Makna Kasih Sayang Islami
“Demi Allah wahai Rasulullah, engkau adalah orang yang paling kucintai dari segalanya kecuali dari diriku
sendiri.”
“Tidak wahai Umar, sampai aku menjadi orang yang paling kau cintai dari dirimu sendiri.”
“Wahai Rasulullah, kini engkau adalah orang yang paling kucintai lebih dari diriku sendiri.”
“Benar Umar, kini kau telah mencintaiku.”
Percakapan antara Rasulullah dengan Umar
bin Khattab di tas telah terekam dan diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari
dalam Shahihnya. Mulanya Umar ingin mengekspresikan rasa cintanya kepada
Rasulullah dengan menyatakan bahwa Rasulullah adalah orang yang paling
ia cintai dari segalanya; dari anak-istrinya, hartanya, nenek-moyangya,
semuanya, kecuali dari dirinya sendiri.
CINTA SEJATI
Namun Rasulullah mengingkarinya dan menegaskan bahwa “cinta sejati”
takkan terwujud hingga Umar meletakkan Rasulullah sebagai orang nomor
satu yang harus ia cintai melebihi cintanya kepada diri sendiri, persis
sebagaimana yang ditegaskan dalam surat al-Ahzab ayat-6 bahwa “Nabi itu
(hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka
sendiri.”
[QS. 33] Al- Ahzab – Surah GOLONGAN YANG BERSEKUTUNabi itu [hendaknya] lebih utama bagi orang-orang mu’min dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak [waris mewarisi] di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mu’min dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu [seagama]. Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab [Allah]. (6)
Al-Khatthabi menegaskan bahwa cinta
terhadap diri sendiri merupakan fitrah setiap manusia, namun mencintai
orang lain adalah sebuah pilihan yang membutuhkan sebab dan proses.
Sedangkan Ibnu Hajar Al-Asqalany
menerangkan bahwa pengingkaran Rasulullah terhadap Umar yang
menomor-duakan cintanya kepada Rasulullah tidaklah cukup untuk
menempatkan dirinya dalam derajat yang tinggi. Artinya, mencintai
Rasulullah adalah bagian inti dari agama suci ini.
Cinta adalah perasaan istimewa yang
merupakan fitrah semua manusia. Cinta mungkin lebih tepat jika dirasakan
dengan intuisi jiwa ketimbang didefinisikan dengan ukiran kata yang
dapat mereduksi makna aslinya.
Sedari dulu para penyair, penulis,
pemusik, sastrawan dan seluruh aktivis seni cukup disibukkan dalam
mendefinisikan kata yang terangkai dari lima huruf ini, “c-i-n-t-a”. Tapi bagi umat Islam, dalam memaknai “cinta sejati” cukup dengan merujuk kepada kitab utama pedoman umat; yaitu Al-Qur’an.
Ibnu Abbas bahkan pernah mengatakan, “Jika aku kehilangan kekangan onta, maka aku akan mendapatkannya di dalam Al-Qur’an.” Maksudnya, bahwa kandungan ilmu dalam Al-Qur’an sangatlah luas, seluruh aspek kehidupan dapat ditemukan dalam Al-Qur’an.
Baik dari yang sekecil semut (an-Naml) hingga yang sebesar gajah (al-Fiil).
Baik itu terkandung secara eksplisit maupun implisit. Demikian halnya
masalah cinta yang pada tahap tertentu dapat menjadi pondasi iman paling
utama.
Hal tersebut sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah,[QS. 24] At-Tawba – Surah PENGAMPUNANKatakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan [dari] berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik. (24)
Dengan mencintai utusan Allah, berarti
seorang mukmin telah mencintai Sang Pengutus itu sendiri. dan itulah
tafsiran dari syahadatain yang merupakan konsep fundamental dalam Islam;
yaitu berikrar dengan lisan bahwa Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah,
lalu meyakininya dengan sepenuh hati hingga akhirnya dengan seluruh
kemampuan fisik memenuhi segala perintah dan meninggalkan segala
larangan-Nya.
Itulah mengapa seorang pecinta sejati
memiliki gejolak jiwa yang sangat besar dan bahkan bersedia mengorbankan
segalanya demi sesuatu yang ia cintai.
Maka tak ayal jika Romeo memilih mati
bersama Juliet, tak heran jika Qais menjadi majnun (gila) karena Laila,
tak aneh jika Stevan merasa hancur tatkala Magdalena menghianati
cintanya, dan tak mustahil jika Noura tega memfitnah Fahri demi
mendapatkan cintanya.
Tapi singkirkan dulu novel-novel fiktif di atas, lalu saksikan bagaimana “cinta sejati”
pernah terjadi dalam sebuah kisah nyata; Lihat bagaimana Abu Bakar
lebih mencemaskan keselamatan Rasulullah daripada dirinya sendiri
tatkala mereka dikejar kaum kafir hingga harus bersembunyi di gua Tsur.
Perhatikan bagaimana Bilal bin Rabbah
lebih memilih dadanya ditindih oleh batu besar yang diletakkan Ummayah
bin Khalaf di bawah sengatan terik mentari dari pada meninggalkan ajaran
Rasulullah.
Lalu saksikan bagaimana Abdullah bin
Mughaffal bercucuran air mata saat Rasulullah tidak mengikut-sertakan
dirinya dalam medan jihad lantaran tiada kendaraan perang yang tersisa
untuknya.
Serta cermati bagaimana Utsman bin Affan
memenuhi panggilan Rasulullah dengan mendermakan hartanya sebanyak 900
onta dan 100 kuda (belum termasuk uang) untuk jihad fisabilillah.
Mereka bukanlah para pecinta buta yang
mengobral cintanya untuk perkara duniawi. Mereka juga bukan tokoh fiktif
yang hanya ditemukan dalam novel-novel belaka. Namun mereka adalah
manusia mulia dengan peran nyata yang pernah hadir dalam sejarah dunia.
Kasih Sayang yang Sejati
Para sahabat Rasulullah sangat paham
bagaimana harus mencintai agama mereka di atas segalanya, pun demikian
mereka tetap proporsional dalam mencintai diri mereka sendiri, mencintai
sesama manusia dan bahkan mencintai binatang dan lingkungan sekalipun.
Mencintai diri sendiri berarti menjaga
jiwa dari segala hal yang dapat merusak secara lahiriyah maupun
batiniyah. Dan itu dapat terwujud dengan tidak mengkonsumsi barang haram
serta tidak “mengkonsumsi” segala penyakit hati.
Mencintai diri sendiri bisa terlahir juga
dengan menjaga keseimbangan amal duniawi dan ukhrawi, sehingga tidak
terjebak dalam pemikiran material namun melupakan aspek esensial.
Sedangkan mencintai sesama manusia dapat terlihat tatkala seorang
mukmin mengulurkan tangannya kepada siapapun yang membutuhkan bantuannya
dalam kebaikan.
Konsep Zakat merupakan contoh konkret
yang memiliki unsur tolong-menolong dan merupakan salah satu rukun Islam
dalam ibadah sosial. Oleh karenanya khalifah pertama Abu
Bakar selama dua tahun masa kepemimpinannya sangat tegas dalam memerangi orang-orang yang enggan membayar Zakat.
Inilah bukti riil seorang pemimpin yang cinta terhadap rakyatnya.Bakar selama dua tahun masa kepemimpinannya sangat tegas dalam memerangi orang-orang yang enggan membayar Zakat.
Lalu yang terakhir adalah cinta terhadap
semua makhluk ciptaan Allah termasuk hewan dan tumbuhan. Itu sebabnya,
alangkah sempurnanya ajaran Islam bahkan untuk sekedar menyembelih
seekor kambing saja terdapat adab dan aturannya sendiri.
Hingga dalam kondisi perang sekalipun
seorang tentara muslim dilarang untuk melakukan perusakan instalasi umum
seperti membakar pohon dan merusak ladang maupun peternakan.
Dengan demikian, seseorang bukanlah pecinta sejati jika masih menyiksa diri sendiri dengan mengkonsumsi narkotika.
Bukanlah pecinta sejati jika seseorang masih menikmati empuk-nya kursi “Banggar”
namun lupa terhadap nasib rakyatnya yang tengah kelaparan. Dan bukanlah
pecinta sejati jika seseorang masih hobi menggunduli hutan serta
mengeksploitasi segala kekayaan alam –baik yang di darat maupun di laut–
demi kepentingan perut pribadi.
Kasih Sayang yang Universal
Cinta sejati yang digagas oleh Islam adalah cinta yang universal. Yaitu cinta yang ditujukan kepada Sang Khaliq namun juga kepada si makhluk, mengajarkan cinta kepada diri sendiri tapi juga kepada orang lain.
Penafsiran cinta secara generik inilah
yang dapat menghilangkan kesenjangan sosial dan mendatangkan kedamaian
di manapun ajaran Islam ditegakkan. Oleh karena itu, dalam memaknai kata
“cinta dan kasih sayang”
tidak dapat menggunakan teropong secara terbalik yang menyebabkan
penyempitan makna terhadap obyek yang dilihat, sehingga apa yang
seharusnya luas dan besar terlihat menjadi sempit dan kecil.
Sehingga kata cinta yang sejatinya mengandung makna begitu mulia menjadi sebatas coklat dan bunga mawar saja.
- Cinta yang seharusnya mengandung nilai filosofi sangat dalam, lantas menjadi dangkal sebatas pemuasan hasrat sesaat yang tak sebanding dengan nikmat yang didapat.
- Cinta yang seharusnya memiliki jutaan warna akan berubah menjadi warna merah jambu saja.
- Cinta yang seharusnya terjalin dengan ikatan suci akan menjadi murahan dengan janji gombal tak berarti.
Dan lebih parah lagi, kasih sayang yang
meskinya ada setiap saat, setiap waktu dan setiap hari, akan raib dan
hanya didapatkan pada hari tertentu saja, diperingati pada tanggal 14
Februari saja, kemudian berlangsung secara formalitas dengan perayaan
valentine saja.
Jelas, ini adalah penyelewengan sekaligus penodaan terhadap kesucian cinta itu sendiri.
Sebagai seorang muslim, tentu kita takkan ikut-serta merayakan pesta yang telah ditetapkan sejak tahun 496 Masehi oleh Paus Gelasius-I ini.
Dan tentu, sebagai orang yang mengaku
cinta Rasulullah kita takkan pernah sudi ikut memeriah kan ritual yang
mengenang seorang pendetabernama Santo Valentinus itu.
Minimal, dalam hati kita masih terbesit rasa tidak suka tatkala melihat pagelaran merah jambu yang diiringi “pengobralan harga diri” itu merebak.
Ya, minimal dalam hati saja, karena itu adalah selemah-lemahnya iman yang tetap harus ada dalam sanubari setiap mukmin.
Wallahu A’lam Bis-Shawab
- Makna Hari Kasih Sayang yang Islami (Kontra Valentine’s Day)
- Oleh: Musa Yusuf – Mahasiswa Universitas Al-Azhar Cairo – [voa-islam.com]
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama