Selalu menggelitik memang untuk memahami
apa yang akan terjadi esok, lusa, minggu depan, tahun depan, atau
seratus tahun ke depan !. Apakah takdir bisa berubah?, apa yang
menyebabkan perubahan takdir, dimana Allah berposisi dan melakukan
reposisi terhadap takdir?. Dan banyak lagi pertanyaan di wilayah ini.
Tidak heran pembuat buku Salat Smart
yang bukunya sudah beredar di negeri Jiran mengulas dan mempertanyakan :
Perlukah Memilih Takdir. Satu pertanyaan yang saya jadi ragu
mengelaborasinya, karena memang ada beberapa pandangan dalam cara kita
melihat takdir.
Saya lebih melihat bahwa takdir itu
adalah ketentuan Allah. Dan ketentuan itu tidak akan mengalami perubahan
ataupun kalaupun berubah, maka manusia “ditakdirkan” untuk tidak mampu
mengamati perubahan dari takdir itu sendiri.
Allah berfirman :
QS 48. Al Fath 23. Sebagai suatu
sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu, kamu sekali-kali tiada akan
menemukan perubahan bagi sunnatullah itu.
Firman ini menegaskan bahwa kita tidak
akan dapat menemukan perubahan (melalui pengamatan) bahwa takdir
mengalami perubahan. Jadi apa saja yang kita akan jalani dalam
kehidupan, termasuk mimpi-mimpi sekalipun berada dalam arena yang telah
ditetapkan. Kemanapun kita melakukan pilihan melangkah, termasuk
menghindari terantuk dari batu, atau memilih makanan pedas atau asin,
semua adalah pilihan dari takdir.
Jadi kemanapun kita berjalan, kita
akan memenuhi takdir kita !.
Jadi, bisakah manusia mengubah takdir?.
Pertanyaan yang aneh ?
Disini kita menangkap dua pengertian terhadap takdir dalam masyarakat :
Pertama : Takdir sebagai suatu
ketentuan yang tidak mengalami perubahan dan telah berlaku sejak dahulu,
seperti disampaikan ayat di atas. Dalam pemahaman ini, tentunya bekerja
aksi-reaksi, hukum-hukum alam atau hukum fisika yang diberlakukan sejak
penciptaan pertama terhadap hukum-hukum alam semesta.
Kedua : Takdir sebagai prosesi
kejadian - Yang terjadi pada manusia. Ketika manusia berada pada
posisi beruntung, entah mendapat jodoh atau diterima untuk bekerja, maka
yang bersangkutan mencapai suatu posisi dari pilihan takdirnya.
Kembali ke pertanyaan awal : Dapatkah manusia mengubah takdir?.
Pertanyaan ini sulit juga ya dijawabnya.
Kok ditanya lagi !, bukankah kita "tidak akan" mampu melihat perubahan
takdir. Tapi, jelas pula bahwa Allah juga tidak menyebutkan bahwa
takdir itu tidak akan berubah, takdir bisa berubah, namun manusia tidak
mampu menemukan perubahannya. Kalau begitu, bagaimana manusia tahu
bahwa telah terjadi perubahan takdir !.
Bisakah mengubah takdir? Banyak orang malas yang menjadikan takdir sebagai dalih atas kemalasannya. Padahal, takdir itu bisa diubah. 'Memang, tidak semua takdir bisa diubah'.
Misalnya, jika kita ditakdirkan sebagai seorang laki-laki, tidak bisa
diubah menjadi seorang perempuan ( walaupun ada yang merubah dari
laki-laki jadi perempuan ini bukan merubah takdir tapi mendustai
takdir).
Lalu bagaimana cara kita mengubah takdir?
Cara yang benar dan tepat, tentu saja
harus bersumber dari Pembuat takdir yang tiada lain Allah SWT melalui Al
Quran dan Hadits Nabi saw.
Bagi Anda yang belum tahu, bahwa takdir bisa diubah, silahkan simak hadist berikut:
Hadits dari Imam Turmudzi dan Hakim, diriwayatkan dari Abdullah bin Umar, bahwa Nabi SAW Bersabda :
“Barangsiapa hatinya terbuka untuk
berdo’a, maka pintu-pintu rahmat akan dibukakan untuknya. Tidak ada
permohonan yang lebih disenangi oleh Allah daripada permohonan orang
yang meminta keselamatan. Sesungguhnya do’a bermanfa’at bagi sesuatu
yang sedang terjadi dan yang belum terjadi. Dan tidak ada yang bisa
menolak taqdir kecuali do’a, maka berpeganglah wahai hamba Allah pada
do’a”. (HR Turmudzi dan Hakim)
Cara Mengubah Takdir
Yang pertama Yaitu dengan berdo’a. Dalilnya ialah hadits diatas.
Yang kedua Yaitu Bersedekah. Rasulullah SAW pernah bersabda : “Silaturrahmi dapat memperpanjang umur dan sedekah dapat merubah taqdir yang mubram” (HR. Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, Imam Ahmad).
Yang ketiga yaitu Bertasbih. Ada hadits yang diriwayatkan dari Sa’ad Ibnu Abi Waqosh, Rasulullah bersabda :
“Maukah kalian Aku beritahu sesuatu do’a, yang jika kalian
memanfa’atkan itu ketika ditimpa kesedihan atau bencana, maka Allah akan
menghilangkan kesedihan itu? Para sahabat menjawab : “Ya, wahai
Rasululullah, Rasul bersabda “Yaitu do’a “Dzun-Nun : “LA ILAHA ILLA ANTA SUBHANAKA INNI KUNTU MINADH-DHOLIMIN” (Tidak ada Tuhan selain Engkau, maha suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk diantara orang-orang yang dholim”). (H.R. Imam Ahmad, At-Turmudzi dan Al-Hakim).
Yang keempat yaitu Bershalawat
ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ubay Ibnu Ka’ab, bahwa ada
seorang laki-laki telah mendedikasikan semua pahala sholawatnya untuk
Rasulullah SAW, maka Rasul berkata kepada orang tersebut : “Jika begitu lenyaplah kesedihanmu, dan dosamu akan diampuni” (H.R Imam Ahmad At-Tabroni)
“Tidak ada yang mengubah takdir kecuali do’a”
Dalam sebuah hadits Nabi shollallahu
’alaih wa sallam menjelaskan bahwa taqdir yang Allah ta’aala telah
tentukan bisa berubah. Dan faktor yang dapat mengubah takdir ialah doa
seseorang.
Bersabda Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam:
“Tidak ada yang dapat menolak
taqdir (ketentuan) Allah ta’aala selain do’a. Dan Tidak ada yang dapat
menambah (memperpanjang) umur seseorang selain (perbuatan) baik.” (HR Tirmidzi 2065)
Subhanallah…! Betapa luar biasa
kedudukan do’a dalam ajaran Islam. Dengan do’a seseorang bisa berharap
bahwa taqdir yang Allah ta’aala tentukan atas dirinya berubah. Hal ini
merupakan sebuah berita gembira bagi siapapun yang selama ini merasa
hidupnya hanya diwarnai penderitaan dari waktu ke waktu. Ia akan menjadi
orang yang optimis. Sebab keadaan hidupnya yang selama ini dirasakan
hanya berisi kesengsaraan dapat berakhir dan berubah. Asal ia tidak
berputus asa dari rahmat Allah ta’aala dan ia mau bersungguh-sungguh
meminta dengan do’a yang tulus kepada Allah ta’aala Yang Maha Berkuasa.
“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku
yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu
berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah ta’aala mengampuni
dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah
kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat
ditolong (lagi).”
(QS Az-Zumar 53-54)
Demikianlah, hanya orang yang tetap
berharap kepada Allah ta’aala saja yang dapat bertahan menjalani
kehidupan di dunia betapapun pahitnya taqdir yang ia jalani. Ia akan
senantiasa menanamkan dalam dirinya bahwa jika ia memohon kepada Allah
ta’aala dalam keadaan apapun, maka derita dan kesulitan yang ia hadapi
sangat mungkin berakhir dan bahkan berubah.
Sebaliknya, orang yang tidak pernah
kenal Allah ta’aala dengan sendirinya akan meninggalkan kebiasaan
berdo’a dan memohon kepada Allah ta’aala. Ia akan terjatuh pada salah
satu dari dua bentuk ekstrimitas. Pertama, ia akan mudah berputus asa.
Atau kedua, ia akan lari kepada fihak lain untuk menjadi sandarannya
demi merubah keadaan. Padahal begitu ia bersandar kepada sesuatu selain
Allah ta’aala –termasuk bersandar kepada dirinya sendiri- maka pada saat
itu pulalah Allah ta’aala akan mengabaikan orang itu dan membiarkannya
berjalan mengikuti situasi dan kondisi yang tersedia. Sedangkan orang
tersebut dinilai sebagai seorang yang mempersekutukan Allah ta’aala
dengan yang lain. Berarti orang tersebut telah jatuh ke dalam kategori
seorang musyrik…!
“Dan Tuhanmu berfirman, “Berdo`alah
kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang
yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam
dalam keadaan hina dina.”
(QS Al-Mu’min 60)
Dan yang tidak kalah pentingnya bahwa
seorang muslim tidak boleh pernah berhenti meminta kepadaNya, karena
sikap demikian merupakan suatu kesombongan yang akan menjebloskannya ke
dalam siksa Allah ta’aala yang pedih. Maka Rasulullah shollallahu ’alaih
wa sallam bersabda:
“Barangsiapa tidak berdo’a kepada Allah ta’aala, maka Allah ta’aala murka kepadaNya.” (HR Ahmad 9342)
Saudaraku, janganlah berputus asa dari
rahmat Allah ta’aala. Bila Anda merasa taqdir yang Allah ta’aala
tentukan bagi hidup Anda tidak memuaskan, maka tengadahkanlah kedua
tangan dan berdo’alah kepada Allah ta’aala. Allah ta’aala Maha Mendengar
dan Maha Berkuasa untuk mengubah taqdir Anda. Barangkali di antara do’a
yang baik untuk diajukan sebagai bentuk harapan agar Allah ta’aala
mengubah taqdir ialah sebagai berikut:
“Ya Allah, perbaikilah agamaku
untukku yang mana ia merupakan penjaga perkaraku. Perbaikilah duniaku
yang di dalamnya terdapat kehidupanku. Perbaikilah akhiratku untukku
yang di dalamnya terdapat tempat kembaliku. Jadikanlah hidupku sebagai
tambahan untukku dalam setiap kebaikan, serta jadikanlah matiku sebagai
istirahat untukku dari segala keburukan.” (HR Muslim 4897)
Iman Kepada Takdir Baik dan Buruk
Banyak orang mengenal rukun iman tanpa
mengetahui makna dan hikmah yang terkandung alam keenam rukun iman
tersebut. Salah satunya adalah iman kepada takdir. Tidak semua orang
yang mengenal iman kepada takdir, mengetahui hikmah dibalik beriman
kepada takdir dan bagaimana mengimani takdir. Berikut sedikit ulasan
mengenai iman kepada takdir Allah yang baik dan yang buruk.
Takdir (qadar) adalah perkara
yang telah diketahui dan ditentukan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
telah dituliskan oleh al-qalam (pena) dari segala sesuatu yang akan
terjadi hingga akhir zaman. (Terj. Al Wajiiz fii ‘Aqidatis Salafish Shalih Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 95)
Allah telah menentukan segala perkara
untuk makhluk-Nya sesuai dengan ilmu-Nya yang terdahulu (azali) dan
ditentukan oleh hikmah-Nya. Tidak ada sesuatupun yang terjadi melainkan
atas kehendak-Nya dan tidak ada sesuatupun yang keluar dari
kehendak-Nya. Maka, semua yang terjadi dalam kehidupan seorang hamba
adalah berasal dari ilmu, kekuasaan dan kehendak Allah, namun tidak
terlepas dari kehendak dan usaha hamba-Nya.
Allah Ta’ala berfirman,
إنا كل شىء خلقنه بقدر
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (Qs. Al-Qamar: 49)
وخلق كـل شىء فقدره, تقديرا
“Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (Qs. Al-Furqan: 2)
وإن من شىء إلا عنده بمقدار
“Dan tidak ada sesuatupun melainkan
pada sisi Kami-lah khazanahnya, dan Kami tidak menurunkannya melainkan
dengan ukuran tertentu.” (Qs. Al-Hijr: 21)
Mengimani takdir baik dan takdir buruk,
merupakan salah satu rukun iman dan prinsip ‘aqidah Ahlus Sunnah wal
Jama’ah. Tidak akan sempurna keimanan seseorang sehingga dia beriman
kepada takdir, yaitu dia mengikrarkan dan meyakini dengan keyakinan yang
dalam bahwa segala sesuatu berlaku atas ketentuan (qadha’) dan takdir
(qadar) Allah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا يؤمن عبد حتى يؤمن بالقدر خبره وشره حتى بعلم أن ما أصابه لم يكن ليخطئه وأن ما أخطأه لم يكن ليصيبه
“Tidak beriman salah seorang dari
kalian hingga dia beriman kepada qadar baik dan buruknya dari Allah, dan
hingga yakin bahwa apa yang menimpanya tidak akan luput darinya, serta
apa yang luput darinya tidak akan menimpanya.” (Shahih, riwayat
Tirmidzi dalam Sunan-nya (IV/451) dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu
‘anhu, dan diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya (no. 6985)
dari ‘Abdullah bin ‘Amr. Syaikh Ahmad Syakir berkata: ‘Sanad hadits ini
shahih.’
Jibril ‘alaihis salam pernah bertanya
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai iman, maka beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
الإيمان أن تؤ من با لله وملا ئكته وكتبه ورسله واليوم الا خر وتؤ من بالقدرخيره وشره
“Engkau beriman kepada Allah,
Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari akhir
serta qadha’ dan qadar, yang baik maupun yang buruk.”
(Shahih, riwayat Muslim dalam Shahih-nya di kitab al-Iman wal Islam wal Ihsan (VIII/1, IX/5)).
Dan Shahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma juga pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كل شيء بقدر حتى العجز والكيسز
“Segala sesuatu telah ditakdirkan, sampai-sampai kelemahan dan kepintaran.”
(Shahih, riwayat Muslim dalam Shahih-nya
(IV/2045), Tirmidzi dalam Sunan-nya (IV/452), Ibnu Majah dalam
Sunan-nya (I/32), dan al-Hakim dalam al-Mustadrak (I/23)
Tingkatan Takdir
Beriman kepada takdir tidak akan
sempurna kecuali dengan empat perkara yang disebut tingkatan takdir atau
rukun-rukun takdir. Keempat perkara ini adalah pengantar untuk memahami
masalah takdir. Barang siapa yang mengaku beriman kepada takdir, maka
dia harus merealisasikan semua rukun-rukunnya, karena yang sebagian akan
bertalian dengan sebagian yang lain. Barang siapa yang mengakui
semuanya, baik dengan lisan, keyakinan dan amal perbuatan, maka
keimanannya kepada takdir telah sempurna. Namun, barang siapa yang
mengurangi salah satunya atau lebih, maka keimanannya kepada takdir
telah rusak.
Tingkatan Pertama: al-’Ilmu (Ilmu)
Yaitu,
beriman bahwa Allah mengetahui dengan ilmu-Nya yang azali mengenai
apa-apa yang telah terjadi, yang akan terjadi, dan apa yang tidak
terjadi, baik secara global maupun terperinci, di seluruh penjuru langit
dan bumi serta di antara keduanya. Allah Maha Mengetahui semua
yang diperbuat makhluk-Nya sebelum mereka diciptakan, mengetahui rizki,
ajal, amal, gerak, dan diam mereka, serta mengetahui siapa di antara
mereka yang sengsara dan bahagia.
Allah Ta’ala telah berfirman,
ألم تعلم أن الله يعلم ما فى السـماء والأرض ۗإن ذلك فى كتـب ۚإن ذلك على الله يسر
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa
sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?
Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh).
Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (Qs. Al-Hajj: 70)
وعنده, مفاتح الغيب لا يعلمها إلا
هو ۚ ويعلم ما فى البر والبحر ۚوما تسقـط من ورقة إلا يعلمها ولا حبة فى
ظلمت الأرض ولا رطب ولا يا بس إلا فى كتب مبين
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci
semua perkara yang ghaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia
sendiri, dan Dia Maha Mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan,
dan tidak ada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya
(pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak
juga sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan telah tertulis dalam
kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (Qs. Al-An’aam: 59)
إن الله بكل شيء عليم
“Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu.” (Qs. At-Taubah: 115)
Tingkatan Kedua: al-Kitaabah (Penulisan)
Yaitu,
mengimani bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menuliskan apa yang
telah diketahui-Nya berupa ketentuan-ketentuan seluruh makhluk hidup di
dalam al-Lauhul Mahfuzh. Suatu kitab yang tidak meninggalkan
sedikit pun di dalamnya, semua yang terjadi, apa yang akan terjadi, dan
segala yang telah terjadi hingga hari Kiamat, ditulis di sisi Allah
Ta’ala dalam Ummul Kitab.
Allah Ta’ala berfirman,
و كل شيء أحصينه فى إمام مبـين
“Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (Qs. Yaasiin: 12)
ما أصاب من مصيبة فى الأرض ولا فى أنفسكم إلا فى كـتب من قبل أن نبرأهاۚۚإن ذلك على الله يسر
“Tidak ada suatu bencana pun yang
menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah
tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.” (Qs. Al-Hadiid: 22)
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كتب الله مقادير الخلا ئق قبل أن يخلق السماوات زالأرض بخمسبن ألف سنة
“Allah telah menulis seluruh takdir seluruh makhluk sejak lima puluh ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi.”
(Shahih, riwayat Muslim dalam
Shahih-nya, kitab al-Qadar (no. 2653), dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin
al-’Ash radhiyallahu ‘anhuma, diriwayatkan pula oleh Tirmidzi (no.
2156), Imam Ahmad (II/169), Abu Dawud ath-Thayalisi (no. 557)
Dalam sabdanya yang lain,
إن أول ما حلق الله القلم, قل له: أكتب! قل: رب وماذا أكتب؟ قل: أكتب مقادير كل شيء حتى تقوم الساعة
“Yang pertama kali Allah ciptakan
adalah al-qalam (pena), lalu Allah berfirman, ‘Tulislah!’ Ia bertanya,
‘Wahai Rabb-ku apa yang harus aku tulis?’ Allah berfirman, ‘Tulislah
takdir segala sesuatu sampai terjadinya Kiamat.’(Shahih, riwayat
Abu Dawud (no. 4700), dalam Shahiih Abu Dawud (no. 3933), Tirmidzi (no.
2155, 3319), Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah (no. 102), al-Ajurry dalam
asy-Syari’ah (no.180), Ahmad (V/317), dari Shahabat ‘Ubadah bin
ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu).
Oleh karena itu, apa yang telah
ditakdirkan menimpa manusia tidak akan meleset darinya, dan apa yang
ditakdirkan tidak akan mengenainya, maka tidak akan mengenainya,
sekalipun seluruh manusia dan golongan jin mencoba mencelakainya.
Tingkatan Ketiga: al-Iraadah dan Al Masyii-ah (Keinginan dan Kehendak)
Yaitu,
bahwa segala sesuatu yang terjadi di langit dan di bumi adalah sesuai
dengan keinginan dan kehendak (iraadah dan masyii-ah) Allah yang
berputar di antara rahmat dan hikmah. Allah memberi petunjuk
kepada siapa yang dikehendaki-Nya dengan rahmat-Nya, dan menyesatkan
siapa yang dikehendaki-Nya dengan hikmah-Nya. Dia tidak boleh ditanya
mengenai apa yang diperbuat-Nya karena kesempurnaan hikmah dan
kekuasaan-Nya, tetapi kita, sebagai makhluk-Nya yang akan ditanya
tentang apa yang terjadi pada kita, sesuai dengan firman-Nya,
لايسئل عما يفعل وهم يسئلون
“Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai.” (Qs. Al-Anbiyaa’: 23)
Kehendak Allah itu pasti terlaksana,
juga kekuasaan-Nya sempurna meliputi segala sesuatu. Apa yang Allah
kehendaki pasti akan terjadi, meskipun manusia berupaya untuk
menghindarinya, dan apa yang tidak dikehendaki-Nya, maka tidak akan
terjadi, meskipun seluruh makhluk berupaya untuk mewujudkannya.
Allah Ta’ala berfirman,
فمن يردالله أن يهديه يشرح صدره للإسلام ۚومن يرد أن يضله يجعل صدره ضيقاحرجا
“Barang siapa yang Allah menghendaki
akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia akan melapangkan
dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki
Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit.”
(Qs. Al-An’aam: 125)
وَمَا تَشَاؤُونَ إِلَّا أَن يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“Dan kamu tidak dapat menhendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.” (Qs. At-Takwir: 29)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
إن قلوب بني أدم كلها بين إصبعـين من أصا بع الرحمن, كـقلب وا حد, يصرفه حيث يشاء
“Sesungguhnya hati-hati manusia
seluruhnya di antara dua jari dari jari jemari Ar-Rahmaan seperti satu
hati; Dia memalingkannya kemana saja yang dikehendaki-Nya.”
(Shahih, riwayat Muslim dalam Shahih-nya (no. 2654). Lihat juga Silsilah al-Ahaadits ash-Shahihah (no. 1689).
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Para
Imam Salaf dari kalangan umat Islam telah ijma’ (sepakat) bahwa wajib
beriman kepada qadha’ dan qadar Allah yang baik maupun yang buruk, yang
manis maupun yang pahit, yang sedikit maupun yang banyak. Tidak ada
sesuatu pun terjadi kecuali atas kehendak Allah dan tidak terwujud
segala kebaikan dan keburukan kecuali atas kehendak-Nya. Dia menciptakan
siapa saja dalam keadaan sejahtera (baca: menjadi penghuni surga) dan
ini merupakan anugrah yang Allah berikan kepadanya dan menjadikan siapa
saja yang Dia kehendaki dalam keadaan sengsara (baca: menjadi penghuni
neraka). Ini merupakan keadilan dari-Nya serta hak absolut-Nya dan ini
merupakan ilmu yang disembunyikan-Nya dari seluruh makhluk-Nya.”
(al-Iqtishaad fil I’tiqaad, hal. 15)
Tingkatan Keempat: al-Khalq (Penciptaan)
Yaitu,
bahwa Allah adalah Pencipta (Khaliq) segala sesuatu yang tidak ada
pencipta selain-Nya, dan tidak ada rabb selain-Nya, dan segala sesuatu
selain Allah adalah makhluk. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
الله خـلق كل شىء ۖوهو على كل شىء وكيل
“Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.” (Qs. Az-Zumar: 62)
Meskipun Allah telah menentukan takdir
atas seluruh hamba-Nya, bukan berarti bahwa hamba-Nya dibolehkan untuk
meninggalkan usaha. Karena Allah telah memberikan qudrah (kemampuan) dan
masyii-ah (keinginan) kepada hamba-hamba-Nya untuk mengusahakan
takdirnya. Allah juga memberikan akal kepada manusia, sebagai tanda
kesempurnaan manusia dibandingkan dengan makhluk-Nya yang lain, agar
manusia dapat membedakan antara kebaikan dan keburukan. Allah tidak
menghisab hamba-Nya kecuali terhadap perbuatan-perbuatan yang
dilakukannya dengan kehendak dan usahanya sendiri. Manusialah yang
benar-benar melakukan suatu amal perbuatan, yang baik dan yang buruk
tanpa paksaan, sedangkan Allah-lah yang menciptakan perbuatan tersebut.
Hal ini berdasarkan firman-Nya,
والله حلقكم وما تعملون
“Padahal Allah-lah yang menciptakanmu dan apa yang kamu perbuat itu.” (Qs. Ash-Shaaffaat: 96)
Dan Allah Ta’ala juga berfirman, yang artinya,
لا يكلف الله نفسا إلا وسعها
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya.” (Qs. Al-Baqarah: 286)
Hikmah Beriman Kepada Takdir
Beriman
kepada takdir akan mengantarkan kita kepada sebuah hikmah penciptaan
yang mendalam, yaitu bahwasanya segala sesuatu telah ditentukan.
Sesuatu tidak akan menimpa kita kecuali telah Allah tentukan
kejadiannya, demikian pula sebaliknya. Apabila kita telah faham dengan
hikmah penciptaan ini, maka kita akan mengetahui dengan keyakinan yang
dalam bahwa segala sesuatu yang datang dalam kehidupan kita tidak lain
merupakan ketentuan Allah atas diri kita. Sehingga ketika musibah datang
menerpa perjalanan hidup kita, kita akan lebih bijak dalam memandang
dan menyikapinya. Demikian pula ketika kita mendapat giliran memperoleh
kebahagiaan, kita tidak akan lupa untuk mensyukuri nikmat Allah yang
tiada henti.
Manusia memiliki keinginan dan kehendak,
tetapi keinginan dan kehendaknya mengikuti keinginan dan kehendak
Rabbnya. Golongan Ahlus Sunnah menetapkan dan meyakini bahwa segala yang
telah ditentukan, ditetapkan dan diperbuat oleh Allah memiliki hikmah
dan segala usaha yang dilakukan manusia akan membawa hasil atas kehendak
Allah.
Ingatlah saudariku, tidak setiap hal
akan berjalan sesuai dengan apa yang kita harapkan, maka hendaklah kita
menyerahkan semuanya dan beriman kepada apa yang telah Allah tentukan.
Jangan sampai hati kita menjadi goncang karena sedikit ’sentilan’, sehingga muncullah bisikan-bisikan dan pikiran-pikiran yang akan mengurangi nikmat iman kita.
Dengarlah sabda Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إحرص على ما ينفعك, واستعن بالله
ولا تعجز, فإن أصا بك شيء فلا تقل: لو أني فعلت كذا وكذا لكن كذا وكذا,
ولكن قل: قدر الله وما شاء فعل, فإن (لو) تفتح عمل
الشيطان
“Berusahalah untuk mendapatkan apa
yang bermanfaat bagimu, dan mintalah pertolongan Allah dan janganlah
sampai kamu lemah (semangat). Jika sesuatu menimpamu, janganlah engkau
berkata ’seandainya aku melakukan ini dan itu, niscaya akan begini dan
begitu.’ Akan tetapi katakanlah ‘Qodarullah wa maa-syaa-a fa’ala (Allah
telah mentakdirkan segalanya dan apa yang dikehendaki-Nya pasti
dilakukan-Nya).’ Karena sesungguhnya (kata) ’seandainya’ itu akan
mengawali perbuatan syaithan.”
(Shahih, riwayat Muslim dalam Shahih-nya (no. 2664).
Tidak ada seorang pun yang dapat
bertindak untuk merubah apa yang telah Allah tetapkan untuknya. Maka
tidak ada seorang pun juga yang dapat mengurangi sesuatu dari
ketentuan-Nya, juga tidak bisa menambahnya, untuk selamanya. Ini adalah
perkara yang telah ditetapkan-Nya dan telah selesai penentuannya. Pena
telah terangkat dan lembaran telah kering.
Berdalih dengan takdir diperbolehkan
ketika mendapati musibah dan cobaan, namun jangan sekali-kali berdalih
dengan takdir dalam hal perbuatan dosa dan kesalahan. Setiap manusia
tidak boleh memasrahkan diri kepada takdir tanpa melakukan usaha apa
pun, karena hal ini akan menyelisihi sunnatullah. Oleh karena itu
berusahalah semampunya, kemudian bertawakkallah.
Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya,
وتوكل على الله ۚ إنه هو السميع العليم
“Dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. Al-Anfaal: 61)
ومن يتو كل على الله فهو حسبه
“Barang siapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupi (keperluan)nya.” (Qs. Ath-Thalaq: 3).
Dan jika kita mendapatkan musibah atau cobaan, janganlah berputus asa dari rahmat Allah dan janganlah bersungut-sungut,
tetapi bersabarlah. Karena sabar adalah perisai seorang mukmin yang dia
bersaudara kandung dengan kemenangan. Ingatlah bahwa musibah atau
cobaan yang menimpa kita hanyalah musibah kecil, karena musibah dan
cobaan terbesar adalah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, sebagaimana disebutkan dalam sabdanya,
إذا أصاب أحدكم مصيبة فليذكر مصيبة بى, فإنها من أعظم المصائب
“Jika salah seorang diantara kalian
tertimpa musibah, maka ingatlah musibah yang menimpaku, sungguh ia
merupakan musibah yang paling besar.”
(Shahih li ghairih, riwayat Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thabaqat (II/375), Ad-Darimi (I/40).
Apabila hati kita telah yakin dengan
setiap ketentuan Allah, maka segala urusan akan menjadi lebih ringan,
dan tidak akan ada kegundahan maupun kegelisahan yang muncul dalam diri
kita, sehingga kita akan lebih semangat lagi dalam melakukan segala
urusan tanpa merasa khawatir mengenai apa yang akan terjadi kemudian.
Karena kita akan menggenggam tawakkal sebagai perbekalan ketika
menjalani urusan dan kita akan menghunus kesabaran kala ujian datang
menghadang.
Jadi, jangan pernah berhenti berdo’a dan
berusaha. Seburuk apa pun kondisi saat ini, semuanya masih bisa
berubah. Bagaimana pun pahitnya pengalaman kita dimasa lalu, masih bisa
berubah. Optimis selalu Anda bisa mengubah takdir Anda menjadi lebih baik.
Apa pula peran manusia dalam melakukan
pilihan takdir ?. Usaha !. Usaha manusiakah ? atau takdir manusia
untuk berusaha !?. Ataukah menyerah ?. Dan menyerah, berputus asa pun
tidak lepas dari takdir Illahi !.
Sumber Refferensi
Alquran dan Hadist
Tulisan Karya Apriadi Rachmat Daud
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama