Termasuk sebab utama yang memicu penyimpangan akhlak pada anak,
bahkan pada semua manusia secara umum, adalah godaan setan yang telah
bersumpah di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menyesatkan manusia dari jalan-Nya yang lurus. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي
لأقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ. ثُمَّ لآتِيَنَّهُمْ مِنْ
بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ
شَمَائِلِهِمْ وَلا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ
“Iblis (setan) berkata, ‘Karena Engkau telah menghukumi saya
tersesat, sungguh saya akan menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus,
kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang
mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati
kebanyakan mereka bersyukur (taat kepada-Mu).’” (QS. Al-A’raf: 16-17).
Dalam upayanya untuk menyesatkan manusia dari jalan yang benar, setan
berusaha menanamkan benih-benih kesesatan pada diri manusia sejak
pertama kali mereka dilahirkan ke dunia ini, untuk memudahkan usahanya
selanjutnya setelah manusia itu dewasa.
Dalam sebuah hadits qudsi, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya, “Sesungguhnya
Aku menciptakan hamba-hamba-Ku semuanya dalam keadaan hanif (suci dan
cenderung kepada kebenaran), kemudian setan mendatangi mereka dan
memalingkan mereka dari agama mereka (Islam).”[1]
Dalam hadits shahih lainnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tangisan seorang bayi ketika (baru) dilahirkan adalah tusukan (godaan untuk menyesatkan) yang berasal dari setan.“[2]
Perhatikanlah hadits yang agung ini! Betapa setan berupaya keras
untuk menyesatkan manusia sejak mereka dilahirkan ke dunia. Padahal,
bayi yang baru lahir tentu belum mengenal nafsu, indahnya dunia, dan
godaan-godaan duniawi lainnya, maka bagaimana keadaannya kalau dia telah
dewasa dan mengenal semua godaan tersebut?[3]
Di samping sebab utama di atas, ada faktor-faktor lain yang memicu
dan mempengaruhi penyimpangan akhlak pada anak, berdasarkan keterangan
dari ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Di antara faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, pengaruh didikan buruk kedua orangtua
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semua bayi (manusia) dilahirkan di atas fithrah
(kecenderungan menerima kebenaran Islam dan tauhid), maka kedua orang
tuanyalah yang menjadikannya (beragama) Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”[4]
Hadits ini menunjukkan bahwa semua manusia yang dilahirkan di dunia
memiliki hati yang cenderung kepada Islam dan tauhid, sehingga kalau
dibiarkan dan tidak dipengaruhi maka nantinya dia akan menerima
kebenaran Islam. Akan tetapi, kedua orang tuanyalah yang memberikan
pengaruh buruk, bahkan menanamkan kekafiran dan kesyirikan kepadanya.[5]
Syekh Bakr Abu Zaid berkata, “Hadits yang agung ini menjelaskan
sejauh mana pengaruh dari kedua orangtua terhadap (pendidikan) anaknya,
dan (pengaruh mereka dalam) mengubah anak tersebut dalam penyimpangan
dari konseuensi (kesucian) fitrahnya kepada kekafiran dan kefasikan….
(Di antara contoh pengaruh buruk tersebut adalah) jika seorang ibu tidak memakai hijab
(pakaian yang menutup aurat), tidak menjaga kehormatan dirinya, sering
keluar rumah (tanpa ada alasan yang dibenarkan agama), suka berdandan
dengan menampakkan (kecantikannya di luar rumah), senang bergaul dengan
kaum lelaki yang bukan mahram-nya, dan lain
sebagainya, maka ini (secara tidak langsung) merupakan pendidikan (yang
berupa) praktik (nyata) bagi anaknya, untuk (mengarahkannya kepada)
penyimpangan (akhlak) dan memalingkannya dari pendidikan baik yang
membuahkan hasil yang terpuji, berupa (kesadaran untuk) memakai hijab
(pakaian yang menutup aurat), menjaga kehormatan dan kesucian diri,
serta (memiliki) rasa malu. Inilah yang dinamakan ‘pengajaran pada fitrah (manusia)’.”[6]
Kedua, pengaruh lingkungan dan teman bergaul yang buruk
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, “Perumpamaan
teman duduk (bergaul) yang baik dan teman duduk (bergaul) yang buruk
(adalah) seperti pembawa (penjual) minyak wangi dan peniup al-kiir
(tempat menempa besi). Maka, penjual minyak wangi bisa jadi memberimu
minyak wangi atau kamu membeli (minyak wangi) darinya, atau (minimal)
kamu akan mencium aroma yang harum darinya. Sedangkan peniup al-kiir
(tempat menempa besi), bisa jadi (apinya) akan membakar pakaianmu atau
(minimal) kamu akan mencium aroma yang tidak sedap darinya.”[7]
Hadits yang mulia ini menunjukkan keutamaan duduk dan bergaul dengan
orang-orang yang baik akhlak dan tingkah lakunya, karena adanya pengaruh
baik yang ditimbulkan dengan selalu menyertai mereka. Hadits tersebut
sekaligus menunjukkan larangan bergaul dengan orang-orang yang buruk
akhlaknya dan pelaku maksiat karena pengaruh buruk yang ditimbulkan
dengan selalu menyertai mereka.[8]
Ketiga, sumber bacaan dan tontonan
Pada umumnya, anak-anak mempunyai jiwa yang masih polos, sehingga
sangat mudah terpengaruh dan mengikuti apa pun yang dilihat dan
didengarnya dari sumber bacaan atau berbagai tontonan.
Apalagi, memang kebiasan meniru dan mengikuti orang lain merupakan
salah satu watak bawaan manusia sejak lahir, sebagaimana sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الأرواح جنود مجندة، فما تعارف منها ائتلف وما تناكر اختلف
“Ruh-ruh manusia adalah kelompok yang selalu bersama. Maka, yang
saling bersesuaian di antara mereka akan saling berdekatan, dan yang
tidak bersesuaian akan saling berselisih.”[9]
Oleh karena itulah, metode pendidikan dengan menampilkan contoh figur
untuk diteladani adalah termasuk salah satu metode pendidikan yang
sangat efektif dan bermanfaat.
Syekh Abdurrahman as-Sa’di berkata ketika menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وَكُلا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ
أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ وَجَاءَكَ فِي هَذِهِ
الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ
“Dan semua kisah para rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah
kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu, dan dalam surat ini
telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi
orang-orang yang beriman.” (QS. Hud: 120).
Beliau berkata, “Yaitu, supaya hatimu tenang dan teguh (dalam keimanan), dan (supaya kamu) bersabar seperti sabarnya para rasul ‘alaihimus sallam,
karena jiwa manusia (cenderung) senang meniru dan mengikuti (orang
lain), dan (ini menjadikannya lebih) bersemangat dalam beramal shalih,
serta berlomba dalam mengerjakan kebaikan….”[10]
Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, M.A
[1] Hadits shahih riwayat Muslim, no. 2865.
[2] Hadits shahih riwayat Muslim, no. 2367.
[3] Lihat kitab Ahkamul Maulud fis Sunnatil Muthahharah, hlm. 23.
[4] Hadits shahih riwayat Al-Bukhari no. 1319, dan Muslim no. 2658.
[5] Lihat kitab ‘Aunul Ma’bud: 12/319–320.
[6] Kitab Hirasatul Fadhilah, hlm. 130–131.
[7] Hadits shahih riwayat Al-Bukhari no. 5214, dan Muslim no. 2628.
[8] Lihat kitab Syarhu Shahihi Muslim: 16/178 dan Faidhul Qadir: 3/4.
[9] Hadits shahih riwayat Al-Bukhari no. 3158, dan Muslim no. 2638.
[10] Kitab Taisirul Karimir Rahman, hlm. 392.
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama