Seringkali kita berputus asa tatkala mendapatkan kesulitan
atau cobaan. Padahal Allah telah memberi janji bahwa di balik kesulitan,
pasti ada jalan keluar yang begitu dekat.
Dalam surat Alam Nasyroh, Allah Ta’ala berfirman,
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Alam Nasyroh: 5)
Ayat ini pun diulang setelah itu,
إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Alam Nasyroh: 6)
Mengenai ayat di atas, ada beberapa faedah yang bisa kita ambil:
Pertama: Di balik satu kesulitan, ada dua kemudahan
Kata “al ‘usr (kesulitan)” yang diulang dalam surat Alam Nasyroh
hanyalah satu. Al ‘usr dalam ayat pertama sebenarnya sama dengan al ‘usr
dalam ayat berikutnya karena keduanya menggunakan isim ma’rifah
(seperti
kata yang diawali alif lam). Sebagaimana kaedah dalam bahasa Arab,
“Jika isim ma’rifah diulang, maka kata yang kedua sama dengan kata yang
pertama, terserah apakah isim ma’rifah tersebut menggunakan alif lam
jinsi ataukah alif lam ‘ahdiyah.” Intinya, al ‘usr (kesulitan) pada ayat
pertama sama dengan al ‘usr (kesulitan) pada ayat kedua.
Sedangkan kata “yusro (kemudahan)” dalam surat Alam Nasyroh itu ada dua. Yusro (kemudahan) pertama berbeda dengan yusro
(kemudahan) kedua karena keduanya menggunakan isim nakiroh (seperti
kata yang tidak diawali alif lam). Sebagaimana kaedah dalam bahasa Arab,
“Secara umum, jika isim nakiroh itu diulang, maka kata yang kedua
berbeda dengan kata yang pertama.” Dengan demikian, kemudahan itu ada
dua karena berulang.[1] Ini berarti ada satu kesulitan dan ada dua kemudahan.
Dari sini, para ulama pun seringkali mengatakan, “Satu kesulitan tidak
akan pernah mengalahkan dua kemudahan.” Asal perkataan ini dari hadits
yang lemah, namun maknanya benar[2]. Jadi, di balik satu kesulitan ada
dua kemudahan.
Note:
Mungkin sebagian orang yang belum pernah mempelajari bahasa Arab kurang
paham dengan istilah di atas. Namun itulah keunggulan orang yang paham
bahasa Arab, dalam memahami ayat akan berbeda dengan orang yang tidak
memahaminya. Oleh karena itu, setiap muslim hendaklah membekali diri
dengan ilmu alat ini. Di antara manfaatnya, seseorang akan memahami Al
Qur’an lebih mudah dan pemahamannya pun begitu berbeda dengan orang yang
tidak paham bahasa Arab. Semoga Allah memberi kemudahan.
Kedua: Akhir berbagai kesulitan adalah kemudahan
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di mengatakan, “Kata al ‘usr
(kesulitan) menggunakan alif-lam dan menunjukkan umum (istigroq) yaitu
segala macam kesulitan. Hal ini menunjukkan bahwa bagaimana pun
sulitnya, akhir dari setiap kesulitan adalah kemudahan.”[3] Dari sini,
kita dapat mengambil pelajaran, “Badai pastilah berlalu (after a storm
comes a calm), yaitu setelah ada kesulitan pasti ada jalan keluar.”
Ketiga: Di balik kesulitan, ada kemudahan yang begitu dekat
Dalam ayat di atas, digunakan kata ma’a, yang asalnya bermakna “bersama”. Artinya, “kemudahan akan selalu menyertai kesulitan”.
Oleh karena itu, para ulama seringkali mendeskripsikan, “Seandainya
kesulitan itu memasuki lubang binatang dhob (yang berlika-liku dan
sempit, pen), kemudahan akan turut serta memasuki lubang itu dan akan
mengeluarkan kesulitan tersebut.”[4]
Padahal lubang binatang dhob begitu sempit dan sulit untuk dilewati
karena berlika-liku (zig-zag). Namun kemudahan akan terus menemani
kesulitan, walaupun di medan yang sesulit apapun.
Allah Ta’ala berfirman,
سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
“Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. Ath Tholaq: 7) Ibnul Jauziy, Asy Syaukani dan ahli tafsir lainnya mengatakan, “Setelah kesempitan dan kesulitan, akan ada kemudahan dan kelapangan.”[5] Ibnu Katsir mengatakan, ”Janji Allah itu pasti dan tidak mungkin Dia mengingkarinya.”[6]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَأَنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً
“Bersama kesulitan, ada kemudahan.”[7] Oleh karena itu, masihkah ada keraguan dengan janji Allah dan Rasul-Nya ini?
Rahasia Mengapa di Balik Kesulitan, Ada Kemudahan yang Begitu Dekat
Ibnu Rajab telah mengisyaratkan hal ini. Beliau berkata,
“Jika kesempitan itu semakin terasa sulit dan semakin berat, maka
seorang hamba akan menjadi putus asa dan demikianlah keadaan makhluk
yang tidak bisa keluar dari kesulitan. Akhirnya, ia pun menggantungkan
hatinya pada Allah semata. Inilah hakekat tawakkal pada-Nya. Tawakkal
inilah yang menjadi sebab terbesar keluar dari kesempitan yang ada.
Karena Allah sendiri telah berjanji akan mencukupi orang yang
bertawakkal pada-Nya. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya.” (QS. Ath Tholaq: 3).”[8] Inilah rahasia yang sebagian kita mungkin belum mengetahuinya. Jadi intinya, tawakkal lah yang menjadi sebab terbesar seseorang keluar dari kesulitan dan kesempitan.
Ya Allah, jadikanlah kami termasuk golongan orang yang
sabar dalam menghadapi setiap ketentuan-Mu. Jadikanlah kami sebagai
hamba-Mu yang selalu bertawakkal dan bergantung pada-Mu. Amin Ya Mujibas Saa-ilin.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
-Begitu nikmat setiap hari dapat menggali faedah dari sebuah ayat. Semoga hati ini tidak lalai dari mengingat-Nya-
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
footnote
[1] Dua kaedah bahasa Arab ini disebutkan oleh Asy Syaukani dalam kitab tafsirnya Fathul Qodir, 8/22, Mawqi’ At Tafasir.
[2] Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits tersebut adalah dho’if
(lemah). Hadits tersebut termasuk hadits mursal dan mursal termasuk
hadits dho’if (lemah). Lihat As Silsilah Ash Shohihah no. 4342
[3] Taisir Karimir Rahman, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, hal.
929, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1423 H
[4] Asal perkataan ini adalah dari hadits yang dho’if (lemah), namun maknanya shahih (benar).
[5] Zaadul Masiir, Ibnul Jauziy, 6/42, Mawqi’ At Tafasir dan Fathul Qodir, Asy Syaukani, 7/247, Mawqi’ At Tafasir.
[6] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 8/154, Dar Thoyibah, cetakan kedua, tahun 1420 H.
[7] HR. Ahmad no. 2804. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[8] Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 238, Darul Muayyad, cetakan pertama, tahun 1424 H.
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama