
Bandung. Sore itu ia datang sambil
membawa hasil laboratorium seperti yang diperintahkan dokter dua hari
sebelumnya. Sudah beberapa Minggu dia mengeluh merasa sakit pada waktu
buang air kecil.
Sore itu suasana di rumah dokter penuh dengan pasien. Seorang anak
tampak menangis kesakitan karena luka di kakinya, kayaknya dia menderita
Pioderma. Di sebelahnya duduk seorang ibu yang sesekali
menggaruk badannya karena gatal. Di ujung kursi tampak seorang remaja
putri melamun, merenungkan acne vulgaris (jerawat) yang ia alami.
Ketika wanita itu datang ia mendapat nomor terakhir. Ditunggunya satu
persatu pasien berobat sampai tiba gilirannya. Ketika gilirannya tiba,
dengan mengucapkan salam dia memasuki kamar periksa dokter Hanung. Kamar
periksa itu cukup luas dan rapi. Sebuah tempat tidur pasien dengan
penutup warna putih. Sebuah meja dokter yang bersih. Di pojok ruang,
terdapat sebuah wastafel untuk mencuci tangan setelah memeriksa pasien
serta kotak yang berisi obat-obatan.
Sejenak dokter Hanung menatap pasiennya. Tidak seperti biasa,
pasiennya ini adalah seorang wanita berjilbab rapat dan bercadar. Tidak
ada yang kelihatan kecuali sepasang mata yang menyinarkan wajah duka.
Setelah wawancara sebentar (anamnese) dokter
Hanung membuka amplop hasil laboraturium yang dibawa pasiennya.
Dokter Hanung terkejut melihat hasil laboraturium. Rasanya adalah hal
yang mustahil. Ada rasa tidak percaya terhadap hal itu. Bagaimana
mungkin seorang wanita berjilbab yang tentu saja menjaga kehormatannya
terkena penyakit itu, penyakit yang hanya mengenai orang-orang yang
sering berganti-ganti pasangan sexksual.
Dengan wajah tenang dokter Hanung melakukan anamnese lagi secara cermat.
+ “Saudari masih kuliah?”
- “Masih dok.”
+ “Semester berapa?”
- “Semester tujuh dok.”
+ “Fakultasnya?”
- “Sospol”
+ “Jurusan komunikasi massa ya?”
Kali ini ganti pasien terakhir itu yang kaget. Dia mengangkat muka dan menatap dokter Hanung dari balik cadarnya.
- “Kok dokter tahu?”
+ “Aah,….tidak, hanya barangkali saja!”
Pembicaraan antara dokter Hanung dengan pasien terakhirnya itu
akhirnya seakan-akan beralih dari masalah penyakit dan melebar kepada
persoalan lain yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan masalah
penyakit itu.
+ “Saudari memang penduduk Bandung ini atau dari luar kota?
Pasien terakhir itu nampaknya mulai merasa tidak enak dengan
pertanyaan dokter yang mulai menyimpang dari masalah-masalah medis itu.
Dengan jengkel dia menjawab.
- “Ada apa sih Dok…..kok tanya macam-macam?”
+ “Aah enggak,……..barangkali saja ada hubungannya dengan penyakit yang saudari derita.”
Pasien terakhir ini tampaknya semakin jengkel dengan pertanyaan dokter yang kesana-kemari itu. Dengan agak kesal dia menjawab.
- “Saya dari Pekalongan.”
+ “Kost-nya?”
- “Wisma Fathimah, jalan Alex Kawilarang 63.”
+ “Di kampus sering mengikuti kajian Islam yaa?”
- “Ya,..kadang-kadang Dok.”
+ “Sering mengikuti kajian Bang Jalal?”
Sekali lagi pasien terakhir itu menatap dokter Hanung.- “Bang Jalal siapa?” Tanyanya dengan nada agak tinggi.
+ “Tentu saja Jalaluddin Rachmat, Di Bandung siapa lagi Bang Jalal selain dia….kalau di Yogya ada Bang Jalal Muksin.”
- “Yaa,…….kadang-kadang saja saya ikut.”
+ “Di Pekalongan,……(sambil seperti mengingat-ingat) kenal juga dengan Ahmad Baraqba?”
Pasien terakhir itu tampak semakin jengkel dengan
pertanyaan-pertanyaan dokter yang semakin tidak mengarah itu. Tetapi
justru dokter Hanung manggut-manggut dengan keterkejutan pasien
terakhirnya. Dia menduga bahwa penelitian penyakit pasiennya itu hampir
selesai. Akhirnya dengan suara yang penuh dengan tekanan dokter Hanung
berkata.
- “Begini saudari, saya minta maaf atas pertanyaan-pertanyaan saya yang ngelantur tadi, sekarang tolong jawab
pertanyaan saya dengan jujur demi untuk therapi penyakit yang saudari derita,…………..”
Sekarang ganti pasien terakhir itu yang mengangkat muka mendengar
perkataan dokter Hanung. Dia seakan terbengong dengan pertanyaan apa
yang akan dilontarkan oleh dokter yang memeriksanya kali ini.
+ “Sebenarnya saya amat terkejut dengan penyakit yang saudari derita,
rasanya tidak mungkin seorang ukhti mengidap penyakit seperti ini.”
- “Sakit apa dok?” Pasien terakhir itu memotong kalimat dokter Hanung yang belum selesai dengan amat Penasaran.
+ “Melihat keluhan yang anda rasakan serta hasil laboraturium
semuanya menyokong diagnosis gonorhe, penyakit yang disebabkan hubungan
seksual.” Seperti disambar geledek perempuan berjilbab biru dan berhijab
itu, pasien terakhir dokter Hanung sore itu berteriak,
“Tidak mungkin!!!”
Dia lantas terduduk di kursi lemah seakan tak berdaya, mendengar
keterangan dokter Hanung. Pandangan matanya kosong seakan kehilangan
harapan dan bahkan seperti tidak punya semangat hidup lagi. Sementara
itu pembantu dokter Hanung yang biasa mendaftar pasien yang akan berobat
tampak mondar-mandir seperti ingin tahu apa yang terjadi. Tidak seperti
biasanya dokter Hanung memeriksa pasien begitu lama seperti sore ini.
Barangkali karena dia pasien terakhir sehingga merasa tidak terlalu
tergesa-gesa maka pemeriksaannya berjalan agak lama. Tetapi kemudian dia
terkejut mendengar jeritan pasien terakhir itu sehingga ia merasa ingin
tahu apa yang terjadi.
Dokter Hanung dengan pengalamannya selama praktek tidak terlalu kaget
dengan reaksi pasien terakhirnya sore itu. Hanya yang dia tidak habis
pikir itu kenapa perempuan berjilbab rapat itu mengidap penyakit yang
biasa menjangkit perempuan-perempuan nakal.
Sudah dua pasien dia temukan akhir-akhir ini yang mengidap penyakit
yang sama dan uniknya sama-sama mengenakan busana muslimah. Hanya yang
pertama dahulu tidak mengenakan hijab penutup muka seperti pasien yang
terakhirnya sore itu. Dulu pasien yang pernah mengidap penyakit yang
seperti itu juga menggunakan pakaian muslimah, ketika didesak akhirnya
dia mengatakan bahwa dirinya biasa kawin mut’ah.
Pasiennya yang dahulu itu telah terlibat jauh dengan pola pikir dan
gerakan Syi’ah yang ada di Bandung ini. Dari pengalaman itu timbul
pikirannya menanyakan macam-macam hal mengenai tokoh-tokoh Syi’ah yang
pernah dia kenal di kota Kembang ini dan juga kebetulan mempunyai
seorang teman dari Pekalongan yang menceritakan perkembangan gerakan
Syi’ah di Pekalongan. Beliau bermaksud untuk menyingkap tabir yang
menyelimuti rahasia perempuan yang ada di depannya sore itu.
+ “Bagaimana saudari… penyakit yang anda derita ini tidak mengenai
kecuali orang-orang yang biasa berganti-ganti pasangan seks. Rasanya ini
tidak mungkin terjadi pada seorang muslimah seperti anda. Kalau itu
masa lalu anda baiklah saya memahami dan semoga dapat sembuh,
bertaubatlah kepada Allah,….atau mungkin ada kemungkinan yang lain,…?”
Pertanyaan dokter Hanung itu telah membuat pasien terakhirnya
mengangkat muka sejenak, lalu menunduk lagi seperti tidak memiliki cukup
kekuatan lagi untuk berkata-kata. Dokter Hanung dengan sabar menanti
jawaban pasien terakhirnya sore itu. Beliau beranjak dari kursi
memanggil pembantunya agar mengemasi peralatan untuk segera tutup
setelah selesai menangani pasien terakhirnya itu.
- “Saya tidak percaya dengan perkataan dokter tentang penyakit saya !” Katanya terbata-bata.
+ “Terserah saudari,…….tetapi toh anda tidak dapat memungkiri kenyataan yang anda sandang-kan?”
- “Tetapi bagaimana mungkin mengidap penyakit laknat tersebut
sedangkan saya selalu berada di dalam suasana hidup yang taat kepada
hukum Allah?”
+ “Sayapun berprasangka baik demikian terhadap diri anda,….tetapi kenyataan yang anda hadapi itu tidak dapat dipungkiri.”
Sejenak dokter dan pasien itu terdiam. Ruang periksa itu sepi.
Kemudian terdengar suara dari pintu yang dibuka pembantu dokter yang
mengemasi barang-barang peralatan administrasi pendaftaran pasien.
Pembantu dokter itu lantas keluar lagi dengan wajah penuh tanda tanya
mengetahui dokter Hanung yang menunggui pasiennya itu.
+ “Cobalah introspeksi diri lagi, barangkali ada yang salah,……..
sebab secara medis tidak mungkin seseorang mengidap penyakit ini kecuali
dari sebab tersebut.”
- “Tidak dokter,…….selama ini saya benar-benar hidup secara baik
menurut tuntunan syari’at Islam,…..saya tetap tidak percaya dengan
analisa dokter.”
Dokter Hanung mengerutkan keningnya mendengar jawaban pasiennya. Dia
tidak merasa sakit hati dengan perkataan pasiennya yang berulang kali
mengatakan tidak percaya dengan analisisnya. Untuk apa marah kepada
orang sakit. Paling juga hanya menambah parah penyakitnya saja, dan lagi
analisanya toh tidak menjadi salah hanya karena disalahkan oleh
pasiennya. Dengan penuh kearifan dokter itu bertanya lagi,……..
+ “Barangkali anda biasa kawin mut’ah?? Pasien terakhir itu mengangkat muka,
- “Iya dokter, Apa maksud dokter”?
+ “Itu kan berarti anda sering kali ganti pasangan seks secara bebas.”
- “Lho,… tapi itukan benar menurut syari’at Islam dok!” Pasien itu membela diri.
+ “Ooo,…Jadi begitu,…kalau dari tadi anda mengatakan begitu saya
tidak bersusah payah mengungkapkan penyakit anda. Tegasnya anda ini
pengikut ajaran Syi’ah yang bebas berganti-ganti pasangan mut’ah semau
anda. Ya itulah petualangan seks yang anda lakukan. Hentikan itu kalau
Anda ingin selamat”.
- “Bagaimana dokter ini, saya kan hidup secara benar menurut Syari’at
Islam sesuai dengan keyakinan saya, dokter malah melarang saya dengan
dalih-dalih medis.”
Sampai di sini dokter Hanung terdiam. Sepasang giginya terkatup rapat
dan dari wajahnya terpancar kemarahan yang sangat terhadap perkataan
pasiennya yang tidak mempunyai aturan itu. Kemudian keluarlah perkataan
yang berat penuh tekanan.
+ “Terserah apa kata saudari membela diri,… anda lanjutkan
petualangan seks anda, dengan resiko anda akan berkubang dengan penyakit
kelamin yang sangat mengerikan itu, dan sangat boleh jadi pada suatu
tingkat nanti anda akan mengidap penyakit AIDS yang sangat mengerikan
itu,…atau anda hentikan dan bertaubat kepada Allah dari mengikuti ajaran
bejat itu, kalau anda menghendaki kesembuhan!”
- “Ma..maaf, Dok, saya telah membuat dokter tersinggung!” Dokter
Hanung hanya mengangguk menjawab perkataan pasiennya yang terbata-bata
itu.
+ “Begini saudari,…tidak ada gunanya resep saya berikan kepada anda
kalau toh tidak berhenti dari praktek kehidupan yang selama ini anda
jalani. Dan semua dokter yang anda datangi pasti akan bersikap sama,…
sebab itu terserah kepada saudari. Saya tidak bersedia memberikan resep
kalau toh anda tidak mau berhenti.”
- “Ba…baik , Dok, …Insya Allah akan saya hentikan!”
Dokter Hanung segera menuliskan resep untuk pasien terakhir itu, kemudian menyodorkan kepadanya.
- “Berapa Dok?”
+ “Tak usahlah,….saya sudah amat bersyukur kalau anda mau
menghentikan cara hidup binatang itu dan kembali kepada cara hidup yang
benar menurut tuntunan dari Rasulullah. Saya relakan itu untuk membeli
resep saja.”
Pasien terakhir dokter Hanung itu tersipu-sipu mendengar jawaban dokter Hanung.
- “Terima kasih Dok,…….permisi.”
Perempuan itu kembali melangkah selangkah demi selangkah di pelataran
rumah Dokter Hanung. Ia berjalan keluar teras dekat bougenvil biru yang
seakan menyatu dengan warna jilbabnya. Sampai di gerbang dia menoleh
sekali lagi ke teras, kemudian hilang ditelan keramaian kota Bandung
yang telah mulai temaran di sore itu. (pz)
Sumber :
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama