Tentang Riba Bank Syariah Indonesia




Bank Syariah Indonesia masih adakah riba?

Pertama, Banyak pakar ekonomi syariah yang memiliki semangat meluruskan umat untuk menghindari riba, menegaskan bahwa bank syariah di Indonesia masih sarat dengan riba. Bahkan sebagian konsultasn bank syariah-pun mengakui bahwa bank syariah Indonesia belum bersih dari riba. Jika boleh disimpulkan, semua keterangan mereka tentang bank syariah menunjukkan bahwa keberadaan riba di bank syariah Indonesia adalah aksioma yang tidak bisa dibantah.
Kedua, Seperti yang kita pahami, BI sebagai badan regulasi perbankan di indonesia telah mengaminkan Dewan Syariah Nasional (DSN) agar secara khusus menjadi konsultan syariah bagi perjalanan bank syariah di indonesia. Namun dalam beberapa kasus transaksinya, ternyata praktek bank syariah bertentangan dengan keputusan DSN. Dr. Muhammad Arifin baderi telah mengupas hal ini dan diterbitkan di majalah Pengusaha Muslim edisi 25.

Berikut artikel beliau,

Antara Fatwa DSN & Praktek Perbankan Syariah

Pendahuluan
Alhamdulillah, shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Diantara bentuk keadilan yang diajarkan Islam kepada umatnya ialah membedakan antara dalil dan praktek manusia di lapangan. Bisa jadi secara pendalilan anda telah menemukan dalil yang valid dan tegas. Namun itu belum cukup untuk menjadi bukti bahwa pemahaman dan aplikasi anda benar. Karena dalam dataran praktek, bisa jadi, anda salah memahami dan bisa pula anda salah menerapkan.
Dikisahkan, ketika turun ayat 187 surat Al Baqarah, sahabat Adi bin Hatim menyiapkan satu benang putih dan satu benar hitam. Selanjutnya beliau meletakkan kedua benang itu di bawah bantalnya. Sehingga setiap kali terjaga dari tidurnya, ia berusaha mengenali kedua benang tersebut, untuk mengetahui batasan malam dan siang. Keesokan harinya sahabat Adi menemui Rasulullah shaallallahu ‘alaihi wa sallam¸untuk menanyakan apa yang telah ia lakukan. Menanggapi pertanyaan sahabat Adi ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bila benang putih (siang) dan benang hitam (malam) berada di bawah bantalmu, tentu bantalmu sangat lebar. Sejatinya maksud dari keduanya ialah gelapnya malam dan terangnya siang.” (Muttafaqun ‘alaih)
Kisah ini menjadi bukti nyata bahwa antara dalil dan praktek di lapangan dapat saja terjadi kesenjangan. Satu fenomena yang menuntut anda untuk selalu waspada dan kiritis, sehingga tidak buru-buru puas ketika ada orang yang berlindung dengan dalil atau fatwa. Dalil dan fatwa haruslah diiringi oleh aplikasi yang tepat dan benar.

Ketentuan ini berlaku dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat, tanpa terkecuali praktek perbankan syariah yang sedang menjamur di negeri kita. Melalui tulisan ini, saya mengajak anda untuk mengadakan perbandingan antara fatwa DSN (Dewan syariah Nasional) dengan praktek perbankan syariah. Semoga perbandingan ini menjadi masukan positif bagi semua kalangan yang peduli dengan perkembangan perbankan syariah di negeri kita.

Fatwa Pertama: Tentang Murabahah Kontemporer.

Akad Murabahah adalah satu dari sekian produk perbankan syariah yang paling diminati oleh masyarakat. Karena akad ini menjadi alternatif mudah dan tepat bagi berbagai pembiayaan atau kredit dalam perbankan konvensional yang tentu sarat dengan riba.
Melalui akad ini, perbankan memiliki peluang untuk melakukan suatu akad penjualan sebelum memiliki barang. Sebagaimana nasabah dengan berbekal permohonan dan janji pembelian dapat membeli barang walau belum memiliki cukup uang.
Kebanyakan ulama dan juga berbagai lembaga fikih nasional atau internasional, membolehkan akad murabahah kontemporer ini. Diantara Lembaga fikih yang membolehkan akad ini ialah Majma’ Al-Fiqh Al Islami, (organisasi fikih dibawah organisasi OKI). Fatwa mereka telah terbit pada rapat pleno mereka ke 5 yang berlangsung di Kuwait pada 1 – 6 Jumadil Ula 1409 H / 10 – 15 Desember 1988, melalui keputusannya no: 40-41 (2/5 dan 3/5).
Dan diantara lembaga fikih nasional yang membolehkan akad ini ialah DSN dalam fatwanya no: 04/DSN-MUI/IV/2000. Fatwa DSN ini, kemudian menjadi payung dan pedoman bagi perbankan syariah dalam menjalankan akad murabahah.
Walau demikian, menurut pengamatan saya, ada beberapa ketentuan dalam fatwa DSN yang belum sepenuhnya diterapkan oleh perbakan syariah yang ada, diantaranya:
DSN pada fatwanya No: 04/DSN-MUI/IV/200, tentang Murabahah dinyatakan: “Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.” (Himpunan Fatwa Dewan syariah Nasional MUI hal.24)

Pertanyaannya : “Bank syariah manakah yang benar-benar menerapkan ketentuan ini, sehingga barang yang diperjual-belikan benar-benar telah dibeli oleh bank?
Pada prakteknya, perbankan syariah, hanya melakukan akad murabahah bila nasabah telah terlebih dahulu melakukan pembelian dan pembayaran sebagian nilai barang (baca: bayar uang muka).
Adakah bank yang berani menuliskan pada laporan keuangannya bahwa ia pernah memiliki aset dan kemudian menjualnya kembali kepada nasabah? Tentu anda mengetahui bahwa perbankan di negeri kita, baik yang berlabel syariah atau tidak, hanyalah berperan sebagai badan intermediasi. Artinya, bank hanya berperan dalam pembiayaan, dan bukan membeli barang, untuk kemudian dijual kembali. Karena secara regulasi dan faktanya, bank tidak dibenarkan untuk melakukan praktek perniagaan praktis. Dengan ketentuan ini, bank tidak mungkin bisa membeli yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri. Hasilnya, bank telah melanggar ketentuan DSN MUI di atas.

Fatwa Kedua, Tentang Akad Mudharabah (Bagi Hasil)

Akad Mudharabah adalah akad yang oleh para ulama telah disepakati akan kehalalannya. Karena itu, akad ini dianggap sebagai tulang punggung praktek perbankan syariah yang berkembang saat ini. Untuk kepentingan ini, DSN-MUI telah menerbitkan fatwa no: 07/DSN-MUI/IV/2000, yang kemudian menjadi pedoman bagi praktek perbankan syariah.
Walau demikian, menurut hemat saya, ada satu ketentuan dalam fatwa DSN-MUI yang belum diindahkan oleh perbankan syariat yang ada. Pada fatwa tersebut DSN menyatakan:
“LKS (lembaga Keuangan Syariah) sebagai penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah kecuali jika mudharib (nasabah) melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian.” (Himpunan Fatwa Dewan syariah Nasional MUI hal. 43)
Pada ketentuan lainnya, DSN kembali menekankan akan hal ini dengan pernyataan:

“Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah, dan pengelola tidak boleh menanggung kerugian apapun, kecuali diakibatkan dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.” (Himpunan Fatwa Dewan syariah Nasional MUI hal. 45)

Pertanyaannya: Bank syariah manakah yang benar-benar telah menerapkan ketentuan fatwa ini? Praktek perbankan syariah di lapangan masih jauh dari apa yang di fatwakan oleh DSN.
Andai perbankan syariah yang ada benar-benar menerapkan ketentuan ini, niscaya masyarakat berbondong-bondong mengajukan pembiayaan dengan skema mudharabah. Dan dalam waktu singkat pertumbuhan perbankan syariah akan mengungguli perbankan konvensional.
Namun kembali lagi, fakta tidak semanis teori. Perbankan syariah yang ada belum sungguh-sungguh menerapkan fatwa DSN secara utuh. Sehingga pelaku usaha yang mendapatkan pembiayaan modal dari perbankan syariah, masih diwajidkan mengembalikan modal secara utuh, walaupun ia mengalami kerugian usaha. Terlalu banyak cerita dari nasabah mudharabah bank syariah yang mengalami perlakuan ini.

Fatwa Ketiga, Tentang Gadai Emas

Gadai emas adalah satu dari sekian instrumen investasi yang marak ditawarkan oleh perbankan syariah akhir-akhir ini. Gadai emas mencuat dan diminati banyak orang sejak harga emas terus membumbung tinggi.
Dewan Syariah Nasional melalui fatwanya no: 25/DSN-MUI/III/2002 membolehkan praktek ini. Dan tentunya dengan mengindahkan berbagai ketentuan yang berlaku pada akad gadai dalam hukum fikih. Dan diantara ketentuan DSN yang perlu digaris bawahi dalam praktek ini adalah fatwa DSN yang menyatakan:
“Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun (barang gadai) tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.” (Himpunan Fatwa Dewan syariah Nasional MUI hal. 154)
Sementara dalam fatwa DSN No: 26/DSN-MUI/III/2002 yang secara khusus menjelaskan aturan gadai emas, dinyatakan:
“Ongkos sebagaimana dimaksud ayat 2 besarnya didasarkan pada pengeluaran yang nyata-nyata diperlukan.”

Pertanyaannya: Perbankan syariah manakah yang mengindahkan ketentuan ini? Fakta dilapangan membuktikan bahwa perbankan syariah yang ada, telah memungut biaya administrasi pemeliharan dan penyimpanan barang gadai sebesar persentase tertentu dari nilai piutang.
Jika bank syariah bersedia menerapkan fatwa di atas, tentunya dalam menentukan biaya pemeliharaan emas yang digadaikan, bank akan menentukan berdasarkan harga Safe Deposit Box (SDB). Akan tetapi, fakta menunjukkan bahwa ongkos penyimpanan yang dibabankan nasabah TIDAK sesuai dengan biaya riil yang dibutuhkan untuk standar penyimpanan dan penjagaan bank, atau melebihi nilai harga SDB untuk penyimpanan emas.
Sebagai pendekatan, SDB yang ditawarkan BNI harganya beragam: ukuran kecil (3x5x24inch) dengan harga Rp 100 ribu per tahun, ukuran sedang (5x10x24inch) dengan harga Rp 250 ribu per tahun, dan ukuran besar (15x10x24inch) dengan harga Rp 700 ribu per tahun. Kita semua yakin, untuk menyimpan emas seberat 2 gram, orang hanya membutuhkan SDB ukuran paling kecil. Salah satu bank syariah, dalam brosurnya menerapkan tarif, untuk emas 2 gram dengan kadar 20 karat, biaya titip sebesar 11.800/15 hari. Dengan demikian, untuk penyimpanan selama 6 bulan saja, nasabah membayar Rp 141.600.
Dus, lagi-lagi praktek perbankan syariah nyata-nyata melanggar fatwa DSN.
Mencermati realita di atas, bisa kita simpulkan, payung fatwa DSN MUI yang selama ini digunakan bank syariah untuk membenarkan label syariah hanyalah klaim tanpa bukti. Wajar bila sebagian pengamat menyatakan bahwa perbuatan perbankan syariah ini layak dianggap sebagai perbuatan melawan hukum.

Penutup :

Perbandingan beberapa fatwa DSN-MUI dengan praktek perbankan syariah ini sengaja saya angkat sebagai bentuk kepedulian saya terhadap perjuangan umat menerapkan syariat. Dengan adanya kontrol dan kritik semacam ini diharapkan, laju perjuangan umat tidak kandas di tengah jalan, dan juga tidak menyeleweng dari jalur yang benar. Wallahu Ta’ala a’lam bisshawab.
Semoga bermanfaat
oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)
Share on Google Plus

About Admin

Khazanahislamku.blogspot.com adalah situs yang menyebarkan pengetahuan dengan pemahaman yang benar berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan pemahaman generasi terbaik dari para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam beserta pengikutnya.
    Blogger Comment

2 komentar:

  1. bagaiman kalo bnga diambil tapi disumbangkan ke masjid????

    ReplyDelete
  2. Assalamuallaikum Wr. Wb.

    Kalau memang riba masih ada di bank konven dan bank syariah..mengapa byk donasi ada yg masih menggunakan jasa bank? apakah tidak akan tercampur dengan bunga bank..seperti iklan donasi pada web ini..menggunakan bank konvensional..
    Apakah di tinggalkan bunga ribanya? kan bunga riba pecahan yg sgt kecil (utk ditarik tunai harus pembulatan) bagaimana dg uang sisa donasi yg tdk dpt ditarik tunai?

    Mohon pencerahannya..Terimakasih :)
    Wassalamuallaikum Wr. Wb

    ReplyDelete


Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com

Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama