Diawal pernikahan, saya dan suami membuat kesepakatan dengan ikhlas
bahwa saya tinggal dirumah mengurus rumah tangga dengan fokus pada
pendidikan anak. Sementara, suami menjadi kepala rumah tangga dengan
fokus pekerjaan di luar rumah. Ketika itu, saya menganggap pekerjaan
rumah tangga hanyalah pekerjaan sederhana, karena bukankah menjadi ibu
rumah tangga adalah fitrah wanita? Tetapi, setelah menjalani kehidupan
rumah tangga, saya baru sadar, ternyata pekerjaan rumah tangga itu
sangat rumit.
Seorang ibu rumah tangga tidak memiliki jam kerja tertentu, artinya,
tugasnya dimulai dari bangun tidur hingga tidur lagi. Bahkan, menjadi
ibu rumah tangga, berarti banyak belajar, seperti belajar manajemen,
baik manajemen rumah tangga, manajemen keuangan sampai manajemen qalbu.
Lalu belajar pembukuan, dimana aku selalu njelimet mengatur keuangan,
karena penghasilan suami memang pas-pasan. Dan kemudian belajar
psikologi, baik psikologi anak maupun psikologi umum.
Bahkan, untuk bisa mensyukuri nafkah dari suami, aku harus punya
bermacam-macam ketrampilan, seperti memasak yang sebelumnya jarang aku
lakukan. Ketrampilan menjahit pun harus aku kuasai. Sebab, untuk pakaian
anak yg jumlahnya bertambah setiap dua tahun, terlalu mahal bagiku
apabila harus membeli pakaian jadi.
Alhamdulillah, dengan bekal kemauan dan sedkit nekad, semua
ketrampilan itu dapat aku kuasai. Termasuk ketrampilan pangkas rambut!
Mulai rambu abinya, sampai anak keenam kutangani sendiri. Banyangkan
jika upah pangkas rambut 1 orang Rp 4.000 maka aku bisa berhemat 28 ribu
rupiah tiap bulan. Begitupun pakaian anak, aku bisa hemat 50 % dari
harga pakaian jadi di pasaran dikalikan kebutuhan 8 orang. Bukankah
penghematan cukup besar? Belum lagi, makanan jajanan yg kuolah sendiri.
Aku yakin, jika beli makanan jadi harganya pasti berlipat.
Namun, setelah sekian banyak yg kuhemat, nyatanya keuangan kami tetap
seret. Rupanya penyebabnya adalah minimnya penghasilan suami. Maka
jadilah aku, tiga tahun belakangan ini, seorang motivator sekaligus
konsultan bagi suamiku, sehingga alhamdulillah kini suamiku telah
mempunyai pekerjaan yg layak dengan status yg baik di masyarakat.
Lalu, seiring dengan kemandirian anak-anak, aku pun memilih salah
satu keahlianku untuk kusumbangkan pada masyarakat. Aku ingin lebih
bernilai, tidak hanya bagi keluarga tapi juga bagi masyarakat.
Alhamdulillah, suamiku mendukung niat itu.
Kadang-kadang, timbul pikiran jahilku, berapa gajiku seharusnya atas
semua tugasku ini? Aku ratu rumah tangga sekaligus pembantu. Aku manajer
merangkap baby sitter. Aku juga akuntan dan konsultan suamiku dalam
usahanya. Pendidik sekaligus tukang ketik, penggagas sekaligus tukang
pangkas. Aku juga seorang pengobat sekaligus perawat. Keluarga kami
jarang kedokter atau rumah sakit, berbekal kepandaian pijat refleksi dan
juice therapy yg kupelajari dari buku. Aku juga aktor bagi anak-anak
takkala menggambarkan berbagai macam watak yg ada dalam cerita yg sedang
kami baca.
Itulah karirku selama 15 tahun menjadi ibu rumah tangga.
Aku lantas teringat kata-kata Mahbub Junaidi-Seorang ekonom Pakistan –
“Jika ibu-ibu rumah tangga meminta diberikan gaji, maka nilainya adalah
satu milyar dollar pertahun. Sebuah nilai yg besar utk budget sebuah
negara. Syukurlah ibu-ibu rumah tangga memberikan tenaganya dengan
cinta, maka tak perlu memusingkan Kepala Negara bukan?
Aku setuju dengan pendapatnya. Aku sanggup bersusah payah menjalani
karir ibu rumah tangga, walau selalu diremehkan dan jarang mendapat
pengakuan yg layak dari masyarakat, hanya karena aku sangat mencintai
suami dan anak-anak yang diamanahkan Allah padaku. Dan yg lebih penting
dari semua itu aku mendapat cinta dari Yang Maha Pencipta. Allahu Rabbul
‘Alamin.
Salam hormat buat ibu-ibu rumah tangga sejati. Karirmu sangat
penting, dalam mempersiapkan generasi Rabbani. Dan gajimu, insya Allah
kehidupan hakiki syurgawi.
(Sumber: Majalah Ummi)
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama