Shalat
merupakan akhir dan puncak suluk setiap salik serta koridor tempat
dimana seorang salik bisa berbincang dengan Tuhannya secara langsung dan
tanpa perantara.
Allah
Swt dalam Quranul berfirman, "Dirikanlah salat untuk mengingat-Ku."
(Qs. Thaha [20]:14) Jika ingatan kepada-Nya telah terbentuk melalui
shalat, maka kalbu manusia akan menjadi tenang, karena mengingat-Nya
akan memberikan ketenangan dan keyakinan dalam kalbu, sebagaimana
firman-Nya, "… hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram
..."
Sesungguhnya
dengan melakukan shalat, para pelaksana shalat tengah memusnahkan
tabiatnya dan menghidupkan fitrahnya, karena salah satu manfaat dan
khasiat dari shalat adalah untuk menghidupkan fitrah manusia. Dengan
ketenangan yang diperoleh melalui shalat, seorang pelaksana shalat tidak
akan pernah terjatuh dalam kehidupan yang lamban penuh kemalasan, dan
tidak akan pernah terjungkal dalam kekacauan ketika berada dalam
kesulitan.
Shalat
adalah sebuah kautsar dan telaga yang akan membersihkan jiwa manusia.
Sungguh, jika kita tidak merasakan adanya kesucian, kebersihan, dan
pancaran cahaya dalam diri kita dari shalat yang kita lakukan, maka
sesungguhnya shalat yang kita lakukan bukanlah shalat yang hakiki. Bisa
jadi shalat yang kita lakukan adalah sah dan benar, akan tetapi tidak
diterima oleh-Nya. Karena hanya shalat yang dikabulkan dan diterima
oleh-Nyalah yang akan mampu membersihkan dan mensucikan jiwa manusia.
Dan seseorang baru bisa memfokuskan kalbunya dalam shalatnya ketika dia
telah menutup mata dan telinganya di luar shalat.
Shalat
adalah pertemuan dengan Sang Kinasih , percintaan dengan Yang Dicinta
dan pasrah menyerah di haribaan Yang Dipuja, sedangkan waktu yang
terbentang menjadi jeritan rindunya dan tempat keluh kesahnya. Dia akan
menemui Pujaannya dengan pujian dan sanjungan penuh kegembiraan, dan di
akhir setiap pertemuan, dia akan meninggalkan-Nya dengan salam takzim
yang dipenuhi dengan kesedihan dan kerinduan untuk segera bertemu
kembali.
Selama
kita tidak mengenal dan mengintiminya, selama masih ada yang lain di
hati kita dan menyibukkan khayal-khayal kita, kapan kita akan memahami
keindahan shalat?
Penjelasan Detail:
Lompatan
maknawi dan mi’raj-nya para ahli makrifat serta para pemilik kalbu
adalah shalat. Dan setiap salik yang menuju kepada-Nya
(ilaLlah) mengkhususkan shalat untuk dirinya guna menggapai ketinggian
maqamnya.[1]
Ketika
a-Quran al-Karim mengungkapkan tentang shalat, berfirman-Nya,
"Dirikanlah salat untuk mengingat-Ku." Dan Aku akan muncul di dalam
ingatan kalian, dengan shalat yang kalian lakukan. Maka dengan shalat
dan dengan mengingat-Nya, akan muncul ketenangan kalbu, sebagaimana
firman-Nya, "… hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah.
Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram." (Qs.
Al-Ra’ad [13]:28) Dengan demikian, seorang pelaksana shalat akan
memiliki kalbu yang tenang, tiada rasa takut terhadap selain-Nya, tidak
ada seorang musuhpun baik dari dalam maupun dari luar yang akan mampu
mempengaruhinya, karena seorang yang senantiasa melakukan shalat akan
senantiasa mengingat-Nya, sedangkan mengingat-Nya akan memberikan
ketenangan dan kemantapan kalbu.
Tentang
hikmah shalat ini, surah al-Ma'arij ayat ke 19 hingga 23 mengungkapkan
firman-Nya demikian,"Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh
kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan, ia berkeluh kesah, dan
apabila ia mendapat kebaikan, ia amat kikir, kecuali orang-orang yang
mengerjakan salat."
Fitrah
manusia mengajak ke arah tauhid, sedangkan tabiat akan menggiringnya
kepada kecenderungan untuk menyimpang dari fitrah. Fitrah dihidupkan
oleh para nabi, namun tabiat tidak memberikan apapun selain penyimpangan
dan penyelewengan.
Sesungguhnya
para pelaksana shalat telah memberangus tabiatnya dan menghidupkan
fitrahnya, dan inilah khasiat shalat, karena ia akan menghidupkan fitrah
manusia. Pelaksana shalat adalah mereka yang mampu mengendalikan tabiat
liarnya, dan dengan ketenangan yang diperolehnya dari shalat, mereka
akan menjadi orang-orang yang tidak pernah terjebak dalam kemalasan,
tidak berkeluh kesah dalam kesulitan dan tidak kikir ketika mendapatkan
kebaikan.[2]
Telah
dinukil dari Imam Baqir As dari Rasul Saw yang bersabda. "Ketika
seorang hamba Tuhan tengah berdiri untuk melakukan shalat, sesungguhnya
Tuhan tengah memandangnya hingga dia menyelesaikan shalatnya. Dia berada
dalam lindungan rahmat Ilahi dari atas kepalanya hingga ufuk langit,
para malaikat akan mengitarinya dan Tuhan akan memerintahkan kepada para
malaikat untuk mengatakan, "Wahai para pelaksana shalat, jika kalian
mengetahui siapa yang memandang kalian dan dengan siapa kalian
bermunajat, maka kalian tidak akan mempedulikan selain-Nya dan tidak
akan memisahkan diri dari keadaan ini."[3]
Keelokan Yusuf yang semu saja telah mampu membuat wanita tenggelam dalam keterpesonaan,[4]
bagaimana dengan keelokan dan keindahan Yang Maha Indah, dimana setiap
keindahan merupakan jelmaan dan bayangan dari keindahan-Nya?[5]
Sayyidus
Syuhada Husain As pada petang hari Asyura kepada Abul Fadhl Abbas
bersabda, "Malam ini adalah malam Asyura, pergilah kepada kaum itu dan
katakan kepada mereka untuk memberikan kepadaku kesempatan satu malam
lagi. Karena Allah Swt mengetahui aku begitu mencintai shalat, dan
shalat adalah kecintaan dan cahaya mata hatiku."[6]
Ya,
sementara orang-orang membanggakan diri dengan mengatakan, "Aku
mendirikan shalat." Imam dengan rendah hati mengatakan, "Aku mencintai
shalat dan shalat adalah cahaya mata hatiku." Sungguh sebuah kondisi
yang sangat jauh berbeda.
Keadaan
Imam Sajjad, Imam Baqir As dan para Imam As yang lain pun persis
seperti ini, sehingga biasanya putra-putra mereka akan memanfaatkan
kesempatan ini untuk bermain. Mereka mengatakan, "Ketika ayah kami
tengah melakukan shalat, beliau tidak akan lagi mempedulikan kami
sehingga kami bebas untuk membuat kegaduhan yang bagaimanapun."[7]
Suatu
hari ketika Imam tengah melakukan shalat, di sekitar kediaman beliau
terjadi sebuah kebakaran. Teriakan dan hilir mudik penduduk setempat
yang hendak menghentikan kobaran api telah membuat suasana sedemikian
gaduh. Dan hal ini berlangsung hingga akhirnya kobaran api berhasil
ditaklukkan. Setelah selesai shalat, beberapa penduduk datang menghadap
kepada Imam dan bertanya, "Wahai Imam, di sini tadi telah terjadi
kebakaran, dan suasana sebegitu gaduh karenanya, apakah engkau tidak
menyadari hal ini?" Imam bersabda, "Tidak", bertanya, "Bagaimana bisa?",
bersabda, "Sebenarnya aku tengah memadamkan api di tempat lain, dan aku
telah memadamkan api di alam sana."[8]
Ya,
yang dimaksud dengan shalat adalah kehadiran kalbu, tenggelam, dan
kefanaan dzat seorang hamba secara sempurna kepada Sang Khalik, dan
terpana dalam menyaksikan Sang Haq.
Akan
tetapi, untuk terhubung dengan maqam ini tentu saja membutuhkan begitu
banyak kerelaan dan perlawanan dimana jika sedetik saja kita terlena dan
tidak menyibukkan diri dengan perintah kalbu maka kita tidak akan
pernah sampai pada rahasia shalat.
Namun secara global, orang-orang bijak mengklasifikasikan rahasia shalat dalam enam tingkatan berikut:
Pertama: kehadiran kalbu yaitu tidak mengaitkan sesuatupun di dalam kalbunya selain Tuhan.
Kedua:
memahami makna bacaan, dzikir, dan tasbih yang terdapat dalam shalat
sedemikian hingga kalbu ketika memahami kata-kata tersebut akan bergerak
bersesuaian dengan lisan.
Ketiga:
mengagungkan, yaitu dalam keadaan shalatnya dia menyadari akan
keagungan Tuhan yang disembahnya dan menjadikan-Nya sebagai sumber
segala tujuan.
Keempat:
takut, yaitu rasa ketakutan menguasai kalbunya dan ia akan berusaha
semaksimal mungkin supaya tidak meremehkan dan membuat kesalahan dalam
ibadahnya ini.
Kelima:
harapan, kedudukan mulia dari wujud-Nya sangat jelas bagi kita dimana
dengan rahmat dan kasih sayang-Nya Dia tidak pernah meninggalkan kita
dan akan senantiasa mengampuni dosa-dosa yang telah kita lakukan.
Keenam:
Malu, yaitu kita menyadari bahwa diri dan ibadah yang kita lakukan
merupakan hal terkecil yang kita lakukan di hadapan-Nya. Ibadah kita
pada dasarnya merupakan sebuah kerendahan diri dan penghambaan mutlak.[9]
Wahai
yang budiman, ini adalah tujuan akhir dari perjalanan dan lintasan
setiap salik dan koridor tempat bercakap dengan-Nya tanpa perantara, dan
tempat mengulang kalimat mulia "Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in". (…
hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami
mohon pertolongan)[10]
Ya
Allah! Seumpama pohon, gapaian tangan ini tak akan mampu meraih langit
kedua-Mu, dan seumpama burung akal ini tak mampu mengepakkan sayapnya
hingga ke ketinggian jamal dan keindahan-Mu. Ilahi, siapakah yang akan
mampu memahami keagungan-Mu dengan pemahaman akal kecil kami, dan hingga
dimanakah kami akan berhasil merayap di puncak keindahanmu dengan
keranjang bekal kami? Ilahi, tempatkan kami di antara pepohonan yang
akar-akarnya memenuhi tanah perkebunan, yang kobaran cintanya kepada-Mu
telah memberanguskan kalbu-kalbu dan yang aroma mewangi keindahan-Mu
telah menerbangkan pikiran-pikiran ke puncak kulminasi. Yaitu mereka
yang berdatangan ke tanah penggembalaan untuk mendapatkan-Mu, meneguk
minuman dari mata air cinta-Mu dengan cawan-cawan kasih-Mu. Mereka yang
menetap di sisi rumah-Mu, meminum air kehidupan dari tetesan-tetesan air
rahmat-Mu dan mengenal busana-busana halus dari kelembutan-Mu.[11]
Imam Sajjad As dalam salah satu munajatnya bersabda, "Ilahi, berikanlah kepadaku keindahan dan manisnya mengingat-Mu"[12]
Karena
kita tidak merasakan manisnya mengingat-Nya-lah sehingga kita
menganggap shalat hanyalah sebuah persoalan yang biasa. Tentang kenapa
meskipun kita melakukan shalat akan tetapi tidak merasakan keindahan
cahaya yang dipancarkannya adalah karena kita tidak melakukan shalat
dengan adab-adab, irfan dan pengetahuan akan rahasia-rahasia yang
dimilikinya.Amirul Mukminin Ali As dalam Nahjul Balaghah menukilkan dari
Rasul saw yang bersabda, "Aku heran dengan seseorang yang memiliki mata
air di dalam rumahnya dan membersihkan diri dengan mandi sebanyak lima
kali sehari namun tetap saja berdaki dan kotor." Karena sesungguhnya
shalat seperti mata air yang jernih dimana para pelaksananya seakan
membersihkan dirinya di dalamnya dengan shalat yang dilakukannya
sebanyak lima kali sehari.
Shalat
merupakan sebuah telagadan kautsar dimana manusia membersihkan dirinya.
Jika dari shalat kita tidak merasakan kesuciannya maka harus kita
terima bahwa shalat yang kita lakukan bukanlah shalat yang hakiki. Bisa
saja shalat yang kita lakukan adalah sah dan benar, akan tetapi tidak
diterima di sisi-Nya, karena ciri-ciri shalat yang diterima adalah
shalat yang mampu membersihakan ruh dan jiwa. Dan manusia akan mampu
memfokuskan kalbunya dalam shalat ketika dia telah berhasil menguasai
mata dan telinganya di luar shalat.
Intinya,
shalat merupakan even pertemuan dan berkhalwat dengan sang Mahbub.
Sebuah akhir dari perjalanan untuk menikmati wajah yang Dicinta dan
saat-saat untuk terhubung dengan Yang Agung. Kehadiran di hadapan-Nyalah
yang kadangkala menggerakkan lisan untuk menggumamkan puja puji dan
syukur dan menampakkan ketakmampuan diri.
Wahai
yang budiman, bagaimana orang yang tidak memiliki kekasih, tidak
mengenal keindahan dan keagungannya, tidak memberikan kalbu dan menerima
ajakannya, melainkan tidur, malas, dan beratnya makanan serta kerasnya
hati telah mengisi kesehariannya … akan bergelora ketika menunggu
pertemuan dengannya, akan bergetar dan berubah pucat pasi ketika berdiri
di hadapannya? Dan selama kesibukan masih merajai dan mengikat kaki tuk
melangkah, siapakah yang akan berhasil untuk melakukan pertemuan dengan
selainnya?
Tak
bisa dipungkiri bahwa pendidikan dan tumbuhnya para remaja dalam sebuah
keluarga yang kadangkala merupakan sebuah taman yang indah berbunga dan
pada saat lainnya terselimuti awan sangat berpengaruh dalam membentuk
karakteristik dan lintas kehidupan mereka.
Jadi,
tidak benar jika dikatakan seluruh remaja dan kawula muda memalingkan
diri dari pertemuan dan ziarah dengan Sang Ma'bud, karena lihatlah
betapa berderet barisan-barisan yang menunggu di pusat-pusat ilmu dan
agama. Shaf-shaf yang setia menunggu detik-detik indah shalat berjamaah.
[Indonesia.islamquest.net]
Catatan Kaki:
[1] Imam Khomeini, Sayyid Ruhullah, Sirr as- Shalat, Muasese-ye Tandzim wa Nasyr Atsar-e Imam, hal. 5.
[2] Jawadi Amuli, Abdullah, Hikmat-e Ibadat, hal. 95.
[3] Man La Yahdhurul Faqih, jil. 1, hal. 210, hadis ke 636.
[4] "Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkannya kepada dirinya …" (Qs. Yusuf: 23)
[5] Sabzewari, Mulahadi, Asrarul Hekam, hal. 528.
[6] Maqtalul Husain As, hal. 232.
[7] Anwarul Bahiyyah, hal. 49.
[8] Biharul Anwar, jil. 46, hal. 78.
[9] Meqdadi Ishfahani, Ali, Nesyan az bi Nesyan-ho, jil. 1, hal. 325.
[10] Qs. Al-Fatikhah:5.
[11] Syuja'i, Daste doa Cisym-e Umid, munajad ke 12.
[12] Mafatihul Jinan, Munajat Khamsah 'Asyar.
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama