Masih
melanjutkan beberapa kerancuan yang disuarakan oleh orang Liberal,
terutama yang kami sanggah adalah kerancuan yang disampaikan Bu Musdah
Mulia. Beliau adalah salah seorang tokoh JIL dan Ketua Lembaga Kajian
Agama dan Jender (LKAJ). Beliau memiliki beberapa pendapat yang aneh
dan nyleneh mengenai jilbab yang perlu dijelaskan pada umat mengenai
kekeliruannya.
Ketiga: Bu Musdah juga mengemukakan kesimpulan dari Forum Pengkajian Islam UIN Sharif Hidayatullah tahun 1998: “Hukum
Islam tidak menunjukkan batas aurat yang wajib ditutup, tetapi
menyerahkan hal itu kepada masing-masing orang sesuai situasi, kondisi
dan kebutuhan.”
Sanggahan:
Ini juga pendapat beliau yang sama dengan sebelumnya. Kalau demikian
adanya, maka berarti terserah kita menentukan manakah pakaian muslimah.
Kalau di Arab pakai abaya dan hitam-hitam disertai cadar. Kalau di
Indonesia, cukup kebaya. Kalau di Barat, tidak mengapa memakai pakaian
renang. Apalagi di musim panas, cukup pakai celana pendek (yang terlihat
paha) dan baju “u can see”. Karena semua dikembalikan pada
individu masing-masing dan dilihat kondisi dan kebutuhan, tidak ada
standar baku. Beda halnya jika yang jadi patokan adalah firman Allah dan
sabda Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, maka jelas patokannya.
Keempat: Beliau
kembali berkata, “Jika teks-teks tentang jilbab tersebut dibaca dalam
konteks sekarang, terlihat bahwa perempuan tidak perlu lagi memakai
jilbab hanya sekadar agar mereka dikenali, atau mereka dibedakan dari
perempuan yang berstatus budak, atau agar mereka tidak diganggu
laki-laki jahat. Di masa sekarang, tidak ada lagi perbudakan, dan busana
bukan ukuran untuk menetapkan identitas seseorang,” tandasnya nyleneh.
Bu Musdah juga mengatakan, “Jika perlindungan itu tidak dibutuhkan
lagi karena sistem keamanan yang sudah sedemikian maju dan terjamin,
tentu perempuan dapat memilih secara cerdas dan bebas apakah ia masih
mau mengenakan jilbab atau tidak.”
Sanggahan:
Yang beliau singgung di sini adalah surat Al Ahzab berikut:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ
وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ
جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ
اللَّهُ غَفُورًا
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak
perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya
mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu.
Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59)
Mari kita simak kalam ulama salaf mengenai tafsiran ayat di atas.
As Sudi rahimahullah mengatakan, “Dahulu orang-orang fasik
di Madinah biasa keluar di waktu malam ketika malam begitu gelap di
jalan-jalan Madinah. Mereka ingin menghadang para wanita. Dahulu
orang-orang miskin dari penduduk Madinah mengalami kesusahan. Jika malam
tiba para wanita (yang susah tadi) keluar ke jalan-jalan untuk memenuhi
hajat mereka. Para orang fasik sangat ingin menggoda para wanita tadi.
Ketika mereka melihat para wanita yang mengenakan jilbab, mereka
katakan, “Ini adalah wanita merdeka. Jangan sampai menggagunya.” Namun
ketika mereka melihat para wanita yang tidak berjilbab, mereka katakan,
“Ini adalah budak wanita. Mari kita menghadangnya.”
Mujahid rahimahullah berkata, “Hendaklah para wanita
mengenakan jilbab supaya diketahui manakah yang termasuk wanita merdeka.
Jika ada wanita yang berjilbab, orang-orang yang fasik ketika bertemu
dengannya tidak akan menyakitinya.”[1]
Penjelasan para ulama di atas menerangkan firman Allah mengenai manfaat jilbab,
ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ
“Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal.” (QS. Al Ahzab: 59)
Asy Syaukani rahimahullah menerangkan, “Ayat (yang artinya),
” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal”, bukanlah
yang dimaksud supaya salah satu di antara mereka dikenal, yaitu siapa
wanita itu. Namun yang dimaksudkan adalah supaya mereka dikenal, manakah
yang sudah merdeka, manakah yang masih budak. Karena jika mereka
mengenakan jilbab, itu berarti mereka mengenakan pakaian orang merdeka.”[2]
Inilah yang membedakan manakah budak dan wanita merdeka dahulu. Hal
ini menunjukkan bahwa wanita yang tidak berjilbab berarti masih
menginginkan status dirinya sebagai budak. Bahkan Ibnu Katsir mengatakan
bahwa jilbab bertujuan bukan hanya untuk membedakan dengan budak,
bahkan dengan wanita jahiliyah.[3]
Sehingga orang yang tidak berjilbab malah kembali ke zaman jahiliyah.
Yang dimaksud zaman jahiliyah adalah masa sebelum diutusnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Disebut jahiliyah karena berada dalam zaman penuh kebodohan dan
kesesatan sebagaimana disebutkan dalam kamus Al Mu’jam Al Wasith.
Coba bandingkan, manakah yang lebih paham Qur’an, As Sudi dan Mujahid yang terkenal dengan keahliannya dalam ilmu tafsir
dan juga Asy Syaukani yang tidak perlu lagi diragukan ilmunya, ataukah
professor kemarin sore yang biasa memplintir ayat? Tentu saja yang kita
ikuti adalah yang lebih salaf dari Bu Musdah Mulia. Seorang sahabat yang
mulia, ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
مَنْ كَانَ مِنْكُمْ مُسْتَنًّا فَلْيَسْتَنَّ بِمَنْ قَدْ مَاتَ فَإِنَّ الْحَيَّ لَا تُؤْمَنُ عَلَيْهِ الْفِتْنَةُ
“Siapa saja di antara kalian yang ingin mengikuti petunjuk, maka
ambillah petunjuk dari orang-orang yang sudah mati. Karena orang yang
masih hidup tidaklah aman dari fitnah.”[4]
Benarlah kata Ibnu Mas’ud, lebih terfitnah lagi atau lebih rusak jika
yang diambil perkataan adalah orang JIL yang muara logikanya tidak jelas
dan tanpa pernah mau merujuk pada dalil atau perkataan ulama, maunya
mengandalkan logikanya saja. Biar kita selamat, ambillah perkataan salaf
daripada mengambil perkataan JIL yang logikanya asal-asalan.
Jikalau mau dikatakan bahwa wanita muslimah
tidak butuh identitas jilbab lagi untuk saat ini. Maka jawabnya, justru
sangat butuh. Karena dengan jilbab seorang wanita lebih mudah dikenal,
ia muslim ataukah bukan. Bahkan lebih mudah dikenal ia wanita baik-baik
ataukah wanita nakal melalui jilbabnya.
Jika Bu Musdah Mulia menganggap bahwa jilbab hanya bertujuan agar
tidak diganggu laki-laki dan sekarang keamanan wanita sudah terjamin.
Jawabnya, sudah terjamin dari mana? Justru kalau kita buat persentase,
yang tidak berjilbab itu yang lebih banyak jadi korban perkosaan. Maka
benarlah firman Allah,
ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ
“Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu.” (QS. Al Ahzab: 59).
Kita bandingkan perkataan Bu Musdah dengan seorang ulama. Syaikh As Sa’di rahimahullah
berkata, “Ayat di atas menunjukkan, orang yang tidak mengenakan jilbab
akan lebih mudah digoda. Karena jika seorang wanita tidak berjilbab,
maka orang-orang akan mengira bahwa ia bukanlah wanita ‘afifaat (wanita
yang benar-benar menjaga diri atau kehormatannya). Akhirnya orang yang
punya penyakit dalam hatinya muncul hal yang bukan-bukan, lantas mereka
pun menyakitinya dan menganggapnya rendah seperti anggapan mereka itu
budak. Akhirnya orang-orang yang ingin berlaku jelek merendahkannya.”[5] Apa yang disebutkan oleh Syaikh As Sa’di memang benar dan sesuai realita di lapangan.
So … apa dengan alasan Bu Musdah seperti itu, jilbab mesti
dilepas karena wanita sekarang tidak butuh identitas semacam itu?
Silakan kita memilih, perkataan Bu Profesor ini lebih diikuti ataukah
firman Allah, sabda Rasul dan perkataan ulama yang jelas lebih tinggi
ilmunya dan pemahaman agamanya dibanding Ibu Profesor.
Kelima:
“Perempuan beriman tentu secara sadar akan memilih busana sederhana dan
tidak berlebih-lebihan sehingga menimbulkan perhatian publik, dan yang
pasti juga tidak untuk pamer (riya)”, ujar Bu Musdah Mulia.
Sanggahan:
Bagaimana bisa berjilbab disebut riya’? Aneh …
Sebagaimana laki-laki jika ia diwajibkan shalat jama’ah di masjid,
apa kita katakan ia riya’ jika pergi ke masjid? Jika seseorang ingin
pergi shalat ‘ied ke lapangan, apa juga disebut riya’?
Jadi dengan alasan Bu Musdah, laki-laki tidak usah pergi ke masjid
untuk berjama’ah. Begitu pula kita tidak perlu shalat ‘ied di tanah
lapang karena khawatir riya’.
Justru kita katakan bahwa untuk amalan wajib yang harus ditampakkan, maka wajib ditampakkan.
Kata Al-Izz bin ‘Abdus Salam, amalan yang disyariatkan untuk
ditampakkan seperti adzan, iqomat, ucapan takbir ketika shalat, membaca
Qur’an secara jahr dalam shalat jahriyah (Maghrib, Isya’ dan Shubuh,
pen), ketika berkhutbah, amar ma’ruf nahi mungkar, mendirikan shalat
jum’at dan shalat secara berjamaah, merayakan hari-hari ‘ied, jihad,
mengunjungi orang-orang yang sakit, dan mengantar jenazah, maka amalan
semacam ini tidak mungkin disembunyikan. Jika pelaku amalan-amalan
tersebut takut berbuat riya, maka hendaknya ia berusaha keras untuk
menghilangkannya hingga dia bisa ikhlas dalam beramal. Sehingga dengan
demikian dia akan mendapatkan pahala amalannya dan juga pahala karena
kesungguhannya menghilangkan riya’ tadi, karena amalan-amalan ini
maslahatnya juga untuk orang lain.
Jika demikian, maka jilbab itu wajib ditampakkan dan itu bukanlah riya’. Bahkan kata Fudhail bin ‘Iyadh,
تَرْكُ الْعَمَلِ لِأَجْلِ النَّاسِ رِيَاءٌ وَالْعَمَلُ لِأَجْلِ النَّاسِ شِرْكٌ
“Meninggalkan amalan karena manusia termasuk riya’. Melakukan amalan karena manusia termasuk syirik.”[6]
Keenam: Bu
Musdah Mulia juga berkata, “Memakai jilbab bukanlah suatu kewajiban bagi
perempuan Islam. Itu hanyalah ketentuan Al Qur’an bagi para istri dan
anak-anak perempuan Nabi.”
Sanggahan:
Bagaimana dikatakan jilbab hanya untuk anak dan istri nabi, sedangkan
dalam ayat sudah dijelaskan pula secara terang bagi wanita beriman,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin …”
(QS. Al Ahzab: 59). Ayat hijab ini secara jelas menunjukkan perintah
tersebut ditujukan pula untuk orang-orang beriman, namun terkhususkan
pada istri dan anak Nabi.[7]
Taruhlah jika perintah tersebut hanya untuk istri Nabi dan
anak-anaknya. Kita dapat berikan jawaban bahwa jika untuk istri dan anak
beliau saja diperintahkan untuk berjilbab padahal ada Nabi di sini
mereka yang jelas mereka lebih terjaga dari gangguan, maka tentu wanita
lainnya lebih pantas untuk menutup dirinya dengan jilbab. Lebih dari
itu, jilbab adalah sebagai tanda kemulian istri dan anak Nabi[8]. Jadi, barangsiapa ingin mulia, berjilbablah dengan segera.
Ketujuh: Beliau
menyatakan pula, “Asbab nuzul ayat-ayat tentang perintah jilbab
disimpulkan Musdah, bahwa jilbab lebih bernuansa ketentuan budaya
ketimbang ajaran agama. Sebab, jika jilbab memang diterapkan untuk
perlindungan atau meningkatkan prestige kaum perempuan beriman, maka
dengan demikian dapatlah dianggap bahwa jilbab merupakan sesuatu yang
lebih bernuansa budaya daripada bersifat religi.”
Sanggahan:
Tidak sedikit komentar kaum penentang jilbab mengatakan, kalau jilbab
adalah hasil adopsi budaya bangsa Arab. Sehingga menurut mereka, bangsa
yang di luar Arab, tidak memiliki kewajiban untuk mengikuti budaya
Arab.
Jika katakan jilbab adalah budaya Arab, maka kita mesti lihat sejarah
Arab sebelum Islam itu datang. Kalau kita lihat penjelasan ulama,
ternyata menunjukkan bahwa jilbab itu datang ketika Islam itu ada.
Karena sebelumnya di zaman jahiliyah, wanita itu telanjang dada. Ibnu
Katsir dalam tafsirnya mengatakan, “Perempuan pada zaman jahiliyah biasa
melewati laki-laki dengan keadaan telanjang dada, tanpa ada kain
sedikit pun. Kadang-kadang mereka memperlihatkan leher, rambut dan
telinganya. Kemudian Allah akhirnya memerintahkan wanita beriman untuk menutupi diri dari hal-hal semacam tadi.”[9]
Jelas sudah, kalau jilbab yang dianjurkan Islam beda jauh dengan
budaya Arab. Lalu ada alasan lainkah yang mengatakan jilbab itu sebuah
budaya Arab? Jika merujuk pada jilbab yang menutup aurat, jelas Islam
lah yang menggagasnya.
Ayat-ayat dan hadits yang
telah kami jelaskan di awal sudah menunjukkan bahwa jilbab adalah bukan
budaya arab, namun ajaran Islam yang langsung diperintahkan oleh Allah.
Ajaran Islam bersifat universal untuk orang Arab dan non Arab
sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”(QS.
Al Anbiya’: 107). Ibnu Jarir Ath Thobari berkata bahwa tidaklah Nabi
Muhammad itu diutus melainkan sebagai rahmat bagi seluruh makhluk Allah
yang beliau diutus kepadanya.[10]
Demikian beberapa penjelasan sebagai sanggahan pada beberapa syubhat
atau kerancuan yang biasa disampaikan orang-orang Liberal atau JIL. Moga
Allah terus menguatkan iman kita dengan akidah dan pemahaman agama yang
benar, serta menghindarkan kita dari pemahaman orang-orang yang tak
tahu arah.
Wallahu waliyyut taufiq.
[1] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 11: 243
[2] Fathul Qodir, 6: 79.
[3] Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 11: 242.
[4] Majmu’ Al Fatawa, 3: 126.
[5] Taisir Al Karimir Rahman, hal. 671
[6] Majmu’ Al Fatawa, 23: 174.
[7] Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 11: 242
[8] Idem.
[9] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 10: 218.
[10] Tafsir Ath Thobari, 16: 439.
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama