“Apakah kemiskinan itu, Bu? Anak-anak di taman bilang kita miskin. Benarkah itu, Bu?” tanya sang anak.
“Tidak, kita tidak miskin, Aiko,” jawab ibunya.
“Apakah kemiskinan itu?” Aiko, sang anak, bertanya lagi.
“Miskin berarti tidak mempunyai sesuatu apapun untuk diberikan kepada orang lain.” Aiko agak terkejut.
“Oh? Tapi kita memerlukan semua barang yang kita punyai, apakah yang dapat kita berikan?” katanya menyelidik.
“Kau ingatkah perempuan pedagang keliling yang ke sini minggu lalu?
Kita memberinya sebagian dari makanan kita kepadanya. Karena ia tidak
mendapat tempat menginap di kota, ia kembali ke sini dan kita memberinya
tempat tidur.”
“Kita menjadi bersempit-sempitan,” jawab Aiko.
Tapi sang ibu tak kalah sigap. “Dan kita sering memberikan sebagian dari sayuran kita kepada keluarga Watari, bukan?” katanya.
“Ibulah yang memberinya. Hanya saya sendiri yang miskin. Saya tak punya apa-apa untuk saya berikan kepada orang lain.”
Sang ibu tersenyum dan memberikan pandangan teduh pada anaknya.”Oh,
kau punya. Setiap orang mempunyai sesuatu untuk diberikan kepada orang
lain. Pikirkanlah hal itu dan kau akan menemukan sesuatu.”
Tak lama setelah itu, sang anak pun mendapatkan jawabannya. “Bu! Saya
mempunyai sesuatu untuk saya berikan. Saya dapat memberikan
cerita-cerita saya kepada teman-teman saya. Saya dapat memberikan kepada
mereka cerita-cerita dongeng yang saya dengar dan baca di sekolah.”
“Tentu! Kau pintar bercerita. Bapakmu juga. Setiap orang senang mendengar cerita.”
“Saya akan memberikan cerita kepada mereka, sekarang ini juga!”
_____________________________________________________________________________________
Dialog tersebut dapat ditemukan dalam kumpulan kisah-kisah
inspiratif, Aiko and Her Cousin Kenichi. Dialog antara ibu dan anak itu,
telah meneguhkan sebuah kesadaran besar, bahwa setiap kita bisa
memberi. Ini lebih dari sekadar sebuah kesadaran sosial. Tapi kesadaran
untuk menjadi berarti lantaran membagi kebahagiaan untuk orang lain.
Akhlak tentang kesadaran terhadap kehidupan orang lain, dimiliki oleh
qudwah yang tak ada bandingnya, yakni Rasulullah saw. Utusan Allah itu
bahkan disebut sebagai “orang yang tak takut miskin karena memberi”.
Dialah yang menanamkan prinsip menolong orang lain untuk menolong
diri sendiri. Perhatikanlah bagaimana sabdanya, “Allah swt selalu
menolong seoarng hamba, selama hamba itu menolong saudaranya.” Atau,
sabdanya yang lain, “Barangsiapa yang memberi kemudahan kepada
saudaranya, maka Allah akan memberi kemudahan baginya di dunia dan
akhirat.”
Itu adalah prinsip memberi dan menerima yang ditanamkan Rasulullah
saw. Memberi kepada sesama dan hanya terobsesi untuk menerima dari Allah
swt. Sehingga pada praktiknya, prinsip itu berubah menjadi memberi dan
memberi, give and give. Sebab penerimaan itu tidak datang dari manusia
tapi dari Allah swt.
Mengajak untuk peduli sosial, memberi bantuan kepada orang lain,
menolong atau memberikan jasa, mengeluarkan infaq dan sedekah, sering
memunculkan pertanyaan, “Bagaimana saya bisa membantu orang lain? Saya
sendiri dalam kondisi kurang dan membutuhkan.” Sementara Rasulullah saw
menanamkan nilai bersedekah ini, justru pada saat seseorang sulit
mengeluarkannya.
Suatu hari datang seorang laki-laki kepada Rasulullah saw dan
bertanya, “Ya Rasulullah, sedekah apa yang paling besar pahalanya?”
Rasulullah saw mengatakan, “Engkau bersedekah sedangkan engkau sedang
dalam kondisi sehat, sangat membutuhkan, takut miskin, dan punya obsesi
menjadi kaya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menjelaskan bahwa dalam situasi sesorang bertanya, “Apa
yang bisa saya bantu, karena saya juga dalam kondisi membutuhkan” tadi
itulah, bobot pahala sedekah. Semakin seseorang berada pada posisi
dilematis antara keinginan dirinya terhadap apa yang akan disedekahkan,
semakin tinggi nilai sedekahnya jika benar-benar dilakukan. Tentu saja
kesadaran memberi kepada orang lain, tidak selalu berupa benda, materi,
uang, atau bantuan yang memiliki nilai nominal. Tapi bisa berupa
pikiran, waktu, ide-ide, fisik, atau apapun yang bisa kita beri dan
bermanfaat.
Sekarang, kita layak bertanya pada diri sendiri, apa yang akan kita
berikan untuk orang lain? Ingat, setiap kita punya sesuatu yang bisa
kita berikan kepada orang lain. Pikirkanlah baik-baik apa sesuatu itu.
Niscaya kita akan menemukannya.
Sumber: Tarbawi Edisi 146 Th. 8 Dzulhijjah 1427 H / 4 Januari 2007
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama