عصا أميري فقد عصاني (البخاري)
(Barangsiapa yang ta’at kepada ku, berarti telah ta’at kepada
ALLAH. Dan barangsiapa yang menentang aku, berarti ia menentang ALLAH.
Barangsiapa yang ta’at kepada amirku, berarti ia telah ta’at kepadaku.
Dan barangsiapa yang menentang amirku, berarti ia menentang aku.)
Sudahkah aku?
Ke-tiga: “Membela yang membelanya, memusuhi yang memusuhinya.”
Tentu saja yang dimaksud dengan pembelanya adalah mereka yang membela dan mengusung ajaran Beliau Shallallahu alaihi wa sallam. Dan yang dimaksud dengan musuhnya adalah mereka yang menentang dan memerangi ajaran Beliau Shallallahu alaihi wa sallam. Maka di antara tanda ketulusanku kepada Beliau Shallallahu alaihi wa sallam, adalah dengan membela dan mendukung mereka yang mengusung ajaran Beliau Shallallahu alaihi wa sallam dan membenci mereka yang menentang ajaran Beliau Shallallahu alaihi wa sallam.
Tak layak bagiku untuk merasa benci terhadap mereka yang mencintai Sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam,
Juga aneh rasanya, jika aku gelisah melihat semangat mereka dan
kebanggaan mereka akan Sunnah. Bahkan, seharusnya aku bersuka cita
melihat semakin banyak dan nampak orang-orang yang membela Sunnah.
Begitu pula, aneh rasanya jika aku tak merasa resah dan gerah melihat
kebid’ahan semakin marak. Terlebih lagi aneh, jika setelah aku
mengetahui bahwa tidaklah Bid’ah itu diadakan kecuali dalam rangka
mematikan Sunnah, kemudian aku membiarkan saja itu terjadi dan
terus-menerus berkasih sayang dengan pembunuh-pembunuh Sunnah.
Sudahkah aku?
Ke-empat: “Mengagungkan Beliau dan mengagungkan Sunnahnya.”
Sungguh, tak ada pribadi yang lebih agung dari beliau dan tak ada teladan yang lebih baik dari pada Sunnahnya. ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa menegaskan:
(Artinya: Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) memiliki budi pekerti yang agung) (Al Qalam:4)
(Artinya: Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah teladan
yang baik bagi kalian, (yaitu) bagi orang yang mengharapkan ALLAH dan
Hari Akhir serta banyak mengingat ALLAH) (Al Ahzab:21)
Melalui ayat-ayat di atas sadarlah aku, bahwa kalaupun aku tak mengagungkan Beliau Shallallahu alaihi wa sallam dan juga Sunnahnya, bahkan -na’udzubillah- seandainya aku hinakan Beliau Shallallahu alaihi wa sallam dan Sunnahnya, maka Beliau Shallallahu alaihi wa sallam beserta Sunnahnya tetaplah senantiasa agung, sebagaimana tak ada yang mampu mengubah, mengurangi atau menambah firman-ALLAH.
ALLAH itu Akbar (Maha Besar) dan senantiasa Akbar, meski seluruh
makhluq-NYA -dari awal penciptaan sampai yang terakhir, dari kalangan
manusia beserta jin- tidak bertakbir. Namun demikian tetaplah kita wajib
bertakbir. Bukan untuk ALLAH, tetapi demi keselamatan kita sendiri.
Begitu pula dengan Beliau Shallallahu alaihi wa sallam dan
Sunnahnya, senantiasa agung meskipun seluruh manusia merendahkan dan
mencelanya. Namun demikian, tetaplah kita wajib mengagungkannya. Bukan
untuk Beliau Shallallahu alaihi wa sallam, tetapi sebagai tanda ketulusan kita kepadanya.
Tentu saja tidak termasuk tulus kepada Beliau Shallallahu alaihi wa sallam, manakala aku merasa hina dan malu menjalankan Sunnah. Lantas untuk apa ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa menerangkan tentang keagungan dan keteladanan Beliau Shallallahu alaihi wa sallam jika kemudian aku malu untuk hidup dengan cara hidup Beliau Shallallahu alaihi wa sallam?
Sudahkah aku?
Ke-lima: “Memelihara Sunnah Beliau setelah Beliau tiada.”
Memelihara dan senantiasa menghidupkan Sunnahnya setelah kematian Beliau Shallallahu alaihi wa sallam tentu ” dengan
membahasnya, mengambil fiqh dari nya, memelihara kemurniannya,
menyebarkannya, mengajak manusia kepada nya, dan berakhlaq dengan akhlaq
Beliau Shallallahu alaihi wa sallam yang karimah.”
Ya, sudahkah aku tulus kepada dia?
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama