Mengapa Shalat Sebaik-baik Amal ? Bag. 06 Habis ( Penutup Ibadah Shalat )

VIII. Penutup Ibadah Shalat


Dalam mengakhiri setiap shalatnya, seorang hamba akan mengucapkan tiga jenis salam.[24] Tentu saja semua salam tersebut menyertakan nama Allah. Ibadah shalat dalam Islam dimulai dengan nama Allah dan diakhiri juga dengan nama Allah –selain tentunya praktek shalat itu sendiri merupakan doa kepada Allah.

Penyebutan nama Rasulullah saw dan Ahlul Baitnya, tentunya selalu disertai dengan nama Allah dan ungkapan rasa syukur atas segenap limpahan karunia-Nya.

1- Salam yang pertama ditujukan secara khusus kepada Rasulullah saw. Dalam salam ini juga terkandung harapan (doa) agar Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada beliau saw, “Assalamu ‘alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatullahi wa barakatuh (salam sejahtera bagimu wahai nabi Allah dan semoga rahmat serta berkah Allah selalu tercurah kepadamu).”

Pada saat itu, seorang hamba tengah menyampaikan salamnya kepada sosok mulia Nabi Muhammad saw. Beliau saw merupakan nabi suci yang menyebarkan syiar Islam ke seantero dunia dan menegakkan Islam secara praktis bersama-sama para pengikutnya.


Islam adalah sebuah jalan hidup yang menekankan pentingnya harkat dan martabat umat manusia. Ajaran mulia ini membolehkan, bahkan menganjurkan setiap orang untuk menumbuhkan dan mengembangkan dirinya masing-masing semaksimal mungkin.


Nabi suci saw telah menggambarkan, menggariskan serta memperlihatkan secara nyata kepada orang-orang di seluruh dunia bagaimana bentuk masyarakat yang hidup di bawah aturan-aturan Islam.


Sebuah dunia yang didambakan adalah dunia di mana setiap orang hidup damai dan dekat kepada Allah. Tatkala memiliki pemahaman semacam itu, seorang hamba niscaya akan mengetahui kebesaran dan peran penting Nabi saw dalam membangun kesejahteraan umat manusia. Karenanya, ia akan bersegera menyampaikan salam kepada beliau saw. 


2- Salam kedua ditujukan kepada diri hamba itu sendiri serta kepada segenap hamba lainnya yang berdiri dan melangkah di jalan yang sama (jalan Allah), “Assalamu ‘alaina wa ala ‘ibadillahish shalihin (salam dan sejahtera teruntuk kami serta orang-orang yang shaleh).”


Dengan selalu memikirkan tentang kemuliaan dan keutamaan orang-orang yang shaleh, serang hamba akan semakin terpacu untuk mengikuti mereka, atau bahkan menjadi seperti mereka (menjadi orang shaleh, -pent.).

Lihatlah di sekeliling kita! Sungguh kehidupan di dunia dewasa ini sudah sedemikian dikotori oleh pelbagai polusi kemanusiaan seperti kejahatan, kelicikan, kelancangan, kesombongan, kezaliman, kriminalitas dan korupsi. Polusi-polusi semacam itu bisa kita jumpai di mana-mana dan nyaris setiap orang tenggelam di dalamnya. Orang-orang yang berpandangan tajam atau senantiasa bersikap waspada tentunya dapat memperkirakan bahwa dalam tempo tidak lama lagi, kebangkrutan nilai-nilai kemanusiaan bakal terjadi di mana-mana.

Ya, dalam dunia yang begitu bising dan bergemuruh oleh isak tangis (benar-benar atau hanya sekadar berpura-pura), kita nyaris tidak dapat mendengar ratapan dan rintihan orang-orang lemah dan tertindas.


Kegemparan, kegaduhan dan huru-harayang diciptakan oleh para penghasut seperti Muawiyah, Yazid dan al-Mansur telah menenggelamkan kebutuhan akan kehadiran pada pemimpin yang sesungguhnya seperti Imam Ali bin Abi Thalib, Imam Husain dan Imam Ja’far Shadiq.

Ringkasnya dapat kita katakan bahwa di tengah-tengah situasi kelam dan carut marut seperti ini, di mana setan-setan durjana dan para penasehatnya tengah berkuasa, masih mungkinkah seseorang mengharap kejujuran dan keadilan? Sungguh nyaris mustahil untuk menemukan jejak kebaikan dalam batang tubuh masyarakat seperti itu!

Ucapan selamat seyogianya diucapakan kepada mereka yang, sekalipun terjebak dalam situasi serba sulit, mampu dan mau mengulurkan tangannya demi membantu kaum miskin dan tak berdaya.


Dengan hadirnya orang-orang seperti itu di kancah kehidupan masyarakat, orang-orang yang sebelumnya hidup tercekik kini dapat kembali menghirup angin segar. Menyaksikan kenyataan bahwa di sekelilingnya masih terdapat segelintir dermawan nan tulus tersebut, mendorong mereka untuk tidak menyerah kalah.


Mereka berpikir bahwa di sejumlah tempat lain masih ada orang-orang yang bernasib sama dengan mereka. dan pada akhirnya, mereka tidak merasa sendirian dalam berjuang untuk menuntut hak-haknya.


Sebagaimana dicatat baik dalam sejarah, kita dapat melihat bahwasanya di sana sini terdapat seelintir orang yang tidak ikut tercebur dalam kubangan orang banyak, khususnya kubangan mausia-manusia korup dan gemar menyeleweng.


Mereka bangkit seraya menawarkan jalan hidup yang jauh lebih baik bagi masyarakatnya. Hari ini, sesuai dengan janji Allah, kit juga menemukan adanya sejumlah orang alim yang sungguh-sungguh menyembah Allah, memperjuangkan keadilan, dan memesuhi kaum penindas. Siapakah orang-orang shaleh dan berjasa tersebut? Di manakah mereka? bukankah sebuah kebijakan jika kita belajar dan mengikuti langkah mereka?

Tentu saja bila seorang hamba taat kepada mereka, menyampaikan salam kepada mereka dalam shalatnya (termasuk menyalami kita dan segenap orang-orang shaleh), niscaya akan benar-benar menyatu dengan mereka.


Dalam keadaan demikian, dirinya merasa bangga karena menjadi bagian dari barisan mereka. kalau kurang bersungguh-sungguh dalam berjuang bersama mereka, niscaya dirinya akan merasa malu. Namun, alih-alih menjadikannya mundur, semua itu malah akan memperbarui dan semakin memacu semangat serta tekadnya untuk terus mengikuti kebenaran yang dijunjungnya.


Bagaimana ciri-ciri orang shaleh tersebut? Apa yang dimaksud dengan keshalehan? Keshalehan bukanlah semata-mata diukur berdasarkan benyaknya doa yang dipanjatkan. Melainkan dinilai berdasarkan prestasi seseorang dalam menunaikan berbagai kewajiban agamanya serta bagaimana kesungguhannya dalam menghamba kepada Allah. Kalau memang demikian adanya, panaskah seseorang disebut shaleh? Orang semacam itu tak ubahnya seorang murid yang cakap dan berprestasi tinggi di kelasnya. Berbeda dengan (murid-murid) lain, ia tentu layak dianugerahi penghargaan yang tinggi.


3- Dan akhirnya, salam ketiga ditujukan seorang hamba kepada segenap insan yang hidup dalam kebaikan, para malaikat[25], dan setiap orang yang shalat bersama dirinya, “Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh (salam sejahtera kepada kalian semua dan semoga rahmat Allah senantiasa tercurah kepada kalian).”


Selain untuk menyampaikan salam kepada setiap orang serta memanjatkan harapan agar Allah mengasihi dan merahmati mereka, pernyataan terakhir ini dimaksudkan pula untuk mengingatkan seorang hamba terhadap sifat-sifat luhur para malaikat.




[1] Jalaluddin Rumi, Matsnawi, (terj.) Reynold A. Nicholson, jilid V; hal. 2049-2050.
[2] Catatan penerjemah (Parsi ke Inggris):
“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (an-Nisa’: 103)
[3] قال رسول الله ( صلى الله عليه وآله ) : الصلاة معراج المؤمن
[4] Dari Fadhl bin Syadhan, Imam Ali ar-Ridha as berkata, “Sesungguhnya diperintahkan kepada manusia untuk membaca surat (dari al-Quran) dalam shalat agar al-Quran tiak sampai ditinggalkan atau dilupakan. Dan (membaca al-Quran) merupakan sebuah pelajaran. Oleh karena itu, janganlah kalian meninggalkan dan melupakannya.”
[5] “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar.” (al-Ankabuut: 45)
[6] Surat al-Fatihah merupakan surat pembuka dari al-Quran.
[7] “…rahmat-Ku meliputi segala sesuatu.” (al-A’raf: 156) Dalam doa ma’tsur (diriwayatkan dari imam), dikatakan, “Rahmat Allah melebihi kemurkaan-Nya.”
[8] Berdasarkan al-Quran surat al-A’raf (ayat 59 – 158) dan surat Huud (ayat 50 – 84), kita melihat bagaimana sejumlah nabi di masa lalu selalu menggunakan perkataan ini di awal dakwahnya.
[9] Hadis dari Nabi saw dan para imam as.
[10] Orang-orang yang membuktikan keimanannya dan hidup di jalan Allah dan nabi-Nya.
[11] Dalam al-Quran, terdapat beberapa sebutan khusus bagi kelompok ini pada situasi yang berlainan. Lihat surat at-Taubah (ayat 91 – 102), Shaad (58 – 61), Ibrahim (21 -22) dan al-Mukminun (47 – 48).
[12] Dianjurkan untuk membaca frase terakhir dari surat al-Fatihah secara berulang-ulang.
[13] Lihat catatan kaki no. 3.
[14] Istilah huwa (dia), selain menunjukkan rasa hormat, juga untuk menyatakan bahwa Allah itu Mahatunggal.
[15] Ushul Kafi dan Nur ats-Tsaqalain, vol. 5, hal. 706.
[16] Bagian dari rukun shalat.
[17] Pembacaan dilakukan sembari berdiri pada rakaat pertama, kedua, ketiga dan keempat; pada rakaat pertama dan kedua diharuskan membaca surat al-Fatihah dan surat lainnya. Sementara pada rakaat ketiga dan keempat dibolehkan membaca keempat tasbih atau surat al-Fatihah.
[18] Sebagai gantinya, seseorang dibolehkan membaca subhanallah sebanyak tiga kali.
[19] Juga sebagai gantinya, seseorang dibolehkan membaca subhanallah sebanyak tiga kali.
[20] Dalam Safinah al-Bihar, vol. 1.
[21] Merujuk pada beberapa ayat al-Quran; “Pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya…?” (al-Jaatsiyah: 23); “Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah… padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Mahaesa.” (at-Taubah: 31); “Dan berkata Fir’aun, ‘hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku…” (al-Qashash: 38). Juga dalam hadis seperti, “Perut-perut mereka adalah tuhan-tuhan mereka.”
[22] Berdasarkan ayat-ayat al-Quran seperti, “Barangsiapa yang menaati Rasul itu sesungguhnya telah menaati Allah.” (an-Nisa’: 80); “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (atau ruku’ kepada Allah).” (al-Maidah: 55). Atau dalam hadis seperti, “Lihatlah mereka yang ada di antaramu yang meriwayatkan hadis dari kami…” Dan hadis lain, “Kaum ulama yang paling dipercaya Allah ketimbang makhluk-Nya yang lain.”
Semua tekstersebut kiranya memperlihatkan kenyataan ini.
[23] Catatan penerjemah (Parsi ke Inggris):
I.         Allah adalah sumber satu-satunya yang dapat memenuhi segenap kebutuhan kita. Martabat seseorang akan diperbaiki dan disempurnakan bila dirinya bersikap pasrah dan tunduk kepada-Nya.
II.       Adakah jalan terbaik yang terhubung dengan sumber tersebut demi menumbuhkan inspirasi dan kekuatan dalam hati? Buat apa seseorang memuja dan menyembah orang lain atau berhala bila dirinya memahami bahwa Allah merupakan sumber kearifan dan kasih sayang yang sungguh tak terbatas? Benarkah pembinaan hubungan dengan Allah akan memutuskan kebergantungan seseorang dari selainnya?
III.     Jelas, dengan semua itu, para penghisap akan kehilangan abdinya yang selama ini menguntungkan dirinya. Menggantungkan nasib seseorang kepada orang lain atau sesuatu merupakan sumber bagi terjadinya problema sosial. Ketergantungan mencerminkan kelemahan, ketakberdayaan dan kehinaan. Semakin gigih mereka mengejar pemenuhan kebutuhannya, semakin banyak keputusasaan yang mereka alami.
IV.     Ini disebabkan manusia tidak dapat memenuhi segenap kebutuhan manusia lain. Lebih dari itu, banyak di antaranya yang suka mementingkan dirinya sendiri dan bersikap arogan sehingga acapkali merampas hak-hak selainnya. Saya pikir, contoh-contoh dari peristiwa yang memilukan sekaligus memalukan itu tak perlu dikemukakan di sini. Sebab, setiap orang pasti mengetahuinya –kalau bukan malah mengalaminya secara langsung.
[24] Hanya salam ketiga yang wajib diucapkan, sementara pengucapan dua salam yang pertama hanya bersifat anjuran (dalam arti, keduanya boleh tidak diucapkan).
[25] Hal ini merupakan salam ta’dhim atau sikap menghormat kepada makhluk mulia yang lebih tinggi kedudukannya.
Share on Google Plus

About Admin

Khazanahislamku.blogspot.com adalah situs yang menyebarkan pengetahuan dengan pemahaman yang benar berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan pemahaman generasi terbaik dari para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam beserta pengikutnya.
    Blogger Comment

0 komentar:

Post a Comment


Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com

Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama