Allah
Subhanahu wa Ta’ala menyifati nama-nama-Nya dalam al-Qur’an dengan
al-husna (maha indah) yang berarti kemahaindahan yang mencapai puncak
kesempurnaan, karena nama-nama tersebut mengandung sifat-sifat
kesempurnaan yang tidak ada padanya celaan/kekurangan sedikitpun
ditinjau dari semua sisi[1].
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
{وَلِلَّهِ الأسْمَاءُ
الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي
أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ}
“Hanya milik Allah-lah asma-ul husna (nama-nama yang maha indah),
maka berdoalah kepada-Nya dengan nama-nama itu, dan tinggalkanlah
orang-orang yang menyimpang (dari kebenaran) dalam (menyebut dan
memahami) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa
yang telah mereka lakukan” (QS al-A’raaf:180).
Demikian pula sifat-sifat-Nya adalah maha sempurna yang mencapai
puncak kesempurnaan serta tidak ada padanya celaan dan kekurangan
sedikitpun[2].
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
{لِلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآَخِرَةِ مَثَلُ السَّوْءِ وَلِلَّهِ الْمَثَلُ الْأَعْلَى وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيم}
“Orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat,
mempunyai sifat yang buruk; dan Allah mempunyai sifat yang Maha Tinggi;
dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS an-Nahl :60).
Artinya: Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai sifat kesempurnaan yang mutlak (tidak terbatas) dari semua segi[3].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “(Sifat-sifat) maha sempurna
adalah milik Allah, bahkan Dia memiliki (sifat-sifat) yang
kesempurnaannya mencapai puncak yang paling tinggi, sehingga tidak ada
satu kesempurnaanpun yang tidak ada padanya celaan/kekurangan kecuali
Allah Subhanahu wa Ta’ala berhak memilikinya pada diri-Nya yang maha
suci”[4].
Kesempurnaan di Atas Kesempurnaan
Kemahasempurnaan yang paling tinggi ini ada pada masing-masing dari
nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala secara tersendiri/
terpisah, sehingga jika dua dari nama-nama dan sifat-sifat-Nya
digabungkan/ digandengkan, sebagaimana yang banyak terdapat dalam
ayat-ayat al-Qur’an, tentu ini menunjukkan kemahasempurnaan lain dari
penggandengan dua nama dan dua sifat tersebut. Inilah yang dinamakan
oleh sebagian dari para ulama dengan “al-kamaalu fauqal kamaal”
(kesempurnaan di atas kesempurnaan)[5].
Tidak diragukan lagi bahwa penggandengan dua nama dan dua sifat Allah
Subhanahu wa Ta’ala ini mengandung hikmah yang agung dan faidah yang
besar dalam mengenal kesempurnaan nama-nama dan sifat-sifat Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Ini menunjukkan kemahasempurnaan Allah Subhanahu wa
Ta’ala yang disertai dengan sanjungan dan pujian yang agung bagi-Nya.
Karena masing-masing dari nama-nama-Nya mengandung sifat kesempurnaan
bagi-Nya, maka jika dua nama-Nya digandengkan, ini mengandung pujian dan
sanjungan bagi-Nya ditinjau dari masing-masing nama tersebut, serta
mengandung pujian dan sanjungan bagi-Nya ditinjau dari penggandengan
keduanya[6].
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Demikianlah keumuman sifat-sifat Allah
yang digandengkan (satu sama lain) dan nama-nama-Nya yang digabungkan
dalam al-Qur’an.
Sesungguhnya (sifat Allah) al-Ginaa (maha kaya) adalah sifat
kesempurnaan, demikian pula al-Hamdu (maha terpuji), ketika keduanya
digabungkan[7] maka (menunjukkan) kesempurnaan lain. Bagi-Nya sanjungan
dalam (sifat) maha kaya-Nya, sanjungan dalam (sifat) maha terpuji-Nya
dan sanjungan dalam penggabungan keduanya.
Demikian pula (penggabungan dua nama-Nya) “al-‘Afuw al-Qadiir” (Yang Maha Pemaaf lagi Mahakuasa atas segala sesuatu), “al-Hamiid al-Majiid” (Yang Maha Terpuji lagi Mahamulia), dan “al-‘Aziiz al-Hakiim”
(Yang Mahaperkasa lagi Maha Bijaksana). Renungkanlah semua ini, karena
ini termasuk pengetahuan yang paling agung (dalam Islam)”[8].
Contoh-contoh Penggabungan Dua Nama Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Al-Qur’an
1. Nama Allah “al-‘Aziiz” (Yang Maha Perkasa) dan “al-Hakiim” (Yang Maha Memiliki hukum dan hikmah[9] yang sempurna).
Kedua nama ini disebutkan dalam banyak ayat al-Qur’an, misalnya: QS al-Baqarah: 129, Ali ‘Imran: 62, al-Maaidah: 38 dan 118.
Masing-masing dari kedua nama Allah Subhanahu wa Ta’ala yang
Mahaindah ini menunjukkan kemahasempurnaan dalam sifat yang
dikandungnya, yaitu al-‘izzah (maha perkasa) pada nama-Nya “al-‘Aziiz” dan hukum serta hikmah yang sempurna pada nama-Nya “al-Hakiim”.
Penggabungan kedua nama ini menunjukkan kemahasempurnaan lain, yaitu
bahwa kemahaperkasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu bersama sifat
hikmah-Nya, sehingga kemahaperkasaan-Nya tidak mengandung kezhaliman/
aniaya, ketidakadilan dan keburukan, karena ditempatkan-Nya tepat pada
tempatnya. Ini berbeda dengan makhluk, di antara mereka ada yang mungkin
memiliki keperkasaan, akan tetapi karena tidak disertai hikmah,
sehingga keperkasaan itu justru menjadikannya berbuat aniaya, tidak adil
dan berperilaku buruk.
Demikian pula hukum dan hikmah Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu
bersama kemahaperkasaan-Nya yang sempurna, sehingga mampu
diberlakukan-Nya pada semua makhluk-Nya tanpa ada satu makhlukpun yang
bisa menghalangi. Ini berbeda dengan hukum dan hikmah pada makhluk/
manusia yang penuh dengan kekurangan dan tidak selalu disertai dengan
keperkasaan, sehingga sering tidak bisa diberlakukan[10].
2. Nama Allah “al-Ghaniyyu” (Yang Maha Kaya) dan “al-Hamiid” (Yang Maha Terpuji).
Kedua nama ini juga disebutkan dalam banyak ayat al-Qur’an, misalnya: QS Faathir: 15, Luqmaan: 12 dan 26.
Masing-masing dari kedua nama Allah Subhanahu wa Ta’ala ini menunjukkan kemahasempurnaan dalam sifat yang dikandungnya, yaitu al-ghinaa (Maha Kaya) pada nama-Nya “al-Ganiyyu” dan al-hamdu (Maha Terpuji) pada nama-Nya “al-Hamiid”.
Penggabungan kedua nama ini menunjukkan kemahasempurnaan lain, yaitu
bahwa barangsiapa yang memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bersyukur
kepada-Nya atas semua limpahan nikmat dan karunia-Nya maka sesungguhnya
Dia Subhanahu wa Ta’ala memang berhak untuk dipuji dan disyukuri atas
segala nikmat-Nya, akan tetapi segala pujian dan sanjungan kepada-Nya
tidak menambah sedikitpun dari kemuliaan dan kekuasaan-Nya, karena Dia
Maha Kaya sehingga Dia Subhanahu wa Ta’ala tidak butuh kepada
pujian dan sanjungan makhluk-Nya, sebagaimana ketaatan makhluk-Nya tidak
bermanfaat bagi-Nya dan perbuatan maksiat mereka tidak merugikan dan
membahayakan-Nya sedikitpun.
Maka semua ketaatan manusia adalah untuk kebaikan diri mereka
sendiri, sebagaimana perbuatan maksiat mereka akan merugikan diri mereka
sendiri, sebagaimana makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
{وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ}
“Barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah) maka sesungguhnya dia
bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri, dan barangsiapa yang kufur
(tidak bersyukur) maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji” (QS Luqmaan: 12)[11].
Dalam sebuah hadits qudsi yang shahih, Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman: “Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya kalian tidak akan mampu
memberikan kecelakaan bagi-Ku dan kalian tidak akan mampu memberikan
kemanfaatan bagi-Ku. Wahai hamba-hamba-Ku, seandainya manusia dan jin
dari yang pertama (ada di dunia) sampai yang terakhir semuanya
(keadaannya seperti) orang yang paling bertakwa hatinya di antara
kalian, maka hal itu tidak menambah sedikitpun dari kekuasaan-Ku, dan
(sebaliknya) seandainya manusia dan jin dari yang pertama (ada di dunia)
sampai yang terakhir semuanya (keadaannya seperti) orang yang paling
buruk hatinya di antara kalian, maka hal itu tidak mengurangi sedikitpun
dari kekuasaan-Ku…”[12].
3. Nama Allah Subhanahu wa Ta’ala “al-‘Aziiz” (Yang Maha Perkasa) dan ar-Rahiim (Yang Maha Penyayang).
Kedua nama ini disebutkan berulangkali dalam surah asy-Syu’araa’ di
akhir ayat-ayat yang menceritakan kisah-kisah para Nabi dan Rasul
shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta umat yang mendustakan seruan dakwah mereka. Misalnya dalam ayat ke-9, 68, 104, 122 dan 140 Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
{وَإِنَّ رَبَّكَ لَهُوَ الْعَزِيزُ الرَّحِيمُ}
“Dan sesungguhnya Rabb-mu (Allah Subhanahu wa Ta’ala) benar-benar Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang”.
Masing-masing dari kedua nama Allah Subhanahu wa Ta’ala ini
menunjukkan kemahasempurnaan dalam sifat yang dikandungnya. Sifat maha
perkasa adalah sifat kesempurnaan, sebagaimana sifat maha penyayang
adalah sifat kesempurnaan.
Penggabungan kedua nama ini menunjukkan kemahasempurnaan lain, yaitu bahwa semua yang Allah Subhanahu wa Ta’ala
berlakukan kepada para Nabi-Nya ‘alaihimussalam berupa pertolongan
dalam menghadapi musuh-musuh mereka, peneguhan iman dari-Nya dan
ditinggikannya derajat mereka adalah bukti dari sifat rahmat (maha
penyayang) Allah Subhanahu wa Ta’ala yang dilimpahkan dan dikhususkan-Nya kepada para Nabi ‘alaihismassalam,
maka Dialah yang menjaga, melindungi dan menolong mereka dari tipu daya
musuh-musuh mereka. Sebaliknya, semua yang diberlakukan-Nya kepada
musuh-musuh para Nabi-Nya ‘alaihimassalam berupa siksaan dan kebinasaan
merupakan bukti sifat maha perkasa-Nya. Maka Dia Subhanahu wa Ta’ala
menolong para Rasul-Nya ‘alaihimassalam dengan rahmat-Nya dan
membinasakan musuh-musuh mereka dengan keperkasaan-Nya, sehingga
penyebutan kedua nama ini di ayat-ayat tersebut di atas sangat sesuai
dan tepat[13].
4. Nama Allah dan al-Ghafuur (Yang Maha Pengampun) dan al-Waduud (Yang Maha Mencintai)
Kedua nama ini digandengkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
{إِنَّهُ هُوَ يُبْدِئُ وَيُعِيدُ وَهُوَ الْغَفُورُ الْوَدُودُ}
“Sesungguhnya Dia-lah Yang menciptakan (makhluk) dari permulaan
dan menghidupkannya (kembali). Dan Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha
Mencintai hamba-hamba-Nya” (QS al-Buruuj: 13-14).
Masing-masing dari kedua nama Allah Subhanahu wa Ta’ala ini
menunjukkan kemahasempurnaan dalam sifat yang dikandungnya. Sifat maha
pengampun adalah sifat kesempurnaan, sebagaimana sifat maha mencintai
adalah sifat kesempurnaan.
Penggabungan kedua nama ini menunjukkan kemahasempurnaan lain, yaitu
bahwa Allah I mencintai hamba-hamba-Nya yang selalu bertaubat dan
memohon ampun kepada-Nya. Maka perbuatan dosa yang mereka lakukan
tidaklah menghalangi mereka untuk meraih kecintaan Allah Subhanahu wa
Ta’ala selama mereka bersungguh-sungguh dalam bertaubat dan kembali
kepada-Nya.
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Dalam ayat ini terdapat rahasia (hikmah)
yang halus, yaitu bahwa Allah mencintai hamba-hamba-Nya yang bertaubat
(kepada-Nya) dan bahwa Dia mencintai hamba-Nya setelah (mendapat)
pengampunan-Nya. Maka Allah mengampuni-Nya kemudian mencintai-Nya,
sebagaimana dalam firman-Nya:
{إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِين}
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang mensucikan diri” (QS al-Baqarah: 222).
Maka orang yang bertaubat adalah kekasih Allah”[14].
Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di berkata: “Dalam ayat ini terdapat
rahasia (hikmah) yang halus, di mana Allah menggandengkan (nama-Nya) al-Waduud (Yang Maha Mencintai) dengan (nama-Nya) al-Ghafuur
(Yang Maha Pengampun). Ini menunjukkan bahwa orang-orang yang berbuat
dosa, jika mereka (sungguh-sungguh) bertaubat dan kembali kepada Allah,
maka Dia akan mengampuni dosa-dosa mereka dan mencintai mereka. Maka
tidak (benar jika) dikatakan bahwa dosa-dosa mereka diampuni akan tetapi
kecintaan Allah tidak akan mereka dapatkan kembali”[15].
Catatan dan Faidah Penting
Di antara nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala yang disebutkan dalam al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
ada yang selalu disebutkan secara bergandengan satu sama lain, maka
kedua nama ini tidak boleh disebutkan secara terpisah, karena kedua nama
ini hanya mengandung pujian dan sanjungan bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala jika digandengakan dan tidak dipisahkan. Misalnya: “al-Qaabidh al-Baasith”[16] (Yang Maha Menyempitkan dan Melapangkan rizki bagi hamba-hamba-Nya) dan “al-Muqaddim al-Muakhkhir”[17] (Yang Maha Mendahulukan dan Mengakhirkan).
Oleh karena itu, kedua nama ini meskipun secara makna adalah terdiri
dari dua nama, karena masing-masingnya membawa makna yang berbeda dengan
yang lain, akan tetapi kedudukannya seperti satu nama, karena tidak
boleh disebutkan kecuali bergandengan satu sama lain, agar menunjukkan
kesempurnaan dan pujian bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala [18].
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Di antara nama-nama Allah ada yang tidak
boleh disebutkan secara tersendiri, tapi (harus) digandengkan dengan
(nama Allah lain) yang merupakan kebalikannya, seperti: al-Maani’ (yang maha mencegah/tidak memberi), adh-Dhaarr
(yang maha mendatangkan bahaya) dan al-Muntaqim (yang maha membalas
dendam/memberi siksaan). Nama-nama ini tidak boleh dipisahkan dari
(nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala) yang merupakan kebalikannya,
karena nama-nama tersebut bergandengan dengan nama-Nya al-Mu’thi (yang maha memberi), an-Naafi’
(yang maha memberi manfaat) dan al-‘Afuw (yang maha pemaaf). Maka
Dialah “Yang Maha Memberi lagi maha mencegah/tidak memberi”, “Yang Maha
Memberi manfaat lagi Maha mendatangkan bahaya”, “Yang Maha Memberi
siksaan lagi Maha Pemaaf” dan “Yang Maha Memuliakan dan Maha
Menghinakan”.
Kemahasempurnaan (bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala) adalah dengan
menggandengkan nama-nama ini dengan (nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala
lainnya) yang merupakan kebalikannya, karena ini berarti bahwa Allah
Maha Tunggal/Esa dalam sifat rububiyah-Nya, mengatur (urusan)
makhluk-Nya dan memberlakukan pada mereka (apa yang dikehendaki-Nya)
dalam memberi, mencegah, memberi manfaat, mendatangkan bahaya, memaafkan
dan memberi siksaan.
Adapun memuji Allah dengan hanya (menyebutkan) yang maha
mencegah/tidak memberi, maha membalas dendam/memberi siksaan dan maha
mendatangkan bahaya maka ini tidak diperbolehkan.
Maka inilah nama-nama Allah yang selalu bergandengan satu sama
lainnya, kedudukannya seperti satu nama yang tidak boleh dipisahkan
huruf-hurufnya satu dari yang lain. Meskipun nama-nama ini lebih dari
satu tapi kedudukannya seperti satu nama. Oleh karena itu, nama-nama ini
tidak pernah disebutkan dan dimutlakkan kecuali bergandengan (satu sama
lainnya), maka pahamilah ini!”[19].
Penutup
Demikianlah pemaparan ringkas tentang “kesempurnaan di atas
kesempurnaan” dalam nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Meskipun kita beriman secara pasti bahwa keindahan dan kesempurnaan
dalam kandungan nama-nama dan sifat-sifat-Nya tidak terbatas dan
melebihi dari semua keindahan dan kesempurnaan yang mampu digambarkan
oleh akal pikiran manusia.
Maka benarlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengungkapkan keindahan dan kesempurnaan yang tanpa batas ini dalam doa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang populer:
لا أُحْصِيْ ثَنَاءً عَلَيْكَ، أَنْتَ كَما أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ
“Aku tidak mampu menghitung/membatasi pujian/sanjungan
terhadap-Mu, Engkau adalah sebagaimana (pujian dan sanjungan) yang
Engkau peruntukkan bagi diri-Mu”[20].
Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan memohon kepada Allah dengan
nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna,
agar dia memudahkan kita untuk memahami dengan benar keindahan dan
kesempurnaan dalam nama-nama dan sifat-sifat-Nya, yang dengan itu kita
bisa mencintainya dan menyempurnakan penghambaan diri kita kepada-Nya.
Sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan Maha
Mengabulkan doa.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
[1] Lihat kitab “al-Qawaa’idul mutsla” (hal. 21).
[2] Ibid (hal. 53).
[3] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (2/756).
[4] Kitab “al-Qawa-‘idul mutsla” (6/71).
[5] Lihat penjelasan syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin dalam “al-Qawaa’idul mutsla” (hal. 23).
[6] Lihat kitab “Fiqhul asma-il husna” (hal. 41).
[7] Misalnya dalam QS Faathir: 15 dan QS Luqmaan: 26.
[8] Kitab “Bada-i’ul fawa-id” (1/168-169).
[9] Hikmah adalah menempatkan segala sesuatu tepat pada tempatnya, yang ini bersumber dari
kesempurnaan ilmu Allah Subhanahu wa Ta’ala, lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 131 dan 946).
[10] Lihat kitab “al-Qawaa’idul mutsla” (hal. 23) dan “Fiqhul asma-il husna” (hal. 41).
[11] Lihat kitab “Fiqhul asma-il husna” (hal. 42).
[12] HSR Muslim (no. 2577).
[13] Lihat kitab “Fiqhul asma-il husna” (hal. 42).
[14] Kitab “Raudhatul muhibbiin” (hal. 47).
[15] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 918).
[16] Kedua nama ini disebutkan dalam HR Abu Dawud (no. 3451),
at-Tirmidzi (no. 1314) dan Ibnu Majah (no. 2200), dinyatakan shahih oleh
imam at-Tirmidzi dan syaikh al-Albani.
[17] Kedua nama Allah Subhanahu wa Ta’ala ini disebutkan dalam banyak hadits shahih, di antaranya dalam HSR al-Bukhari (no. 6035) dan Muslim (no. 2719), juga dalam HSR Muslim (no. 771).
[18] Lihat kitab “Fiqhul asma-il husna” (hal. 280) dan “al-Mujalla fi syarhil qawaa‘idil mutsla” (hal. 160)..
[19] Kitab “Bada-i’ul fawaa-id” (1/177).
[20] HSR Muslim (no. 486).
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama