Shalat Dhuha memiliki banyak
keutamaan sebagaimana akan kita dapati dari hadist-hadist Nabi Shallallahu'alaihi wassalam dan yang sudah dijelaskan oleh ulama-ulama
dalam kitab-kitab mereka, berikut ini kami kutip penjelasan yang sangat
bagus dari blog rumaysho.com dengan judul artikel "Shalat Dhuha yang Begitu Menakjubkan". semoga artikel ini menjadi amalan baik bagi kita dan kaum muslimin keseluruhannya. amiin.
Keutamaan Shalat Dhuha
Di antara keutamaannya, shalat Dhuha yaitu dapat menggantikah kewajiban sedekah seluruh persendian
Dari Abu Dzar, Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda,
يُصْبِحُ
عَلَى كُلِّ سُلاَمَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ
صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ
وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْىٌ
عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ
يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى
“Pada pagi hari diharuskan bagi seluruh persendian di antara kalian untuk bersedekah. Setiap bacaan tasbih (subhanallah) bisa sebagai sedekah, setiap bacaan tahmid (alhamdulillah) bisa sebagai sedekah, setiap bacaan tahlil (laa ilaha illallah) bisa sebagai sedekah, dan setiap bacaan takbir (Allahu akbar) juga bisa sebagai sedekah. Begitu pula amar ma’ruf (mengajak kepada ketaatan) dan nahi mungkar (melarang dari kemungkaran) adalah sedekah. Ini semua bisa dicukupi (diganti) dengan melaksanakan shalat Dhuha sebanyak 2 raka’at.”[1]
Padahal
persendian yang ada pada seluruh tubuh kita sebagaimana dikatakan dalam
hadits dan dibuktikan dalam dunia kesehatan adalah 360 persendian.
‘Aisyah pernah menyebutkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّهُ خُلِقَ كُلُّ إِنْسَانٍ مِنْ بَنِى آدَمَ عَلَى سِتِّينَ وَثَلاَثِمَائَةِ مَفْصِلٍ
“Sesungguhnya setiap manusia keturunan Adam diciptakan dalam keadaan memiliki 360 persendian.”[2]
Hadits
ini menjadi bukti selalu benarnya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Namun sedekah dengan 360 persendian ini dapat digantikan dengan
shalat Dhuha sebagaimana disebutkan pula dalam hadits berikut,
أَبِى
بُرَيْدَةَ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
يَقُولُ « فِى الإِنْسَانِ سِتُّونَ وَثَلاَثُمِائَةِ مَفْصِلٍ فَعَلَيْهِ
أَنْ يَتَصَدَّقَ عَنْ كُلِّ مَفْصِلٍ مِنْهَا صَدَقَةً ». قَالُوا فَمَنِ
الَّذِى يُطِيقُ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « النُّخَاعَةُ فِى
الْمَسْجِدِ تَدْفِنُهَا أَوِ الشَّىْءُ تُنَحِّيهِ عَنِ الطَّرِيقِ فَإِنْ
لَمْ تَقْدِرْ فَرَكْعَتَا الضُّحَى تُجْزِئُ عَنْكَ »
“Dari Buraidah, beliau mengatakan bahwa beliau pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Manusia memiliki 360 persendian. Setiap persendian itu memiliki kewajiban untuk bersedekah.” Para sahabat pun mengatakan, “Lalu siapa yang mampu bersedekah dengan seluruh persendiannya, wahai Rasulullah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengatakan, “Menanam bekas ludah di masjid atau menyingkirkan gangguan dari jalanan. Jika engkau tidak mampu melakukan seperti itu, maka cukup lakukan shalat Dhuha dua raka’at.”[3]
An
Nawawi mengatakan, “Hadits dari Abu Dzar adalah dalil yang menunjukkan
keutamaan yang sangat besar dari shalat Dhuha dan menunjukkannya
kedudukannya yang mulia. Dan shalat Dhuha bisa cukup dengan dua
raka’at.”[4]
Asy Syaukani mengatakan,
“Hadits Abu Dzar dan hadits Buraidah menunjukkan keutamaan yang luar
biasa dan kedudukan yang mulia dari Shalat Dhuha. Hal ini pula yang
menunjukkan semakin disyari’atkannya shalat tersebut. Dua raka’at shalat
Dhuha sudah mencukupi sedekah dengan 360 persendian. Jika memang
demikian, sudah sepantasnya shalat ini dapat dikerjakan rutin dan terus
menerus.”[5]
Keutamaan shalat Dhuha lainnya disebutkan dalam hadits berikut,
عَنْ
نُعَيْمِ بْنِ هَمَّارٍ الْغَطَفَانِىِّ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يَا ابْنَ
آدَمَ لاَ تَعْجِزْ عَنْ أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ
أَكْفِكَ آخِرَهُ ».
Dari Nu’aim bin Hammar Al Ghothofaniy, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah Ta’ala berfirman: Wahai anak Adam, janganlah engkau tinggalkan empat raka’at shalat di awal siang (di waktu Dhuha). Maka itu akan mencukupimu di akhir siang.”[6]
Penulis
‘Aunul Ma’bud –Al ‘Azhim Abadi- menyebutkan, “Hadits ini bisa
mengandung pengertian bahwa shalat Dhuha akan menyelematkan pelakunya
dari berbagai hal yang membahayakan. Bisa juga dimaksudkan bahwa shalat
Dhuha dapat menjaga dirinya dari terjerumus dalam dosa atau ia pun akan
dimaafkan jika terjerumus di dalamnya. Atau maknanya bisa lebih luas
dari itu.”[7]
Hukum Shalat Dhuha
Menurut pendapat yang paling
kuat, hukum shalat Dhuha adalah sunnah secara mutlaq dan boleh
dirutinkan. Dalil yang menunjukkan hal ini adalah dalil yang menunjukkan
keutamaan shalat Dhuha yang telah disebutkan. Begitu pula shalat Dhuha,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wasiatkan kepada Abu Hurairah untuk
dilaksanakan. Nasehat kepada Abu Hurairah pun berlaku bagi umat lainnya.
Abu Hurairah mengatakan,
أَوْصَانِى
خَلِيلِى - صلى الله عليه وسلم - بِثَلاَثٍ صِيَامِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ
مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ، وَرَكْعَتَىِ الضُّحَى ، وَأَنْ أُوتِرَ قَبْلَ أَنْ
أَنَامَ
“Kekasihku –yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- mewasiatkan tiga nasehat padaku: [1] Berpuasa tiga hari setiap bulannya, [2] Melaksanakan shalat Dhuha dua raka’at, dan [3] Berwitir sebelum tidur.”[8]
Asy
Syaukani mengatakan, “Hadits-hadits yang menjelaskan dianjurkannya
shalat Dhuha amat banyak dan tidak mungkin mencacati satu dan
lainnya.”[9]
Sedangkan dalil bahwa shalat Dhuha boleh dirutinkan adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari ‘Aisyah ,
أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ
”Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.” ’Aisyah pun ketika melakukan suatu amalan selalu berkeinginan keras untuk merutinkannya. [10]
Waktu Pelaksanaan Shalat Dhuha
Shalat Dhuha dimulai dari waktu
matahari meninggi hingga mendekati waktu zawal (matahari bergeser ke
barat).[11] Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin menjelaskan bahwa
waktunya adalah mulai dari matahari setinggi tombak –dilihat dengan
pandangan mata- hingga mendekati waktu zawal. Lalu beliau jelaskan bahwa
waktunya dimulai kira-kira 20 menit setelah matahari terbit, hingga 10
atau 5 menit sebelum matahari bergeser ke barat.[12] Sedangkan Al Lajnah
Ad Da-imah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) menjelaskan bahwa waktu awal
shalat Dhuha adalah sekitar 15 menit setelah matahari terbit.[13]
Jadi, silakan disesuaikan dengan
terbitnya matahari di masing-masing daerah dan kami tidak bisa
memberitahukan jam pastinya shalat Dhuha tersebut dimulai dan berakhir.
Dan setiap hari waktu terbit matahari pun berbeda.
Sedangkan waktu utama mengerjakan shalat Dhuha adalah di akhir waktu[14], yaitu keadaan yang semakin panas. Dalilnya adalah,
أَنَّ
زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ رَأَى قَوْمًا يُصَلُّونَ مِنَ الضُّحَى فَقَالَ
أَمَا لَقَدْ عَلِمُوا أَنَّ الصَّلاَةَ فِى غَيْرِ هَذِهِ السَّاعَةِ
أَفْضَلُ. إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « صَلاَةُ
الأَوَّابِينَ حِينَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ ».
Zaid bin Arqom melihat sekelompok orang melaksanakan shalat Dhuha, lantas ia mengatakan, “Mereka mungkin tidak mengetahui bahwa selain waktu yang mereka kerjakan saat ini, ada yang lebih utama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “(Waktu terbaik) shalat awwabin (nama lain untuk shalat Dhuha yaitu shalat untuk orang yang taat atau kembali untuk taat[15]) adalah ketika anak unta merasakan terik matahari.”[16]
An
Nawawi mengatakan, “Inilah waktu utama untuk melaksanakan shalat Dhuha.
Begitu pula ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa ini adalah waktu terbaik
untuk shalat Dhuha. Walaupun boleh pula dilaksanakan ketika matahari
terbit hingga waktu zawal.”[17]
Jumlah Raka’at Shalat Dhuha
Jumlah raka’at shalat Dhuha,
minimalnya adalah dua raka’at sedangkan maksimalnya adalah tanpa batas,
menurut pendapat yang paling kuat[18]. Jadi boleh hanya dua raka’at,
boleh empat raka’at, dan seterusnya asalkan jumlah raka’atnya genap.
Namun jika ingin dilaksakan lebih dari dua raka’at, shalat Dhuha
tersebut dilakukan setiap dua raka’at salam.
Dalil minimal shalat Dhuha
adalah dua raka’at sudah dijelaskan dalam hadits-hadits yang telah
lewat. Sedangkan dalil yang menyatakan bahwa maksimal jumlah raka’atnya
adalah tak terbatas, yaitu hadits,
مُعَاذَةُ
أَنَّهَا سَأَلَتْ عَائِشَةَ - رضى الله عنها - كَمْ كَانَ رَسُولُ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُصَلِّى صَلاَةَ الضُّحَى قَالَتْ أَرْبَعَ
رَكَعَاتٍ وَيَزِيدُ مَا شَاءَ.
Mu’adzah pernah menanyakan pada ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha- berapa jumlah raka’at shalat Dhuha yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? ‘Aisyah menjawab, “Empat raka’at dan beliau tambahkan sesuka beliau.”[19]
Bolehkah Seorang Pegawai (Bawahan) Melaksanakan Shalat Dhuha?
Mungkin setiap
pegawai punya keinginan untuk melaksanakan shalat Dhuha. Namun perlu
diperhatikan di sini bahwa melaksanakan tugas kantor tentu lebih utama
daripada melaksanakan shalat Dhuha. Karena menunaikan tugas dari atasan
adalah wajib sedangkan shalat Dhuha adalah amalan yang sunnah. Maka
sudah seharusnya amalan yang wajib lebih didahulukan dari amalan yang
sunnah. Hal ini berbeda jika kita menjalankan usaha sendiri (wirausaha)
atau kita adalah pemilik perusahaan, tentu sekehendak kita ingin
menggunakan waktu. Sedangkan kalau kita sebagai bawahan atau pegawai,
kita tentu terikat aturan pekerjaan dari atasan.
Maka kami nasehatkan di sini,
agar setiap pegawai lebih mendahulukan tanggung jawabnya sebagai pegawai
daripada menunaikan shalat Dhuha. Sebagai solusi, pegawai tersebut bisa
mengerjakan shalat Dhuha sebelum berangkat kantor. Lihat penjelasan
waktu shalat Dhuha yang kami terangkan di atas.
Al Lajnah Ad Da-imah (Komisi
Fatwa di Saudi Arabia) pernah menjelaskan, “Tidak selayaknya bagi
seorang pegawai melalaikan pekerjaan dari atasan yang hukumnya lebih
wajib dari sekedar melaksanakan shalat sunnah. Shalat Dhuha sudah
diketahui adalah shalat sunnah. Oleh karenanya, hendaklah seorang
pegawai tidak meninggalkan pekerjaan yang jelas lebih wajib dengan
alasan ingin melaksanakan amalan sunnah. Mungkin pegawai tersebut bisa
melaksanakan shalat Dhuha di rumahnya sebelum ia berangkat kerja, yaitu
setelah matahari setinggi tombak. Waktunya kira-kira 15 menit setelah
matahari terbit.” Demikian Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah no. 19285.[20]
Bolehkah Melaksanakan Shalat Dhuha secara Berjama’ah?
Mayoritas ulama ulama
berpendapat bahwa shalat sunnah boleh dilakukan secara berjama’ah
ataupun sendirian (munfarid) karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah melakukan dua cara ini, namun yang paling sering dilakukan adalah
secara sendirian (munfarid). Perlu diketahui bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat bersama Hudzaifah; bersama
Anas, ibunya dan seorang anak yatim; beliau juga pernah mengimami para
sahabat di rumah ‘Itban bin Malik[21]; beliau pun pernah melaksanakan
shalat bersama Ibnu ‘Abbas.[22]
Ibnu Hajar Al Asqolani ketika
menjelaskan hadits Ibnu ‘Abbas yang berada di rumah Maimunah dan
melaksanakan shalat malam bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
beliau rahimahullah mengatakan, “Dalam hadits ini menunjukkan
dibolehkannya melakukan shalat sunnah secara berjama’ah.”[23]
An Nawawi tatkala menjelaskan
hadits mengenai qiyam Ramadhan (tarawih), beliau rahimahullah
mengatakan, “Boleh mengerjakan shalat sunnah secara berjama’ah. Namun
pilihan yang paling bagus adalah dilakukan sendiri-sendiri (munfarid)
kecuali pada beberapa shalat khusus seperti shalat ‘ied, shalat kusuf
(ketika terjadi gerhana), shalat istisqo’ (minta hujan), begitu pula
dalam shalat tarawih menurut mayoritas ulama.”[24]
Ada sebuah pertanyaan yang
pernah diajukan pada Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah
mengenai hukum mengerjakan shalat nafilah (shalat sunnah) dengan
berjama’ah. Syaikh rahimahullah menjawab,
“Apabila seseorang melaksanakan
shalat sunnah terus menerus secara berjama’ah, maka ini adalah sesuatu
yang tidak disyari’atkan. Adapun jika dia melaksanakan shalat sunnah
tersebut kadang-kadang secara berjama’ah, maka tidaklah mengapa karena
terdapat petunjuk dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai hal
ini seperti shalat malam yang beliau lakukan bersama Ibnu ‘Abbas[25].
Sebagaimana pula beliau pernah melakukan shalat bersama Anas bin Malik
radhiyallahu ‘anhu dan anak yatim di rumah Ummu Sulaim[26], dan masih
ada contoh lain semisal itu.”[27]
Namun kalau shalat sunnah secara
berjama’ah dilakukan dalam rangka pengajaran, maka ini diperbolehkan
karena ada maslahat. Ibnu Hajar ketika menjelaskan shalat Anas bersama
anak yatim di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara
berjama’ah, beliau mengatakan, “Shalat sunnah yang utama adalah
dilakukan secara munfarid (sendirian) jika memang di sana tidak ada
maslahat seperti untuk mengajarkan orang lain. Namun dapat dikatakan
bahwa jika shalat sunnah secara berjama’ah dilakukan dalam rangka
pengajaran, maka ini dinilai lebih utama, lebih-lebih lagi pada diri
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang bertugas untuk memberi contoh
pada umatnya, -pen).”
Intinya adalah:
1. Shalat sunnah yang utama
adalah shalat sunnah yang dilakukan secara munfarid (sendiri) dan lebih
utama lagi dilakukan di rumah, sebagaimana sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
فَصَلُّوا أَيُّهَا النَّاسُ فِى بُيُوتِكُمْ ، فَإِنَّ أَفْضَلَ الصَّلاَةِ صَلاَةُ الْمَرْءِ فِى بَيْتِهِ إِلاَّ الْمَكْتُوبَةَ
“Hendaklah kalian manusia melaksanakan shalat (sunnah) di rumah kalian karena sebaik-baik shalat adalah shalat seseorang di rumahnya kecuali shalat wajib.” (HR. Bukhari no. 731)
2. Terdapat shalat sunnah tertentu yang disyari’atkan secara berjama’ah seperti shalat tarawih.
3. Shalat sunnah selain itu –seperti shalat Dhuha dan shalat tahajud- lebih utama dilakukan secara munfarid dan boleh dilakukan secara berjama’ah namun tidak rutin atau tidak terus menerus, akan tetapi kadang-kadang.
4. Jika memang ada maslahat
untuk melakukan shalat sunnah secara berjama’ah seperti untuk
mengajarkan orang lain, maka lebih utama dilakukan secara berjama’ah.
Demikian penjelasan singkat dari kami mengenai shalat Dhuha. Semoga bermanfaat.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Disempurnakan di Panggang, Gunung Kidul, 24 Dzulhijah 1430 H
___________________________________________
[1] HR. Muslim no. 720.
[2] HR. Muslim no. 1007.
[3] HR. Ahmad, 5/354. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih ligoirohi.
[4] Syarh Muslim, An Nawawi, 5/234, Dar Ihya’ At Turots, cetakan kedua, 1392.
[5] Nailul Author, Asy Syaukani, 3/77, Idaroh At Thob’ah Al Munirah.
[6]
HR. Ahmad (5/286), Abu Daud no. 1289, At Tirmidzi no. 475, Ad Darimi
no. 1451 . Syaikh Al Albani dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan
bahwa hadits ini shahih.
[7] ‘Aunul Ma’bud, Muhammad Syamsul Haq Al Azhim Abadi, 4/118, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan kedua, tahun 1415 H.
[8] HR. Bukhari no. 1981 dan Muslim no. 721.
[9] Nailul Author, 3/76.
[10]
HR. Muslim no. 783, Kitab shalat para musafir dan qasharnya, Bab
Keutamaan amalan shalat malam yang kontinu dan amalan lainnya.
[11] Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik, 1/425, Al Maktabah At Taufiqiah.
[12]
Lihat Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, Syaikh Muhammad bin Sholih Al
‘Utsaimin,hal. 289, Daruts Tsaroya, cetakan pertama, tahun 1424 H.
[13] Lihat Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah yang akan kami bawakan selanjutnya.
[14] Idem
[15] Syarh Muslim, 6/30.
[16] HR. Muslim no. 748.
[17] Syarh Muslim, 6/30.
[18] Pendapat ini dipilih juga oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalam Syarh Al Arba’in An Nawawiyah,hal. 289.
[19] HR. Muslim no. 719.
[20] Lihat Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhut ‘Ilmiyyah wal Ifta’, 23/423, Darul Ifta’.
[21] Sebagaimana riwayat yang dibawakan oleh penanya.
[22] Al Maqsu’ah Al Fiqhiyyah, Bab Shalat Jama’ah, point 8, 2/9677, Multaqo Ahlul Hadits, Asy Syamilah.
[23] Fathul Baari, 3/421
[24] Syarh Muslim, 3/105, Abu Zakaria Yahya bin Syarf An Nawawi, Mawqi’ Al Islam, Asy Syamilah
[25] Hadits muttafaq ‘alaih.
[26]
Hadits muttafaq ‘alaih. Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam Ash Sholah,
Bab Ash Sholah ‘alal Hashir (380) dan Muslim dalam Al Masaajid, Bab
Bolehnya shalat sunnah secara berjama’ah 266 (658)
[27] Majmu’ Fatawa wa Rosa-il Ibnu ‘Utsaimin, 14/231, Asy Syamilah
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama