Cerita tentang keterasingan seorang muslimah yang mengemban amanah ubudiyah menghambakan diri kepada Allah Ta’ala dengan berupaya mengenakan hijab syar’i yang membalut rapi tubuhnya. Cerita yang tidak lepas dari suka dan duka.
Kumpulan cerita penuh kenangan yang kadang kita dengar dari sahabat,
teman, handai taulan. Atau bisa jadi kitalah bagian dari sejarah itu.
Apalagi pada saat era tahun 80-an, ketika busana muslimah dengan
standar syar’i belum banyak dikenal oleh kaum muslimin di negeri ini.
Alhamdulillah seiring dengan berkembangnya dakwah sunnah yang ketika
itu diusung oleh para pemuda Islam yang baru pulang dari menuntut ilmu
di Timur Tengah, satu per satu muslimah mulai tersentuh dengan ayat-ayat
hijab yang disampaikan. Fitrah wanitanya segera terpanggil. berbekal
uang kiriman bulanan dari orang tua, mereka sisihkan sedikit demi
sedikit. Akhirnya, dengan izin Allah terbelilah busana muslimah.
Semangat melaksanakan perintah Allah mereka imbangi dengan terus
menerus mengikuti taklim secara rutin di sela-sela waktu kuliahnya, guna
menyuburkan hati dan menguatkan keimanan kepada Allah. Ukhuwah di
antara mereka pun terajut dengan indah, saling menguatkan, saling
menghibur, saling mengingatkan, dan saling menasihati. Celaan, makian,
hingga tuduhan – yang kadang membuat hati perih – menjadi filter
keimanan mereka.
Jujur iman terbukti dengan ujian
Demikianlah sunnatullah yang berlaku untuk hamba-Nya, kejujuran
imannya harus dibuktikan dengan ujian yang dihadapinya. Sebagaimana yang
tercantum dalam Al Qur’an,
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا
وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ. وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ ۖ
فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
“Apakah manusia menyangka mereka dibiarkan untuk berkata ‘kami
telah beriman’ padahal mereka belum diuji. Kami telah menguji
orang-orang sebelum mereka maka Allah telah mengetahui siapa saja yang
jujur dan siapa saja yang dusta (dalam imannya).” (QS. Al-Ankabut:2—3)
وَلِيَبْتَلِيَ اللَّهُ مَا فِي صُدُورِكُمْ وَلِيُمَحِّصَ مَا فِي قُلُوبِكُمْ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ
“Agar Allah menguji sesuatu yang ada dalam dada kalian dan melihat yang ada di hati kalian.” (QS. Ali Imran:154)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan bahwa cobaan sesuai dengan kadar keimanan seseorang. Dalam hadits dari Sa’ad bin Abu Waqqash radhiyallallah ‘anhu, dia bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling keras ujiannya?”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الأنبياء ثم الأمثل فالأمثل فيبتلى الرجل على حسب دينه فإن
كان دينه صلبا اشتد بلاؤه وإن كان في دينه رقة ابتلى على حسب دينه فما
يبرح البلاء بالعبد حتى يتركه يمشى على الأرض ما عليه خطيئةِ
“(Orang yang paling keras ujiannya adalah) para Nabi, kemudian yang di bawahnya dan yang di bawahnya. Setiap manusia diuji sesuai dengan kadar agamanya.
Jika kuat agamanya maka semakin keras ujiannya, kalau lemah agamanya
maka diuji sesuai dengan kadar agamanya. Senantiasa seorang hamba diuji
oleh Allah sehingga dia bisa berjalan di atas permukaan bumi tanpa
mempunyai satu dosa pun.” (HR. At-Tirmidzi, 4:601–602; beliau berkata, “Hadits ini hasan shahih”; Ibnu Majah, 2:1334; Ahmad, 1:172,174,180,185; dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani di Silsilah Shahihah, 1:66 dan Shahih Ibnu Majah, 2:371)
Keterasingan berbuah kebahagiaan
Seiring dengan keterasingan dalam berjilbab, bersama itu pula kebahagiaan mereka reguk di relung-relung hati mereka.
Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan berita gembira – pada 14 abad yang silam – bagi siapa saja yang hendak menghidupkan sunnahnya.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بَدَأَ الْإِسْلَامُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ
“Islam muncul dalam keadaan asing, dan ia akan kembali dalam keadaan asing, maka beruntunglah orang-orang yang terasing itu.” (HR. Muslim, no. 208)
Dari Abdurrahman bin San’ah radhiyallahu ‘anhu; dia berkata,
قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ الْغُرَبَاءُ قَالَ الَّذِينَ يُصْلِحُونَ إِذَا فَسَدَ النَّاسُ
“Ada yang bertanya, ‘Wahai Rasulullah, siapakah orang yang asing itu?’ Beliau menjawab, ‘Orang-orang yang baik ketika manusia telah rusak.’” (HR. Ahmad, 13:400; dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Al-Jami’, no. 7368)
Dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhu; dia berkata, ”Pada
suatu hari kami duduk di sebelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, lalu beliau bersabda, ‘Berbahagialah orang-orang yang asing.’
Dikatakan kepada beliau, ‘Siapa mereka, wahai Rasulullah?’ Beliau
menjawab, ‘Manusia yang shalih di lingkungan manusia yang jahat. Orang
yang menyelisihi mereka lebih banyak dibandingkan orang yang menaati
mereka.’” (HR. Ahmad, 2:177, no. 6650; Ath-Thabrani, 10:259; Al-Ajuri di Al-Ghuraba’, hlm. 22; Syu’aib Al-Arna’uth, “Hadits hasan li ghairih.”)
Diciptakannya keburukan dan kejahatan untuk menambah pahala bagi seorang mukmin, sekaligus sebagai peningkat derajatnya di sisi Allah. Keterasingan — yang dirasakan seorang muslimah yang berusaha membalut dirinya dengan hijab syar’i di tengah masyarakat yang mengumbar aurat dan bergaul bebas dengan lawan jenis — akan menambah besar pahala yang akan diraihnya. Mengapa demikian? Karena Allah menilai ibadah seorang hamba dengan besar atau kecilnya usaha yang dilakukan dalam mewujudkanya. Semakin berat atau susah ibadah yang dilakukan, semakin besar pahalanya. Subhanallah ….
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengibaratkan orang yang berpegang teguh dengan kebenaran pada zaman keterasingan dengan seorang yang sedang memegang bara api.
Dari Abu Tsa’labah Al-Khusyani radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
فَإِنَّ مِنْ وَرَائِكُمْ أَيَّامَ الصَّبْرِ الصَّبْرُ
فِيهِ مِثْلُ قَبْضٍ عَلَى الْجَمْرِ لِلْعَامِلِ فِيهِمْ مِثْلُ أَجْرِ
خَمْسِينَ رَجُلًا يَعْمَلُونَ مِثْلَ عَمَلِهِ. قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ
أَجْرُ خَمْسِينَ مِنْهُمْ قَالَ أَجْرُ خَمْسِينَ مِنْكُمْ
“Sesungguhnya di belakang kalian (ada hari yang) merupakan
hari-hari kesabaran. Orang yang sabar pada hari itu bagaikan orang yang
menggenggam bara api. Orang yang beramal tatkala itu memperoleh pahala
lima puluh orang yang beramal seperti amalannya.” Aku berkata, ”Wahai
Rasulullah, lima puluh dari mereka?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab, ”Tidak, tapi lima puluh dari kalangan kalian.” (HR. Abu Daud, no. 3778; At-Tirmizi, no. 2984, dan Ibnu Majah, no. 4004)
Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab Madarijus Salikin,
3:199, “Pahala yang besar ini dikarenakan keterasingannya di antara
manusia dan karena berpegang-teguhnya ia dengan sunnah di antara
kegelapan hawa nafsu dan akal pikiran.”
Ketika bara di pegang, sangat panas terasa. Hingga kulit mengelupas dan keluarlah air mata karena pedihnya. Akan tetapi, ia harus tetap digenggam, sebab itu perintah dan itulah satu-satunya jalan keselamatan. Jika ia dilepas, berarti lepaslah agama. Bara itu tak boleh digenggam dengan tanggung-tanggung sebab dapat dipastikan akan menambah lama penderitaan dan kesengsaraan. Akan tetapi, ia harus digenggam erat, agar panasnya bara lenyap. Hingga yang tersisa hanya kebahagiaan menyongsong balasan dan pahala.
Sepenggal kisah tentang “ayat hijab”
Dahulu, ketika para shahabiyyah mendengar ayat tentang menutup aurat,
mereka bersegera mentaatinya. Sebagaimana penuturan Aisyah radhiyallahu ’anha; beliau mengisahkan,
مَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ ( وَلْيَضْرِبْنَ
بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ ) أَخَذْنَ أُزْرَهُنَّ فَشَقَّقْنَهَا
مِنْ قِبَلِ الْحَوَاشِي فَاخْتَمَرْنَ بِهَا
“(Wanita-wanita Muhajirin), ketika turun ayat ini ‘Dan hendaklah
mereka menutupkan kain kerudung ke dada (dan leher) mereka (QS.
An-Nur:31)’, mereka merobek selimut mereka lalu mereka berkerudung
dengannya.” (HR. Bukhari, no. 4759)
Kisah ini menunjukkan bahwa sebelum turun ayat hijab, para
shahabiyyah kala itu tidak berpakaian yang menutupi aurat-aurat mereka.
Namun sewaktu turun ayat hijab, dengan segera mereka mengambil kain-kain
yang ada di rumah mereka sebagai penutup tubuh mereka secara sempurna,
sebagai bentuk ketaatan pada perintah Rabb-nya.
Surat An-Nur, ayat 31
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ
وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ
مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ ۖ وَلَا
يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ
آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ
أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ
أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ
غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ
يَظْهَرُوا عَلَىٰ عَوْرَاتِ النِّسَاءِ ۖ وَلَا يَضْرِبْنَ
بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ ۚ وَتُوبُوا
إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah
mereka menutupkan kain kerudung kedadanya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya kecuali kepada suami mereka, ayah mereka, ayah suami
mereka, putra-putra mereka, putra-putra suami mereka, saudara-saudara
laki-laki mereka, putra-putra saudara lelaki mereka, putra-putra saudara
perempuan mereka, wanita-wanita Islam, budak-budak yang mereka miliki,
para pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita),
atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah
mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, wahai
orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung.” (QS. An-Nur:31)
Tafsir ayat:
Allah memerintahkan para wanita muslimah menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan mereka. Allah berfirman,
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ
“Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya,’
→ Dari melihat aurat-aurat dan melihat lelaki dengan penuh syahwat dan pandangan lain yang terlarang.
وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ
“Dan menjaga kemaluannya,”
→ Dari (kesempatan) untuk dapat menyetubuhinya, menyentuh, dan melihat yang diharamkan kepadanya.
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya,”
→ Seperti pakaian yang indah, perhiasan-perhiasan, dan seluruh tubuhnya termasuk dalam pengertian perhiasan (ziinah).
Manakala baju luar harus mereka kenakan, maka Allah berfirman,
إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“Kecuali yang (biasa) tampak darinya,”
→ Baju luar yang biasa dipakai, selama tidak memicu munculnya.
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ
“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya,”
→ Demikian ini agar lebih sempurna dalam menutupi.
Ini menunjukkan bahwa perhiasan yang haram untuk ditampakkan adalah
mencakup seluruh tubuh wanita sebagaimana yang telah dijelaskan
sebelumnya. Mengenai hukum wajibnya cadar ada perbedaan dikalangan
ulama, ada yang mewajibkan dan ada yang menyunnahkan.
Kemudian Allah mengulang kembali penjelasan hukum menampakkan aurat; Allah menyebutkan beberapa pengecualian:
- Kecuali kepada suami mereka → Terhadap para suami mereka;
- Atau ayah mereka, atau ayah suami mereka → Yang mencakup bapak, kakek, dan seterusnya ke atas;
- Atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka → Termasuk anak laki-lakinya atau anak-anak suaminya dan seterusnya dari keturunan mereka;
- Atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara lelaki mereka → Saudara kandung, atau saudara seayah atau seibu;
- Atau putra-putra saudari perempuan mereka atau wanita-wanita mereka → Maksudnya, boleh bagi para wanita untuk melihat kepada wanita yang lain secara mutlak; dimungkinkan juga idhafah (penyandaran) ”wanita mereka” menunjukkan pengertian jenis wanita tertentu, yaitu wanita muslimah yang berasal dari jenis kalian. Di dalamnya terdapat dalil bagi ulama yang berpendapat bahwa sesungguhnya (aurat) seorang wanita muslimah tidak boleh dilihat oleh wanita dzimmiyah (non muslim);
- Atau budak-budak yang mereka miliki → Sehingga dibolehkan bagi budak lelaki (bila seluruh jiwanya milik seorang wanita) untuk melihat kepada tuan wanitanya selama wanita tersebut memilikinya secara keseluruhan; bila kepemilikannya hilang atau hanya sebagian saja maka dia tidak diperbolehkan untuk melihatnya;
- Atau pelayan-pelayan lelaki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) → Maksudnya, orang-orang yang mengikuti kalian, bergantung kepada kalian, baik dari kaum lelaki yang tidak mempunyai gejolak nafsu terhadap syahwat ini (semisal orang gila yang tidak sadar dengan apa yang terjadi) atau lelaki impoten yang sudah tidak mempunyai birahi lagi (baik pada kemaluan atau pun hatinya); semua jenis lelaki ini tidak dilarang untuk melihat;
- Atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita → Maksudnya, anak-anak yang belum memasuki usia tamyiz (kurang dari tujuh tahun-an, pen.); mereka boleh melihat para wanita. Allah mengemukakan illatnya (sebabnya), yaitu mereka belum mengerti tentang aurat wanita dan belum muncul nafsu syahwat pada diri mereka. Jadi ini menunjukkan bahwa seorang wanita harus menutup auratnya dari pandangan seorang anak yang sudah memasuki usia tamyiz karena si anak telah memahami aurat waniat.
وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ
“Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.”
Maksudnya, janganlah mereka menghentakkan kaki mereka ke tanah agar
perhiasan-perhiasan yang ada di kaki mereka bersuara (semisal gelang
kaki dan sejenisnya), hingga perhiasan itu akhirnya diketahui orang
lain, lalu akhirnya menjadi media menuju fitnah.
Dari ayat ini dan ayat yang lain yang serupa dapat dipetik kaidah “sadd al-wasa’il”
(keharusan menutup akses menuju kejelekan). Sesungguhnya bila sebuah
perkara itu mubah tetapi dapat menghantarkan kepada perbuatan haram atau
ditakutkan akan terjadi perbuatan yang dilarang, maka perkara tersebut
terlarang. Menghentakkan kaki ke tanah pada asalnya boleh, namun
lantaran ia menjadi jalan tersibaknya perhiasan maka hal tersebut
menjadi terlarang.
Usai memerintahkan sekumpulan perintah yang baik dan mewasiatkan
wasiat-wasiat yang indah, sudah tentu akan terjadi kelalaian dalam
pelaksanaannya dari seorang mukmin dalam masalah itu. Oleh sebab itu,
Allah memerintahkan mereka untuk bertaubat,
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ
”Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman.”
Faedah ayat di atas: Keimanan pada diri seorang mukmin akan mengajaknya untuk bertaubat.
Selanjutnya, Allah mengaitkan kebahagiaan dengan taubat.
Allah berfirman,
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
”Supaya kamu beruntung.”
Dengan demikian, tidak ada jalan menuju keberuntungan kecuali dengan
taubat, yaitu berpaling dari hal-hal yang dibenci oleh Allah, baik
secara lahir atau yang batin, menuju perkara-perkara yang Dia cintai,
baik secara lahir maupun batin. Keterangan ini menandakan bahwa setiap
mukmin membutuhkan taubat, lantaran Allah telah mengarahkan pembicaraan
kepada “mukminin”.
Dalam ayat ini termuat anjuran untuk berbuat ikhlas dalam bertaubat, yaitu dalam firman-Nya (yang artinya), ”Maka bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah.”
Maksudnya, bertaubat itu dilakukan bukan untuk tujuan selain wajah-Nya.
Dengan kata lain, ayat ini mennggiring manusia menuju jalan keselamatan
yang bebas dari gangguan-gangguan keduniaaan, riya’, sum’ah, atau orientasi-orientasi rusak lainnya. (Lihat Taisir Karimir Rahman)
Surat Al-Ahzab, ayat 59
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ
وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ۚ
ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ
غَفُورًا رَحِيمًا
“Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak
perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, ‘Hendaklah mereka mengulurkan
jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka
lebih mudah untuk dikenal, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah
adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Tafsir Ayat:
Ayat ini disebut “ayat hijab”. Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk
memerintah kaum wanita secara umum. Perintah itu dimulai dari
istri-istri beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
putri-putrinya, karena mereka lebih ditekankan (menjalankan perintah)
daripada selain mereka. Selain itu, pemberi perintah semestinya memulai
dari keluarganya sebelum memerintah orang lain, sebagaimana Firman Allah
Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Tahrim:6)
يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ
“Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.”
Jilbab ini adalah kain yang melapisi pakaian,berupa selimut, khimar (kerudung), kain sorban, atau yang serupa dengannya. Maksudnya, hendaklah mereka menutup wajahnya dan dada dengannya.
Kemudian Allah menyebutkan hikmahnya,
ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ
“Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu.”
Ini menunjukkan adanya gangguan apabila mereka (kaum wanita beriman)
tidak mengenakan jilbab. Penyebabnya, apabila mereka tidak mengenakan
jilbab maka mereka akan mudah diduga ”bukan wanita-wanita suci
(terhormat)”. Ujung-ujungnya, mereka akan mudah didatangi oleh orang
yang hatinya bernafsu untuk mengganggu mereka. Tak hanya itu; bisa saja
mereka dilecehkan atau bahkan diduga sebagai perempuan-perempuan budak
sahaya. Akibatnya, orang-orang menginginkan keburukan dan meremehkan
mereka. Bercermin dari hal tersebut, hijab wanita muslimah sejatinya
memutus hasrat busuk orang-orang yang berpotensi mengumbar nafsu
terhadap mereka.
وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Allah mengampuni kesalahan-kesalahan kalian yang telah lalu, berbelas
kasih kepada kalian dengan menjelaskan hukum-hukum-Nya kepada kalian,
serta menjelaskan sesuatu yang halal dan yang haram. (Lihat Taisir
Karimir Rahman)
Beberapa sifat orang-orang yang “asing”
Penting bagi kita untuk mengetahui sifat-sifat yang dimiliki oleh
orang yang terasing namun mereka tetap bahagia. Agar kita bisa
menjadikan mereka teman yang membantu kita agar tak tergelincir. Juga,
menjadi panutan dalam kebaikan.
Berikut ini beberapa karakter mereka:
- Mereka adalah orang yang shalih/shalihah dan taat pada perintah agama. Kita lihat dalam kondisi apa pun dia bergerak, berjalan, atau pun diam, dirinya selalu meletakkan kakinya di atas hukum Allah, perhatiannya tidak lepas dari perintah (agar ia laksanakan) dan larangan (agar ia tinggalkan).
- Perhatiannya yang besar terhadap perintah dan larangan mengharuskannya untuk terus belajar ilmu syar’i agar memiliki bashirah yang tajam dan ilmu yang mendalam tentang Al-Quran dan as-sunnah.
- Keshalihannya menuntunnya untuk mengenal Allah. Dia tahu tempat-tempat kemurkaan-Nya, sebagaimana dia tahu tempat-tempat keridhaan-Nya. Ia tahu apa yang harus diperbuat ketika ia tergelincir dalam kesalahan dan maksiat, bagaimana ia dapat kembali merebut kecintaan Allah kepadanya. Bahkan ia dapat mendekatkan diri kepada-Nya, lebih dekat lagi daripada sebelum melakukan kesalahan dan maksiat. Sebagaimana orang tuanya, yaitu Nabi Adam ‘alaihis salam; beliau semakin dekat kepada Allah setelah melakukan kesalahan (yaitu ketika beliau melanggar larangan-Nya di surga yang berakibat diturunkannya beliau ke bumi). Beliau lebih taat daripada sebelumnya. Wallahu a’lam.
- Saudariku muslimah, semoga Allah mengistiqamahkan kita dalam melaksanakan perintah-Nya dan memasukkan kita ke dalam kumpulan hamba-Nya yang bahagia.
Orang yang berpegang teguh dengan sunnah pada zaman seperti sekarang
ini adalah orang-orang yang langka, orang-orang yang istiqamah dengan
kitab dan sunnah pada zaman keterasingan adalah mutiara. Kehilangan
mereka sama artinya kehilangan benda yang begitu berharga.
Sebagian salaf berkata, “Aku mendengar di suatu negeri salah seorang ahlus sunnah meninggal, serasa copot salah satu anggota tubuhku.”
Subhanallah, begitu berharganya seorang muslim yang hanif di mata salaf. Suatu hari, Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata kepada seseorang yang datang dari jauh, “Jika engkau bertemu dengan seorang ahlus sunnah, sampaikan salamku! Sesungguhnya seorang ahlus sunnah sekarang ini gharib (asing).”
Jika itu semasa Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah pada awal abad ke tiga, bagaimana dengan zaman kita? Alangkah tebalnya kabut keterasingan bagi ahlus sunnah.
Saudariku muslimah, bersabarlah dan teruslah bersabar dengan sabar
yang indah, di atas keterasingan dalam memakai hijab syar’i di tengah
masyarakat kita yang belum mengetahui hukum-hukum Allah secara sempurna.
Semoga Allah mengampuni dosa-dosa kita dan memasukkan kita ke dalam
golongan hamba-Nya yang beruntung.
Maraji’:
- Taisir Karimir Rahman, karya Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di.
- Temui Aku di Telaga, karya Ustadz Armen Halim Naro.
Bandung, 19 Dzulhijjah 1434 H /24 Oktober 2013 M
Penulis: Umi Romadiyani Ummu ‘Afifah
Muraja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama