FANATIK! Sudah
kenyang telinga kita mendengar kata itu. Itu bukan lagi hal yang
menggelitik. Namun lebih mirip sidang penghakiman sebuah 'kejahatan'
bernama ghirah. Fanatik, lebih tepat ‘ketok vonis’ untuk menyudutkan orang-orang yang taat pada Islam.
Jika Nabi dihina terus kita marah, dicap fanatik. Jika ada pemurtadan
di tengah saudara-saudara seiman, lantas kita bersura kera, kita
fanatik. Bersuara, bersikap berarti fanatik.
Buya Hamka pernah berkata, “Jangan disebut-sebut juga hukum Islam itu di sini, negeri ini bukan negeri Islam. Negeri ini negeri Pancasila.” (Dari Hal Fanatik dalam Dari Hati ke Hati, Buya
Hamka, Pustaka Panjimas. 2000 Jakarta). Maksudnya, kalau sebut-sebut
hukum Islam, itu juga fanatik. Semburan tuduhan fanatik itu memang
barang baru. Seperti lagu usang yang terus diputar berulang-ulang.
Kapan sesungguhnya sebutan itu muncul?
Tuduhan fanatik, kata KH Wahid Hasyim, justru ketika orang Barat
merasa tak mampu menembus keteguhan pendirian kaum Muslim dengan hujjah.
“...timbulnya perkataan ta’asshub
(fanatisme) di dalam kalangan Islam ialah setelah orang Barat,merasa
tidak dapat menembus keteguhan pendirian umat Islam dengan cara hujjah,
lalu menuduh ummat Islam adalah fanatic.“ (Fanatisme dan Fanatisme dalam Mengapa Saya Memilih NU?, KH. A. Wahid Hasyim. 1985. Inti Sarana Aksara. Jakarta)
Buya Hamka pun sejalan dengan beliau. Ia mengatakan, “Orang Barat
menimbulkan kata fanatik, karena setelah mereka menancapkan penjajahan
di negeri-negeri Islam, orang Islam itu melawan. Bergelimpangan bangkai
mereka terhantar ditengah medan pertempuran, namun mereka masih tetap
melawan. Dan meskipun telah beratus-ratus yang syahid , namun yang
tinggal masih meneruskan perlawanan.”
Tuduhan seperti ini –yang semula hanya dilakukan oleh Barat yang
dikenakan pada orang Islam-- hanyalah akal-akalan, tipuan semata.
“Bukan mereka sendirikah yang fanatik terhadap kebiasaan,
kepercayaan, untuk mempertahankan kepentingan-kepentingan mereka sungguh
luar biasa sekali? Jadi tuduhan orang Barat melemparkan kata-kata
fanatik kepada umat Islam semata-mata seperti siasat perang, mengadakan
tembakan-tembakan pancingan, dan dengan demikian dapat diketahui
mana-mana yang lemah,” tukas KH Wahid Hasyim.
Sayang, justru saat ini sebagian orang Islam suka memakan pancingan
ini. Suka mewarisi pusaka tuduhan bernama fanatik ini. Mereka
orang-orang yang tak lain menggadaikan imannya. Menukar akidahnya dengan
gelar modern, progressif, toleran, atau semacamnya. Menggeser kiblatnya
pada Barat.
“…golongan modern ini ma’mum pada orang-orang Barat. dengan
pendirian yang teguh pula. Sebenarnya mereka ini juga fanatik, akan
tetapi tidak pada Islam, hanya kepada orang-orang Barat. Akan tetapi
mereka juga tidak suka dinamakan fanatik, dan menamakan dirinya,’
modern’, ‘progressif,” begitulah sindir KH Wahid Hasyim. Senada
dengan Wahid Hasyim, menurut Buya Hamka, mereka adalah yang tak memiliki
ghirah dalam beragama.
“…orang yang ghirah agamnya sudah berkurang, yang tidak usah
menyebut-nyebut lagi perbedaan halal dengan haram; lalu dia sudah
sanggup berdiam diri saja melihat yang munkar menurut ajaran agamanya,
dan dia pandai menyesuaiakan diri, barulah orang ini dapat pujian karena
pandai menyesuaikan diri.” Padahal, menurut KH Wahid Hasyim, orang yang memegang teguh pendirian dengan pengertian, bukanlah ta’assub (fanatik).
“Tetapi yang demikian itu adalah kesatriaan dan memegang dengan perasaan tanggung jawab yang penuh. “
Lantas apakah kita sekarang masih mau menjadi kerbau yang dicocok
hidungnya karena takut dituduh fanatik? Masih bangga menjadi pewaris
pusaka penjajah dengan turut melemparkan kata fanatik? Masih gamang
terombang-ambing di lautan tuduhan fanatik?
“Bagaimana sekarang, wahai mereka yang disudut jiwanya masih ada
sisa rasa tanggung jawab agama? Takutkah kalian dituduh fanatik? Kalau
takut lebih baik berhenti jadi orang Islam. Lalu terima saja segala yang
ada dalam kenyataan, dan jangan mulut mengatakan halal-haram,” tegas Buya Hamka.
Buya Hamka bahkan menyitir perintah Allah kepada Nabi Muhammad, “Katakanlah
: Jikalau kamu memang mencintai Allah, hendaklah ikut aku,niscaya kamu
akan dicintai Allah pula.” Selama kita mengikuti jalan Allah, pasti kita
akan bersimpangan dengan mereka yang menentangnya. Mutlak akan
bersinggungan dengan vonis fanatik.“
Sebab alat penuduh yang bernama fanatik itu masih tinggal di negeri ini, "untuk mengemplang kepala kita, (dengan) pusaka penjajah,” tukas Buya Hamka. Buya Hamka kemudian menegaskan, “Tuanku
Imam Bonjol melawan Belanda adalah karena fanatik. Tengku Cik Ditiro
melawan Belanda adalah karena fanatik, Pangeran Diponegoro melawan
Belanda adalah karena fanatik. Semuanya adalah karena fanatik. Yang
habis mati bertimbun mayat, menegakkan kemerdekaan adalah orang-orang
fanatik. Kalau tak ada lagi orang-orang fanatik di negeri ini, maka
segala sampah, segala kurap akan masuk kemari, tidak dapat
ditahan-tahan. Sayangnya orang-orang yang mempertahankan yang munkar
itulah sekarang yang dengan fanatik menantang tiap orang yang ingin
menegakkan kebenaran dan keadilan. “
Maka kita amini doa beliau, “Ya Allah! Kalau lantaran karena
cinta kepada-Mu dan Rasul-Mu, dan bercita-cita agar hukum-Mu, jalan
dalam dunia ini; Kalau lantaran berani menentang segala yang bathil,
kalau itu yang dikatakan fanatik, perdalamlah Ya Allah rasa fanatik itu
dalam jiwa kami. Dan matikanlah kami dalam membuktikan cinta kepada
Engkau!”
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama