Pembahasan kita kali ini adalah menjawab pertanyaan : Untuk apa kita
mempelajari Ruh dan Jiwa? Kenapa nggak cuek aja? Toh, dipelajari atau
tidak, Ruh dan Jiwa itu sudah ada di dalam tubuh dan terlibat dalam
kehidupan kita?
Orang Jawa mengatakan untuk mengetahui: ‘sangkan paraning dumadi’
alias asal usul dan tujuan kehidupan. Darimanakah kehidupan ini muncul
dan akan kemanakah kita sesudah itu? Hal yang sama telah dilakukan oleh
para ilmuwan, filsuf, dan orang-orang bijak sepanjang sejarah
kemanusiaan.
Inti dari semua itu adalah untuk mengetahui untuk apakah kita ada?
Apakah sebenarnya misi utama kehidupan kita? Apakah sekadar ‘mengalir’
begitu saja? Ataukah, memiliki tujuan tertentu?
Jawaban atas pertanyaan itu mulai tergambar lebih jelas ketika kita
memasuki wilayah ‘dunia Jiwa dan Ruh’ ‘ Hal inilah yang dimaksudkan oleh
Allah dalam firman-firman Nya yang baru kita bahas di bagian sebelum
ini. Bahwa, semua itu menjadi pelajaran dan mengandung hikmah bagi
orang-orang yang mau berpikir dengan akalnya.
Pelajaran apa? Bahwa Allah adalah Sang Maha Pencipta yang Maha
Sempurna. Bahwa, manusia diciptakan Allah dengan mengikuti FitrahNya.
Yang dengan Fitrah itu manusia akan mencapai kualitas tertingginya
sebagai seorang manusia makhluk paling sempurna dari yang pernah
diciptakan Allah.
Bahwa, untuk mencapai kesempurnaan itu seorang manusia harus paham
caranya, yaitu dengan mengikuti petunjukNya dalam sebuah agama Fitrah,
yang termaktub dalam Al-Qur’an al karim.
Itulah agama yang diciptakan berdasarkan keseimbangan, sebagaimana
keseimbangan alam semesta dan keseimbangan diri serta kehidupan manusia.
Barangsiapa mengikuti keseimbangan penciptaan itu maka selamatlah
kehidupannya. Dan barangsiapa menabrak keseimbangan itu, maka celakalah
dia. Dunia dan Akhirat.
Bahwa, manusia memiliki kebebasan melakukan apa saja untuk
kebahagiaan dirinya. Ia dihadapkan pada dua pilihan dalam kehidupannya:
kebajikan ataukah kejahatan. Kebajikan adalah jalan hidup yang sesuai
dengan konsep kesimbangan tersebut. Sedangkan kejahatan adalah segala
sesuatu yang menabrak keseimbangan ciptaan Allah di alam semesta.
Kebebasan atas pilihan itu oleh Allah telah dimasukkan ke dalam Jiwa
manusia berupa kecenderungan untuk memilih jalan kefasikan atau jalan
kebajikan. Caranya ada 2: membersihkan Jiwa atau mengotorinya.
Maka berbahagialah orang-orang yang memilih membersihkan Jiwanya, dan
menderitalah, orang-orang yang mengotorinya. Orang yang bersih Jiwanya,
bakal jernih dalam memandang kehidupan, dan kemudian memperoleh
kebahagiaan karena bisa bersikap dan bertindak sesuai dengan Sunnatullah
yang berprinsip pada keseimbangan.
Sebaliknya, orang yang hatinya kotor, bagaikan orang buta yang tidak
tahu jalan kemana dia harus melangkah. Ia seperti orang buta yang
menabrak segala sesuatu di hadapannya. Hidupnya penuh dengan masalah,
karena ia tidak tahu bagaimana harus berlaku dalam keseimbangan
Sunnatullah itu.
Maka, setiap kita akan menuai hasil perbuatan kita sendiri. Segala
kebaikan akan kembali kepada kita, sebagaimana kejahatan yang juga
kembali pada diri kita masing-masing.
Allah telah memberikan sebagian Ruh Nya kepada badan kita. Maka,
dalam diri kita selalu ada bisikan-bisikan malaikat yang menuntun kita
kepada kualitas sifat-sifat Ilahiah. la menuntun kita pada ‘Kebajikan
Universal’, yang menghasilkan kondisi rahmatan lil ‘aalamin (Kebahagiaan
Semesta) sebagai tujuan final diciptakan kehidupan.
Allah mengarahkan kita agar tidak terjebak pada kehidupan Duniawi
yang mengikat kebahagiaan kita hanya sekadar sekualitas materi. Karena,
di dalam diri kita memang selalu ada bisikan Iblis yang mempengaruhi
agar kita hanya mengorientasikan kehidupan pada pemenuhan kebutuhan
badan semata. Tak peduli pada Keseimbangan Universal, yang mengarah pada
‘Kebahagiaan Semesta’.
Bahwa drama kehidupan manusia digelar melewati tahapan-tahapan
kehidupan yang bertingkat-tingkat. Awalnya tidak ada, kemudian menjadi
ada, dan akhirnya tidak ada kembali. Asalnya dari Allah, kemudian
diciptakan oleh Allah, dan akhirnya kembali lagi kepada Allah. Begitulah
drama kehidupan seluruh makhluk di alam semesta ini. Tak terkecuali
manusia.
Manusia bukanlah makhluk abadi. Manusia bukanlah makhluk yang ada
selama-lamanya. Sebab, manusia dulu memang pernah tidak ada. Dan suatu
ketika nanti bakal ‘lenyap’ kembali.
Memang banyak di antara kita yang tidak rela bakal lenyap. Mereka
ingin hidup kekal, selama-lamanya. Tidak pernah hilang lagi. Lho,
memangnya kita ini siapa? Kok ingin menyamai Dzat Allah Yang Maha Kekal?
Dalam diskusi yang sering saya hadiri seringkali menemui
pendapat-pendapat seperti itu. Banyak di antara kita yang tidak rela
alam akhirat bakal lenyap. Sebab, kalau Akhirat lenyap, lantas (kita)
manusia berada dimana?’ Jadi, pada intinya, sebenarnya mereka bukan
tidak rela Akhirat bakal lenyap, melainkan ‘tidak rela dirinya lenyap’!
Manusia, pada hakikatnya, ingin hidup abadi, selama-lamanya. Kenapa
demikian? Karena Ruh yang bersemayam di dalam diri kita memang
mengimbaskan sifat-sifat Ketuhanan. Di antaranya, ingin Hidup Terus,
ingin Berkuasa Terus, Berkehendak sebebas-bebasnya terus, dan segala
macam sifat keabadian lainnya.
Kita lupa bahwa kita bukan Tuhan. Kita hanyalah manusia biasa yang
diciptakanNya, berupa perpaduan badan material, Jiwa energial dan Ruh.
Itu pun, Ruh yang ditiupkan kepada kita hanyalah sebagian saja dari Ruh
Nya. Maka, jangan berharap kita akan menyamai Allah,
Kita ada karena Ruh masih bersemayam dalam diri kita. Begitu Ruh itu
dicabut kembali oleh Allah, maka eksistensi kita sebagai manusia ikut
lenyap. Jangankan, pada waktu Ruh dicabut, saat kita tidur saja kita
sudah tidak merasakan apa-apa. Eksistensi kita sudah hilang, seiring
kesadaran yang juga hilang. (Masihkah anda merasa ada ketika anda
tertidur lelap?!!)
Bayangkan kalau seandainya kita tidak bangun lagi, maka kita
sebenarnya sudah ‘lenyap’. Kita tidak lagi merasakan apa-apa. Eksistensi
kehidupan kita sudah tidak ada artinya lagi. Bagaimana menurut Anda?
Itulah yang telah kita diskusikan di depan, bahwa Jiwa dan Ruh kita
ada dalam genggaman Allah. DIA memegang Jiwa seseorang pada saat matinya
dan pada saat tidurnya. Lantas, Allah mengembalikan Jiwa itu kepada
badan yang masih diizinkanNya untuk bangun kembali dari tidurnya.
Karena itu, Rasulullah saw mengajarkan kepada kita agar kita berdoa
menjelang tidur dan sesudah tidur, seperti sedang mengalami kematian.
Sebab, antara tidur dan mati hampir tidak ada bedanya.
‘Bismika Allahumma ahyaa wa bismika amuut’ (Dengan Nama Mu ya Allah
aku hidup, dan dengan Nama Mu aku mati). Begitulah beliau mengajarkan
kepada kita untuk berdoa menjelang tidur. Karena kita tidak tahu apakah
kita bisa bangun kembali ataukah tidak. Kita berserah diri saja kepada
Allah yang menguasai Jiwa kita.
Dan ketika terbangun dari tidur, Rasulullah saw mengajarkan untuk
membaca: ‘Alhamdulillaahilladzii ahyana ba’da maa amaatana wa ilaihi
nusyur’ (Segala puji bagi Allah yang menghidupkan aku kembali sesudah
kematianku, dan kepadaNya lah aku kembali).
Begitu tipisnya antara hidup dan mati. Setiap hari kita ditidurkan
oleh Allah beberapa jam. Saat itulah kita telah mencicipi kematian.
Itulah saat-saat Jiwa kita ditahan oleh Allah. Kita tidak bisa
merasakan, mengendalikan, atau apalagi melawan.
Ketika kantuk datang menyerang, itulah saat-saat menjelang ‘Kematian
Sementara’ kita. Cobalah rasakan, pada saat-saat itulah Allah mulai
berangsur-angsur menahan Jiwa kita entah akan dikembalikan lagi ataukah
ditahan seterusnya.
Setiap hari, kita telah ‘berlatih’ untuk menemui kematian yang
sesungguhnya. Tapi seringkali, kita merasa betapa kematian kita masih
begitu jauhnya. Padahal, kematian demikian dekat dengan kehidupan kita.
Karena, kehidupan dan kematian selalu bersama-sama, di mana pun mereka
berada. Dan bisa berganti posisi kapan pun Allah mau.
Kematian hanyalah berpisahnya badan dengan Jiwa & Ruh untuk
sementara waktu. Tapi bukan untuk 1-2 jam, melainkan berjuta tahun
sampai kita bangun dari kematian itu di Hari Kebangkitan. Kejadiannya
persis seperti saat kita terbangun dari tidur kita sehari-hari.
QS. Yasin (36) : 52
Mereka berkata: “Aduh celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan
kami dari tempat tidur kami (kubur)?” Inilah yang dijanjikan (Tuhan)
Yang Maha Pemurah dan benarlah Rasul-rasul (Nya).
Akankah kita termasuk orang-orang yang menyesal saat ‘dibangunkan’
kembali kelak? Ataukah kita temasuk hamba-hamba yang berbahagia? Semua
itu bergantung kepada bagaimana saat-saat sebelum kita berangkat tidur
itu.
Kalau kita termasuk orang-orang yang sudah terlatih untuk memasuki
tidur dengan baik, maka Insya Allah kita akan bangun kembali dalam
keadaan yang baik dan segar. Tapi kalau kita memasuki saat-saat tidur
itu dengan penuh masalah yang membelit kehidupan kita, maka sungguh
tidur kita akan menjadi ‘Mimpi Buruk’ bagi kita. Dan tiba-tiba kita
terbangun dengan kondisi yang sakit dan menyesakkan dada.
Dan, yang lebih menakutkan, mimpi buruk itu ternyata menjadi
kenyataan saat kita terbangun dari ‘tidur panjang’ itu. Jiwa kita yang
terlanjur kotor selama kehidupan sebelum ‘tidur panjang’, tidak sempat
lagi kita bersihkan. Dan ternyata, harus dibersihkan di dalam Api yang
meyala-nyala di Neraka Jahannam
Berbeda dengan mereka yang telah melatih dan membiasakan dirinya
untuk hidup bersih penuh kedamaian dan cinta kasih. ‘Tidur’ mereka
sungguh adalah tidur yang nikmat. Tidurnya para Jiwa yang Penuh
Kedamaian – Nafs al Muthmainnah. Mereka bermimpi indah sepanjang
tidurnya yang pulas. Dan di ‘Esok Harinya’, mereka terbangun dalam
kebahagiaan Jiwa yang Fitri, di surga Jannatun Nalm…
(QS Fajr 27 – 30)
Hai Jiwa yang tenang Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang
puas lagi diridhai Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba Ku,
dan masuklah ke dalam surga Ku.
Dari Sahabat
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama