Saya ingin memulai tulisan ini dengan menyampaikan dua buah hadits tentang kecintaan kepada Rasulullah saw. Pertama, hadits yang masyhur diriwayatkan dalam kitab-kitab ahli sunnah, di antaranya dalam Al-Targhib wal Takhib, sebuah kitab hadits yang sangat populer di antara kita. Kedua, hadits yang dikutip dari Bihar Al-Anwar, kitab hadits yang cukup besar dan menjadi rujukan mazhab Ahlul Bayt.
Hadits yang pertama
menceritakan bahwa pada suatu hari ketika Rasulullah saw sedang
berbincang-bincang dengan para sahabatnya, seorang pemuda datang
mendekati Rasul sambil berkata, “Ya Rasulullah, aku mencintaimu.” Lalu
Rasulullah saw berkata: “Kalau begitu, bunuh bapakmu!” Pemuda itu pergi
untuk melaksanakan perintah Nabi. Kemudian Nabi memanggilnya kembali
seraya berkata, “Aku tidak diutus untuk menyuruh orang berbuat dosa.”
Aku hanya ingin tahu, apa betul kamu mencintai aku dengan kecintaan yang
sesungguhnya?”
Tidak lama setelah itu, pemuda ini jatuh sakit dan pingsan.
Rasulullah saw datang menjenguknya. Namun pemuda itu masih dalam keadaan
tidak sadar. Nabi berkata, “Nanti kalau anak muda ini bangun, beritahu
aku.” Rasululah saw kemudian kembali ke tempatnya. Lewat tengah malam
pemuda itu bangun. Yang pertama kali ia tanyakan ialah apakah Rasulullah
saw telah berkunjung kepadanya. Diceritakanlah kepada pemuda itu bahwa
Rasulullah saw bukan saja berkunjung, tapi beliau juga berpesan agar
diberitahu jika pemuda itu bangun. Pemuda itu berkata, “Tidak, jangan
beritahukan Rasulullah saw. Bila Rasulullah harus pergi pada malam
seperti ini, aku kuatir orang-orang Yahudi akan mengganggunya di
perjalanan.” Segera setelah itu, pemuda itu menghembuskan nafasnya yang
terakhir.
Pagi hari usai shalat subuh, Rasulullah saw diberitahu tentang
kematian pemuda itu. Rasul datang melayat jenazah pemuda itu dan berdo’a
dengan do’a yang pendek tetapi sangat menyentuh hati, “Ya Allah,
sambutlah Thalhah di sisi-Mu, Thalhah tersenyum kepada-Mu dan Engkau
tersenyum kepadanya.”
Dengan hal itu Nabi menggambarkan kepada kita, bahwa orang yang
mencintainya akan dido’akan oleh Nabi untuk berjumpa dengan Allah swt.
Allah akan ridha kepadanya dan dia ridha kepada Allah, Radhiyyatan Mardhiyyah. Dia tersenyum melihat Allah dan Allah tersenyum melihatnya.
Hadits yang kedua mengisahkan seorang
pedagang minyak goreng di Madinah. Setiap kali dia hendak pergi,
termasuk pergi ke pasar, dia selalu melewati rumah Rasulullah saw. Dia
selalu singgah di tempat itu sampai dia puas memandang wajah Rasul.
Setelah itu ia pergi ke pasar. Suatu saatetelah melepaskan rindunya
kepada Rasul, seperti biasanya ia pergi ke pasar. Tapi tidak berapa lama
setelah itu, dia datang lagi. Nabi terkejut sehingga bertanya, “Kenapa
kau balik lagi?” Ia menjawab, “Ya Rasulullah, setelah saya sampai di
pasar hati saya gelisah. Saya ingin kembali lagi. Izinkan saya memandang
Engkau sebentar saja untuk memuaskan kerinduan saya.” Kemudian Rasul
berbincang-bincang dengan orang itu.
Tidak lama setelah itu Nabi tidak lagi melihat tukang minyak itu
lewat di depan rumahnya. Berhari-hari orang itu tidak lagi kelihatan
batang hidungnya di depan Rasulullah saw. Lalu Rasul mengajak
sahabat-sahabatnya untuk menjenguk dia. Berangkatlah mereka ke pasar dan
mendapat kabar bahwa orang itu telah meninggal dunia. Rupanya pertemuan
sampai dua kali waktu itu merupakan isyarat bahwa dia tidak bisa lagi
memandang wajah Rasulullah saw.
Rasul bertanya kepada orang-orang di pasar, “Bagaimana akhlak orang
itu?” Mereka berkata, “Orang itu pedagang yang sangat jujur. Cuma ada
sedikit saja, orang ini senang perempuan.” Kemudian Rasul berkata,
“Sekiranya orang itu dalam dagangnya agak lancung sedikit, Allah akan
mengampuni dosanya karena kecintaannya kepadaku.” Tetapi orang itu
sangat jujur dan kecintaannya kepada Rasul dibuktikan dalam kejujurannya
di dalam berdagang.
Dua hadits di atas menceritakan kepada kita tentang pentingnya
mencintai Rasulullah saw. Sudah sering kita mendengar hadits yang
berbunyi, “Belum beriman kamu sebelum aku lebih kamu cintai daripada
dirimu, anak-anakmu, dan seluruh ummat manusia.”
Kita semua diperintahkan mencintai Rasulullah saw. Mencintai Rasul
merupakan bagian dari seluruh bangunan keislaman kita. Oleh karena itu,
dahulu para ulama melakukan berbagai cara agar kecintaan kepada Nabi
terus-menerus dibangkitkan. Di antaranya dengan menghias majelis-majelis
mereka dengan bacaan shalawat, mengadakan peringatan maulid, dan
mengungkapkan kecintaan mereka dengan puisi-puisi, sehingga sepanjang
sejarah sudah terkumpul ribuan puisi yang ditulis untuk mengungkapkan
kecintaan kepada Rasululah saw.
Beberapa waktu yang lalu di masjid Asy-Syifâ, Universitas Diponegoro,
saya mengajak semua orang untuk kembali membangkitkan kecintaan kepada
junjungan kita Rasulullah saw. Ada orang yang bertanya kepada saya:
“Saya ingin mencintai Rasulullah, tapi apa yang harus saya lakukan
supaya kecintaan itu tertanam di dalam hati saya. Kalau saya ini
mencintai seorang perempuan, saya bayangkan wajahnya, rambutnya, dan
bibirnya supaya tumbuh kerinduan saya kepada perempuan itu. Apakah saya
harus membayangkan wajah Rasululah saw, supaya saya bisa men-cintainya?”
Waktu itu saya menjawab: “Inilah bencana paling besar yang menimpa kita
sekarang ini. Kita hanya bisa mencintai sesuatu yang bisa dilihat,
diraba, dan disaksikan. Kita ini sama dengan orang-orang kafir yang
disebutkan dalam Al-Qur’an. Mereka hanya mencintai yang zhahir saja, mata mereka tidak dapat menembus hal-hal yang bathiniyah.
Jadi, kalau kita mau mencintai, maka cinta kita hanya cinta fisikal
saja, cinta yang sensual. Kita tidak dididik untuk mencintai orang bukan
karena tubuhnya. Di dalam ilmu percintaan, cinta karena tubuh adalah
tahapan cinta yang paling rendah. Para ahli jiwa mengatakan, cinta
pertama pada anak-anak adalah cinta pada sesuatu yang bisa dilihat.
Menurut Sigmund Freud, pertama kali seseorang mencintai ialah ketika dia
merasakan kenikmatan pada waktu menyusu kepada ibunya. Itulah cinta
yang paling rendah. Makin dewasa orang itu, makin abstrak atau makin
tidak kelihatan cintanya. Sayang, tampaknya kedewasaan kita ini lambat.
Salah satu ciri ketidakdewasaan kita adalah bila kita mencintai
sesuatu, itu dikarenakan oleh hal-hal yang kongkret dan bisa dilihat.
Kita cinta kepada gunung, karena kehijauannya yang bisa dilihat dan
kesejukkan anginnya yang bisa dirasakan. Bukan karena keanggunannya dan
misteri yang ada dibalik gunung itu. Kalau kita menceritakan laut, yang
kita ceritakan adalah gelombangnya, batu-batu karangnya, dan
ikan-ikannya. Tidak kita ceritakan keluasan samudera itu,
kedahsyatannya, dan pengaruhnya kepada jiwa kita. Sebab, semua hal itu
terlalu abstrak dan kita terbiasa dengan hal-hal yang kongkret.
Ketika Pemilu, kita memilih partai bukan program-programnya. Karena
program bersifat abstrak, tidak kelihatan. Kita jugamemilih bukan karena
perilaku para politisinya, karena perilaku itu tidak kelihatan.
Tapi saya tidak akan menceritakan hal itu, saya akan membawa Anda
mencintai Rasulullah saw dengan kecintaan yang lebih tinggi tingkatnya.
Bukan kecintaan fisikal atau jasmaniah. Kecintaan jasmaniah itu adalah
kecintaan ala ABG, yang tidak layak buat orang-orang dewasa seperti kita.
Kalau kita buka ayat Al-Qur’an, ketika Allah berkisah tentang
Rasulullah saw, tidak pernah diceritakan sifat-sifat jasmaniah
Rasulullah saw. Al-Qur’an selalu menceritakan sifat-sifat ruhaniah
Rasulullah saw. Bercerita tentang akhlak Rasulullah saw, bukan
penampilan fisiknya.
Berbeda dengan para sahabat. Kalau sahabat bercerita tentang
Rasulullah saw sering berupa penampilan fisiknya. Misalnya diceritakan
bahwa Rasul itu kalau tertawa sampai kelihatan gusinya. Atau diceritakan
tentang tetesan keringat Rasul. Siti Aisyah pernah terpesona dengan
tetesan keringat di dahi Rasul, sampai dia berkata: “Ya Rasulullah,
ingin saya bacakan sebuah puisi kepadamu.” Lalu Siti Aisyah menuliskan
puisinya dengan mengutip syair seorang Arab tentang tetesan keringatnya.
Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa Siti Aisyah hanya mencintai
Rasulullah saw karena jasmaninya.
Saya ingin mengetengahkan satu ayat Al-Qur’an. Ada riwayat yang agak
lucu tentang ayat ini. Katanya setelah Al-Qur’an terkumpul dan tertulis
pada zaman Abu Bakar, seseorang berkata bahwa ada satu ayat yang hilang.
Pada waktu itu, seseorang yang mengumpul-kan ayat harus membawa saksi
satu orang. Sehingga jumlah pengumpul ayat ada dua orang. Seseorang
berbicara, “Ada yang terlewat, satu ayat belum masuk ke situ.” Dia hanya
seorang diri, tidak mempunyai saksi. Namanya Khuzaimah bin Tsabit. Lalu
orang-orang berkata, “Kesaksian Khuzaimah bin Tsabit dihitung menjadi
dua, karena hanya dia yang mengetahui ayat Al-Qur’an ini.”
Lepas dari persoalan hadits ini shahih atu tidak, ayat itu bercerita
tentang akhlak Rasullullah saw dan ayat itu sering menjadi wirid kita
semua. Mungkin ini juga merupakan cara agar kita mampu memasukkan akhlak
itu dalam kehidupan kita. Ayat itu berbunyi, “Laqad Jâ’akum Rasûlum Min Anfusikum…” (QS Al-Taubah 128). Menurut Fakhrur Râzi, kata anfusikum menurut qira’at nabi saw, qira’at Fatimah as, dan qira’at Aisyah dari Ibnu Abbas as harus dibaca Anfasikum. Dibacanya difathahkan bukan didhammahkan. Hal ini akan kita ceritakan kemudian.
Fakhrur Razi menjelaskan ada empat sifat Nabi yang tergambar dalam Surat At-Taubah ayat 128. Pertama, Min Anfusikum, dari kalanganmu sendiri.
Nabi berasal dari sesama manusia seperti kamu. Nabi yang datang itu
bukanlah Nabi yang datang sebagai makhluk ghaib, bukan pula Superman,
tapi Nabi yang datang dari tengah-tengah manusia. Bahkan Nabi
diperintahkan untuk berkata bahwa Nabi adalah manusia seperti kita
semua, seperti dalam ayat “Qul innamâ anâ basyârum mitslukum…”
(QS. Al-Kahfi 110) Nabi adalah manusia biasa. Kalau ia berjalan, ada
bayang-bayang badannya. Kalau terkena panas matahari, berkeringat
kulitnya. Kalau terkena anak panah, berdarah tubuhnya. Ia bukan manusia
istimewa dari segi jasmaniahnya, ia pun merasakan lapar dan dahaga.
Al-Qur’an menegaskan bahwa kehidupan Nabi itu sama seperti kehidupan
manusia biasa. Nabi dapat merasakan kepedihan dan penderitaan seperti
manusia biasa yang mendapatkan musibah.
Dalam qira’at Min Anfasikum, diterangkan bahwa kata Anfas
mengandung arti yang paling mulia. Jadi ayat ini berarti, “Sudah datang
di antara kamu seorang Rasul yang paling mulia.” Artinya Rasulullah
diakui kemuliaannya, bahkan sebelum Rasul membawa ajaran Islam. Dia
adalah orang yang paling baik di tengah-tengah masyarakatnya dilihat
dari segi akhlaknya. Sebagian orang ada yang menyebutkan bahwa Rasul
berasal dari kabilah yang paling baik. Jadi sifat pertama nabi adalah
paling mulia akhlaknya, sampai orang-orang di sekitarnya memberi gelar Al-Amîn, orang yang terpercaya.
Sifat kedua Nabi ialah, berat hatinya melihat penderitaan umat manusia.
Para ahli tafsir mengatakan yang dimaksud dengan berat hati Nabi ialah
kalau manusia menemukan hal-hal yang tidak enak. Dalam riwayat yang
lain, yang diartikan dengan berat hati Rasul ialah jika orang Islam
berbuat dosa kepada Allah. Dalam sebuah hadits, diriwayatkan bahwa
sampai sekarang Rasulullah masih dapat melihat perbuatan-perbuatan kita
dan Rasul akan menderita jika melihat kita berbuat dosa. Karena beliau
sangat ingin supaya kita memperoleh petunjuk Allah. Bahkan Rasul sampai
bersujud di hadapan Allah agar diizinkan untuk dapat memberi syafaat
kepada umatnya.
Jalaluddin Rumi bercerita dalam salah satu syairnya yang dibukukan dalam Al-Matsnawi
tentang Rasulullah saw. Pada suatu hari di mesjid, Rasul kedatangan
serombongan kafir yang meminta untuk bertamu. Mereka berkata, “Kami ini
datang dari jarak yang jauh, kami ingin bertamu kepada Engkau, Ya
Rasulullah.” Lalu Rasul mengantarkan para tamu tersebut kepada para
sahabatnya. Salah seorang kafir yang bertubuh besar seperti raksasa
tertinggal di mesjid, karena tidak ada seorang sahabat pun yang mau
menerimanya. Dalam syair itu disebutkan, ia tertinggal di mesjid seperti
tertinggalnya ampas di dalam gelas. Mungkin para sahabat takut menjamu
dia, karena membayangkan harus menyediakan wadah yang sangat besar.
Lalu Rasul membawa dan menempatkannya di sebuah rumah. Dia diberi
jamuan susu dengan mendatangkan tiga ekor kambing dan seluruh susu itu
habis diminumnya. Dia juga menghabiskan makanan untuk delapan belas
orang, sampai orang yang ditugaskan melayani dia jengkel. Akhirnya
petugas itu menguncinya di dalam. Tengah malam, orang kafir itu
menderita sakit perut. Dia hendak membuka pintu tapi pintu itu terkunci.
Ketika rasa sakit tidak tertahankan lagi, akhirnya orang itu
mengeluarkan kotoran di rumah itu.
Setelah itu, ia merasa malu dan terhina. Seluruh perasaan bergolak
dalam pikirannya. Dia menunggu sampai menjelang subuh dan berharap ada
orang yang akan membukakan pintu. Pada saat subuh dia mendengar pintu
itu terbuka, segera saja dia lari keluar. Yang membuka pintu itu adalah
Rasulullah saw.
Rasul tahu apa yang terjadi kepada orang kafir itu. Ketika Rasul
membuka pintu itu, Rasul sengaja bersembunyi agar orang kafir itu tidak
merasa malu untuk meninggalkan tempat tersebut.
Ketika orang kafir itu sudah pergi jauh, dia teringat bahwa azimatnya
tertinggal di rumah itu. Jalaluddin Rumi berkata, “Kerasukan
mengalahkan rasa malunya. Keinginan untuk memperoleh barang yang
berharga menghilangkan rasa malunya.” Akhirnya dia kembali ke rumah itu.
Sementara itu, seorang sahabat membawa tikar yang dikotori oleh orang
kafir itu kepada Rasul, “Ya Rasulullah, lihat apa yang dilakukan oleh
orang kafir itu!” Kemudian Rasul berkata, “Ambilkan wadah, biar aku
bersihkan.” Para sahabat meloncat dan berkata, “Ya Rasulullah, engkau
adalah Sayyidul Anâm. Tanpa engkau tidak akan diciptakan
seluruh alam semesta ini. Biarlah kami yang membersihkan kotoran ini.
Tidak layak tangan yang mulia seperti tanganmu membersihkan kotoran
ini.” “Tidak,” kata Rasul, “ini adalah kehormatan bagiku.” Para sahabat
berkata, “Wahai Nabi yang namanya dijadikan sumpah kehormatan oleh
Allah, kami ini diciptakan untuk berkhidmat kepadamu. Kalau engkau
melakukan ini, maka apalah artinya kami ini.”
Begitu orang kafir itu datang ke tempat itu, dia melihat tangan
Rasulullah saw yang mulia sedang membersihkan kotoran yang
ditinggalkannya. Orang kafir tidak sanggup menahan emosinya. Ia
memukul-mukul kepalanya sambil berkata, “Hai kepala yang tidak memiliki
pengetahuan.” Dia memukul-mukul dadanya sambil berkata, “Hai hati yang
tidak pernah memperoleh berkas cahaya.” Dia bergetar ketakutan menahan
rasa malu yang luar biasa. Kemudi-an Rasul menepuk bahunya menenangkan
dia. Singkat cerita, orang kafir itu masuk Islam.
Boleh jadi cerita Jalaluddin Rumi ini adalah sebuah metafora. Suatu
perlambang bahwa kedatangan Rasul adalah untuk membersihkan kotoran dan
noda-noda yang ada pada diri kita. Betapa banyaknya kaum muslimin
menodai rumah Rasul dengan kemaksiatan dan akhlak yang buruk. Kita ini
sama dengan orang kafir yang menaburkan kotoran di rumah Rasul yang
suci. Bedanya ialah, kita percaya karena kecintaan Nabi kepada kita,
Rasul akan mengulurkan syafaatnya kepada kita. Derita kita adalah juga
derita Rasul. Karena itu, jangan ragu-ragu untuk datang meminta
syafaatnya dan bersimpuh di hadapan Nabi sambil mengucapkan, “Yâ Abal Qâsim, Yâ Rasûlallâh, Yâ Wajîhan ‘Indallâh, Isyfa’lanâ ‘Indallâh.”
Terlalu banyak kotoran yang kita taburkan di rumah Nabi yang mulia.
Seperti tertulis dalam sebuah puisi Iqbal. Ketika sakit keras, Iqbal
pernah berdo’a: “Ya Allah kalau Engkau adili aku di hari kiamat nanti,
jangan dampingkan aku di samping Nabi Al-Musthafa. Karena aku malu
mengaku sebagai umatnya padahal hidupku bergelimang dalam dosa.”
Kita sebenarnya harus malu seperti malunya orang kafir itu. Kita
datang berziarah kepada Rasul di bulan Maulid ini dengan membawa seluruh
kemaksiatan. Kita sudah banyak mengotori rumah Rasul yang mulia dengan
akhlak yang tercela. Tapi kita percaya bahwa Nabi mendengar jeritan
kita. Kita sadari kejelekan akhlak-akhlak kita dan kita malu bertemu
dengan Rasul dengan membawa dosa. Tetapi kita percaya bahwa kita
menantikan tepukan tangan Rasul untuk menentramkan batin kita dan
mengharapkan syafaatnya.
Sifat ketiga Rasullullah saw, ialah bahwa ia sangat ingin agar kaum muslimin memperoleh kebaikan.
Ia ingin memberikan petunjuk kepada umatnya. Keinginan untuk memberikan
petunjuk kepada kita begitu besar, sehingga Rasul bersedia memikul
seluruh penderitaan dalam berdakwah.
Adapun sifat keempat Rasulullah saw, ialah bahwa ia sangat penyantun dan penyayang kepada kaum mukminin.
Menurut para ahli tafsir, belum pernah Allah menghimpunkan dua nama-Nya
sekaligus pada nama seorang nabi, kecuali kepada Nabi Muhammad saw.
Nama yang dimaksud ialah nama Raûfur Rahîm.
Raûfur Rahîm itu adalah nama Allah. Nama itu pun dinisbahkan Allah kepada Rasulullah. Menurut sebagian ulama, Raûfun artinya penyayang dan Rahîm
artinya pengasih. Jika kedua kata itu digabungkan dalam satu tempat,
maka artinya berbeda. Menurut sebagian ahli tafsir, nama itu berarti
sifat Nabi yang penyayang tidak hanya kepada orang yang taat kepadanya,
tapi juga penyayang kepada orang yang berbuat dosa. Nabi melihat amal
kita setiap hari. Beliau berduka cita melihat amal-amal kita yang buruk.
Dalam riwayat yang lain, Rasul itu Raûfun Liman Râ’ah, Rahîmun Liman Lam Yarâh.
Artinya, Rasul itu penyayang kepada orang yang pernah berjumpa
dengannya dan juga penyayang kepada orang yang tidak pernah berjumpa
dengannya. Suatu hari Rasul berkata, “Alangkah rindunya aku untuk
berjumpa dengan ikhwânî.” Para sahabat bertanya, “Bukankah kami ini ikhwânuka.”
“Tidak,” jawab Rasul, “kalian ini sahabat-sahabatku. Saudara-saudaraku
adalah orang yang tidak pernah berjumpa denganku, tapi membenarkanku dan
beriman kepadaku.” Rasul sangat sayang kepada orang yang tidak pernah
berjumpa dengan Rasul tetapi beriman kepadanya.
Di dalam Tafsir Al-Dûrrul Mantsûr, diriwayatkan sebagai
berikut, “Berbahagialah orang yang beriman kepadaku, padahal tidak
pernah berjumpa denganku.” Rasul menye-butnya sampai tiga kali. Rasul
juga sayang bukan hanya kepada orang Islam saja, tetapi juga kepada
orang kafir.
Saya akan menceritakan hadits lain. Diriwayatkan bahwa ketika Rasul
berdakwah di Thaif, Rasul dilempari batu sehingga tubuhnya berdarah.
Kemudian Rasul berlindung di kebun Uthbah bin Rabi’ah. Rasul berdo’a
dengan do’a yang sangat mengharukan. Rasul memanggil Allah dengan
ucapan, “Wahai yang melindungi orang-orang yang tertindas, kepada siapa
Engkau akan serahkan aku, kepada saudara jauh yang mengusir aku?”
Kemudian datang malaikat Jibril seraya berkata: “Ya Muhammad, ini
Tuhanmu menyampaikan salam kepadamu. Dan ini malaikat yang mengurus
gunung-gunung, diperintah Allah untuk mematuhi seluruh perintahmu. Dan
dia tidak akan melakukan apapun kecuali atas perintahmu.” Lalu malaikat
dan gunung berkata kepada Nabi, “Allah memerintahkan aku untuk
berkhidmat kepadamu. Jika engkau mau, biarlah aku jatuhkan gunung itu
kepada mereka.” Namun Nabi berucap, “Hai malaikat dan gunung, aku datang
kepada mereka karena aku berharap mudah-mudahan akan keluar dari
keturunan mereka orang-orang yang mengucapkan kalimat Lâilâha illallâh.”
Nabi tidak mau menurunkan azab kepada mereka. Nabi berharap kalau pun
mereka tidak beriman, keturunan mereka nanti akan beriman. Kemudian
berkata para malaikat dan gunung, “Engkau seperti disebut oleh Tuhanmu,
sangat penyantun dan penyayang.”
Kasih sayangnya tidak terbatas kepada umatnya. Perasaan cinta kita
kepada Nabi tidak sebanding dengan besarnya kecintaan Nabi kepada kita
semua. Kecintaan Nabi terhadap orang-orang yang menderita begitu besar.
Menurut Siti Aisyah, Nabi tidak makan selama tiga hari berturut-turut
dalam keadaan kenyang. Ketika Aisyah bertanya apa sebabnya, Nabi
menjawab, “Selama masih ada ahli shufah —orang-orang miskin yang
kelaparan di sekitar mesjid— saya tidak akan makan kenyang.” Dan itu
tidak cukup hanya pada saat itu, Nabi juga memikirkan umatnya di
kemudian hari. Beliau khawatir ada umatnya yang makan kenyang sementara
tetangga di sekitarnya kelaparan.
Karena itu, Nabi berpesan, “Tidak beriman kamu, jika kamu tidur dalam
keadaan kenyang sementara tetanggamu kelaparan.” Nabi pun mengatakan,
“Orang yang senang membantu melepaskan penderitaan orang lain, akan
senantiasa mendapat bantuan Allah swt.” Empat sifat Rasulullah kepada
umatnya, yang sangat luar biasa.
Marilah kita kenang kecintaan Rasulullah yang agung kepada kita dan
bandingkanlah apa yang bisa membuktikan kecintaan kita kepadanya.
Sekarang kita bertanya, sudah sejauh mana kita mengikuti sunnah
Rasulullah saw? Dapatkah akhlak kita seperti akhlak Nabi sebagaimana
yang disebut dalam surat Al-Taubah 128? Bagai-mana kita dapat ikut
merasakan penderitaan orang-orang di sekitar kita? Bagaimana kita
menjadi orang yang berusaha agar orang- orang lain itu hidup bahagia dan
memperoleh petunjuk Allah? Bagaimana kita menumbuh-kan sikap Raûfur Rahîm di dalam diri kita seperti Rasulullah saw contohkan kepada kita?
Marilah kita sebarkan kecintaan kepada Rasulullah saw di dalam diri
kita, keluarga kita, dan pada masyarakat di sekitar kita. Akhirul kalam,
yang harus selalu kita ingatkan pada diri kita adalah misi Rasulullah
yang paling utama, yaitu misi akhlak yang mulia. Tidak ada artinya
menisbahkan diri kita kepada Rasulullah saw tanpa memelihara akhlak yang
mulia. Hendaknya kita selalu malu untuk mengucapkan shalawat kepada
junjungan kita, sementara di punggung kita penuh dengan dosa dan
maksiat. Kita telah mengotori rumah Rasulullah saw dengan akhlak buruk
kita. ***
Oleh. KH. Jalaluddid Rakhmat
(sumber: Buletin Al-Tanwir: Nomor 119 Edisi 15 Juli 1998)
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama