Pertama,
firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ
“Katakanlah
kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangan mereka,
dan memelihara kemaluan mereka.” (QS. An Nur: 31)
Allah ta’ala
memerintahkan wanita mukmin untuk memelihara kemaluan mereka, hal itu
juga mencakup perintah melakukan sarana-sarana untuk memelihara
kemaluan. Karena menutup wajah termasuk sarana untuk memelihara
kemaluan, maka juga diperintahkan, karena sarana memiliki hukum tujuan.
(Lihat Risalah Al-Hijab, hal 7, karya Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-’Utsaimin, penerbit Darul Qasim).
Kedua,
firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka.” (QS. An Nur: 31)
Ibnu
Mas’ud berkata tentang perhiasan yang (biasa) nampak dari wanita:
“(yaitu) pakaian” (Riwayat Ibnu Jarir, dishahihkan oleh Syaikh Mushthafa
Al Adawi, Jami’ Ahkamin Nisa’ IV/486). Dengan demikian yang boleh
nampak dari wanita hanyalah pakaian, karena memang tidak mungkin
disembunyikan.
Ketiga,
firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada (dan leher) mereka.” (QS. An Nur: 31)
Berdasarkan
ayat ini wanita wajib menutupi dada dan lehernya, maka menutup wajah
lebih wajib! Karena wajah adalah tempat kecantikan dan godaan. Bagaimana
mungkin agama yang bijaksana ini memerintahkan wanita menutupi dada dan
lehernya, tetapi membolehkan membuka wajah? (Lihat Risalah Al-Hijab,
hal 7-8, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, penerbit Darul
Qasim).
Keempat,
firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَلاَ يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَايُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ
“Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.” (QS. An Nur: 31)
Allah
melarang wanita menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasannya yang
dia sembunyikan, seperti gelang kaki dan sebagainya. Hal ini karena
dikhawatirkan laki-laki akan tergoda gara-gara mendengar suara gelang
kakinya atau semacamnya. Maka godaan yang ditimbulkan karena memandang
wajah wanita cantik, apalagi yang dirias, lebih besar dari pada sekedar
mendengar suara gelang kaki wanita. Sehingga wajah wanita lebih pantas
untuk ditutup untuk menghindarkan kemaksiatan. (Lihat Risalah Al-Hijab,
hal 9, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, penerbit Darul
Qasim).
Kelima,
firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَالْقَوَاعِدُ
مِنَ النِّسَآءِ الاَّتِي لاَيَرْجُونَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ
جُنَاحٌ أَن يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ وَأَن
يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَّهُنَّ وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Dan
perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung)
yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan
pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan
berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nur: 60)
Wanita-wanita tua dan tidak
ingin kawin lagi ini diperbolehkan menanggalkan pakaian mereka. Ini
bukan berarti mereka kemudian telanjang. Tetapi yang dimaksud dengan
pakaian di sini adalah pakaian yang menutupi seluruh badan, pakaian yang
dipakai di atas baju (seperti mukena), yang baju wanita umumnya tidak
menutupi wajah dan telapak tangan. Ini berarti wanita-wanita muda dan
berkeinginan untuk kawin harus menutupi wajah mereka. (Lihat Risalah
Al-Hijab, hal 10, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin,
penerbit Darul Qasim).
Abdullah bin Mas’ud dan Ibnu Abbas berkata
tentang firman Allah “Tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian
mereka.” (QS An Nur:60): “(Yaitu) jilbab”. (Kedua riwayat ini
dishahihkan oleh Syaikh Mushthafa Al-Adawi di dalam Jami’ Ahkamin Nisa
IV/523)
Dari ‘Ashim Al-Ahwal, dia berkata: “Kami menemui Hafshah
binti Sirin, dan dia telah mengenakan jilbab seperti ini, yaitu dia
menutupi wajah dengannya. Maka kami mengatakan kepadanya: “Semoga Allah
merahmati Anda, Allah telah berfirman,
وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَآءِ
الاَّتِي لاَيَرْجُونَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَن
يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ
“Dan
perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung)
yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan
pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan.” (QS.
An-Nur: 60)
Yang dimaksud adalah jilbab. Dia berkata kepada kami: “Apa firman Allah setelah itu?”Kami menjawab:
وَأَن يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَّهُنَّ وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Dan jika mereka berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nur: 60)
Dia mengatakan, “Ini menetapkan jilbab.” (Riwayat Al-Baihaqi. Lihat Jami’ Ahkamin NisaIV/524)
Keenam,
firman Allah subhanahu wa ta’ala:
غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ
“Dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan.” (QS. An-Nur: 60)
Ini
berarti wanita muda wajib menutup wajahnya, karena kebanyakan wanita
muda yang membuka wajahnya, berkehendak menampakkan perhiasan dan
kecantikan, agar dilihat dan dipuji oleh laki-laki. Wanita yang tidak
berkehendak seperti itu jarang, sedang perkara yang jarang tidak dapat
dijadikan sandaran hukum. (Lihat Risalah Al-Hijab, hal 11, karya Syaikh
Muhammad bin Shalih Al- ‘Utsaimin, penerbit: Darul Qasim).
Ketujuh,
firman Allah subhanahu wa ta’ala:
يَآأَيُّهَا
النَّبِيُّ قُل لأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ الْمُؤْمِنِينَ
يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلاَبِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَن يُعْرَفْنَ
فَلاَ يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَّحِيمًا
“Hai Nabi
katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri
orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke tubuh mereka.”
Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu
mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59)
Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas
radhiallahu ‘anhu berkata, “Allah memerintahkan kepada istri-istri kaum
mukminin, jika mereka keluar rumah karena suatu keperluan, hendaklah
mereka menutupi wajah mereka dengan jilbab (pakaian semacam mukena) dari
kepala mereka. Mereka dapat menampakkan satu mata saja.” (Syaikh
Mushthafa Al-Adawi menyatakan bahwa perawi riwayat ini dari Ibnu Abbas
adalah Ali bin Abi Thalhah yang tidak mendengar dari ibnu Abbas. Lihat
Jami’ Ahkamin Nisa IV/513)
Qatadah berkata tentang firman Allah
ini (QS. Al Ahzab: 59), “Allah memerintahkan para wanita, jika mereka
keluar (rumah) agar menutupi alis mereka, sehingga mereka mudah dikenali
dan tidak diganggu.” (Riwayat Ibnu Jarir, dihasankan oleh Syaikh
Mushthafa Al-Adawi di dalam Jami’ Ahkamin Nisa IV/514)
Diriwayatkan
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu berkata, “Wanita itu mengulurkan jilbabnya
ke wajahnya, tetapi tidak menutupinya.” (Riwayat Abu Dawud, Syaikh
Mushthafa Al-Adawi menyatakan: Hasan Shahih. Lihat Jami’ Ahkamin Nisa
IV/514)
Abu ‘Ubaidah As-Salmani dan lainnya mempraktekkan cara
mengulurkan jilbab itu dengan selendangnya, yaitu menjadikannya sebagai
kerudung, lalu dia menutupi hidung dan matanya sebelah kiri, dan
menampakkan matanya sebelah kanan. Lalu dia mengulurkan selendangnya
dari atas (kepala) sehingga dekat ke alisnya, atau di atas alis.
(Riwayat Ibnu Jarir, dishahihkan oleh Syaikh Mushthafa Al-Adawi di dalam
Jami’ Ahkamin NisaIV/513)
As-Suyuthi berkata, “Ayat hijab ini
berlaku bagi seluruh wanita, di dalam ayat ini terdapat dalil kewajiban
menutup kepala dan wajah bagi wanita.” (Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal
51, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).
Perintah mengulurkan jilbab ini meliputi menutup wajah berdasarkan beberapa dalil:
1.
Makna jilbab dalam bahasa Arab adalah: Pakaian yang luas yang menutupi
seluruh badan. Sehingga seorang wanita wajib memakai jilbab itu pada
pakaian luarnya dari ujung kepalanya turun sampai menutupi wajahnya,
segala perhiasannya dan seluruh badannya sampai menutupi kedua ujung
kakinya.
2. Yang biasa nampak pada sebagian wanita jahiliah adalah
wajah mereka, lalu Allah perintahkan istri-istri dan anak-anak perempuan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta istri-istri orang mukmin untuk
mengulurkan jilbabnya ke tubuh mereka. Kata idna’ (pada ayat tersebut
يُدْنِينَ -ed) yang ditambahkan huruf (عَلَي) mengandung makna
mengulurkan dari atas. Maka jilbab itu diulurkan dari atas kepala
menutupi wajah dan badan.
3. Menutupi wajah, baju, dan perhiasan dengan jilbab itulah yang dipahami oleh wanita-wanita sahabat.
4.
Dalam firman Allah: “Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu”,
merupakan dalil kewajiban hijab dan menutup wajah bagi istri-istri Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak ada perselisihan dalam hal ini di
antara kaum muslimin. Sedangkan dalam ayat ini istri-istri Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan bersama-sama dengan anak-anak
perempuan beliau serta istri-istri orang mukmin. Ini berarti hukumnya
mengenai seluruh wanita mukmin.
5. Dalam firman Allah: “Yang demikian
itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak
diganggu.” Menutup wajah wanita merupakan tanda wanita baik-baik, dengan
demikian tidak akan diganggu. Demikian juga jika wanita menutupi
wajahnya, maka laki-laki yang rakus tidak akan berkeinginan untuk
membuka anggota tubuhnya yang lain. Maka membuka wajah bagi wanita
merupakan sasaran gangguan dari laki-laki nakal/jahat. Maka dengan
menutupi wajahnya, seorang wanita tidak akan memikat dan menggoda
laki-laki sehingga dia tidak akan diganggu.
(Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 52-56, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).
Kedelapan,
firman Allah subhanahu wa ta’ala:
لاَّ
جُنَاحَ عَلَيْهِنَّ فِي ءَابَآئِهِنَّ وَلآ أَبْنَآئِهِنَّ وَلآ
إِخْوَانِهِنَّ وَلآ أَبْنَآءِ إِخْوَانِهِنَّ وَلآ أَبْنَآءِ
أَخَوَاتِهِنَّ وَلاَ نِسَآئِهِنَّ وَلاَ مَامَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ
وَاتَّقِينَ اللهَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ شَهِيدًا
“Tidak
ada dosa atas istri-istri Nabi (untuk berjumpa tanpa tabir) dengan
bapak-bapak mereka, anak-anak laki-laki mereka, saudara laki-laki
mereka, anak laki-laki dari saudara laki-laki mereka, anak laki-laki
dari saudara mereka yang perempuan, perempuan-perempuan yang beriman dan
hamba sahaya yang mereka miliki, dan bertakwalah kamu (hai istri-istri
Nabi) kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Menyaksikan segala
sesuatu.”(QS. Al Ahzab: 55)
Ibnu Katsir berkata, “Ketika Allah
memerintahkan wanita-wanita berhijab dari laki-laki asing (bukan
mahram), Dia menjelaskan bahwa (para wanita) tidak wajib berhijab dari
karib kerabat ini.” Kewajiban wanita berhijab dari laki-laki asing
adalah termasuk menutupi wajahnya.
Kesembilan,
firman Allah:
وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَسْئَلُوهُنَّ مِن وَرَآءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ
“Apabila
kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka
mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi
hatimu dan hati mereka.” (QS. Al Ahzab: 53)
Ayat ini jelas
menunjukkan wanita wajib menutupi diri dari laki-laki, termasuk menutup
wajah, yang hikmahnya adalah lebih menjaga kesucian hati wanita dan hati
laki-laki. Sedangkan menjaga kesucian hati merupakan kebutuhan setiap
manusia, yaitu tidak khusus bagi istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan para sahabat saja, maka ayat ini umum, berlaku bagi para
istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan semua wanita mukmin.
Setelah turunnya ayat ini maka Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam
menutupi istri-istri beliau, demikian para sahabat menutupi istri-istri
mereka, dengan menutupi wajah, badan, dan perhiasan. (Lihat Hirasah
Al-Fadhilah, hal: 46-49, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul
‘Ashimah).
Kesepuluh,
firman Allah:
يَانِسَآءَ
النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِّنَ النِّسَآءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلاَ
تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ
قَوْلاً مَّعْرُوفًا {32} وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلاَتَبَرَّجْنَ
تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ اْلأُوْلَى وَأَقِمْنَ الصَّلاَةَ وَءَاتِينَ
الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللهُ
لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
“Hai
istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika
kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga
berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah
perkataan yang baik. dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah
kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang
dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta’atilah Allah dan
Rasul-Nya.Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari
kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al
Ahzab: 32-33)
Ayat ini ditujukan kepada para istri Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi hukumnya mencakup wanita mukmin,
karena sebab hikmah ini, yaitu untuk menghilangkan dosa dan membersihkan
jiwa sebersih-bersihnya, juga mengenai wanita mukmin. Dari kedua ayat
ini didapatkan kewajiban hijab (termasuk menutup wajah) bagi wanita dari
beberapa sisi:
1. Firman Allah: “Janganlah kamu tunduk dalam
berbicara” adalah larangan Allah terhadap wanita untuk berbicara secara
lembut dan merdu kepada laki-laki. Karena hal itu akan membangkitkan
syahwat zina laki-laki yang diajak bicara. Tetapi seorang wanita
haruslah berbicara sesuai kebutuhan dengan tanpa memerdukan suaranya.
Larangan ini merupakan sebab-sebab untuk menjaga kemaluan, dan hal itu
tidak akan sempurna kecuali dengan hijab.
2. Firman Allah: “Dan
hendaklah kamu tetap di rumahmu” merupakan perintah bagi wanita untuk
selalu berada di dalam rumah, menetap dan merasa tenang di dalamnya.
Maka hal ini sebagai perintah untuk menutupi badan wanita di dalam rumah
dari laki-laki asing.
3. Firman Allah: “Dan janganlah kamu berhias
dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu” adalah
larangan terhadap wanita dari banyak keluar dengan berhias, memakai
minyak wangi dan menampakkan perhiasan dan keindahan, termasuk
menampakkan wajah.
(Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 39-44, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit, Darul ‘Ashimah).
Kesebelas,
Ummu ‘Athiyah berkata:
أُمِرْنَا
أَنْ نُخْرِجَ الْحُيَّضَ يَوْمَ الْعِيدَيْنِ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ
فَيَشْهَدْنَ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَدَعْوَتَهُمْ وَيَعْتَزِلُ
الْحُيَّضُ عَنْ مُصَلَّاهُنَّ قَالَتِ امْرَأَةٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ
إِحْدَانَا لَيْسَ لَهَا جِلْبَابٌ قَالَ لِتُلْبِسْهَا صَاحِبَتُهَا مِنْ
جِلْبَابِهَا
“Pada dua hari raya, kami diperintahkan untuk
mengeluarkan wanita-wanita haidh dan gadis-gadis pingitan untuk
menghadiri jamaah kaum muslimin dan doa mereka. Tetapi wanita-wanita
haidh menjauhi tempat shalat mereka. Seorang wanita bertanya: “Wahai
Rasulullah, seorang wanita di antara kami tidak memiliki jilbab
(bolehkan dia keluar)?” Beliau menjawab: “Hendaklah kawannya meminjamkan
jilbabnya untuk dipakai wanita tersebut.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits
ini menunjukkan kebiasaan wanita sahabat keluar rumah memakai jilbab.
Dan Rasulullah tidak mengizinkan wanita keluar rumah tanpa jilbab,
walaupun dalam perkara yang diperintahkan agama. Maka hal ini menjadi
dalil untuk menutupi diri. (Lihat Risalah Al Hijab, hal 15, karya Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, penerbit Darul Qasim).
Keduabelas,
‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata:
كُنَّ
نِسَاءُ الْمُؤْمِنَاتِ يَشْهَدْنَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةَ الْفَجْرِ مُتَلَفِّعَاتٍ بِمُرُوطِهِنَّ ثُمَّ
يَنْقَلِبْنَ إِلَى بُيُوتِهِنَّ حِينَ يَقْضِينَ الصَّلَاةَ لَا
يَعْرِفُهُنَّ أَحَدٌ مِنَ الْغَلَسِ
“Dahulu wanita-wanita mukmin
biasa menghadiri shalat subuh bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, mereka menutupi tubuh mereka dengan selimut. Kemudian mereka
kembali ke rumah-rumah mereka ketika telah menyelesaikan shalat. Tidak
ada seorang pun mengenal mereka karena gelap.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Menutupi
diri merupakan kebiasaan wanita sahabat yang merupakan teladan terbaik.
Maka kita tidak boleh menyimpang dari jalan mereka itu. (Lihat Risalah
Al Hijab, hal 16-17, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin,
penerbit Darul Qasim).
Ketiga belas,
Perkataan
‘Aisyah: “Seandainya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat
wanita-wanita (di zaman ini) apa yang kita lihat, niscaya beliau
melarang para wanita ke masjid, sebagaimana Bani Israil dahulu melarang
para wanita mereka.”Diriwayatkan juga seperti ini dari Abdullah bin
Mas’ud radhiallahu ‘anhu.
Dari riwayat ini diketahui bahwa setiap
perkara yang mengakibatkan sesuatu yang berbahaya maka hal itu dilarang.
Karena membuka wajah bagi wanita akan mengakibatkan bahaya, maka
terlarang. (Lihat Risalah Al Hijab, hal 17, karya Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-’Utsaimin, penerbit Darul Qasim).
Keempat belas,
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ
جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ فَكَيْفَ يَصْنَعْنَ النِّسَاءُ
بِذُيُولِهِنَّ قَالَ يُرْخِينَ شِبْرًا فَقَالَتْ إِذًا تَنْكَشِفُ
أَقْدَامُهُنَّ قَالَ فَيُرْخِينَهُ ذِرَاعًا لَا يَزِدْنَ عَلَيْهِ
“Barang
siapa menyeret pakaiannya dengan sombong, Allah tidak akan melihatnya
pada hari kiamat.” Kemudian Ummu Salamah bertanya: “Bagaimana para
wanita membuat ujung pakaian mereka?” Beliau menjawab: “Hendaklah mereka
menjulurkan sejengka.l” Ummu Salamah berkata lagi: “Kalau begitu
telapak kaki mereka akan tersingkap?” Beliau menjawab: “Hendaklah mereka
menjulurkan sehasta, mereka tidak boleh melebihkannya.” (HR. Tirmidzi,
dan lainnya)
Hadits ini menunjukkan kewajiban menutupi telapak kaki
wanita, dan hal ini sudah dikenal di kalangan wanita sahabat. Sedangkan
terbukanya telapak kaki wanita tidak lebih berbahaya dari pada
terbukanya wajah dan tangan mereka, maka ini menunjukkan wajibnya
menutupi wajah dan tangan wanita. (Lihat Risalah Al Hijab, hal 17-18,
karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, penerbit Darul Qasim).
Kelima belas,
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا كَانَ عِنْدَ مُكَاتَبِ إِحْدَاكُنَّ مَا يُؤَدِّي فَلْتَحْتَجِبْ مِنْهُ
“Jika
budak mukatab (budak yang ada perjanjian dengan tuannya bahwa dia akan
merdeka jika telah membayar sejumlah uang tertentu -pen) salah seorang
di antara kamu (wanita) memiliki apa yang akan dia tunaikan, maka
hendaklah wanita itu berhijab (menutupi diri) darinya.” (HR. Tirmidzi
dan lainnya)
Hadits ini menunjukkan kewajiban wanita berhijab
(menutupi dirinya) dari laki-laki asing (bukan mahram). (Lihat Risalah
Al Hijab, hal 18, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin,
penerbit Darul Qasim).
Keenam belas,
‘Aisyah berkata:
كَانَ
الرُّكْبَانُ يَمُرُّونَ بِنَا وَنَحْنُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُحْرِمَاتٌ فَإِذَا حَاذَوْا بِنَا سَدَلَتْ
إِحْدَانَا جِلْبَابَهَا مِنْ رَأْسِهَا عَلَى وَجْهِهَا فَإِذَا
جَاوَزُونَا كَشَفْنَاهُ
“Para pengendara kendaraan biasa melewati
kami, di saat kami (para wanita) berihram bersama-sama Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka jika mereka mendekati kami, salah
seorang di antara kami menurunkan jilbabnya dari kepalanya pada
wajahnya. Jika mereka telah melewati kami, kami membuka wajah.” (HR.
Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan lain-lain)
Wanita yang ihram
dilarang memakai penutup wajah dan kaos tangan sebagaimana disebutkan di
dalam Shahihain (Shahih Bukhari dan Shahih Muslim). Sehingga kebanyakan
ulama berpendapat, wanita yang ihram wajib membuka wajah dan tangannya.
Sedangkan yang wajib tidaklah dapat dilawan kecuali dengan yang wajib
pula. Maka kalau bukan karena kewajiban menutup wajah bagi wanita,
niscaya tidak boleh meninggalkan kewajiban ini (yakni membuka wajah bagi
wanita yang ihram). (Lihat Risalah Al Hijab, hal 18-19, karya Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, penerbit Darul Qasim).
Ketujuh belas,
Asma’
binti Abi Bakar berkata: “Kami menutupi wajah kami dari laki-laki, dan
kami menyisiri rambut sebelum itu di saat ihram.” (HR. Ibnu Khuzaimah
dan Al-Hakim. Al-Hakim berkata: “Shahih berdasarkan syarat Bukhari dan
Muslim”, dan disepakati oleh Adz-Dzahabi)
Ini menunjukkan bahwa
menutup wajah wanita sudah merupakan kebiasaan para wanita sahabat.
(Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 68-69, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid,
penerbit Darul ‘Ashimah).
Kedelapan belas,
‘Aisyah berkata:
لَمَّا
نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ ( وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى
جُيُوبِهِنَّ ) أَخَذْنَ أُزْرَهُنَّ فَشَقَّقْنَهَا مِنْ قِبَلِ
الْحَوَاشِي فَاخْتَمَرْنَ بِهَا
“Mudah-mudahan Allah merahmati
wanita-wanita Muhajirin yang pertama-tama, ketika turun ayat ini: “Dan
hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada (dan leher) mereka.”
(QS. Al Ahzab: 31), mereka merobek selimut mereka lalu mereka
berkerudung dengannya.” (HR. Bukhari, Abu Dawud, Ibnu Jarir, dan
lainnya)
Ibnu Hajar berkata (Fathul Bari 8/490): “Perkataan: lalu
mereka berkerudung dengannya” maksudnya mereka menutupi wajah mereka.”
(Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 69, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid,
penerbit Darul ‘Ashimah).
Kesembilan belas,
Dari Urwah bin Zubair:
عَنْ
عَائِشَةَ أَنَّ أَفْلَحَ أَخَا أَبِي الْقُعَيْسِ جَاءَ يَسْتَأْذِنُ
عَلَيْهَا وَهُوَ عَمُّهَا مِنَ الرَّضَاعَةِ بَعْدَ أَنْ نَزَلَ
الْحِجَابُ فَأَبَيْتُ أَنْ آذَنَ لَهُ فَلَمَّا جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرْتُهُ بِالَّذِي صَنَعْتُ
فَأَمَرَنِي أَنْ آذَنَ لَهُ
Dari ‘Aisyah bahwa Aflah saudara Abul
Qu’eis, paman Aisyah dari penyusuan, datang minta izin untuk menemuinya
setelah turun ayat hijab. ‘Aisyah berkata: “Maka aku tidak mau
memberinya izin kepadanya. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah datang maka aku memberitahukan apa yang telah aku lakukan,
maka beliau memerintahkanku agar memberi izin kepadanya.” (HR. Bukhari
dan lainnya)
Ibnu Hajar berkata (Fathul Bari 9/152): “Dalam hadits ini terdapat dalil kewajiban wanita menutupi diri dari laki-laki asing.”
Kedua puluh,
sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتِ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ
“Wanita adalah aurat, jika dia keluar, setan akan menjadikannya indah pada pandangan laki-laki.” (HR. Tirmidzi dan lainnya)
Kalau
wanita adalah aurat, maka semuanya harus ditutupi. (Lihat Hirasah
Al-Fadhilah, hal 74-75, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul
‘Ashimah).
Kedua puluh satu,
sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِيَّاكُمْ
وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ يَا
رَسُولَ اللَّهِ أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ قَالَ الْحَمْوُ الْمَوْتُ
Janganlah
kamu masuk menemui wanita-wanita.” Seorang laki-laki Anshar bertanya:
“Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bagaimana pendapat Anda
tentang saudara suami (bolehkah dia masuk menemui wanita, istri
saudaranya)? Beliau menjawab: “Saudara suami adalah kematian. (Yakni:
lebih berbahaya dari orang lain).”(HR. Bukhari, Muslim, dan lainnya)
Jika
masuk menemui wanita-wanita bukan mahram tidak boleh, maka menemui
mereka harus di balik tabir. Sehingga wanita wajib menutupi tubuh
mereka, termasuk wajah. (Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 75, karya Syaikh
Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).
Kedua puluh dua,
Perkataan ‘Aisyah dalam peristiwa Haditsul Ifki:
وَقَدْ
كَانَ -صَفْوَانُ بْنُ الْمُعَطَّلِ السُّلَمِيُّ ثُمَّ الذَّكْوَانِيُّ-
يَرَانِي قَبْلَ أَنْ يُضْرَبَ الْحِجَابُ عَلَيَّ فَاسْتَيْقَظْتُ
بِاسْتِرْجَاعِهِ حِينَ عَرَفَنِي فَخَمَّرْتُ وَجْهِي بِجِلْبَابِي
“Dia
(Shawfan bin Al-Mu’athal) dahulu pernah melihatku sebelum diwajibkan
hijab atasku, lalu aku terbangun karena perkataannya: “Inna lillaahi…”
ketika dia mengenaliku. Maka aku menutupi wajahku dengan jilbabku.” (HR.
Muslim)
Inilah kebiasaan Ummahatul mukminin, yaitu menutupi wajah,
maka hukumnya meliputi wanita mukmin secara umum sebagaimana dalam
masalah hijab. (Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 72, karya Syaikh Bakar
bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).
Kedua puluh tiga,
Aisyah berkata:
خَرَجَتْ
سَوْدَةُ بَعْدَ مَا ضُرِبَ عَلَيْهَا الْحِجَابُ لِتَقْضِيَ حَاجَتَهَا
وَكَانَتِ امْرَأَةً جَسِيمَةً تَفْرَعُ النِّسَاءَ جِسْمًا لَا تَخْفَى
عَلَى مَنْ يَعْرِفُهَا فَرَآهَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ فَقَالَ يَا
سَوْدَةُ وَاللَّهِ مَا تَخْفَيْنَ عَلَيْنَا فَانْظُرِي كَيْفَ
تَخْرُجِينَ
“Setelah diwajibkan hijab pada Saudah, dia keluar (rumah)
untuk menunaikan hajatnya, dia adalah seorang wanita yang besar (dalam
riwayat lain: tinggi), tubuhnya melebihi wanita-wanita lainnya, tidak
samar bagi orang yang mengenalnya. Lalu Umar melihatnya, kemudian
berkata: “Hai Saudah, demi Allah engkau tidaklah tersembunyi bagi kami,
perhatikanlah bagaimana engkau keluar!” (HR. Muslim)
Karena Umar
mengetahui Saudah dengan tinggi dan besarnya, maka ini menunjukkan
wajahnya tertutup. (Lihat Jami Ahkamin Nisa’ IV/486, karya Syaikh
Mushthafa Al-Adawi).
Kedua puluh empat,
terjadinya
ijma’ tentang kewajiban wanita untuk selalu menetap di rumah dan tidak
keluar kecuali jika ada keperluan, dan tentang wanita tidak keluar rumah
dan lewat di hadapan laki-laki kecuali dengan berhijab (menutupi diri)
dan menutup wajah. Ijma’ ini dinukilkan oleh Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr,
Imam Nawawi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan lainnya. (Lihat Hirasah
Al-Fadhilah, hal 38, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul
‘Ashimah).
Kedua puluh lima,
banyaknya
kerusakan yang ditimbulkan oleh terbukanya wajah wanita. Seperti wanita
akan menghiasi wajahnya sehingga mengundang berbagai kerusakan;
hilangnya rasa malu dari wanita; tergodanya laki-laki; percampuran
laki-laki dengan wanita; dan lain-lainnya. (Lihat Risalah Al Hijab, hal
20-24, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, penerbit Darul
Qasim).
Kedua puluh enam,
bantahan terhadap dalil-dalil yang membolehkan wanita membuka wajah secara ringkas:
1.
Dalil-dalilnya shahih dan jelas penunjukan dalilnya. Tetapi dalil-dalil
itu telah mansukh (dihapus hukumnya) dengan ayat yang mewajibkan hijab
yang turun pada tahun 5 H, atau itu dilakukan oleh wanita tua yang tidak
wajib berhijab, atau di hadapan anak kecil yang belum tahu aurat
wanita.
2. Dalil-dalilnya shahih tetapi tidak jelas penunjukan
dalilnya. Sehingga tidak kuat melawan dalil-dalil yang mewajibkan wanita
menutup wajahnya. Sedangkan yang wajib adalah mengembalikan dalil-dalil
mutasyabih (maknanya tidak pasti) kepada yang muhkam (maknanya pasti).
3. Dalil-dalilnya jelas penunjukan dalilnya tetapi tidak shahih, sehingga tidak dapat diterima.
(Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 82-83, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).
Ringkasan Dalil-Dalil di Atas
Inilah
ringkasan dalil-dalil para ulama yang mewajibkan hijab. Jika
disimpulkan dalil-dalil itu, maka dapat dikelompokkan pada beberapa
point:
1. Menjaga kemaluan hukumnya wajib, sedangkan menutup wajah
termasuk sarana untuk menjaga kemaluan, sehingga hukumnya juga wajib.
2.
Perintah Allah dan Rasul-Nya kepada wanita untuk berhijab (menutupi
diri) dari laki-laki selain mahramnya. Perintah hijab ini meliputi
menutup wajah.
3. Perintah Allah dan Rasul-Nya kepada wanita untuk memakai jilbab. Jilbab ini meliputi menutup wajah.
4. Perintah Allah kepada wanita untuk menutupi perhiasannya, ini mencakup menutupi wajah.
5. Ijma yang mereka nukilkan.
6.
Qiyas. Yaitu kalau wanita wajib menutupi telapak kakinya, lehernya, dan
lainnya karena dikhawatirkan akan menimbulkan godaan, maka menutup
wajah wanita lebih wajib.
7. Kebiasaan para wanita sahabat, termasuk Ummahatul mukminin, menutupi wajah mereka.
Di Antara Ulama Zaman Ini yang Mewajibkan Cadar
Di
antara para ulama zaman ini yang menguatkan pendapat ini adalah: Syaikh
Muhammad As-Sinqithi, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-Utsaimin, Syaikh Abdullah bin Jarullah bin Ibrahim
Al-Jarullah, Syaikh Bakr Abu Zaid, Syaikh Mushthafa Al-Adawi dan para
ulama lainnya. Inilah sedikit penjelasan tentang dalil-dalil para ulama
yang mewajibkan cadar (menutup wajah) bagi wanita.
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama