“Dan diantara manusia (ada) orang-orang yang mempergunakan percakapan kosong (lahwal hadiits)
untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa ilmu dan
menjadikannya olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang
menghinakan. Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, dia
berpaling dan menyombongkan diri seolah-olah dia belum mendengarnya,
seakan-akan ada sumbatan di kedua telinganya; maka gembirakanlah dia
dengan adzab yang pedih.” (QS. Luqman: 6-7)
Kalimat lahwal hadiits (percakapan kosong) dalam ayat diatas ditafsirkan oleh para ulama tafsir dengan nyanyian:
1.Dari Abu Shahba’ al-Bakri rahimahullaah bahwasanya ia mendengar ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu ditanya tentang tafsir dari ayat ini, beliau radhiyallaahu ‘anhu menyatakan (yang artinya): “Lahwal hadiits (percakapan kosong) adalah nyanyian.
Demi Dzat yang tidak ada ilah selain Dia.” Beliau mengulang
perkataannya tiga kali. (Lihat Taafsiir ath-Thabari (X/202-203, no.
28040), Ibnu Abi Syaibah (VII/353, No. 21417), al-Hakim (II/411),
al-Baihaqi dalam Sunannya (X/223), dan Ibnul Jauzi dalam Talbiis Ibliis
(hlm. 237).
2.Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma (wafat th. 68 H) juga menafsirkan lahwal hadiits dengan nyanyian dan yang sejenisnya.
(Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (VII/354, No.
21424), al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad (No. 786 dan 1265), al-Baihaqi
dalam Sunannya (X/221, 223), dan Ibnul Jauzi dalam Talbiis Ibliis (hlm.
237) dari jalan ‘Atha’ bin as-Saa-ib, dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu
‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma).
3.Mujahid bin Jabr rahimahullaah
(wafat th. 103 H) seorang imam ahli tafsir ternama di kalangan Tabi’in.
Dalam menafsirkan ayat ini beliau mengatakan bahwa yang dimaksud dengan
lahwal hadiits adalah nyanyian.
Didalam suatu riwayat beliau mengatakan,”Membayar (menyewa) biduan dan
biduanita dengan biaya yang mahal dan mendengarkan nyanyiannya atau yang
sepertinya termasuk dari perkataan yang bathil.” (Diriwayatkan oleh
Ibnu Jarir dalam Tafsiirnya (X/203-204), Ibnu Abi Syaibah dalam
al-Mushannaf (VII/354, No. 21422), dan al-Baihaqi dalam Sunannya (X/225)
dengan sanad yang shahih.
4.Ikrimah rahimahullaah (wafat th. 105 H) seorang murid Ibnu ‘Abbas juga menafsirkan lahwal hadiits dengan nyanyian.
(Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam Tafsiirnya (X/204), Ibnu Abi
Syaibah dalam al-Mushannaf (No. 21420-21421), dan Ibnul Jauzi dalam
Talbiis Ibliis (hlm. 237)
5.Ibnu Jarir ath-Thabari (wafat th. 310 H) rahimahullaah telah menyebutkan beberapa perkataan ulama Salaf yang mengatakan bahwa maksud dari lahwal
hadiits adalah semua perkataan (pembicaraan) yang melalaikan seseorang
dari jalan Allah Ta’ala serta yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya.
Termasuk juga nyanyian. (Lihat Tafsiir ath-Thabari (X/202-205)).
6.Imam al-Wahidi rahimahullaah (wafat th. 468 H) berkata,” Ayat ini, menurut tafsir ini (yakni tafsir para Shahabat), menunjukkan tentang haramnya nyanyian.” (Lihat Ighaatsatul Lahfaan (I/431) dan Mawaaridul Amaan (hlm. 312).
7.Imam asy-Syaukani rahimahullaah
(wafat th. 1255 H) mengatakan dalam kitab tafsirnya bahwa makna dari
lahwal hadiits adalah semua yang melalaikan seseorang dari kebaikan,
contohnya seperti nyanyian, permainan, dongeng-dongeng, dan setiap
perbuatan yang mungkar. Beliau rahimahullaah mengatakan,”Imam
al-Qurthubi rahimahullaah (wafat th. 671 H) mengatakan (Lihat Tafsiir
al-Qurthubi (XIV/37),’Sesungguhnya tafsir yang tepat untuk lahwal hadiits adalah nyanyian, dan ini merupakan tafsir para Shahabat dan Tabi’in.’” (Lihat Tafsir Fathul Qadiir (IV/308)
Al-‘Allamah Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullaah
(wafat th.751 H) mengatakan,”Telah berkata Abu ‘Abdillah (al-Hakim) di
Kitaabut Tafsiir dalam kitabnya al-Mustadrak,’Hendaklah orang yang
menuntut ilmu mengetahui bahwa tafsir Shahabat, yang menyaksikan
turunnya wahyu menurut al-Bukhari dan Muslim merupakan hadits musnad.’
Di tempat lain beliau mengatakan,’Hadits (tafsir Shahabat) di sisi kami
merupakan hokum marfu’.’” (Al-Mustadrak ‘alash Shahiihain (II/258) lihat
Ighaatsatul Lahfaan fii Mashaayidisy Syaithaan (I/433) dan Mawaaridul
Amaan (hlm. 312)
Al-Hafizh Abul Fida’ Isma’il bin Katsir
al-Qurasyi rahimahullaah (wafat th. 774 H) berkata dalam
tafsiir-nya,”Ketika menyebutkan keadaan orang-orang yang bahagia, yaitu
orang-orang yang mendapat petunjuk dengan Kitabullah dan mengambil
manfaat dengan mendengarkannya, sebagaimana firman Allah Ta’ala (yang
artinya): ‘Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu)
Al-Qur’an yang serupa (ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar
karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Rabb-nya, kemudian menjadi
tenang kulit dan hati mereka untuk mengingat Allah….’ (QS.
Az-Zumar: 23). (Maka kemudian) Allah Ta’ala menghubungkannya dengan
menyebutkan keadaan orang-orang yang celaka, yaitu orang-orang yang
tidak bisa mengambil manfaat dengan mendengarkan Al-Qur’an. Sebaliknya,
mereka lebih senang menghibur diri dengan seruling, nyanyian, dan
alat-alat musik. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),”Dan apabila
dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, dia berpaling dan menyombongkan diri
seolah-olah dia belum mendengarnya seakan-akan ada sumbatan di kedua
telinganya….” (QS. Luqman: 7). Maksudnya, kelompok ini yang selalu
menghibur diri dengan permainan, nyanyian, dan musik, jika dibacakan
ayat-ayat Al-Qur’an, mereka berpaling seakan-akan mereka tuli, tidak
mendengarnya karena mereka merasa sakit (jengkel) jika mendengar
ayat-ayat Al-Qur’an itu dibacakan. Allah Ta’ala berfirman (yang
artinya): “….maka, gembirakanlah dia dengan adzab yang pedih.”
(QS. Luqman: 7). Maksudnya, mereka akan diadzab (disiksa) pada hari
Kiamat dengan (adzab yang) menyakitkan sebagaimana ia merasa sakit jika
membaca Kitabullah dan ayat-ayat-Nya.” (Tafsiir Ibnu Katsiir
(VI/330-332))
Sumber dari: Kitab Hukum Lagu, Musik, dan
Nasyid Menurut Syari’at Islam, Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas,
Penerbit Pustaka At-Taqwa.
asalamu ngalaikum.
ReplyDeletesaya mau tanya bagai mana dengan nyanyian sholawatan yg di iringi musik, bagaimana hukumnya?
bagai mana hukunya nyayian islami yg iintinya mengajak kebaikan,? bagai mana hukumnya.
sukron
asalmu ngalaikum.