Ibadah Shalat
I. Allahu Akbar (Allah Mahabesar)
Dengan
mengucapkan kalimat pembukaan nan suci ini, seorang hamba akan memulai ibadah
shalatnya. Allahu Akbar, Allah Mahabesar; maksudnya, Allah swt lebih besar dari
yang dapat kita bayangkan; lebih besar dari seluruh tuhan lainyang disembah
manusia sepanjang sejarah; lebih besar dari seluruh kekuatan dan kekuasaan yang
paling menakutkan sekalipun, yang dijadikan sandaran sekaligus tempat
bergantung umat manusia; lebih besar dari orang-orang yang paling berani
membangkang dan melanggar hukum-hukum-Nya. Setiap orang yang mengetahui dan
berupaya menyesuaikan aktifitas kehidupannya dengan prinsip-prinsip tersebut
niscaya akan merasakan adanya kekuatan luar biasa dalam dirinya setelah
mengucapkan kalimat Allahu Akbar. Ia merasa yakin dirinya berpijak di atas
landasan yang kokoh, aman, dan menjanjikan kebahagiaan.
Dengan
mengucapkan kalimat agung ini, seorang hamba resmi memasuki shalatnya. Setelah
itu, masih dalam keadaan berdiri, dirinya diharuskan membaca surat
al-Fatihah[6], yang kemudian dilanjutkan dengan membaca surat lain dalam
al-Quran.
II. Isi Surat al-Fatihah
A. Bismillahir Rahmanir Rahim (Dengan nama Allah Yang Mahapengasih Mahapenyayang)
Dengan nama
Allah yang rahmat-Nya meliputi segala sesuatu dan kemurahan-Nya bersifat kekal
nan abadi. Kalimat bismillahirrahmanirrahim merupakan pembuka setiap surat
dalam al-Quran dan seyogianya dibaca seorang muslim sebelum memulai setiap
aktifitasnya. Sungguh teramat penting untuk memulai segala sesuatu dengan nama
Allah yang Mahaagung.
Dimulai dan
diakhirinya kehidupan seseorang harus disertai dengan mengucapkan nama Allah
swt. Seorang muslim akan memulai hari-hari kehidupannya di dunia ini dengan menyebut
nama Allah swt.
Dan dirinya
juga harus mengakhiri aktifitas sehari-harinya dengan menyebut nama-Nya. Ia
pergi tidur seraya mengingat dan mengharap pertolongan Allah swt; demikian pula
ketika dirinya bangun di pagi hari untuk memulai kembali kegiatan rutinnya.
Akhirnya, ia meninggalkan kehidupan di dunia fana ini, untuk kemudian melangkah
menuju keabadian, dengan menyebut nama Allah swt.
B. Alhamdu Lillahi Rabbil ‘Alamin (Segala Puji Bagi
Allah Tuhan Semesta Alam)
Segala
puja-puji hendaknya dipanjatkan ke hadirat Allah swt karena seluruh keagungan
hanyalah milik-Nya dan segenap rahmat hanya tercurah dari-Nya. Segenap
kebajikan dan kesempurnaan hanya kembali kepada-Nya.
Dengan
memuji Allah swt, sesungguhnya kita tengah memuji kebaikan dan kesempurnaan
mutlak. Dan semua itu niscaya akan menuntun kita dalam menggapai kesempurnaan
dan kebaikan insani.
Kita harus
yakin bahwa sejumlah tulang yang kuat dalam tubuh kita semata-mata berasal
dari-Nya. Itulah Dia yang menciptakan kita sedemikian rupa sehingga kita mampu
meraih kebajikan dan menggapai kemuliaan diri. Allah swt telah menganugerahkan
kita kemampuan untuk merancang keputusan demi mencapai suatu tujuan yang penuh
berkah.
Dengan anugerah
Allah swt berupa kemampuan dan kecerdasan diri tersebut, manusia diharapkan
dapat memanfaatkan segenap potensi fitrahnya demi menciptakan kesejahteraan
bagi dirinya dan orang lain. Dan Allah swt melarang manusia untuk mementingkan
dirinya sendiri dan menyia-nyiakan atai menyalahgunakan potensinya itu.
Pernyataan
Rabbil ‘Alamin (Tuhan semesta alam) menyiratkan bahwasanya selain bumi ini,
terdapat pula bumi-bumi lainnya yang terhubung satu sama lain.
Karenanya,
orang yang beriman akan berpikir bahwasanya di jagat raya ini terdapat banyak
planet, galaksi, dan sesuatu lainnya yang berada di luar jangkauan
penglihatannya yang serba terbatas. Allah swt adalah Pemilik alam semesta dan
segenap apa yang ada di dalamnya.
Dengan itu,
wawasan berpikir seorang hamba akan semakin luas dan mendalam. Dan dirinya akan
merasa bangga dan beruntung dikarenakan memiliki kemampuan untuk memahami semua
itu.
Dirinya akan
menjumpai kenyataan bahwa seluruh umat manusia, hewan, tumbuhan, dan segenap
keberadaan lainnya di jagat raya ini semata-mata diciptakan Allah swt. Allah
swt bukan hanya Tuhan dirinya, sukunya, bangsanya, atau sejenisnya semata.
Namun, Allah
swt adalah juga Tuhan dari segenap planet, galaksi, dan berjuta-juta bintang di
langit. Allah swt menantiasa mengawasi kita semua serta menyayangi segenap
ciptaan-Nya; mulai dari yang terkecil (seperti semut), sampai yang paling besar
sekalipun (galaksi, misalnya).
Dengan
meyakini konsep tersebut, seorang hamba tidak akan merasa hidup sendirian. Ia
yakin bahwa dirinya merupakan bagian dari keluarga besar umat manusia serta
pelbagai mekhluk lainnya. Lebih khusus lagi, ia akan memiliki hubungan yang
dekat dengan maujud lain yang seolah-olah menyertainya menaiki bahtera yang
sama; bahtera mana yang secara umum bergerak berdasarkan sunnatullah (ketetapan
Allah).
Dengan
meyakini bahwa dirinya memiliki keterkaitan dengan makhluk lain, ia kemudian
merasa berkewajiban untuk membantu dan membimbing umat manusia (ke jalan yang
benar) sesuai dengan kemampuannya.
Selain itu,
ia juga akan semakin terpacu untuk merenungkan dan mengkaji lebih mendalam,
apa-apa yang ada di jagat alam ini. Kelak, ia akan meraih keuntungan yang
melimpah-ruah dari semua itu dan akan senantiasa memanfaatkannya secara bijak,
sesuai dengan fungsinya masing-masing.
C. Ar-Rahmanir Rahim (Mahapengasih Mahapenyayang)
Secara umum, kemurahan dan kasih sayang Allah swt
meliputi segenap makhluk-Nya. Dengan kata lain, berdasarkan hukum alam, seluruh
makhluk akan memperoleh keuntungan dari segenap pemberian Allah (Rahman).
Namun, di
sisi lain, terdapat pula kasih sayang dan rahmat Allah swt yang hanya
diperuntukkan bagi umat manusia, khususnya bagi orang-orang yang menyembah-Nya
dan mematuhi segenap perintah-Nya.
Kemurahan khusus
ini bersifat abadi dan akan menantiasa menyertai seseorang untuk selama-lamanya
(Rahim). Berdasarkan itu, kita memahami bahwasanya terdapat dua jenis rahmat
Allah; yang satu bersifat umum dan sementara, di mana setiap orang bisa
mendapatkannya; dan satunya lagi bersifat khusus dan abadi, di mana hanya
diperuntukkan bagi orang-orang yang selalu memperbaiki dirinya.
Penyebutan
nama Allah swt dan pengakuan atas belas kasih-Nya merupakan pernyataan pembuka
dari al-Quran, shalat, dan setiap surat dalam al-Quran. Penempatan kalimat
tersebut lebih menekankan sifat pengasih dan penyayang-Nya ketimbang kemurkaan
dan kemarahan-Nya.
Adapun sifat
yang terakhir disebutkan lebih ditujukan bagi orang-orang yang keras kepala,
gemar membangkang, tidak jujur, dan berperilaku buruk. Ya, kemurahan-Nya
sungguh tak terbatas dan meliputi segenap makhluk-Nya.[7]
D. Maliki Yaumid Diin (Pemilik Hari Kemudian)
Hari
kemudian adalah Hari akhir. Setiap orang tentu akan mengalaminya. Baik
orang-orang ateis (tidak bertuhan) dan materialis, maupun orang-orang beriman
dan bertuhan sama-sama bersepakat tentang adanya Hari Akhir. Namun, setiap
kelompok memiliki penafsiran masing-masing tentangnya. Kaum materialis lebih
memandangnya sebagai proses mengalir dan berlalunya waktu (jam, hari, dan
tahun), yang darinya kemudian terjadilah ketuaan dan kematian.
Namun,
orang-orang yang beriman kepada Allah swt memiliki pandangan jauh lebih luas.
Dirinya tidak menganggap bahwa kehidupan di dunia berakhir begitu saja.
Sebaliknya, ia meyakini adanya Hari Pengadilan.
Hal ini
meniscayakan dirinya hanya akan melakukan perbuatan yang memiliki ganjaran
pahala seraya menghindari perbuatan dosa, khususnya terhadap mekhluk lain.
Sebabnya, di
Hari Pengadilan kelak, ia akan ditanya tentang apa yang telah diperbuat selama
hidup di dunia. Seseorang yang berpandangan demikian niscaya akan berusaha
menjaga perilakunya dan tetap menyandarkan harapannya semata (kepada Allah swt)
sampai kapan pun. Mengingat bahwa dirinya kelak akan dibangkitkan di hadapan
Allah swt, penguasa Hari Pengadilan, seorang hamba tentu akan berusaha untuk
mengarahkan perhatiannya semata-mata kepada Allah swt dan hanya berbuat demi
menggapai keridhaan-Nya.
Ia mencari
pengetahuan dengan tujuan meningkatkan kualitas dirinya dan juga untuk membantu
manusia. Inilah perbuatan yang sesuai dengan keinginan Allah swt.
Pada sisi
lain, dengan mengetahui bahwa Allah swt akan menjadi hakim absolut di Hari
Pengadilan nanti, dirinya sama sekali tidak akan tertarik untuk melakukan tipu
daya, penyelewengan dan kemunafikan. Ia juga akan berkeyakinan bahwa sesuatu
yang diperoleh dengan cara yang keliru atau kesejahteraan hidup yang dibangun
di atas dasar kezaliman tidak akan pernah menguntungkan dirinya. Sebaliknya, ia
malah akan diganjar hukuman nan pedih atas perbuatannya itu. Sejauh kini kita
telah membahas bagian pertama dari surat al-Fatihah yang berkenaan dengan
pujian kepada Allah swt dan sifat-sifat-Nya. Bagian kedua darinya (yang akan
kita bahas di bawah ini) berkenaan dengan ketundukan seorang hamba kepada Allah
demi memohon keselamatan dari-Nya serta mengharap agar Allah swt membimbingnya
di atas jalan yang lurus. Beberapa ajaran ideologi Islam yang bersifat mendasar
juga ditetapkan dalam bagian ini.
E. Iyyaaka Na’budu (Kepada-Mu lah Kami Menyembah)
Maksudnya, segenap keberadaan kita dan apapun
kemampuan kita (baik secara fisik, mental, maupun spiritual) semata-mata berada
di tangan Allah swt. Dan kita wajib melaksanakan segenap perintah-Nya.
Pernyataan
suci ini pada dasarnya menghendaki seorang hamba tunduk patuh di hadapan Allah
swt dan membebaskan dirinya dari segenap belenggu penghambaan kepada
tuhan-tuhan lain. Dirinya wajib menolak seluruh tuhan lain, terlebih
tuhan-tuhan yang dalam sejarah umat menusia di masa lalu telah menciptakan
pembedaan sekaligus penindasan di tengah-tengah masyarakat. Setiap orang yang
beriman tentunya selalu berpikiran maju.
Ia beserta
orang-orang beriman lainnya tidak akan pernah tunduk kepada orang lain atau
sistem tertentu, kecuali orang atau sistem tersebut berpijak di atas jalan yang
diridhai Allah swt.
Prinsip
utama dalam Islam serta segenap agama langit lainnya adalah tidak menyembah
apapun kecuali Allah swt dan hanya tunduk patuh kepada-Nya.
Sejumlah orang
tidak memahami makna yang sebenarnya dari prinsip ini dan secara tidak sadar
menyembah makhluk lain. Mereka menganggap bahwa hanya dengan berdoa kepada
Allah swt dan mengingat nama-Nya, dirinya telah menyembah semata-mata kepada
Allah swt.
Dalam pandangan
al-Quran dan hadis Nabi saw, cara berpikir semacam itu jelas keliru. Makna
penyembahan atau pemujaan dalam al-Quran dan juga hadis Nabi saw adalah
kepatuhan dan ketundukan mutlak terhadap segenap perintah. Perintah tersebut
bisa berasal dari sumber tersendiri ataupun kolektif.
Dan dalam
menunaikan ibadah shalat, seseorang bleh jadi menyertakan ketundudukannya, atau
bahkan tidak sama sekali. Karena itu, siapapun yang tunduk serta melaksanakan
perintah seorang penguasa atau sistem yang zalim yang tidak mendasari dirinya
di atas hukum-hukum Allah swt, tak lain dari pengikut dan pendukung sang
penguasa atau sistem tersebut.
Dan bila
orang-orang seperti itu mengabaikan beberapa ketentuan (penguasa atau sistem
yang zalim) dalam kehidupan pribadi atau sosialnya untuk kemudian menyembah
Allah swt, maka sesungguhnya mereka adalah kaum politeis (menyembah lebih dari
satu tuhan.
Adapun jika
tidak pernah menyembah Allah swt sama sekali, maka mereka tergolong orang-orang
yang kafir (orang-orang yang menyangkal keberadaan Tuhan atau bertingkah laku
seolah-olah Tuhan tidak ada).
Dengan
ditopang pengetahuan tentang Islam, kita dengan mudah dapat menemukan alasan
tentang mengapa seluruh agama langit sebelum Islam sangat menjunjung semboyan
dasar laa ilaaha illallah (tidak ada Tuhan kecuali Allah).[8] Kita juga akan
memahami apa yang mereka katakan, apa tujuan utamanya, dan siapa-siapa yang
menentang.
Konsep yang
berkenaan dengan persoalan penyembahan yang acapkali dinyatakan dalam al-Quran
dan hadis Nabi saw[9] ini kiranya sangatlah jelas sehingga dipastikan akan
menghapus keraguan yang muncul dalam benak intelektual. Sebagai contoh,
al-Quran mengatakan:
“Mereka
menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain
Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al masih putera Maryam, padahal mereka
hanya disuruh menyembah Tuhan yang Mahaesa, tidak ada Tuhan (yang berhak
disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.”
(at-Taubah: 31)
Abu Bashir
meriwayatkan bahwa Imam Ja’far as-Sadiq as berkata kepada para pengikut beliau,
“Kalian adalah orang-orang yang menjauhkan diri dari ketundukan terhadap
segenap aturan yang zalim. Mematuhi seseorang yang zalim adalah sama dengan
menyembahnya.”
Kitab tafsir
Nur ats-Tsaqalain (vol. 5, hal 481) menyebutkan ayat lain yang berbunyi:
“Dan
orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembah- Nya dan kembali
kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu
kepada hamba- hamba-Ku.” (Az-Zumar (39): 17)
F. Wa Iyyaaka Nasta’iin (Dan kepada-Mu lah Kami Mengharap Pertolongan)
Kita tentu
tidak akan pernah mengharapkan pertolongan dari musuh-musuh-Nya atau dari
seseorang yang menyebut dirinya tuhan. sebabnya, mereka tidaklah menyembah
Tuhan dan tidak akan bersungguh-sungguh menolong orang-orang yang menyembah
atau mencari Tuhan.
Jalan Allah
adalah jalan lurus dan sangat bersahaja yang dilintasi seluruh nabi. Jalan
tersebut mengajarkan agar dalam kehidupan sosial, setiap individu menjalin
hubungan persaudaraan antar satu sama lain. Lebih dari itu, jalan tersebut juga
menghendaki terwujudnya gagasan tentang kerukunan hidup bersama antarbangsa.
Sebuah
sistem yang tunduk kepada Allah swt sama sekali bersih dari tindakan pelecehan,
ketidakadilan dan penindasan terhadap sesama. Lagipula, keberadaan manusia dan
nilai-nilai kemanusiaan justru sangat dijunjung tinggi.
Demi
melanggengkan eksploitasinya, hampir semua rezim dan orang yang menggenggam
kekuasaan berusaha mati-matian untuk menghapus cita-cita kemanusiaan tersebut
dari benak masyarakatnya. Jadi, bagaimana mungkin seseorang bisa mengharapkan
bantuan atau dukungan dari para perampas kekuasaan atau penjahat politik
seperti itu?
Mereka (para
rezim yang jahat) secara terus-menerus menentang kebenaran dan begitu bernafsu
memerangi kaum yang beriman. Oleh sebab itu, kita harus meminta pertolongan
semata-mata kepada Allah swt dan berdiri di atas kaki sendiri serta
memanfaatkan bakat dan potensi dasar pemberian-Nya demi meraih tujuan kita.
Mempelajari
prinsip-prinsip yang mendasari ayat ini serta memahami pelbagai hubungan
kompleks yang terkandung di dalamnya, akan membuka wawasan pemikiran dan
meningkatkan standar kehidupan kita.
G. Ihdinash Shiratal Mustaqiim (Tunjukilah Kami Jalan Yng Lurus)
Seluruh umat
manusia jelas lebih membutuhkan Allah swt ketimbang yang lain sebagai
pembimbing hidup. Dan secara pasti, kebutuhan tersebut nampak sebagai bentuk
pengharapan dalam surat al-Fatihah, yang sekaligus menjadi prolog dari al-Quran
dan juga bagian terpenting dari shalat.
Hanya lewat
bimbingan Allah swt saja kecerdasan dan kebijaksanaan seseorang akan
dimanfaatkan secara konstruktif dan diarahkan semata-mata bagi kebaikan.
Memanfaatkan
kecerdasan dan kebijaksanaan di atas jalan kezaliman dan kebatilan tak ubahnya
memberikan lampu kepada seorang pencuri di tengah kegelapan atau membiarkan
orang gila dengan sebilah pisau belati nan tajam di tangannya. Jalan kebenaran
adalah jalan yang sangat menyenangkan, yang melazimkan seseorang melangkah maju
dan memenuhi kebutuhan dasarnya sebagai manusia.
Para nabi
Allah lah yang telah merintis dan melintasi jalan ini. Dengan melintasi jalan
ini, niscaya seseorang akan menapaki kemajuan dirinya dan tanpa kesulitan mampu
mencapai tujuan akhirnya yang mulia.
Hal ini
sangatlah masuk akal. Sebabnya, sudah menjadi ketetapan hidup bahwa seseorang
harus mengembangkan dan meningkatkan kualitas dirinya semaksimal mungkin.
Dan apabila
semua itu dijalankan dengan sungguh-sungguh, niscaya akan tercipta kemakmuran,
kebebasan, sikap saling menghargai, dan rasa persaudaraan dalam tubuh
masyarakat. Dengan demikian, segenap musuh besar kemanusiaan pun akan segera
binasa. Bagaimana cara mengenali jalan ini dan membedakannya dari segenap jalan
yang menyesatkan?
Al-Quran
menyajikan gambaran yang paling ringkas sekaligus paling gamblang dalam ayat
berikutnya, yang akan kita bahas di bawah ini.
H. Shiraathal Ladhiina An’amta ‘Alaihim (Jalan Orang-orng Yang Engkau Ridhai)
Siapakah
orang-orang yang diridhai dan dirahmati-Nya? Dalam hal ini, yang disebut dengan
rahmat-Nya bukanlah martabat, kesehatan, dan harta yang dimiliki seseorang.
Seabnya,
kita acapkali menyaksikan bagaimana musuh-musuh besar Allah swt dan para
sekutunya hidup bergelimang kekayaan, kedudukan, serta segenap hal lainnya yang
bersifat material. Makna rahmat atau anugerah Allah swt tentunya jauh lebih
tingi dan lebih bernilai dari sekadar itu, seperti luasnya wawasan berpikir,
kebijaksanaan, dan kedalaman spiritual. Sungguh sangat beruntung orang-orang
yang memperoleh segenap nikmat anugerah tersebut; mereka akan benar-benar
menghargai serta menyayangi segenap makhluk ciptaan-Nya, termasuk terhadap
dirinya sendiri.
Dalam
sejumlah ayat, al-Quran menyebut mereka sebagai:
“Barangsiapa
yang menaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan
orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu; nabi-nabi, para
shiddiqin[10], orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang yang shalih…”
(an-Nisa’: 69)
Sesungguhnya
ketika membaca ayat yang tercantum dalam surat al-Fatihah ini, seorang hamba
tengah berharap kepada Allah swt untuk menuntunnya di atas jalan para nabi,
para shiddiqin, para syuhada, dan orang-orang yang shalih. Jalan ini telah
terbentang sejak dululkala dan telah banyak dilintasi orang-orang terkemuka
dalam sejarah. Dan adalah teramat jelas, ke mana muara akhir dari jalan
tersebut.
Namun
bagaimanapun juga, disamping jalan ini terbentang pula jalan lain yang
dilintasi sebagian orang. Setiap orang yang beriman kepada Allah niscaya akan
berlepas diri dari jalan tersebut serta dari orang-orang yang melintasinya.
Dirinya benar-benar takut terhempas atau tergoda untuk berjalan di atas jalan
tersebut. Ya, itulah jalan yang dimurkai Allah swt.
I. Ghairil Maghdhubi ‘Alaihim (Bukan Jalan Orang-orang Yang Engkau Murkai)
Siapakah
orang-orang yang membangkitkan kegusaran dan kemurkaan Allah swt?
Sungguh
teramat banyak! Di antaranya adalah orang-orang yang menentang Allah serta
orang-orang korup yang senantiasa menjerumuskan orang-orang dungu ke dalam
kubangan dosa. Termasuk juga para penindas yang suka memaksa dan menekan
orang-orang untuk berbuat keburukan dan kejahatan, ara tiran, para pendusta,
dan orang-orang culas.
Sepanjang
sejarah, para diktator dan penindas selalu hidup bermewah-mewah di atas
penderitaan serta kehinaan orang banyak.
Ini
sekaligus bisa dijadikan bukti bahwa kemurkaan Allah secara khusus hanya
ditujukan kepada orang-orang yang secara sadar dan sengaja berbuat dosa; bukan
kepada orang-orang yang secara tidak sengaja dan tidak sadar melakukan
kekeliruan atau dosa.
Sejarah
menunjukkan bahwa pada umumnya orang-orang kaya dan orang-orang yang
menggenggam kekuasaan di tangannya memiliki keyakinan agama yang begitu
dangkal. Bahkan beberapa di antaranya sama sekali tidak memilikinya. Di samping
kedua kelompok terkutuk tersebut, terdapat pula kelompok ketiga yang juga
menjadi sasaran kutukan. [11] Isi ayat penutup (dalam surat al-Fatihah)
sesungguhnya merujuk kepada kelompok terakhir ini.
J. Waladhdhaalliin (Juga Bukan Jalan Orang-orang Sesat)
Siapapun
yang menapaki jalan selain jalan Allah –lantaran kebodohan atau mengikuti
orang-orang sesat yang dsangkanya melangkah di jalan benar- niscaya kelak akan menjumpai
situasi yang tidak diinginkan. Banyak orang di masa lalu yang mengikuti,
mempercayai, engagumi, dan menobatkan pemimpinnya secara membabi-buta. Apa
akibatnya?
Ya,
orang-orang tersebut malah terjerumus ke jurang kesengsaraan lantaran perilaku
kotor pada pemimpinnya itu di kemudian hari. Namun sayang, orang-orang tersebut
sudah betul-betul terikat dengan jalan pilihannya sendiri dan akalnya juga
sedemikian terbelenggu sehingga menjadikannya tidak mengindahkan sama sekali
risalah kebenaran yang dikumandangkan para nabi Allah.
Bahkan
hampir setiap waktu mereka menentangnya. Mereka tidak mau merenung barang
sejenak pun demi melakukan perbaikan diri atau untuk keluar dari kebodohan
tersebut. Disebut kebodohan karena keadaan tersebut secara total hanya
menguntungkan kaum penindas dan semata-mata merugikan kaum tertindas. Adapun
dengan menumpuh jalan para nabi, keadaannya akan berbalik seratus delapan puluh
derajat: kaum penindas menjadi lemah, sementara kaum teritndas dan
terpinggirkan semakin kuat.
Seraya
berlepas diri dari jalan serta cara-cara yang dipraktikkan kedua kelompok (yang
tidak diridhai Allah dan yang sesat) di atas, seorang hamba pada akhirnya harus
menentukan jalan yang akan dilaluinya.
Dengan
mempelajari dan menilai keberadaan dirinya, seseorang niscaya akan menemukan
jalan pilihannya yang terbaik; jalan para nabi. Saat itu, dirinya akan
mengucapkan, “Alhamdulillahi Rabbil ‘Aalamiin (segala puji bagi Allah, Tuhan
semsta alam).”[12]
Dengan
membaca surat al-Fatihah yang merupakan surat pembuka dari al-Quran ini, maka
pada dasarnya bagian utama dari ibadah shalat telah dilaksanakan secara
sempurna.
Sebagaimana
yang berlaku dalam sebuah prolog (pembukaan), surat ini (yang berposisi sebagai
prolog) merangkum seluruh gagasan utama al-Quran. Bila ibadah shalat merupakan
intisari Islam, maka surat ini merupakan intisari dari keseluruhan isi
al-Quran. Tema-tema penting al-Quran yang terdapat dalam surat ini adalah
sebagai berikut:
1- Alam
semesta serta seluruh keberadaan di dalamnya semata-mata milik Allah swt
(Rabbil ‘Aalamiin).
2- Setiap
orang dan setiap sesuatu senantiasa berada dalam lingkup kasih sayang-Nya
(Ar-Rahman), terlebih orang-orang yang menyembah-Nya (Ar-Rahim).
3- Kehidupan
seseorang tidak berakhir begitu saja berkat kematian, melainkan terus berlanjut
dan Allah secara mutlak bertindak sebagai pengawas (Maliki Yaumiddin).
4- Umat
manusia harus dibebaskan dari belenggu perbudakan duniawi dan diserukan untuk
tidak menyembah papun kecuali Allah swt. Dan berkat usaha ini, kelak akan
tercipta kesejahteraan hidup bagi umat manusia (Iyyaka Na’budu).
5- Seseorang
harus senantiasa mengharap bimbingan Allah dalam mencari jalan hidup yang
hakiki (Ihdinashshiratal Mustaqim).
6- Seseorang
harus mampu membedakan mana kawan dan mana lawan (musuh), dan menyikapi
masing-masing kelompok (kawan maupun lawan) sesuai dengan keyakinannya
(Shiratalladhina).
______________________________________________________________________________________
Artikel
Sebelum :
Artikel
Sesudah :
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama