Apakah ALLAH Mampu Menciptakan Dunia Ini Ke Dalam Sebutir Telur ?
gembira atas kematian orang yang
alim (berilmu), namun kami sangat sedih dengan kematian seorang yang
banyak ibadahnya. Karena orang alim itu tidak memberi kesempatan kepada
kami, dan dari orang yang banyak ibadahnya kami mendapatkan banyak
kesempatan dan bagian yang banyak darinya.”
“Iblis berkata, pergilah kalian! Lalu merekapun pergi kepada orang
yang banyak ibadahnya. Tatkala mereka datang, ahli ibadah itu sedang
beribadah. Syetan-syetan itu berkata kepadanya,’Apakah Tuhanmu berkuasa
untuk menciptakan dunia ini dalam sebutir telur’. Si ahli ibadah
menjawab,’Saya tidak tahu’. Iblis berkata kepada syetan, ‘Tidakkah kamu
melihat bahwa itu adalah jawaban yang kufur’?”
“Kemudian syetan-syetan itu mendatangi seorang alim (ahli ilmu) dalam
majlis ta’limnya. Syetan-syetan itu berkata, ‘kami ingin bertanya
kepadamu’. Syetan berkata, ‘Apakah Tuhanmu mampu menjadikan dunia ini
dalam sebutir telur?’ Si alim menjawab, ‘Ya’ Syetan
menyangkal,’Bagaimana bisa?’ Si alim menjawab, ‘Cukup Dia mengatakan
‘Kun’(Jadi-lah), maka akan terjadi’. Lalu Iblis berkata kepada
syetan-syetan,’Tidakkah kamu melihat, bagaimana ia mampu menahan hawa
nafsunya, dan ia mampu menangkal tipu dayaku dengan ilmu agamnya’.”
(Masha’ib al Insan min Maka’id asy Syaithan, oleh Syaikh Taqiyuddin al Hanbali)
Perbedaan antara ahli ibadah dengan orang alim.
Ahli ibadah banyak melakukan ibadah tetapi terkadang kurang memahami
atau bahkan tidak mengetahui ilmu (syariat Islam), sehingga lebih banyak
merusak dari pada memperbaiki. Sedangkan orang alim segala aktifitasnya
didasarkan atas ilmu, yaitu petunjuk al-Quran dan Sunnah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Keutamaan orang berilmu dibanding ahli ibadah adalah seperti keutamaan
bulan purnama dibanding semua bintang. Sesungguhnya ulama itu pewaris
Nabi. Seorang Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, akan tetapi ia
mewariskan ilmu. Barangsiapa mengambilnya maka ia telah mengambil
bagian yang banyak.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan disahihkan
Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’, No 4212).
Abu Hurairah dalam hadits marfu’nya menginformasikan “Sungguh,
seorang faqih (orang yang mumpuni agamanya) lebih sulit bagi syetan
daripada seribu ahli ibadah.” (Adabul Imal’ wal Istimla’: I/60).
Seorang ulama’ hadits yang bernama Muhammad Abdulrahman bin
Abdurrahim al-Mubarakfuri mengatakan “Karena orang yang alim dengan
ilmunya, ia tidak mudah terkecoh, bahkan akan menolak tipudaya syetan.
Ia senantiasa mengajak manusia kepada kebaikan. Dan hal itu tidak
dijumpai pada diri orang yang ahli ibadah.”
“Atau maksudnya adalah banyak tipudaya syetan yang berhasil
dimentahkan atau ditolak orang yang alim. Setiap syetan akan menjebak
dan menggelincirkan manusia, orang alim datang dan menjelaskan akan
tipudaya tersebut. Akhirnya manusia-manusia itu terhindar dari perangkap
dan tipudaya syetan. Sedangkan orang yang ahli ibadah biasanya sibuk
dengan ibadahnya. Karena tidak dilandasi ilmu, akhirnya ia tidak merasa
bahwa ibadahnya itu salah dan ia telah terjebak dalam ttipudaya
syetan.” (Tuhfatul Ahwadzi: 7/ 374).
Yang dimaksud dengan ahli ilmu (orang alim) disini adalah orang yang
mempunyai pemahaman agama dengan baik atau mumpuni, dan pengetahunya itu
dipraktikkan dalam sikap, prilakunya serta ibadahnya sehari-hari.
Sedang yang dimaksud dengan ahli ibadah (orang yang banyak ibadahnya)
adalah orang yang kuat dan banyak ibadahnya, namun ibadah yang ia
lakukan tidak didasari dengan ilmu syari’at. Ia melakukan ibadah dengan
mengikuti perasaan dan naluri saja, atau hanya ikut-ikutan orang-orang
awam yang ada di sekitarnya.
Di hadapan ilmu, manusia terbagi dalam empat kategori:
Pertama, manusia yang punya ilmu dan ia sadar akan ilmu yang
dimilikinya, sehingga ia mempraktikkan ilmu itu dalam sikap dan perilaku
kesehariannya. Kita patut belajar kepada orang yang masuk dalam
kategori ini, karena ia adalah ‘alim dan ‘ amil.
Kedua, manusia yang punya ilmu tapi ia tidak sadar akan ilmu yang
dimilikinya, sehingga sikap dan perilakunya menyimpang jauh dari ilmu
yang dimilikinya. Perbuatannya tidak sejalan dengan ucapannya. Kita
patut mengingatkan orang yang masuk dalam kategori ini, karena ia sedang
lalai akan kewajibannya.
Ketiga, manusia yang tidak punya ilmu (bodoh) tapi ia sadar akan
kebodohannya, sehingga prilakuknya terkadang benar terkadang salah. Ia
bertindak berdasarkan naluri dan perasaannya, atau hanya ikut arus yang
ada. Kita patut mengajari orang yang masuk dalam kategori ini, agar ia
punya bekal dan pedoman yang benar untuk menghindari kesalahan dalam
perilakunya.
Keempat, manusia yang tidak punya ilmu (bodoh) tapi ia tidak
menyadari kebodohannya, sehingga ia enggan menerima masukan dan nasehat
orang-orang yang ada di sekitarnya, karena ia merasa tidak butuh
nasehat. Kita patut waspada dengan orang yang masuk dalam kategori ini.
Jika kita tidak punya bekal dan semangat untuk memperbaikinya, lebih
baik kita menjauhinya agar tidak terkena imbasnya. (AHLI ILMU AGAMA
lebih Ditakuti Syetan daripada AHLI IBADAH, http://metafisis.wordpress.com).
Ana pribadi pernah ditanya oleh seseorang dengan pertanyaan, “Apakah
Allah mampu menciptakan sebuah pohon yang tidak bisa dicabut sendiri
oleh-Nya?”
Maka ana jawab, “Itu adalah pertanyaan bid’ah!” (Pertanyaan yang
tidak memiliki jawaban dan menyelisihi aqidah). Seperti halnya
pertanyaan dari Ahlu Kalam (Filosofi) kepada Imam Malik tentang
Bagaimana istiwa-nya Allah di atas Arsy. Atau juga pertanyaan seorang
Mu’tazilah kepada Imam Ahmad tentang apakah Iman itu Makhluk?
Mengenai pertanyaan, “Apakah Allah mampu menciptakan sebuah pohon yang tidak bisa dicabut sendiri oleh-Nya?”
Penjelasan:
Pertama, Allah mampu menciptakan segala sesuatu yang Dia kehendaki.
Karena segala sesuatu yang Dia kehendaki pasti akan terjadi dan akan
ada, sedangkan segala sesuatu yang tidak Dia kehendaki, maka tidak akan
ada dan tidak akan terjadi.
Contoh: Allah mampu menciptakan seorang Nabi lagi setelah Nabi Muhammad,
tetapi hal itu diluar kehendak-Nya, maka tidak akan terjadi dan tidak
akan ada.
Kedua, tidak ada yang tidak mampu atas Allah. Allah berkuasa atas
segalanya. Jika ada suatu pohon atau makhluk dari ciptaan-Nya yg tidak
mampu dicabut oleh-Nya, maka itu adalah sifat yg mustahil bagi Allah,
dan termasuk sifat Salbiyah, sifat yang tidak dimiliki Allah.
Wallahu a’lam.
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama