Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Buah dari tawakkal kepada Allah Ta’ala amatlah banyak. Yang paling utama adalah “Allah akan mencukupi segala urusan orang yang bertawakkal.”
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath Tholaq: 3)
Barangsiapa yang menyandarkan urusannya pada Allah, hanya
menyandarkan kepada Allah semata, ia pun mengakui bahwa tidak ada yang
bisa mendatangkan kebaikan dan menghilangkan bahaya selain Allah, maka
sebagaimana dalam ayat dikatakan, “Allah-lah yang akan mencukupinya.”
Yaitu Allah menyelamatkannya dari berbagai bahaya. Karena yang namanya
balasan sesuai dengan amal perbuatan. Ketika seseorang bertawakkal
pada Allah dengan sebenar-benarnya tawakkal, Allah pun membalasnya
dengan mencukupinya, yaitu memudahkan urusannya. Allah yang akan
memudahkan urusannya dan tidak menyandarkan pada selain-Nya. Inilah
sebesar-besarnya buah tawakkal.
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ حَسْبُكَ اللَّهُ
“Hai Nabi, cukuplah Allah (menjadi Pelindung) bagimu.” (QS. Al Anfal: 64)
وَإِنْ يُرِيدُوا أَنْ يَخْدَعُوكَ فَإِنَّ حَسْبَكَ اللَّهُ هُوَ الَّذِي أَيَّدَكَ بِنَصْرِهِ وَبِالْمُؤْمِنِينَ
“Dan jika mereka bermaksud menipumu, maka sesungguhnya cukuplah
Allah (yang akan mencukupimu). Dialah yang memperkuatmu dengan
pertolongan-Nya dan dengan para mukmin.” (QS. Al Anfal: 62)
Jadi buah yang paling utama dari tawakkal pada Allah adalah Allah
akan memberi kecukupan pada orang yang bertawakkal pada-Nya. Oleh
karenanya, Allah berfirman mengenai keadaan Nabi Nuh ‘alaihis salam, di mana beliau berkata pada kaumnya,
إِنْ كَانَ كَبُرَ عَلَيْكُمْ مَقَامِي
وَتَذْكِيرِي بِآَيَاتِ اللَّهِ فَعَلَى اللَّهِ تَوَكَّلْتُ فَأَجْمِعُوا
أَمْرَكُمْ وَشُرَكَاءَكُمْ ثُمَّ لَا يَكُنْ أَمْرُكُمْ عَلَيْكُمْ
غُمَّةً ثُمَّ اقْضُوا إِلَيَّ وَلَا تُنْظِرُونِ
“Hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan
peringatanku (kepadamu) dengan ayat-ayat Allah, maka kepada Allah-lah
aku bertawakal, karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah)
sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku). Kemudian janganlah keputusanmu
itu dirahasiakan, lalu lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kamu
memberi tangguh kepadaku.” (QS. Yunus: 71)
Allah berfirman mengenai Nabi Hud ‘alaihis salam,
أَنِّي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ (54)
مِنْ دُونِهِ فَكِيدُونِي جَمِيعًا ثُمَّ لَا تُنْظِرُونِ (55) إِنِّي
تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ رَبِّي وَرَبِّكُمْ مَا مِنْ دَابَّةٍ إِلَّا
هُوَ آَخِذٌ بِنَاصِيَتِهَا إِنَّ رَبِّي عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ (56)
“Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan,
dari selain-Nya, sebab itu jalankanlah tipu dayamu semuanya terhadapku
dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku. Sesungguhnya aku
bertawakkal kepada Allah Rabbku dan Rabbmu. Tidak ada suatu binatang
melata pun melainkan Dia-lah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya
Rabbku di atas jalan yang lurus.” (QS. Hud: 54-56)
Allah berfirman mengenai Nabi Syu’aib alaihis salam,
وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
“Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan)
Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku
kembali.” (QS. Hud: 88)
Allah berfirman mengenai Nabinya –Muhammad- ‘alaihish sholaatu was salaam,
قُلِ ادْعُوا شُرَكَاءَكُمْ ثُمَّ
كِيدُونِ فَلَا تُنْظِرُونِ (195) إِنَّ وَلِيِّيَ اللَّهُ الَّذِي
نَزَّلَ الْكِتَابَ وَهُوَ يَتَوَلَّى الصَّالِحِينَ (196) وَالَّذِينَ
تَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ لَا يَسْتَطِيعُونَ نَصْرَكُمْ وَلَا أَنْفُسَهُمْ
يَنْصُرُونَ (197)
“Katakanlah: “Panggillah berhala-berhalamu yang kamu jadikan
sekutu Allah, kemudian lakukanlah tipu daya (untuk mencelakakan)-ku.
tanpa memberi tangguh (kepada-ku)”. Sesungguhnya Pelindungku ialah yang
telah menurunkan Al kitab (Al Quran) dan Dia melindungi orang-orang
yang shaleh. Dan berhala-berhala yang kamu seru selain Allah tidaklah
sanggup menolongmu, bahkan tidak dapat menolong dirinya sendiri.” (QS. Al A’rof: 195-197)
Dari penjelasan di atas, Allah subhanahu wa ta’ala
menceritakan mengenai para rasul-Nya yang mulia di mana mereka tidak
mendapatkan bahaya dari kaum dan sesembahan kaum mereka. Apa kuncinya?
Karena mereka bertawakkal pada Allah. Siapa saja yang bertawakkal pada
Allah, pasti Allah akan mencukupinya.
Buah tawakkal yang kedua, buah tawakkal yang lain adalah mendapatkan cinta Allah. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS. Ali Imron: 159)
Barangsiapa yang benar-benar bertawakkal pada Allah, maka Allah akan
mencintainya. Jika Allah telah mencintainya, maka ia akan merasakan
kebahagiaan di dunia dan akhirat, ia akan menjadi orang-orang yang
dicintai di sisi-Nya dan menjadi wali-Nya.
Buah tawakkal yang ketiga,
orang yang bertawakkal akan mudah mengerjakan hal yang bermanfaat
tanpa ada rasa takut dan gentar kecuali pada Allah. Contohnya, orang
yang berjihad di medan perang melawan orang-orang kafir, mereka
melakukan hal ini karena mereka tawakkal pada Allah. Usaha mereka
dengan tawakkal inilah yang mendatangkan keberanian dan kekuatan saat
itu. Musuh-musuh dan kesulitan di hadapan mereka dianggap ringan berkat
tawakkal. Mereka akhirnya jika toh mati, akan merasakan mati di jalan Allah. Merekalah yang mendapatkan syahid di jalan Allah. Ini semua karena sebab tawakkal.
Buah tawakkal yang keempat, seseorang akan bersemangat dalam mencari rizki, mencari ilmu
dan melakukan segala sesuatu yang bermanfaat. Itulah yang namanya
orang yang bertawakkal, ia punya semangat dalam melakukan hal-hal
bermanfaat semacam ini. Karena ia tahu bahwa Allah akan bersama dan
menolong setiap orang yang bertawakkal. Akhirnya ia pun bersamangat
ketika dalam perkara agama dan dunianya yang bermanfaat, ia jadinya
tidak bermalas-malasan.
Kita dapat menyaksikan bahwa para sahabat radhiyallahu ‘anhum,
merekalah orang yang paling bersemangat. Mereka benar-benar
merealisasikan tawakkal pada Allah. Sampai-sampai karena sifat ini yang
mereka miliki, mereka bisa menaklukan berbagai negeri di ujung timur
dan barat melalui jihad mereka. Mereka pun membuka hati melalui dakwah mereka di jalan Allah. Ini semua bisa terwujud karena mereka benar-benar merealisasikan tawakkal pada Allah.
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا مَنْ
يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ
يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ
عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ
لَوْمَةَ لَائِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ
وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang
murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang
Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah
lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap
orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut
kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah,
diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas
(pemberian-Nya), lagi Maha mengetahui.” (QS. Al Maidah: 54).
Mereka sama sekali tidak takut pada celaan orang yang mencela ketika
mereka berjuang di jalan Allah. Bisa demikian karena mereka benar-benar
merealisasikan tawakkal pada Allah. Mereka benar-benar menyandarkan
dirinya pada Allah dan mereka tidak berpaling pada yang lain, baik
ketika itu manusia ridho atau pun tidak. Yang senantiasa mereka cari
adalah ridho Allah. Dalam hadits disebutkan,
من التمس رضا الله بسخط الناس رضي الله عنه وأرضى عنه الناس ، ومن التمس رضا الناس بسخط الله سخط الله عليه وأسخط عليه الناس
“Barangsiapa yang mencari ridho Allah dan awalnya manusia murka
(tidak suka), maka Allah akan ridho padanya dan membuat manusia pun akan
ridho padanya. Sedangkan barangsiapa yang mencari ridho manusia dan
membuat Allah murka, maka Allah akan murka padanya dan akan membuat
manusia pun murka.”[1]
Bersandar pada Allah dan tawakkal pada-Nya serta menyerahkan segala urusan pada Allah Ta’ala, itulah yang menjadi asas tauhid, asas amal dan asas kebaikan. Bahkan Allah menjadi tawakkal ini syarat keimanan. Allah Ta’ala berfirman,
وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (QS. Al Maidah: 23)
Pelajaran Penting
Ada pelajaran penting yang mesti diperhatikan dalam memahami arti tawakkal. Tawakkal harus terkumpul dalamnya dua syarat yaitu: (1) menyandarkan hati pada Allah, dan (2) melakukan usaha (sebab).
Sehingga tidak benar jika orang hanya berusaha namun tidak menyandarkan
hatinya pada Allah karena segala sesuatu di tangan Allah. Dan tidak
tepat pula jika seseorang hanya bersandar pada Allah, namun tidak ada
usaha yang ia lakukan.
Ada sebuah kisah yang bisa jadi pelajaran. ‘Umar bin Khottob pernah
melihat sekelompok orang yang ngaku-ngaku sebagai orang yang
bertawakkal, namun mereka tidak melakukan usaha apa-apa. ‘Umar bertanya
pada mereka, “Siapa kalian?” “Kami adalah mutawakkiluun, orang yang bertawakkal”, jawab mereka. ‘Umar lantas menjawab, “Tidak. Kalian adalah muta-akkalun
(artinya, orang yang hanya menanti diberi makan).” Yaitu mereka itu
sebenarnya hanyalah orang yang hanya butuh pada uluran tangan orang lain
dan bukan orang yang bertawakkal. Karena orang yang bertawakkal
harusnya melakukan usaha.
‘Umar bin Al Khottob pun pernah mengatakan,
لقد علمتم أن السماء لا تمطر ذهبا ولا فضة
“Kalian telah mengetahui bahwa langit sama sekali tidak menurunkan hujan emas atau hujan perak.”
Ini beliau katakan untuk mengingkari orang yang hanya duduk untuk
ibadah namun tidak punya untuk meraih rizki. Mereka sebenarnya
orang-orang pemalas yang butuh ularan tangan orang lain. Lantas ‘Umar
pun menghardik mereka. Lalu mengatakan perkataan di atas.
Demikian penjelasan singkat mengenai buah tawakkal yang kami sarikan dari penjelasan Syaikh Sholeh Al Fauzan hafizhohullah (Ulama besar di Riyadh, Kerajaan Saudi Arabia, anggota Al Lajnah Ad Daimah) dalam kumpulan risalahnya.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Reference: Majmu’atu Rosail Da’wiyyah wa Manhajiyyah, Syaikh Sholeh Al Fauzan, hal. 270, 280-283, terbitan Al Mirots An Nabawi.
Riyadh KSA, 11 Shafar 1432 H (15/01/2011)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
[1] HR. Tirmidzi no. 2414, Ibnu Hibban 1/510, dari hadits ‘Aisyah. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan. Syaikh Al Albani menyatakan bahwa hadits ini shahih.
Blogger Comment