Bisa saja jika Allah menghendaki.
Apakah seorang pelaku bid’ah (selama bid’ah yang dilakukannya bukan
bid’ah mukaffirah atau yang dapat mengeluarkannya dari islam) dan pelaku
maksiat bisa masuk surga?
Bisa saja jika Allah menghendaki dan mengampuni dosa2nya.
Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu berkata: Aku pernah mendengar
Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: ”Ada dua orang
laki-laki dari kalangan Bani Israil yang saling bersaudara. Yang satu
rajin ibadah dan lainnya berbuat dosa. Lelaki yang rajin beribadah
selalu berkata kepada saudaranya, ‘Hentikan perbuatan dosamu!”
Suatu
hari ia melihat saudaranya berbuat dosa dan ia berkata lagi, ‘Hentikan
perbuatan dosamu!” (Lelaki yang berbuat dosa berkata), “Biarkan antara
aku dan Tuhanku. Apakah kamu diutus untuk mengawasiku?”.
Ia (Lelaki yang
rajin beribadah) berkata lagi, “Demi Allah, Allah tidak akan
mengampunimu!” atau “Dia tidak akan memasukanmu ke surga!”
Kemudian Allah mengutus malaikat kepada keduanya untuk mengambil ruh
keduanya hingga berkumpul di sisi-Nya. Allah berkata kepada orang yang
berdosa itu,“Masuklah kamu ke surga berkat rahmat-Ku.”
Lalu Allah bertanya kepada lelaki yang rajin beribadah,“Apakah kamu
mampu menghalangi antara hamba-Ku dan rahmat-Ku?”
Dia menjawab, “Tidak,
wahai Tuhanku.”
Allah berfirman untuk yang rajin beribadah (kepada para
malaikat): “Bawalah dia masuk ke dalam neraka.”
Abu Hurairah– semoga
Allah meridhainya – berkomentar, “Demi Dzat yang jiwaku ada di
tangan-Nya, sungguh ia berkata dengan satu kalimat yang membinasakan
dunia dan akhiratnya.”(HR Abu Dawud).
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “…Sekiranya tidaklah karena
karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak
seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan yang keji dan
mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan apa yang
dikehendaki-Nya…” (QS. An Nur : 21).
“…dan mereka berkata : Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki
kami kepada (jannah) ini, dan kami sekali-kali tidak akan mendapat
petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk..” (QS. Al A’raaf :
43).
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Tidak ada satu
jiwapun dari kalian melainkan telah diketahui tempatnya, baik di surga
atau di neraka.”
Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, lalu untuk apa kita
beramal? Mengapa kita tidak pasrah saja?”
Beliau menjawab, “Tidak, tapi
beramallah! Karena setiap orang telah dimudahkan kepada apa yang telah
ditakdirkan untuknya.” (HR: Bukhari, (VII/212) dan Muslim, (VIII/47, no.
2647).
Hadits ini adalah sebagai dalil dari apa yang telah disebutkan tadi.
Ia menunjukkan bahwa manusia itu diberi pilihan , yaitu berdasarkan
sabdanya: “Beramallah!”
Serta menunjukkan bahwa dalam pilihannya
tersebut ia tidak keluar dari ketentuan Allah, berdasarkan sabdanya:
“Karena setiap orang telah dimudahkan kepada apa yang ditakdirkan
untuknya.” (Lihat kitab Al Iman bil Qadha’ wal Qadar, oleh Muhammad bin
Ibrahim al Hamd).
Mereka (Ahlu Sunah wal Jama’ah) meyakini bahwa Surga tidak wajib
untuk seseorang meskipun amalnya baik, kecuali jika Allah meliputinya
dengan karunia-Nya lalu ia memasukinya dengan rahmat-Nya. (Lihat Surat
An Nur : 21 diatas).
Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Tidak
ada seorangpun yang dimasukkan ke dalam surga oleh amalnya.” Ditanyakan,
“Tidak juga engkau, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Tidak juga
aku, kecuali Rabb-ku meliputiku dengan rahmat-Nya.” (HR: Muslim no. 2816
(72), Shahih al Bukhari no. 5673 dan takhrij Syaikh al Albani dalam ash
Shahiihah no. 2602).
Ahlu Sunah tidak memastikan adzab bagi setiap orang yang memperoleh
ancaman –selain perkara yang menyebabkan kufur-. Karena mungkin Allah
akan mengampuninya dengan sebab ketaatan-ketaatan yang dilakukannya,
dengan taubat atau musibah-musibah dan penyakit-penyakit yang bisa
menghapuskan dosa-dosa.
Allah Ta’ala berfirman: “Katakanlah, ‘Hai
hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri,
janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah
mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” (QS. Az Zumar: 53).
Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Ketika seseorang berjalan
di suatu jalan, ia menjumpai ranting berduri di atas jalanan lalu ia
menyingkirkannya, maka Allah memujinya lalu mengampuninya.” (HR:
Bukhari).
(Lihat kitab Al Wajiz fii ‘Aqidatis Salafish Shalih Ahlis Sunnah wal Jama’ah, oleh Abdullah bin ‘Abdil Hamid al Atsari).
Dalam kitab ‘Aqidah Ath Thahawiyah Syarah wa Ta’liq, oleh Muhammad
Nashiruddin Al Albani, di point ke 59 disebutkan: “Kita berharap kepada
Allah mengampuni dosa orang-orang mukmin yang berbuat baik dan
memasukkan mereka ke dalam surga dengan rahmat-Nya. Kita tidak
beranggapan bahwa mereka aman dari siksa Allah, dan kita juga tidak bisa
memastikan bahwa mereka pasti masuk surga. Kita memohonkan ampun bagi
orang-orang Islam yang melakukan dosa dan kita juga mengkhawatirkan diri
mereka akan tertimpa adzab. Namun kita tidak berputus asa untuk meminta
ampunan Allah untuk mereka.” Syarah: Salah seorang pemberi syarah kitab
ini, Ibnu Mani’ berkata, “Ketahuilah, yang menjadi ketetapan Ahlu
Sunnah wal Jama’ah adalah bahwa mereka tidak bisa memastikan seorang pun
diantara kaum muslimin masuk surga atau masuk neraka, kecuali
orang-orang yang telah mendapat jaminan dari Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wasallam.Akan tetapi Ahlu Sunnah wal Jama’ah berharap agar
orang-orang yang melakukan kebaikan (mendapatkan surga) dan orang-orang
yang melakukan kejelekan (tidak masuk neraka). Dengan adanya ketetapan
diatas, kita tahu, tatkala ada seorang alim, pemimpin, raja, atau yang
lainnya berkata tentang seseorang, “Dia diampuni atau dia penghuni
surga.” Lalu dipahami oleh kebanyakan orang dia diampuni oleh Allah,
tidak diragukan lagi itu adalah berkata atas nama Allah tanpa dasar
ilmu. Mengatakan sesuatu atas nama Allah tanpa dasar ilmu serupa dengan
tindak kesyirikan.
Point 60 : “Rasa aman dari Ancaman Allah dan berputus asa dari
ampunan-Nya adalah dua perbuatan yang dapat mengeluarkan seseorang dari
Islam. Sikap yang benar adalah tengah-tengah diantara kedua sikap
tersebut.”
Point 68 : “Para pelaku dosa besar (dari kalangan umat Muhammad
Shalallahu ‘alaihi wasallam) berada dalam neraka, namun mereka tidak
kekal di dalamnya. Bila mereka meninggal dalam keadaan bertauhid,
sementara mereka tidak bertaubat dari perbuatan dosa-dosa besar hingga
matinya, namun mereka dalam keadaan beriman, maka nasib mereka berada
dalam kehendak dan kebijaksanaan Allah; jika Allah menghendaki, dengan
kebijaksanaan-Nya Dia akan mengampuni dan memaafkan dosa mereka
sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya: ‘Dan Dia akan mengampuni dosa
selain dosa syirik bagi siapa yang dikehendakinya.’ Bila Allah
menghendaki, Dia akan mengadzab mereka di neraka sesuai keadilan-Nya.
Kemudian Allah akan mengeluarkan mereka dari neraka karena sifat
kasih-Nya dan karena adanya syafaat dari orang-orang yang taat,
selanjutnya memasukkan mereka kedalam surga. Hal itu karena Allah Ta’ala
mencintai orang-orang yang mengenal-Nya. Dia tidak akan memperlakukan
mereka di dunia dan di akhirat sebagaimana memperlakukan orang-orang
yang tidak mengenal-Nya. Yaitu orang-orang yang tidak mau mengikuti
petunjuk-Nya dan tidak mengharap kecintaan-Nya. Wahai Allah, Pemelihara
dan Pemilik Islam, teguhkan kami dalam memeluk agama Islam sehingga kami
bisa berjumpa dengan Engkau.”
Point 70 : “Kita tidak boleh memastikan seseorang dari mereka masuk
surga atau masuk neraka. Kita juga tidak boleh menetapkan seseorang itu
kafir, musyrik atau munafik sebelum kita melihat adanya bukti yang
jelas. Kita memasrahkan masalah isi hati mereka kepada Allah Ta’ala.”
(Lihat Kitab ‘Aqidah Ath Thahawiyah Syarah wa Ta’liq, oleh Muhammad Nashiruddin Al Albani).
Lihat juga kitab Aqidatu As Salaf Ashabul Hadits, oleh Syaikhul Islam
Abu Isma’il ‘Abdurrahman bin Isma’il Ash Shabuni, dalam Bab “Engkau Tak
Akan Dimasukkan Ke Dalam Jannah Hanya Karena Amal Perbuatanmu”, Edisi
Terjemahan.
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama