Pegangan Ahlus Sunnah Dalam Ilmu Syar’i, Pelaksanaan Amar Makruf Dan Nahi Mungkar
Ahlus Sunnah meyakini kewajiban amar ma’ruf dan nahi mungkar atas setiap muslim sesuai dengan kemampuannya. Ma’ruf adalah semua yang diperintahkan oleh syariat,
Ahlus Sunnah memerintahkannya. Munkar adalah semua yang dilarang oleh
syariat, Ahlus Sunnah melarangnya. Hal itu sebagaimana perintah Allah
Ta’ala, artinya, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ ruf dan mencegah dari yang munkar.” (Ali Imran : 104).
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kamu harus beramar
ma’ruf, bernahi mungkar, mencegah orang berbuat zhalim dan membela
kebenaran dengan sungguh2.”(HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Beramar ma’ruf dan bernahi mungkar hendaknya berdasarkan tuntutan dan konsekuensi syariat, yaitu :
Pertama : Hendaknya dia mengetahui hukum syari’at
terkait dengan hal yang diperintahkan dan dilarangnya. Dia tidak
memerintahkan dan melarang kecuali yang dia ketahui bahwa hal itu ada
dasarnya dari syari’at.
Firman Allah Ta’ala, “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu
tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggunganjawabnya.”(QS. al Isra’ : 36)
Firman-Nya Ta’ala, “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang
disebut2 oleh lidahmu secara dusta ‘Ini halal dan ini haram’, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang2 yang mengada2kan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.” (QS. an-Nahl : 116).
Syarat Kedua : Hendaknya dia mengetahui keadaan orang yang
diperintah. Apakah dia termasuk orang yang diperintah atau dilarang atau
tidak ? Kalau dia melihat seseorang, dia ragu apakah dia mukallaf atau
bukan, maka dia tidak memerintahkannya melakukan apa yang diperintahkan
kepada orang yang sepertinya, sehingga dia memastikan tentang
keadaannya.
Syarat Ketiga : Hendaknya dia mengetahui keadaan orang yang
diperintah pada saat pembebanannya apakah dia telah melakukannya atau
belum ?
Kalau dia melihat seseorang masuk masjid kemudian duduk, dia ragu apakah dia telah shalat dua raka’at atau belum, maka dia tidak boleh mengingkarinya dan tidak pula memerintahkannya sehingga perkaranya jelas.
Dalilnya adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bekhutbah
pada hari Jum’at, lalu seorang laki2 masuk dan duduk, Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam bertanya kepadanya, “Hai fulan apakah kamu sudah shalat
?” Dia menjawab, “Belum.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Berdirilah dan shalatlah dua rakaat dengan ringan.” (HR.al-Bukhari dan
Muslim).
Syarat Keempat : Hendaknya dia mampu beramar ma’ruf dan bernahi mungkar tanpa ada mudharat yang menimpanya.
Jika ada mudharat maka ia tidak wajib atasnya, akan tetapi jika dia
bersabar dan melakukannya maka itu lebih baik karena seluruh kewajiban
bersyarat kemampuan. FirmanNya Ta’ala, artinya, “Allah tidak membebani
seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”(QS. al-Baqarah :
286).
Syarat Kelima : Amar ma’ruf dan nahi mungkar tidak berakibat
kerusakan yang lebih besar daripada meninggalkannya. Jika akibatnya
lebih besar, maka tidak wajib atasnya, bahkan tidak boleh beramar ma’ruf
dan bernahi mungkar.
Oleh karena itu para ulama berkata, “Hasil nahi mungkar adalah satu dari empat perkara : Hilangnya kemungkaran atau berubahnya kemungkaran menjadi lebih ringan atau sama dengan sebelumnya atau justru lebih besar dari sebelumnya”.
Dalam kondisi pertama dan kedua nahi mungkar hukumnya wajib. Kondisi
ketiga dipertimbangkan dan kondisi keempat tidak boleh karena maksud
dari nahi mungkar adalah menghilangkannya atau meringankannya.
Sebagai contoh apabila ingin memerintah seseorang untuk berbuat baik,
akan tetapi akibat perbuatan baik tersebut adalah dia tidak shalat
berjama’ah, maka amar ma’ruf yang demikian ini tidak boleh karena ia berakibat meninggalkan yang wajib demi sesuatu yang hanya dianjurkan.
Hal yang sama berlaku pada kemungkaran. Jika dia bernahi mungkar dan
akibatnya pelaku kemungkaran justru melakukan kemungkaran lebih besar
maka dalam kondisi seperti ini dia tidak boleh melarangnya demi mencegah
kerusakan besar dengan melakukan kemungkaran kecil.
Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala, artinya, “Dan janganlah
kamu memaki sembahan2 yang mereka sembah selain Allah, karena mereka
nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (QS.
al An’am : 108). Mencela tuhan2 orang musyrikin adalah sesuatu yang
dituntut tanpa ragu, akan tetapi karena perbuatan tersebut berakibat buruk yang lebih besar daripada kemaslahatan
yang diperoleh karena mencela tuhan2 orang musyrik, yakni mereka akan
membalasnya dengan celaan yang lebih besar kepada Allah Ta’ala, maka
Allah Ta’ala melarang hal tersebut dalam kondisi seperti ini.
Kalau ada seorang peminum, sedangkan minum khamr adalah kemungkaran.
Kalau kita melarangnya dari minum justru dia malah mencuri dan
memperkosa, maka dalam kondisi ini kita tidak melarangnya minum khamr
karena berakibat lebih buruk.
Sumber : Syarh al-Aqidah al-Wasithiyah, Syaikh Ibnu Utsaimin.
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama