“Wahai anakku! Jika ada sesuatu yang tak bisa kau pastikan bila
dia datang, maka persiapkan dirimu untuk menghadapinya sebelum dia
mendatangimu sedang engkau dalam keadaan lengah”
(Nasihat Luqman kepada anaknya)
Tiba-tiba saja ia berdiri dihadapanku. Memperkenalkan diri entah dari
mana. Terus terang, aku melongo ketika orang atau lebih tepatnya mahluk
itu ada dihadapanku. Entah kenapa, aku tidak terlalu kaget. Hanya saja,
memang muncul rasa heran dan takut. Tubuhku yang sedang berbaring
setengah terangkat. Aku menatap bengong melihatnya berdiri di hadapanku.
Meski rasa takut menyergapku, aku seakan-akan tidak merasa asing dengan
sosok ini.
Kayanya pernah kenal, tapi dimana gitu. Dalam beberapa saat aku
seperti pikun. Lupa. Tepatnya nggak tau apakah pernah bertemu dengannya
atau tidak. Sepertinya aku mengalami dejavu, pikirku.
Cukup lama ia memandangku dengan diam, setelah dia menyebutkan
namanya begitu saja. Padahal aku nggak minta diperkenalkan. Boro-boro
perkenalan, dia begitu saja mengada, makanya siapa diapun aku nggak
ngeh. Izrail katanya. Siapa ya? Rasanya nama itu pernah kudengar dengan
baik. Tapi aku lagi-lagi tidak mampu menggali memori dari otakku yang
tiba-tiba menjadi beku.
Ia nampaknya termasuk mahluk yang tak mau tau. Tepatnya super cuek.
Apakah aku mau atau tidak, nampaknya ia memang tak peduli. Bilamana ia
mau, ia akan memperkenalkan diri. Bila tidak, ya sudah lewat begitu
saja. Tak peduli orang yang disapanya mau atau tidak. Apakah yang di
datanginya jantungan atau tidak. Baginya itu nampaknya tidak menjadi
soal benar.
Apalagi kemunculannya yang tiba-tiba begitu. Seperti menyergap dari
ketiadaan, muncul begitu saja. Bagi yang penakut, mungkin kemunculannya
bisa membuat semaput. Dia seperti hantu. Untungnya aku termasuk bukan
manusia yang kagetan. Sehingga kemunculannya yang tiba-tiba itu tidak
terlalu membuatku semaput. Tapi yang jelas memang otakku jadi beku.
Seperti sekarang ini. Memandang dengan bodoh kesosok yang luar biasa
ganteng ini.
Kupikir-pikir, memang aku belum pernah melihat wajah seperti dia ini.
Wajahnya lebih mirip manekin yang dipajang ditoko-toko ketimbang
manusia. Halus, berkulit bersih, bahkan seperti menimbulkan pendar
sinar. Meskipun, kebersihan kulitnya agak sedikit tidak lazim dengan
warna bersih yang memerah dadu seperti pipi bayi itu. Dia senyam-senyum
dikulum, seperti seorang teman lama yang sedang menggoda. Wah, pikirku,
ni orang kalau ikut kontes Indonesian Idol atau AFI barangkali langsung
menang, yang lainnya langsung bertumbangan.
“Sudah tau siapa aku?”, lanjutnya memecahkan kebingunganku.
“Eh..emmmm yyyaa…siapa ya”, dengan sedikit gemetaran dan
tergagap-gagap aku menjadi grogi, tapi lagi-lagi aku masih belum ngeh
siapa dia, padahal dia sudah menyebutkan namanya. Nama itu memang
terdengar tidak asing. Cuma, aku lagi-lagi lupa dimana pernah mendengar
nama itu.
Dia tersenyum simpul. Swear, senyumnya termasuk kategori senyum manis
bagi makhluk berjenis kelamin laki-laki (terus terang saja gender ini
perlu saya buat dengan font italyc karena saya sendiri bingung ini orang
laki-laki atau perempuan).
Kemudian dengan perlahan ia berkata” Aku diminta menjemputmu…”.
“Siapa?”, tanyaku masih setengah bingung.
“Dia…”, katanya pendek.
“Dia siapa ya?”, tanyaku lagi, otakku masih beku, tak bisa menduga dan tak tahu dengan yang ia maksud.
“Kkkamu sendiri siapa?”, tanyaku dengan sedikit gagap tetapi lebih mantap.
Keberanianku muncul begitu saja. Nampaknya, ia tidak kaget dengan
reaksiku yang nampaknya masih belum begitu jelas. Aku sendiri masih
mencoba mengingat-ingat. Tapi, rasanya memang sel-sel kelabu otakku jadi
tumpul tak bisa berpikir. Entah kenapa, kemampuan berpikirku jadi
mandeg. Daya ingatku seperti berputar-putar tak menentu, tak bisa
mengatur alur logis yang benar. Melompat-lompat dan terputus-putus
begitu saja seperti komputer yang perangkat lunaknya error karena
kerusakan prosesornya. Kira-kira pernah kenal dimana dengan sosok aneh
ini. Tanpa ba-bi-bu lagi nongol dan langsung memperkenalkan diri. Kucoba
mengingat-ingat sekiranya aku pernah bertemu dengannya. Disuatu tempat,
di suatu waktu.
Disela-sela kepikunannku, aku mencoba mengingat-ingat. Apakah teman
sekolahku dulu pikirku. Ah, kelihatannya bukan. Tapi tetap tak bisa
kuingat, siapakah pemilik sosok ganjil dihadapanku ini. Lagi pula kami
masih sering kumpul-kumpul satu sama lain, meskipun sudah hampir 10
tahun angkatan kami habis alias pada lulus dari bangku kuliah. Ah,
nampaknya bukan. Pelan-pelan kuhimpun daya ingatku, sedikit demi sedikit
aku merasakan otakku melumer.
Tak ada dari temanku yang penampilannya mirip dia ini. Meskipun dari
lain jurusan, aku masih ingat satu persatu beberapa temanku semasa
kuliah dulu. Frame demi frame aku mencoba memutar kembali wajah-wajah
temanku. Si Bambang yang pernah dipenjara dulu karena aksi bakar ban di
kampus. Atau si Nirwan yang jadi budayawan. Walaupun aku cuma satu dua
kali ketemu dengan dia toh aku masih mengingat wajahnya. Bahkan beberapa
teman satu kampus yang cuma kenal muka pun aku masih rada-rada ingat.
Lha yang ada didepanku ini benar-benar asing banget. Walaupun
samar-samar wajah itu seperti familiar dengan ku.
Wajah sesosok wanita melintas sekilas, Ah tapi bukan dia, bukan dia,
dia sudah lama pergi. Aku tepiskan bayangan yang melintas dari masa lalu
itu. Entah kapan ketemunya akupun tidak tau. Tapi memang ada satu wajah
yang sempat melintas dikepalaku, tapi tidak mungkin dia, soalnya dia
memang cewek. Tapi, yah yang berdiri di hadapanku ini memang susah
kujelaskan apakah cewek atau cowok. Ahhh, mungkin kawan se SMA dulu
pikirku. Mencoba tidak menyerah, untuk mengingat dia yang tiba-tiba
berdiri didepanku. Ingatanku pun melayang ke SMA dulu untuk mencari-cari
dan mencocokkan siapa gerakan teman SMA yang mirip-mirip dia ini.
Lagi-lagi aku tidak menemukan sesorang pun yang mirip dia. Kemudian
kujelajahi kenangan SMP dan sekolah dasar.
Blank…
Benar-benar blank nih pikirku, persis komputer yang tidak ada
BIOS-nya. Siapa dia ini ya. Aku membatin, sambil menatap sosoknya.
Mereka-reka, mencoba mengingat dan menggali dari sel-sel kelabu
diotakku. Uhh…, rasanya…nggak ada ingatan sama sekali tentang sosok yang
satu ini.
“Ngomong-ngomong sebenarnya kamu ini siapa…”, kegugupan dan
kebengonganku sudah hampir lenyap. Ganti keingintahuanku muncul tentang
dia sendiri.
Sejenak ia menatapku lekat-lekat, kemudian “Ehm..aku sebenarnya
pernah kamu kenal duluuuuu sekali”. Ia malah menjadi sedikit grogi. Ia
mencoba memberi penekanan pada kata dulu. Jadinya terdengar sedikit
aneh. Dan terus terang, senyum dikulumnya itu membuat beberapa bulu-bulu
halus ditekukku mulai meremang.
“Dddulu kapan yyya?” lanjutku setengah gemetar menuntaskan keingintahuanku.
“Ya dulu, sewaktu kamu baru mau disinari oleh Dia”.
Ha….apa maksudnya “disinari”. Disinari apaan ya.
(Sepotong ayat tiba-tiba melintas, membuka suatu kenangan asosiatif
masa yang telah lama sekali berlalu, Alif Laam Mim Raa, (QS 13:1).
Lagi pula, kok ucapannya sangat takzim sewaktu ia ucapkan “Dia”. Bahkan setengah takut-takut.
“Aku diminta segera menjemputmu”, katanya sedikit lebih takzim kepadaku.
“Haaa”. Aku melongo antara bingung, heran, takut, dan takjub menjadi satu.
Namanya Izrail
“Ya Allah”, ujarku setengah tak percaya. “Engkau…engkau… Izrail malaikat?”, tanyaku.
Ia mengangguk. Baru kusadari ia yang berdiri di hadapanku ini memang
berkulit sangat bersih. Bahkan bisa kubilang bersinar. Persis seperti
gambaran buku-buku tentang orang-orang yang ahli ibadah. Halus, nyaris
tanpa otot dan bulu. Ya mirip kulit bayilah. Ya bulu, sama sekali tidak
ada bulu dikulitnya. Wajahnya ganteng, bahkan nyaris cantik. Mungkin
kenyal-kenyal dikit kalau dipegang-pegang seperti bunyi iklan sabun
mandi “Dove”, pikirku. Aku yakin, ia bisa menjadi Casanova nomor wahid
kalau ia mau. Atau kalau mau jadi iklan sabun mandi, mungkin cocok untuk
sabun mandi apapun. Dalam arti sabun mandi kecantikan atau kegantengan.
Soalnya memang sampai saat ini, kalau saja ia tidak bersuara, sulit
sekali membedakan antara laki-laki atau wanita.
Rambutnya teratur rapi tidak panjang dan tidak terlalu pendek, lurus
tergerai. Sedang-sedang saja, tidak seperti orang yang habis bercukur
maupun tidak bercukur lama. Malah nampaknya tidak pernah ditumbuhi
kumis. Alisnya nyaris bertemu diatas hidungnya yang bangir. Dengan sorot
mata yang lembut namun dingin. Bibirnya seolah terus-menerus tersenyum
simpul, setengah meledek melihat kebingungan dan sekarang kekagetanku.
Bahkan, sebenarnya lebih mirip bibir joker musuh bebuyutannya tokoh
komik Batman dan Robin atau salah satu bintang film yang menjadi ikon
sabun mandi terkenal. Walah…, senyumnya memang mirip Tamara Blezinky.
Tidak ada yang aneh sebenarnya kalau saja orang tidak berada dalam
jarak dekat. Aku yang cuma beberapa puluh senti darinya bisa melihat
keganjilan sosok yang jangkung dan tampan ini. Bau harum yang tak pernah
kucium dari bunga atau pewangi manapun dihirup hidungku. Rasanya bau
harum, manis, dan menenangkan. Kok ya, si Izrail ini pake minyak wangi
darimana pikirku. Bisa membuat aroma terapi seperti itu. Mungkin efek
wewangian ini juga yang menenangkan diriku, Entahlah, aku sendiri masing
dipengaruhi kebengongan dan kebingungan.
Aku masih membanding-bandingkan sosoknya dengan beberapa public
figure yang sering kulihat di bioskop dan televisi. Seingatku tidak ada
peragawan ataupun bintang film yang mirip dengan dia ini. Leonardo Di
Caprio yang tampan imut-imut pun tidak seperti dia, atau Pau Min Che
yang aktor F4 pun jauh banget. Entah suku apa si Izrail ini. Dari
melongo, kaget, bingung sekarang ada yang merambat pelan-pelan disekujur
tubuhku. Bulu-bulu kudukku berdiri serentak, meremang diantara
keringatku yang mulai merembes dan terasa dingin disekujur tubuhku. Aku
mendadak disergap rasa takut amat sangat.
Namun itu tak berlangsung lama. Entah darimana datangnya, perasaanku
yang campur aduk itu menemukan titik keseimbangannya manakala mencermati
sosok yang berdiri dihadapanku ini. Wah, memang efek wewangian ini yang
membuatku tenang pikirku. Tubuhku sudah kembali ke posisi rebahan di
pembaringan. Tanpa daya. Kuamati lagi sosok Izrail yang ada di
hadapanku. Tepatnya bukan dihadapanku. Tapi diujung ranjangku.
Ya, saat itu aku sebenarnya lagi terbaring lemas dipembaringanku.
Bukan sakit atau pun meriang. Cuma seperti kurang gairah. Waktu itu
sudah menjelang tengah malam. Jadi sebenarnya aku sudah bersiap-siap mau
rebahan untuk tidur setelah membolak-balik beberapa lembar surat dari
Al Qur’an versi H.B. Jassin yang diberi judul “Bacaan Mulia”. Namun
kedatangannya yang tiba-tiba membuyarkan kantukku. Tak ada yang bisa
kukatakan saat itu. Pelan-pelan, karena kulihat ia juga cuma berdiri
disitu, aku mulai mencoba menenangkan diri. Menatapnya dengan tolol.
Lalu kuberanikan diri membuka dialog lagi setelah beberapa detik
kebisuan melanda kami berdua. Aku mulai menyadari datangnya sesuatu.
“Sudah waktunyakah aku?”, tanyaku pelan. Sangat pelan sekali. Kupikir
ia tak mendengar ucapanku. “Ya, sudah saatnya menghadap Dia”, katanya.
Beberapa jenak aku pun cuma bisa menatapnya lagi. Tanpa komentar dan
rasa apapun. Hambar. Lalu entah bagaimana tiba-tiba saja aku nyeletuk
tenang. Lagi-lagi, kurasakan ketenanganku karena pengaruh wewangiannya.
“Boleh aku meminta sesuatu sebelum engkau mengambilku…”, harapku. Ia
tidak kelihatan bimbang, malah sepertinya sudah tau kalau aku akan
sedikit rewel. Ia cuma mengangguk. Lalu, entah ide darimana, lidahku
fasih bertanya. “Ceritakan tentang kamu…”.
Hikayat Izrail
Begitu saja. Ketika Ia Berkehendak melimpahkan rahmat dan kasih
sayang-Nya, maka aku mengada seperti yang lainnya dari jenisku. Tercipta
begitu saja dari al-Haba dan Nur Muhammad, berkas-berkas debu dan
cahaya yang memanifestasikan Kun Fa Yakuun. Aku adalah satu diantara
yang tak terhitung, yang Dia ciptakan untuk menjaga kelangsungan Kun Fa
Yakuun. Aku adalah bagian dari Kehendak dan Kemahakuasaan-Nya. Ada
milyaran proses yang menyertai Kuasa-Nya. Sejumlah itulah kami ada. Baik
yang nyata maupun yang kasat mata. Baik yang terasa maupun tidak
terasa. Baik di dalam maupun di tapal batas semesta.
Masing-masing dari kami mempunyai tugas-tugas yang spesifik. Aku
adalah salah satunya yang bertugas setiap saat, bersiap sedia bilamana
semua makhluk sudah tiba untuk dikembalikan kepadaNya. Karena aku dari
jenis makhluk yang mengikuti kepatuhan-Nya, maka aku sebenarnya tidak
pernah terikat oleh ruang dan waktu, kendati aku selalu mengikuti arus
Sang Waktu, seperti layaknya mahluk lain yang berada dalam kisaran
tersebut.
Jadi pendeknya aku tak pernah mati, sebelum yang lainnya kumatikan
atas kehendak-Nya. Atau makhluk semacam itulah; Yang bertasbih tanpa
kenal lelah, tak kenal waktu ataupun pengertian-pengertian relativistik
seperti yang dinisbahkan kepada kaummu.
Tugasku ya seperti yang kamu rasakan ini, mengembalikan
serpihan-serpihan cahaya kembali ke asalnya, ke awal mula
penyaksian-Nya, ketika kalian bersaksi “Ya, Kami bersaksi!” . Aku
biasanya cuma sekedar menerima catatan dari Lauh Mahfuzh, siapa-siapa
yang harus kujemput saat itu. Hanya saja, karena aku tak pernah mengenal
waktu, aku bisa berada dimana saja, kapan saja, tapi bukan Coca Cola
lho.
O ya, ngomong-nomong soal debu & cahaya. Memang aku terbuat dari
serpihan-serpihan debu & cahaya yang menjaga proses Kun Fa yakuun.
Sebenarnya, aku dan yang lainnya ada karena Dia mempunyai Kehendak dan
Keinginan Yang Tak Terbantahkan; Dia ada karena Kekekalan diri-Nya,
kemandirian-Nya, sehingga bagi selain-Nya, maka Dia adalah
Perbendaharaan Tersembunyi.
Aku ada, makhluk lainnya juga ada, semata-mata karena limpahan rahmat
dan kasih sayang-Nya, sehingga ketika Dia mendeklarasikan Kekekalan-Nya
dan Kemandirian-Nya yang Absolut maka Dia berkata:
“Kuntu kanzan makhfiyyan fa ahbabtu an u’rafa fa khalaqtu al-khalqa
fabi ‘arafu-ni –Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian
Aku ingin dikenal, Kuciptakanlah makhluk maka melalui Aku mereka kenal
Aku.
Dia ucapkan Basmalah sebagai Rahmat dan Kasih Sayang yang Dia
limpahkan, sebagai bagian dari Perbendaharaan-Nya yang tak akan ternilai
oleh semua makhluk-Nya, tak akan terbalaskan kecuali oleh rahmat dan
hidayah-Nya sendiri. Maka, dalam pemeliharaan Asma Ar-Rahmaan dan
ar-Rahiim, Dia firmankan kehendak-Nya “Jadilah!” dan muncullah cahaya
kemegahan-Nya sebagai Nur Muhammad, sebagai citra awal mula-Nya yang
sempurna; kemudian aku mengetahui bahwa melaluinya aku akan
mengenal-Nya.
Dalam pusaran wawu, yang berputar melawan detak Sang Waktu, Nur
Muhammad adalah cahaya-Nya yang tidak tercitrakan di alam nyata; kecuali
bagi mereka yang memiliki qolbu Mukminin dan mereka yang menempatkan
dirinya sebagai bagian darinya. Ketika Nur Muhammad menyinari zarah
tanpa massa, yang kelak ditakdirkan menjadi al-Haba, maka dalam kuatnya
pusaran wawu, Thaasin adalah firman-Nya yang memaujudkan kekuasaan-Nya,
terciptalah minyak zaitun yang diberkahi, yang kilau kemilaunya mampu
menerangi, kendati tanpa disentuh api.
Simetri Kegaiban Mutlak-Nya pecah mandiri karena kehendak-Nya semata;
Maka dari Kegaiban Mutlak-Nya, melimpah dengan Rahmat dan Kasih
Sayang-Nya, al-Iradah-Nya goncangkan kegaiban sehingga gelombang
al-Qudrah-Nya maujud mencapai batas-batas untuk segera munculkan al-Haba
sebagai debu awal mula dan semburat cahaya Nur Muhammad meneranginya,
hingga “Jadilah!” lelehan minyak zaitun itu seperti minyak tak tembus
cahaya, lantas kehendak-Nya terkonfirmasikan sebagai plasma awal mula
yang meledak-ledak dengan sendirinya, ciptakan gelombang Dentuman Awal
Mula (Big-Bang), yang lontarkan al-Haba sebagai debu-debu materi pemula,
yang luaskan ruang awal-mula dalam ketakberhinggaan Sang Waktu yang
mengada menjadi fondasi alam nyata; darinya muncul salah satu kaumku
yang mampu menjangkau setiap sudut-sudut semesta; membangun superspace
awal mula; Dari Nur Muhammad, maujud salah satu kaumku mengikat semua
maujud al-Haba menjadi semua makhluk, baik sendiri-sendiri sebagai gelembung-gelembung kuantum, maupun sintesa dari banyak zarah menjadi
citarasa-citarasa , inti-inti, atom-atom, molekul-molekul, sel-sel,
jaringan-jaringan, organ-organ, obyek-obyek, menjadi galaksi-galaksi,
menjadi bintang-bintang, menjadi planet-planet, batuan, pegunungan,
lautan, tumbuhan, binatang, manusia, dan menjadi dirimu.
Kaum mu, tercipta dari proses setelah milyaran tahun Kun Fa Yakuun
berjalan. Itulah tanah lempung dari seluruh penjuru bumi, yang pernah
kuambil dulu. Lantas kemudian Dia tiupkan Ruh dari cahaya-Nya. Dia
berfirman ketika itu,
Alif Laam Ra, (Qs 2:1)
Alif Laam Mim Ra (Qs 13:1)
Cahayamu Dia ciptakan dengan penuh rahmat, kasih sayang dan
kemuliaan-Nya. Maka “Jadilah!” kaummu yang mengemban semua amanat
kesempurnaan citra-Nya; Amanat yang tak sanggup diemban kaumku, amanat
yang tak sanggup diemban oleh semua makhluk kecuali kaummu. Adam yang
diciptakan sebagai manusia sempurna pertama, adalah moyangmu, yang
memahami asmaa-a-kullahaa, yang menjadi khalifah pertama mengemban
amanat itu.
Kamu mungkin heran, kalau aku sendiri sebenarnya mahluk yang sangat
tak kasat mata. Serpihan al-Haba dan Nur Muhammad adalah bahan bakuku,
yang terhalus ciptakan diriku. Disaat tertentu kaumku jadi sangat nyata
dan bisa berbentuk apa saja.
Persis seperti cahaya yang memantul atau bayang-bayang yang timbul
dari setiap makhluk dibawah cahaya. Karena aku dekat dengan esensi
dirimu, maka penampakkanku sebenarnya sangat tergantung pada apapun yang
menggerakkan tindakanmu, motivasimu, dan niat-niatmu. Bagi kaum sejenis
ku, bentuk tak berarti apa-apa.
Selama milyaran tahun, Dia telah menetapkan masing-masing dari kami
dengan urusan-urusan yang spesifik. Dia telah berfirman, Thaahaa (QS
20:1) Untuk menyingkapkan segala sesuatu, dari Asma-asma-Nya yang
menjadi ketentuannya. Yang kelak engkau kenal sebagai, Alif, Ba, Jim,
Dal (ABJAD) 1,2,3,4 (desimal) 10101010….(biner)
Kami adalah kaum spesialis, dengan perintah-perintah-Nya, yang tak
bisa kami bantah. Kami menyertai setiap gerak-gerik segala makhluk
selain kaum kami. Karena tugas kami memang begitu. Kami awasi segala
perilaku dan tindak tanduk kaummu, kesesatanmu, kemuliaan-mu. Kami bukan
memata-matai, tetapi sekedar mencatat atau tugas-tugas khusus lainnya.
Semuanya kami catat sesuai dengan yang kami ketahui. Tapi lebih
tepatnya menjadi saksi atas proses kesempurnaanmu, dengan rahmat,
anugerah, kasih sayang, hikmah, keadilan dan kebijaksaan-Nya. Dia telah
berfirman dengan kelembutan sebelum semuanya ditampilkan dengan
Basmalah, Kaf ha ya Ain Shaad (Qs 19:1) Kelembutan itu adalah
“yatalaththaf” (Qs 18:19) yang memunculkan Rahmat dan Kasih Sayangnya
ketika Kun fa Yakuun (Qs 36:82) dicetuskan sebagai perintah penciptaan
dengan ketentuan yang pasti terjadi (QS 69:1).
Tugas yang kuemban entah sampai kapan, aku sendiri tidak pernah
diberi tahu. Seperti aku misalnya. Tugasku sangat spesifik untuk
mengembalikan ruh segala mahluk kembali kepada-Nya. Setelah itu, ya
sudah, petugas yang lain dari jenisku akan meneruskan proses itu. Begitu
saja setiap saat dari waktu ke waktu. Monoton memang. Tapi entah kenapa
aku senang-senang saja menjalankan titah-Nya itu. Bagiku menjalankan
perintah-Nya bukan sekedar tugas atau perintah. Tapi menggairahkan
unsur-unsur pembentukanku.
Entah sudah berapa banyak aku mengembalikan ruh setiap mahluk di
semesta ini. Dari kaum apa saja, dari ras apa saja. Yang baik-baik
ataupun yang durhaka. Yang sedang sekarat ataupun yang sehat-sehat saja.
Pokoknya, yang berdiam disetiap sudut semesta, yang mengikuti proses
sejak Kun Fa yakuun difirmankan.
Aku sendiri, tentu saja menjadi bagian dari proses itu. Tapi karena
kuasa-Nya, tugas kami memang cuma menjaga agar proses itu berjalan
seperti yang Ia Kehendaki. Kehendak-Nya adalah Kemutlakkan-Nya. Maka
kaum kami seringkali merupakan bagian dari apa yang disebut sunnatullah.
Aturan dan ketetapan-ketetapan yang menyertai kun fa yakuun, baik yang
pasti atau tidak pasti.
Kenapa Aku? Kenapa aku yang ditugasi begitu? Ini ada sejarahnya. Kan
tadi sudah kukatakan, bahwa aku dulu pernah mengambil debu dari bumi.
Ketika Dia hendak menciptakan Adam, moyangmu itu, Dia mengutus satu
malaikat yang sebenarnya tugasnya memikul ‘Arsy untuk membawa debu dari
bumi.
Ketika dia ngotot ingin mengambil debu dari bumi, Bumi berkata “Aku
memintamu demi Zat Yang telah mengutusnya agar engkau tidak mengambil
apa pun dariku sekarang yang neraka memiliki bagian darinya”. Malaikat
pemikul Arsy terkejut, maka dia pun batal mengambil debu bumi.
Ketika ia melaporkan kepada-Nya, Dia berfirman “Apa yang mencegahmu
untuk membawa apa yang telah aku perintahkan kepadamu?”. Dia menjawab,
“Bumi telah meminta kepadaku demi keagungan-Mu, sehingga aku merasa
berat untuk menolak sesuatu yang meminta demi Keagungan-Mu”. Maka Allah
kemudian mengutus malaikat lainnya kepada bumi, tetapi bumi mengatakan
alasan yang persis sama seperti sebelumnya.
Demikian sampai entah berapa milyar tahun dalam ukuranmu sampai Allah
mengutus semuanya. Akhirnya Allah mengutusku untuk mengambil debu. Bumi
pun mengatakan seperti sebelumnya. Tapi, sudah menjadi kehendak-Nya
kalau segala sesuatu yang berhubungan dengan debu dan tanah liat akan
ditugaskan kepadaku. Aku berkata kepada bumi,”Sesungguhnya Dia yang
mengutusku lebih berhak untuk ditaati daripada kamu”.
Bumipun bungkam seribu bahasa dan pasrah atas kehendak-Nya. Akupun
mengambil dari permukaan bumi seluruh tanah yang baik dan buruk, semua
unsur yang ada di Bumi yang mengandung Carbon, Hidrogen dan Oksigen, dan
membawanya kepada-Nya. Lalu Dia mengucurkan air surga kekumpulan debu
bumi itu sehingga menjadi lumpur hitam yang diberi bentuk yaitu minthiin
(Qs 23:12), dan darinya Ia menciptakan Adam.” Itulah sebabnya kenapa
aku ditugaskan untuk mengambil ruh manusia dan mengembalikannya ke Yang
Berhak Menentukan Nasib.
Aku tak mengenal belas kasihan. Dulu, aku pernah berbelas kasih
kepada manusia yang hendak kucabut nyawanya. Namun, kehendak Allah
mengandung rahasia-rahasia yang tersembunyi, sehingga akupun malu
melakukan penentangan Kehendak-Nya. Suatu hari, aku diperintahkan
mencabut nyawa seorang perempuan di padang pasir yang panas. Ketika
kudatangi, dia baru saja melahirkan anak laki-laki. Aku menaruh belas
kasihan kepada perempuan itu karena keterpencilannya, dan juga kasihan
terhadap anak laki-laki perempuan itu karena masih bayi namun tidak
terawat di tengah padang pasir yang buas. Namun fatal akibatnya, karena
anak kecil dimana aku menaruh belas kasih itu ternyata adalah penguasa
lalim dan tiran yang tak ada duanya di bumi. Dari situ, aku memahami
bahwa “Mahasuci Dia yang memperlihatkan kebaikan kepada yang
dikehendaki-Nya!”.
Ketika aku berbelas kasihan, maka aku tidak mencabut nyawa bayi itu,
tapi aku kemudian menyesalinya karena apa yang kuanggap kebaikan
ternyata benih kejahatan yang kubiarkan tumbuh karena aku salah
menafsirkan kehendak Tuhan
Izrail terdiam sejenak. Agaknya ia masih mengenang apa yang
dilakukannya dulu. Kemudian ia melanjutkan. Jangan tanya siapakah ibu
bapakku, seperti layaknya makhluk lainnya yang beribu bapak. Katakan
saja, aku manifestasi Kehendak Yang Kuasa. Manifestasi al-Qudrah setelah
Ia memfirmankan “kun!”.
Seperti saya bilang tadi, kaum sejenisku tercipta begitu saja karena
Ia Berkehendak. Kalau kamu bertanya berapakah banyak tugas yang telah
kulakukan? Aku sendiri tidak tahu. Benar-benar tidak tahu. Karena
pengetahuan tentang itu tidak kami miliki.
Ada yang lain dari jenisku yang melakukan hitung menghitung. Itu
bukan tugasku. Aku jadinya memang mahluk yang sangat spesifik.
Sebenarnya kalau soal spesialisasi begini, kami tidak ada apa-apanya
dibanding kalian manusia. Soalnya, hanya kaum kalianlah yang diberi
kehendak bebas untuk berpikir, memilah dan memilih dengan bertanggung
jawab. Kaum kami tak sanggup memikulnya, karena kami telah melihat
dampak-dampaknya yang mengerikan.
Dia pun menghendaki kami bertasbih dan sujud dihadapan Nenek
Moyangmu. Pernah kami protes begini-begitu sewaktu kami diberitahu bahwa
Dia Berkehendak menciptakan mahluk manusia. Namun, Dia Maha Mengetahui
atas apapun yang terjadi sejak Awal dan Akhir.
Kami sebenarnya terikat Sang Waktu seperti kaummu. Sang Waktu adalah
kaum sejenisku. Ialah yang memungkinkan perubahan. Kami sebenarnya pun
tau kalau manusia akan selalu begini begitu di semesta yang Dia ciptakan
dengan rahmat dan kasih Sayang-Nya yang tak terbalaskan. Yang tidak
kami miliki ada pada makhluk yang satu ini. Keinginan, akal, dan atribut
lain yang kami tau bakal jadi masalah nanti.
Kami memang sedikit iri, sampai Dia menunjukkan kuasaNya atas semua
makhluk manusia. Kalian sebenarnya lebih tahu dari kami atas segala
mahluk yang pernah Ia ciptakan.
Kami pun lalu sujud dihadapan nenek moyangmu, Adam. Cuma satu makhluk
yang tak mau sujud. Ialah Iblis yang kemudian akan selalu mendampingi
kalian dalam proses Kun Fa yakuun. Maka, iapun terkutuk. Allah berfirman
:
“Keluarlah engkau dari padanya, karena sesungguhnya engkau terkutuk, dan sesungguhnya laknat atasmu sampai hari kemudian.”
Begitulah, Iblis pun menjadi musuh abadimu dan musuhmu yang sejati.
Ia menyusup di kumpulan-kumpulan debu al-Haba yang sekarang maujud
menjadi semua bentuk, karena keinginan, karena hasrat, karena syahwat,
karena ketamakan, kerakusan, kesombongan, dan penyakit-penyakit Sang
Iblis lainnya. Aku tak kuasa mengusirnya dari sekitarmu, soalnya memang
bukan tugasku. Kan tadi sudah kubilang kaumku adalah kaum spesialis.
Begitulah aku.
Izrail mengakhiri kisahnya. Aku terdiam. Kemudian, karena
tugas-tugasnya itu aku bertanya tentang cara dia mengakhiri kehidupan
seseorang, cara dia mengambil ruh makhluk bernyawa. “Proses pengambilan
ruh? “, dia mengangkat alisnya.
Sebenarnya bagaimana caraku mengambil ruhmu itu tergantung dari
banyak hal. Dan semuanya ada didiri kamu sendiri. Ada yang mungkin
menurutmu kelihatan mudah, ada juga yang sulit. Ada yang berkesan ada
juga yang tidak menyimpan kesan apa-apa. Aku sendiri tidak tau kenapa
bisa tidak berkesan sama sekali. Ia maunya begitu kok.
Cara mengambilnya pun macam-macam. Kan sudah ku bilang kalau bahan
dasarku adalah cahaya. Penampakanku sebenarnya tergantung dari kamu
sendiri. Ada banyak hal yang mempengaruhi penampakan ku. Tapi, yang
utama memang segala gerak gerik dan tingkah laku yang pernah kamu
lakukan di semesta ini, akan mempengaruhi wujud penampakkanku.
Demikian juga cara mengambil ruh kehidupan yang bersemayam di wujud
fisikmu, tergantung pada kebandelan dan kepatuhanmu. Memang kaum mu ini
termasuk makhluk yang diistimewakan-Nya. Sangat disayang, sangat
sempurna dibanding makhluk lainnya. Hanya, seringkali kaum kamu itu
ngeyel.
Kalau tidak, malah bisa dibilang pin-pinbo alias pintar pintar bodoh.
Dan yang paling menjengkelkan, kalau kaum kamu ini sudah dikuasai oleh
penyakitnya Sang Iblis yang terusir. Walah, susahnya minta ampun.
Padahal pengambilan ini sebenarnya proses yang biasa-biasa saja. Kamu
sendiri kan tahu tiap saat ada saja yang kuambil. Dengan baik-baik atau
dengan paksa, dengan sendiri-sendiri atau berkelompok, dengan senang
atau dengan ketakutan. Memang sih aku sering datang tiba-tiba. Maklum
namanya cuma makhluk yang cuma menjalankan perintah. Aku sendiri tidak
tahu kapan harus segera menemuimu. Itu rahasia Dia Yang Penuh Rahasia.
Kaum kami pun, yang bisa dibilang 100 % patuh dan selalu beribadah
kepada-Nya, tak tau apa-apa kalau menyangkut urusan takdir makhluk.
Sungguh, tugas kaum kami cuma memenuhi perintah Dia. Memang sih
seringkali ada delay sewaktu kami menjalankan tugas. Biasanya kalau ada
delay, kehadiran kami akan didahului aura yang mempengaruhi kelakukan
mahluk yang akan kami ambil. Mungkin kamu sendiri tidak menyadari hal
itu. Tapi begitulah. Kaum kamu sebenarnya ada di dalam genggaman-Nya
dengan ketat. Ada yang digenggam erat-erat. Ada yang direnggangkan,
sampai kesombongan menyergapnya. Dan mengira, dirinya sangat hebat dan
berkuasa, sampai-sampai dia pun menafikan peran Tuhannya. Padahal, semua
malapetaka, semua kehinaan, semua hal yang buruk-buruk dapat terhindar
dari dia semata-mata karena Dia sangat menyayanginya.
Akhirnya, kesombongan itu menjerumuskan dirinya dalam banyak
kesesatan dan kebodohan. Benar, sombong, bodoh dan sesat itu sebenarnya
hampir beriringan, karena itulah karakter Azazil, sang Iblis yang
mengira dirinya pantas disujudi karena ilusi kesuciannya. Banyak kaummu
yang terkena ilusi palsu itu. Maka berhati-hatilah, sebenarnya semua
manusia mempunyai peluang untuk tergelincir ke dalam perangkap tipu daya
Sang Durjana yang dikutuk oleh-Nya.
Kami yang mempunyai tugas mengambil sebenarnya cuma satu. Berhubung
kami tidak terikat dalam proses yang kalian jalani, tidak oleh ruang
maupun waktu, sepintas kami kelihatan ada banyak. Memang begitulah
kejadiannya. Dalam satu waktu ukuran kalian, kami bisa serentak
mengambil banyak ruh dengan berbagai cara, dimana saja.
Sudah tak terbilang, berapa milyar ruh yang kuputuskan dari semua
harapan dan impiannya, dari semua angan-angan dan cita-citanya, dari
semua keasyikannya, dari semua kesenangannya, hartanya, istrinya,
anak-anaknya, saudara-saudaranya, rumah-rumahnya, mobil-mobilnya,
perusahaan-perusahaannya, jabatan-jabatannya, pacar-pacar gelapnya, dan
lain-lainnya.
Tapi, itu tak cukup untuk mengingatkan manusia. Hingga iapun seperti
keledai dipenggilingan masa, terperosok di lubang yang sama dari masa ke
masa.
Kelalaian manusia dari mengingat kedatanganku nampaknya sudah menjadi
penyakit zaman. Dari waktu ke waktu melakukan tugasku, kelalaian mereka
terhadap kedatanganku menimbulkan rasa sombong dan berpanjang
angan-angan. Entah sudah berapa banyak aku menghanguskan “business plan”
mereka. Kaummu semestinya mengingat syair yang dibuat oleh seorang arif
ini,
Kita lalai dari mati di pagi dan sore hari,
Seperti penghuni dunia yang lalai, Dari kematian di sore dan pagi hari,
Seseorang berjalan di suatu hari seperti tubuh tanpa ruh, Didepan
mataku, setiap yang hidup adalah isyarat kematian, Merintihlah jiwamu
wahai orang miskin, bila engkau merintih, Sungguh, kau akan mati meski
kau berumur seperti Nuh.
Aku rasanya sudah kebal dengan semua keadaan ruh yang kutarik dalam
keadaan apapun. Pembantu-pembantuku sejumlah mahluk berruh yang ada di
semesta ini. Jadi, setiap saat sebenarnya aku mengintip semua makhluk,
mengincar semua makhluk. Begitu sinyal terakhir diisyaratkan Allah SWT
maka akupun akan beraksi memadamkan semua kepongahan dan harapan
manusia.
Ketahuilah, sesungguhnya ruh dalam keadaan telanjang dalam tubuh
seorang hamba, ia akan diambil apabila dikehendaki dan dilepaskan
apabila dikehendaki oleh-Nya. Maka Bersiaplah untuk mati wahai jiwa dan
berusahalah untuk selamat, orang bijak yang siap meyakini bahwa tak ada
keabadian bagi kehidupan dan tak ada tempat pelarian dari kematian.
Engkau hanya peminjam apa yang mesti dikembalikan. Kita bukanlah
pemilik kehidupan ini, juga bukan pemilik tempat hidup ini. Kita tak
berharta, tak berkeluarga, tidak juga anak-anak kita miliki.
Semuanya orang-orang telanjang. Jiwa kita menuju masa yang dekat, Yang Meminjamkan akan mengambil yang dipinjamkan.
Sebenarnya aku juga ditugaskan untuk mematikan malaikat, setan,
iblis, pohon, binatang, dan makhluk bernyawa lainnya. Maka ia yang
bernyawa, pastilah akan gemetar melihat kedatanganku.
Sebenarnya, ada banyak cara aku menarik ruh dari tubuh atau jasad
mahluk bernyawa. Hal itu sebenarnya tergantung dari segala hal yang
membentuk kamu, amal-amal kamu, dan kelakukan kamu. Mau tau bagaimana
aku menarik ruh dari tubuh manusia? Aku menariknya langsung dari jasad
yang hidup melalui ubun-ubun kepala.
Kamu seringkan menyedot minuman dari dalam botol? Persis! Seperti
itulah aku menarik ruh manusia dari tubuhnya. Saat itu kulakukan,
seluruh sel-sel genetis tubuhmu mulai dari ujung kaki, sedikit demi
sedikit akan mati. Maka, jemari kakilah yang akan mengalami kematian
pertama kali, baru kemudian bergerak ke telapak kaki, tungkai, kemudian
ke betis, lalu paha dan seterusnya. Pada keadaan ruh kutarik,
ujung-ujung kaki akan mengejang, kaku. Dengan cara yang sama setiap
bagian tubuh pelan-pelan akan kesakitan amat sangat dan kemudian mati
rasa, bertanda ruh sudah melalui bagian itu. Maka, berpisahnya tubuh
dengan ruh akan terjadi setelah ruh dan tubuh merasakan sakit yang
sangat dahsyat.
Bagaimana rasanya. Susah kugambarkan, karena aku cuma melihat saja,
kan aku yang mencabut nyawa. Aku cuma melihat saja bagaimana manusia
yang kucabut nyawanya berkelojotan dengan berbagai ekspresi rasa sakit
yang dia rasakan saat itu. Jadi aku sendiri ndak tahu bagaimana rasanya
ketika ruh kutarik dari jasad manusia.
Tapi, baiklah, dari pengalamanku mungkin gambarannya bisa kusimpulkan
demikian : Rasanya seperti disayat-sayat karena ruh kehidupanmu, yang
menempel disetiap atom tubuhmu, sel-sel genetismu yang menjadi jaringan
syaraf, otot, pembuluh darah, persendian, rambut, kulit kepala, kulit
yang membungkus tubuhmu, dan semua bagian tubuhmu kutarik-tarik,
kubetot-betot dengan keras. Bayangkan saja jika ruhmu enggan
meninggalkan dunia, maka semakin enggan, semakin sakitlah rasanya. Kalau
ndak percaya, coba saja kamu cubit kulitmu keras-keras. Sakit kan!
Kamu pernah kan mengalami luka disayat. Perih! Begitulah teriakan
sebagian dari mereka yang kucabut ruhnya. Tapi luka tersayat yang sering
dialami manusia tidak seberapa dibandingkan dengan tercabutnya ruh dari
jasadmu dengan paksa. Kalau sayatan luka kan cuma terjadi di sekitar
luka saja, itupun sakitnya sudah luar biasa dan terasa di bagian tubuh
lainnya. Bisa dibayangkan bagaimana kalau seluruh sel tubuh terasa
disayat-sayat. Jangan heran kalau manusia akan berkeringat, menjerit,
melolong-lolong, meraung-raung, dan menggeliat-geliat berkelojotan
ketika ruh ditarik keluar dari kepompong tubuhnya.
Manusia akan terkuras tenaganya, akibat kelelahannya, ia bahkan tak
lagi dapat bernafas, ia akan merasakan seperti tertimpa beban berat
kesombongan, kedengkian, ketamakan, kemaksiatan, dan kejahilan lainnya.
Namun demikian, apabila tubuh kuat, suara yang dikeluarkan ketika
bernafas akan berbeda-beda. Ada yang dengan susah payah, ada yang mudah.
Sesuai dengan amal yang pernah dilakukan tubuhnya.
Rasa sakit yang tak terkira muncul karena ruh yang lembut menjadi
jinak dan menyatu setelah berhubungan dengan tubuh. Keduanya kemudian
bercampur dan saling merasuki satu sama lain, sehingga keduanya seperti
menjadi sesuatu yang satu. Ruh dan jasad menjadi melekat. Keduanya tak
akan terpisahkan, kecuali dengan suatu upaya penarikan yang kuat,
sehingga manusia merasakannya sebagai suatu kepayahan yang amat sangat
dan sakit yang luar biasa.
Ketahuilah, kesukaanmu akan syahwat, nafsu dan materi serta
keduniawian cenderung akan semakin melekatkan ruhmu dalam jasadmu.
Kenapa demikian, ini karena atom-atom tubuhmu semakin memiliki energi
yang tinggi, sehingga ikatan-ikatan atomis dalam tubuhmu akan semakin
kuat.
Dikatakan bahwa tubuhmu menyimpan energi dalam yang berlebihan,
sehingga seringkali energi berlebihan ini melonjak-lonjak dengan liar
dan menumbuhkan berbagai syahwat dan nafsu. Kromosom-kromosommu akan
terganggu, kode-kodenya yang asli akan jungkir balik, bahkan akibat
langsungnya akan muncul menjadi berbagai penyakit yang payah seperti
kanker, jantung, atau pikun. Itulah yang akan mencelakakanmu, akan
menyiksamu.
Jadi semakin lekat ruh dalam jasad maka semakin sakitlah engkau
rasakan ketika aku menarik-nariknya karena keengganan ruhmu meninggalkan
jasadmu. Setelah rasa sakit tak terkira dan kekuatan jasad menurun,
suara akan berangsur hilang, dan setiap bagian tubuh perlahan-lahan akan
menjadi kaku.
Sakitnya penarikan ruh memang menggentarkan siapapun juga. Jangankan
manusia biasa, para nabi dan rasul pun menggigil ketakutan manakala aku
datang. Karena alasan itulah, seorang nabi yang paling dimuliakan
diantara nabi-nabi dan rasul-rasul, Muhammad SAW, memohon kepada Allah
SWT agar membebaskan beliau dari penderitaan dan kepedihan kematian.
Beliaupun sudah mengingatkan, “Perbanyaklah mengingat sesuatu yang
menghancurkan kelezatan, yakni kematian.” Banyak orang arif dan ulama
yang membuat syair tentang hilangnya kelezatan ketika aku datang. Kata
mereka,
Ingatlah kematian yang menghancurkan kelezatan,
Dan bersiaplah untuk kematian yang akan datang, Wahai yang hatinya lalai
dari mengingat kematian, Ingatlah tempatmu sebelum tiba saat
perjumpaan, Bertobatlah kepada Allah dari kelalaian dan segala yang
lezat, Sesungguhnya kematian sangatlah dekat, Ingatlah musibah hari-hari
dan saat-saat yang terlewat, Jangan merasa tenang dengan dunia dan
perhiasannya yang melekat.
Dalam Al-Qur’an, Allah menggambarkan kesakitan saat penarikan ruh
dalam firman dengan gambaran berikut “Dan bertaut betis (kiri) dengan
betis (kanan) (QS 75:29)”, yang banyak ditafsirkan oleh ulama sebagai
berhimpunnya rasa sakit sakratul maut dengan kerugian karena melepaskan
ridha Allah.
Allah menyebut keadaan tersebut dengan “sakrah”, karena sakitnya
kematian disertai dengan keburukan yang dihimpun akan membuat semaput
pemiliknya, sehingga biasanya kesadarannya hilang. Allah berfirman, “Dan
datanglah sakratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu
selalu lari daripadanya (QS 50:19)”[17].
Bagaimana gambaran yang jelas mengenai rasa sakit dan penderitaan
kematian memang bermacam-macam. Sehingga terdapat gambaran yang tidak
persis sama, namun intinya serupa yaitu suatu rasa sakit yang tak
terkirakan. Kamu mungkin dapat menyimak dari beberapa kisah tentang
kematian berikut ini.
Hasan bin Ali pernah mendengar sabda Nabimu yang mulia yang
mengatakan padanya bahwa “pedihnya kematian setara dengan luka-luka tiga
ratus tusukan pedang”. Ali Bin Abu Thalib kwj. bahkan menyebutkan
setara dengan seribu pukulan pedang. Bisa kamu bayangkan bukan bagaimana
sakitnya. Jangankan dipukul pedang, lha luka tergores silet saja bisa
membuat manusia mengaduh-aduh nggak karuan, apalagi dipukul-pukul seribu
kali dengan pedang.
Gambaran lain menyebutkan, kalau pedihnya kematian itu lebih tajam
dari gigi gergaji, lebih tajam dari mata gunting, lebih menyakitkan
daripada dipanggang diatas kawah panas gunung berapi. Makanya ada
pepatah yang mengatakan bahwa “maut lebih menyakitkan daripada tusukan
pedang, gergaji, atau sayatan gunting”.
Para nabi dan rasulpun mempunyai gambaran yang menakutkan betapa
pedihnya ketika aku datang. Dikisahkan ketika Nabi Musa meninggal dunia
dan ditanya Allah bagaimana rasa sakitnya kematian yang ia rasakan, ia
menjawab bahwa kejadian itu seperti seekor burung yang dipanggang
hidup-hidup, tapi nyawanya tidak juga lepas dan ia tidak menemukan cara
untuk melepaskan diri. Musa juga menggambarkan peristiwa itu seperti
kambing hidup yang sedang dikuliti.
Bukankah Aisyah r.a pernah juga mengatakan bahwa ketika Nabi SAW akan
meninggalkan dunia fana ini, ada secangkir air penuh tergeletak didekat
beliau. Beliau mencelupkan tangannya kedalam cangkir berulang-ulang dan
membasahi dan membasuh wajahnya. Beliau berdoa kepada Allah supaya
dibebaskan dari sakratul maut.
Demikian juga, khalifah kedua Umar bin Khatab r.a. meminta Ka’ab
menggambarkan keadaan ketika seseorang dalam sakratul maut. Dia menjawab
“Pencabutan nyawa dari badan dapat dibandingkan dengan pencabutan
duri-duri dari tubuh manusia sedemikian rupa sehingga seluruh tubuh
merasakan cengkeraman rasa sakit yang amat sangat.”
Itulah sekelumit gambaran bagaimana kami melakukan tugas pencabutan
ruh dari tubuh manusia dan rasa sakit yang dirasakannya. Perlu kamu
ketahui juga, kalau pengaruh pencabutan ruh, atau kematian itu tidak
cuma sekedar ketika ruh dicabut dari jasadmu. Namun pengaruhnya akan
terus-menerus dirasakan sampai keliang lahat.
Akan kuceritakan sebuah riwayat lama yang menginformasikan hal ini.
Pernah sekelompok orang datang kekuburan dan berdoa kepada Allah untuk
menghidupkan seseorang yang telah meninggal. Maksud mereka adalah ingin
mengetahui bagaimana penderitaan yang dialami si mati pada saat aku
beraksi. Atas idzin Allah, si mati yang kebetulan seorang yang bertakwa
pun hidup kembali. Ia berkata, “Aku meninggal 50 tahun yang lalu, namun
hingga kini rasa pedihnya belum hilang dari hatiku!”. Bayangkan! Rasa
sakit yang dialami ruh si mati yang nampaknya tidak hilang begitu saja,
namun terasakan hingga puluhan tahun.
Aura kedatanganku yang menguat biasanya kalian sebut sebagai Sakratul
Maut. Dalam keadaan sakratul maut, setiap saat sekarat demi sekarat
akan manusia lalui, penderitaan demi penderitaan akan dirasakan, sakit
demi sakit akan mengingatkan manusia pada semua perbuatannya, dan hal
itu terus akan terjadi sampai ruhnya mencapai kerongkongannya.
Pada titik kritis ini, berhentilah perhatian manusia kepada dunia dan
semua yang ada di dalamnya. Berhentilah semua harapan-harapan dan
angan-angan mereka. Saat itu, simetri kegaiban pun terkuak dihadapannya,
pemandangan alam akhirat pun muncul begitu saja. Pintu tobatpun ditutup
dan manusia pun diliputi oleh kesedihan dan penyesalan. Ia mungkin akan
teringat sabda Rasulullah SAW “Tobat seorang manusia tetap diterima
selama dia belum sampai pada kondisi sakratul maut (yaitu sampainya
nyawa di kerongkongan)”. Maka semakin menyesallah ia. Tapi semua itu
terlambat dan ketika aku menampakkan diriku semakin nyata, maka saat itu
jangan pernah bertanya tentang pahit getirnya kematian ketika sakratul
maut tiba. Pendek kata karena kengerian tentang kedatanganku maka
Rasulullah SAW pernah bersabda tentang aku, dengan sabdanya beliau
sebenarnya hanya ingin mengingatkan manusia, katanya:
“Kalau kalian melihat ajal dan perjalanannya, pastilah kalian akan membenci angan-angan dan tipu dayanya.
Tak seorangpun penghuni rumah kecuali ada Malaikat Maut yang
memperhatikan mereka dua kali sehari. Orang yang didapati ajalnya telah
habis, maka dia cabut nyawanya.
Bila keluarganya menangis sedih, dia bertanya ‘Mengapa kalian menangis?’ Dan mengapa kalian bersedih?
Demi Allah, Aku tidak mengurangi umur kalian, tidak pula mengekang rezeki kalian, dan akupun tidak berdosa.
Sesungguhnya aku benar-benar akan kembali kepada kalian (yang masih
hidup saat itu), kemudian kembali, dan kemudian kembali, sehingga aku
tidak menyisakan seorangpun dari kalian.’”
Demikianlah, aku akan datang tanpa diundang dan pergi tanpa diantar.
Ia yang saatnya sudah ditentukan, maka ia akan menghadapi aku sesuai
dengan keadaannya, rasa sakitnya, dan kengeriannya.
Banyak ungkapan yang menggambarkan bagaimana rasa sakit ketika aku
mencabut nyawa manusia. Namun, percayalah itu semua tidaklah lengkap
benar karena keluarbiasaan sakratul maut tidak dapat diketahui dengan
pasti, kecuali oleh orang yang merasakannya sendiri. Tahukah kamu, bahwa
pencabutan nyawa termasuk kondisi spiritual yang cuma bisa dirasakan
oleh orang yang kucabut nyawanya. Jadi, orang lain mungkin menggambarkan
dengan ungkapan yang berbeda-beda. Tapi, begitulah kematian, ia hanya
bisa dirasakan oleh yang meregang nyawanya sendirian.
Karena kematian termasuk keadaan ruhani, maka menjadi jelas bahwa
keadaan ruhanimu sangat mempengaruhi bagaimana rasanya mati. Orang lain
cuma bisa mengira-ngira saja dengan menganalogi-kannya dengan rasa sakit
yang benar-benar pernah dialaminya, atau dengan cara mengamati orang
lain yang sedang meregang nyawa. Lewat analogi pula akan diketahui bahwa
setiap anggota badan yang tidak bernyawa, tidak bisa lagi merasakan
rasa sakit.
Akan kuperjelas lagi bagaimana rasa sakitnya kematian. Gambarkan saja
satu bagian dirimu terbakar api, maka rasa sakit yang dialami akan
menjalar keseluruh tubuh dan jiwa. Dan sesuai dengan kadar yang menjalar
ke jiwa, maka sebesar itu pula kadar yang dialami oleh seseorang. Akan
tetapi, rasa sakit yang dirasakan selama sakratul maut menghunjam jiwa
dan menyebar keseluruh tubuh. Sehingga bagi yang sedang sekarat, maka ia
merasakan dirinya ditarik-tarik, dibetot, dan dicerabut dari setiap
sel, urat nadi, syaraf, persendian, dari setiap akar rambut yang tumbuh
dibadannya dan kulit kepala, hingga kaki. Jadi, jangan Anda tanyakan
lagi bagaimana derita dan rasa sakit yang tengah dialami oleh mereka
yang dijemput olehku!
Maka, perhatikanlah sekiranya kamu mengalami suatu peristiwa yang
berhubungan dengan kematian, apakah itu kematian salah satu keluargamu,
tetanggamu, atau teman-temanmu. Perhatikan bagaimanakah keadaannya!
Gunakan pengalamanmu dalam mengiringi kematian sebagai pelajaran dan
peringatan bagimu, bahwa tak ada yang abadi, semua pasti akan mati!
Dari Sahabat
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama