VIII. Penutup Ibadah Shalat
Dalam mengakhiri setiap shalatnya, seorang hamba akan mengucapkan tiga jenis salam.[24]
Tentu saja semua salam tersebut menyertakan nama Allah. Ibadah shalat
dalam Islam dimulai dengan nama Allah dan diakhiri juga dengan nama
Allah –selain tentunya praktek shalat itu sendiri merupakan doa kepada
Allah.
Penyebutan nama Rasulullah
saw dan Ahlul Baitnya, tentunya selalu disertai dengan nama Allah dan
ungkapan rasa syukur atas segenap limpahan karunia-Nya.
1- Salam yang pertama
ditujukan secara khusus kepada Rasulullah saw. Dalam salam ini juga
terkandung harapan (doa) agar Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada beliau
saw, “Assalamu ‘alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatullahi wa barakatuh
(salam sejahtera bagimu wahai nabi Allah dan semoga rahmat serta berkah
Allah selalu tercurah kepadamu).”
Pada saat itu, seorang
hamba tengah menyampaikan salamnya kepada sosok mulia Nabi Muhammad saw.
Beliau saw merupakan nabi suci yang menyebarkan syiar Islam ke seantero
dunia dan menegakkan Islam secara praktis bersama-sama para pengikutnya.
Islam adalah sebuah jalan
hidup yang menekankan pentingnya harkat dan martabat umat manusia.
Ajaran mulia ini membolehkan, bahkan menganjurkan setiap orang untuk
menumbuhkan dan mengembangkan dirinya masing-masing semaksimal mungkin.
Nabi suci saw telah
menggambarkan, menggariskan serta memperlihatkan secara nyata kepada
orang-orang di seluruh dunia bagaimana bentuk masyarakat yang hidup di
bawah aturan-aturan Islam.
Sebuah dunia yang
didambakan adalah dunia di mana setiap orang hidup damai dan dekat
kepada Allah. Tatkala memiliki pemahaman semacam itu, seorang hamba
niscaya akan mengetahui kebesaran dan peran penting Nabi saw dalam
membangun kesejahteraan umat manusia. Karenanya, ia akan bersegera
menyampaikan salam kepada beliau saw.
2- Salam kedua ditujukan
kepada diri hamba itu sendiri serta kepada segenap hamba lainnya yang
berdiri dan melangkah di jalan yang sama (jalan Allah), “Assalamu
‘alaina wa ala ‘ibadillahish shalihin (salam dan sejahtera teruntuk kami
serta orang-orang yang shaleh).”
Dengan selalu memikirkan
tentang kemuliaan dan keutamaan orang-orang yang shaleh, serang hamba
akan semakin terpacu untuk mengikuti mereka, atau bahkan menjadi seperti
mereka (menjadi orang shaleh, -pent.).
Lihatlah di sekeliling
kita! Sungguh kehidupan di dunia dewasa ini sudah sedemikian dikotori
oleh pelbagai polusi kemanusiaan seperti kejahatan, kelicikan,
kelancangan, kesombongan, kezaliman, kriminalitas dan korupsi.
Polusi-polusi semacam itu bisa kita jumpai di mana-mana dan nyaris
setiap orang tenggelam di dalamnya. Orang-orang yang berpandangan tajam
atau senantiasa bersikap waspada tentunya dapat memperkirakan bahwa
dalam tempo tidak lama lagi, kebangkrutan nilai-nilai kemanusiaan bakal
terjadi di mana-mana.
Ya, dalam dunia yang
begitu bising dan bergemuruh oleh isak tangis (benar-benar atau hanya
sekadar berpura-pura), kita nyaris tidak dapat mendengar ratapan dan
rintihan orang-orang lemah dan tertindas.
Kegemparan, kegaduhan dan
huru-harayang diciptakan oleh para penghasut seperti Muawiyah, Yazid dan
al-Mansur telah menenggelamkan kebutuhan akan kehadiran pada pemimpin
yang sesungguhnya seperti Imam Ali bin Abi Thalib, Imam Husain dan Imam
Ja’far Shadiq.
Ringkasnya dapat kita
katakan bahwa di tengah-tengah situasi kelam dan carut marut seperti
ini, di mana setan-setan durjana dan para penasehatnya tengah berkuasa,
masih mungkinkah seseorang mengharap kejujuran dan keadilan? Sungguh
nyaris mustahil untuk menemukan jejak kebaikan dalam batang tubuh
masyarakat seperti itu!
Ucapan selamat seyogianya
diucapakan kepada mereka yang, sekalipun terjebak dalam situasi serba
sulit, mampu dan mau mengulurkan tangannya demi membantu kaum miskin dan
tak berdaya.
Dengan hadirnya
orang-orang seperti itu di kancah kehidupan masyarakat, orang-orang yang
sebelumnya hidup tercekik kini dapat kembali menghirup angin segar.
Menyaksikan kenyataan bahwa di sekelilingnya masih terdapat segelintir
dermawan nan tulus tersebut, mendorong mereka untuk tidak menyerah
kalah.
Mereka berpikir bahwa di
sejumlah tempat lain masih ada orang-orang yang bernasib sama dengan
mereka. dan pada akhirnya, mereka tidak merasa sendirian dalam berjuang
untuk menuntut hak-haknya.
Sebagaimana dicatat baik dalam sejarah, kita dapat melihat bahwasanya di sana
sini terdapat seelintir orang yang tidak ikut tercebur dalam kubangan
orang banyak, khususnya kubangan mausia-manusia korup dan gemar
menyeleweng.
Mereka bangkit seraya menawarkan jalan hidup yang jauh
lebih baik bagi masyarakatnya. Hari ini, sesuai dengan janji Allah, kit
juga menemukan adanya sejumlah orang alim yang sungguh-sungguh menyembah
Allah, memperjuangkan keadilan, dan memesuhi kaum penindas. Siapakah
orang-orang shaleh dan berjasa tersebut? Di manakah mereka? bukankah
sebuah kebijakan jika kita belajar dan mengikuti langkah mereka?
Tentu saja bila seorang hamba taat kepada mereka,
menyampaikan salam kepada mereka dalam shalatnya (termasuk menyalami
kita dan segenap orang-orang shaleh), niscaya akan benar-benar menyatu
dengan mereka.
Dalam keadaan demikian, dirinya merasa bangga karena
menjadi bagian dari barisan mereka. kalau kurang bersungguh-sungguh
dalam berjuang bersama mereka, niscaya dirinya akan merasa malu. Namun,
alih-alih menjadikannya mundur, semua itu malah akan memperbarui dan
semakin memacu semangat serta tekadnya untuk terus mengikuti kebenaran
yang dijunjungnya.
Bagaimana ciri-ciri orang shaleh tersebut? Apa yang
dimaksud dengan keshalehan? Keshalehan bukanlah semata-mata diukur
berdasarkan benyaknya doa yang dipanjatkan. Melainkan dinilai
berdasarkan prestasi seseorang dalam menunaikan berbagai kewajiban
agamanya serta bagaimana kesungguhannya dalam menghamba kepada Allah.
Kalau memang demikian adanya, panaskah seseorang disebut shaleh? Orang
semacam itu tak ubahnya seorang murid yang cakap dan berprestasi tinggi
di kelasnya. Berbeda dengan (murid-murid) lain, ia tentu layak
dianugerahi penghargaan yang tinggi.
3- Dan akhirnya, salam ketiga ditujukan seorang hamba kepada segenap insan yang hidup dalam kebaikan, para malaikat[25],
dan setiap orang yang shalat bersama dirinya, “Assalamu ‘alaikum wa
rahmatullahi wa barakatuh (salam sejahtera kepada kalian semua dan
semoga rahmat Allah senantiasa tercurah kepada kalian).”
Selain untuk menyampaikan salam kepada setiap orang serta
memanjatkan harapan agar Allah mengasihi dan merahmati mereka,
pernyataan terakhir ini dimaksudkan pula untuk mengingatkan seorang
hamba terhadap sifat-sifat luhur para malaikat.
[1] Jalaluddin Rumi, Matsnawi, (terj.) Reynold A. Nicholson, jilid V; hal. 2049-2050.
[2] Catatan penerjemah (Parsi ke Inggris):
“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (an-Nisa’: 103)
[3] قال رسول الله ( صلى الله عليه وآله ) : الصلاة معراج المؤمن
[4]
Dari Fadhl bin Syadhan, Imam Ali ar-Ridha as berkata, “Sesungguhnya
diperintahkan kepada manusia untuk membaca surat (dari al-Quran) dalam
shalat agar al-Quran tiak sampai ditinggalkan atau dilupakan. Dan
(membaca al-Quran) merupakan sebuah pelajaran. Oleh karena itu,
janganlah kalian meninggalkan dan melupakannya.”
[5] “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar.” (al-Ankabuut: 45)
[6] Surat al-Fatihah merupakan surat pembuka dari al-Quran.
[7]
“…rahmat-Ku meliputi segala sesuatu.” (al-A’raf: 156) Dalam doa ma’tsur
(diriwayatkan dari imam), dikatakan, “Rahmat Allah melebihi
kemurkaan-Nya.”
[8]
Berdasarkan al-Quran surat al-A’raf (ayat 59 – 158) dan surat Huud
(ayat 50 – 84), kita melihat bagaimana sejumlah nabi di masa lalu selalu
menggunakan perkataan ini di awal dakwahnya.
[9] Hadis dari Nabi saw dan para imam as.
[10] Orang-orang yang membuktikan keimanannya dan hidup di jalan Allah dan nabi-Nya.
[11]
Dalam al-Quran, terdapat beberapa sebutan khusus bagi kelompok ini pada
situasi yang berlainan. Lihat surat at-Taubah (ayat 91 – 102), Shaad
(58 – 61), Ibrahim (21 -22) dan al-Mukminun (47 – 48).
[12] Dianjurkan untuk membaca frase terakhir dari surat al-Fatihah secara berulang-ulang.
[13] Lihat catatan kaki no. 3.
[14] Istilah huwa (dia), selain menunjukkan rasa hormat, juga untuk menyatakan bahwa Allah itu Mahatunggal.
[15] Ushul Kafi dan Nur ats-Tsaqalain, vol. 5, hal. 706.
[16] Bagian dari rukun shalat.
[17]
Pembacaan dilakukan sembari berdiri pada rakaat pertama, kedua, ketiga
dan keempat; pada rakaat pertama dan kedua diharuskan membaca surat
al-Fatihah dan surat lainnya. Sementara pada rakaat ketiga dan keempat
dibolehkan membaca keempat tasbih atau surat al-Fatihah.
[18] Sebagai gantinya, seseorang dibolehkan membaca subhanallah sebanyak tiga kali.
[19] Juga sebagai gantinya, seseorang dibolehkan membaca subhanallah sebanyak tiga kali.
[20] Dalam Safinah al-Bihar, vol. 1.
[21]
Merujuk pada beberapa ayat al-Quran; “Pernahkah kamu melihat orang yang
menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya…?” (al-Jaatsiyah: 23);
“Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan
selain Allah… padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang
Mahaesa.” (at-Taubah: 31); “Dan berkata Fir’aun, ‘hai pembesar kaumku,
aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku…” (al-Qashash: 38). Juga
dalam hadis seperti, “Perut-perut mereka adalah tuhan-tuhan mereka.”
[22]
Berdasarkan ayat-ayat al-Quran seperti, “Barangsiapa yang menaati Rasul
itu sesungguhnya telah menaati Allah.” (an-Nisa’: 80); “Sesungguhnya
penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman,
yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (atau
ruku’ kepada Allah).” (al-Maidah: 55). Atau dalam hadis seperti,
“Lihatlah mereka yang ada di antaramu yang meriwayatkan hadis dari
kami…” Dan hadis lain, “Kaum ulama yang paling dipercaya Allah ketimbang
makhluk-Nya yang lain.”
Semua tekstersebut kiranya memperlihatkan kenyataan ini.
[23] Catatan penerjemah (Parsi ke Inggris):
I.
Allah adalah sumber satu-satunya yang dapat memenuhi segenap kebutuhan
kita. Martabat seseorang akan diperbaiki dan disempurnakan bila dirinya
bersikap pasrah dan tunduk kepada-Nya.
II.
Adakah jalan terbaik yang terhubung dengan sumber tersebut demi
menumbuhkan inspirasi dan kekuatan dalam hati? Buat apa seseorang memuja
dan menyembah orang lain atau berhala bila dirinya memahami bahwa Allah
merupakan sumber kearifan dan kasih sayang yang sungguh tak terbatas?
Benarkah pembinaan hubungan dengan Allah akan memutuskan kebergantungan
seseorang dari selainnya?
III.
Jelas, dengan semua itu, para penghisap akan kehilangan abdinya yang
selama ini menguntungkan dirinya. Menggantungkan nasib seseorang kepada
orang lain atau sesuatu merupakan sumber bagi terjadinya problema
sosial. Ketergantungan mencerminkan kelemahan, ketakberdayaan dan
kehinaan. Semakin gigih mereka mengejar pemenuhan kebutuhannya, semakin
banyak keputusasaan yang mereka alami.
IV.
Ini disebabkan manusia tidak dapat memenuhi segenap kebutuhan manusia
lain. Lebih dari itu, banyak di antaranya yang suka mementingkan dirinya
sendiri dan bersikap arogan sehingga acapkali merampas hak-hak
selainnya. Saya pikir, contoh-contoh dari peristiwa yang memilukan
sekaligus memalukan itu tak perlu dikemukakan di sini. Sebab, setiap
orang pasti mengetahuinya –kalau bukan malah mengalaminya secara
langsung.
[24]
Hanya salam ketiga yang wajib diucapkan, sementara pengucapan dua salam
yang pertama hanya bersifat anjuran (dalam arti, keduanya boleh tidak
diucapkan).
[25] Hal ini merupakan salam ta’dhim atau sikap menghormat kepada makhluk mulia yang lebih tinggi kedudukannya.
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama