
Sejarah Nabi Muhammad SAW
BAB XII - SATUAN-SATUAN DAN BENTROKAN-BENTROKAN PERTAMA
Politik Muslimin di Medinah dan
satuan-satuan yang pertama, Nabi berangkat sendiri, Pendapat ahli-ahli
sejarah tentang ekspedisi pertama, Pendapat kami tentang satuan-satuan
ini, Menyudutkan perdagangan Quraisy, Anshar dan perang Agresi, Watak
penduduk Medinah, Menakut-nakuti Yahudi, Intrik-intrik Yahudi, Islam dan
Perang, Orang-orang suci dalam Islam dan Kristen, Islam agama kodrat.
SESUDAH
hijrah beberapa bulan keadaan kaum Muslimin yang tinggal di Medinah
sudah pula stabil. Sekarang kerinduan pihak Muhajirin ke Mekah terasa
makin bertambah adanya. Terpikir oleh mereka siapa-siapa dan apa saja
yang mereka tinggalkan itu, serta betapa pula pihak Quraisy menyiksa
mereka dulu? Tetapi sungguhpun begitu, gerangan apa yang harus mereka
lakukan? Banyak penulis-penulis sejarah yang berpendapat, bahwa mereka -
dan terutama Muhammad - telah memikirkan akan mengadakan balas-dendam
terhadap Quraisy serta mulai membuka permusuhan dan akan mengadakan
perang. Bahkan ada yang berpendapat, bahwa sejak mereka sampai di
Medinah niat mengadakan perang ini sudah terpikir oleh mereka. Hanya
saja, yang masih menunda mereka mencetuskan api peperangan itu ialah
karena mereka masih sibuk menyiapkan tempat-tempat tinggal serta
mengatur segala keperluan hidup mereka. Sebagian mereka mengemukakan
alasan ini ialah karena Muhammad sudah mengadakan Ikrar Aqaba kedua
yang justru untuk memerangi siapa saja. Dan sudah wajar pula apabila ia
dan sahabat-sahabatnya menjadikan Quraisy sebagai sasaran pertama,
suatu hal yang telah membuat pihak Quraisy segera menyadari akibat
perjanjian 'Aqaba itu. Dalam ketakutan itu mereka pergi menanyakan Aus
dan Khazraj tentang dia.
Mereka memperkuat pendapat ini dengan apa
yang telah terjadi delapan bulan sesudah Rasul dan para Muhajirin
tinggal di Medinah, yaitu ketika Muhammad mengirimkan pamannya Hamzah
b. Abd'l-Muttalib ke tepi laut (Laut Merah) di sekitar 'Ish dengan
membawa 30 orang pasukan yang terdiri dari kalangan Muhajirin tanpa
orang-orang Anshar. Di tempat ini ia bertemu dengan Abu Jahl b. Hisyam
dengan 300 orang pasukan terdiri dari penduduk Mekah; dan bahwa Hamzah
sudah siap akan memerangi Quraisy tapi lalu dilerai oleh Majdi b. 'Amr
yang bertindak sebagai pendamai kedua belah pihak. Masing-masing
kelompok itu lalu bubar tanpa terjadi suatu pertempuran. Juga ketika
Muhammad mengirimkan 'Ubaida bin'l-Harith dengan 60 orang pasukan
terdiri dari kaum Muhajirin tanpa Anshar. Mereka pergi menuju ke suatu
tempat air di Hijaz, yang disebut Wadi Rabigh. Disini mereka bertemu
dengan kelompok Quraisy yang terdiri dari 200 orang dipimpin oleh Abu
Sufyan. Tetapi mereka bubar juga tanpa suatu pertempuran; kecuali apa
yang diceritakan orang, bahwa Said b. Abi Waqqash ketika itu telah
melepaskan anak panahnya, "dan itu adalah anak panah pertama dilepaskan
dalam Islam." Demikianlah ketika Said bin Abi Waqqash dikirim ke daerah
Hijaz dengan membawa 8 orang Muhajirin menurut satu sumber atau 20
orang menurut sumber yang lain. Kemudian mereka kembali karena tidak
bertemu siapa-siapa.
Nabi berangkat sendiri
Alasan
mereka ini mereka perkuat lagi dengan menyebutkan, bahwa Nabi telah
berangkat sendiri sesudah duabelas bulan tinggal di Medinah, dengan
menyerahkan pimpinan kota kepada Sa'd b. 'Ubada. Ia pergi ke Abwa',.
Sesampainya di Waddan ia bermaksud mencari Quraisy dan Banu Dzamra;
tetapi Quraisy tidak dijumpainya. Lalu ia mengadakan persekutuan dengan
pihak Banu Dzamra; bahwa sebulan sesudah itu ia pergi lagi mengepalai
200 orang dari Muhajirin dan Anshar - menuju Buwat dengan sasaran
sebuah kafilah yang dipimpin o]eh Umayya b. Khalaf yang terdiri dari
2.500 ekor unta dikawal oleh 100 orang pasukan perang. Tapi juga sudah
tidak bertemu lagi, sebab mereka sudah mengambil haluan lain, bukan
jalan kafilah yang sudah diratakan; dan bahwa dua atau tiga bulan
sesudah ia kembali dari Buwat di bilangan Radzwa setelah pimpinan Kota
Medinah diserahkan kepada Abu Salama b. Abd'l-Asad, ia berangkat lagi
memimpin kaum Muslimin yang terdiri dari dua ratus orang lebih sampai
di 'Usyaira di pedalaman Yanbu'. Ia tinggal disana selama bulan Jumadil
Awal dan beberapa malam dalam bulan Jumadil Akhir tahun kedua Hijrah
(Oktober 623 M.) sambil menunggu kafilah Quraisy yang dikepalai oleh
Abu Sufyan lewat. Tetapi ternyata mereka sudah tidak ada. Dalam
perjalanan ini ia berhasil dapat mengadakan perjanjian perdamaian
dengan Banu Mudlij serta sekutu-sekutunya dari Banu Dzamra; dan bahwa
begitu ia kembali dan akan tinggal selama sepuluh hari lagi di Medinah,
tiba-tiba Kurz b. Jabir al-Fihri, orang yang punya hubungan dengan
orang-orang Mekah dan Quraisy, datang ke Medinah merampok sejumlah unta
dan kambing. Nabi pergi mencarinya dan pimpinan Medinah diserahkan
kepada Zaid b. Haritha. Diikutinya orang itu hingga sampai ia di suatu
lembah yang disebut Safawan di daerah Badr. Tetapi Kurz sudah
menghilang.
Pendapat ahli-ahli sejarah tentang ekspedisi pertama
Inilah yang disebut oleh penulis-penulis sejarah Nabi itu dengan sebutan Perang Badr Pertama.
Bukankah semua peristiwa ini sudah dapat
dijadikan bukti, bahwa kaum Muhajirin - dan terutama Muhammad - memang
sudah memikirkan akan membalas dendam terhadap Quraisy dan memulai
mengadakan permusuhan dan melakukan perang? Setidak-tidaknya - menurut
pikiran ahli-ahli sejarah itu - ini membuktikan, bahwa dengan
mengirimkan satuan-satuan dan ekspedisi-ekspedisi pendahuluan itu
tujuan mereka adalah dua:
Pertama, mengadakan pencegatan terhadap
kafilah-kafilah Quraisy dalam perjalanan mereka ke Syam atau
sekembalinya dari sana dalam perjalanan musim panas, dengan sedapat
mungkin merenggut harta yang dibawa pergi atau barang-barang dagangan
yang akan dibawa pulang oleh kafilah-kafilah itu.
Kedua, mengambil jalur kafilah Qusaisy
dalam perjalannya ke Syam itu dengan jalan mengadakan
perjanjian-perjanjian perdamaian serta persekutuan dengan
kabilah-kabilah sepanjang jalan Medinah-Pantai Laut Merah. Hal ini akan
mempermudah pihak Muhajirin melakukan serangan terhadap
kafilah-kafilah Quraisy itu, tanpa ada sesuatu apa yang akan dapat
melindungi mereka dari Muhammad dan sahabat-sahabatnya, sebagai
tetangga kabilah-kabilah tersebut, yaitu suatu perlindungan yang akan
mencegah kaum Muslimin - selaku pihak yang berkuasa dan kuat -bertindak
terhadap orang-orang dan harta-benda mereka itu. Adanya satuan-satuan
yang oleh Nabi a.s. pimpinannya diserahkan masing-masing kepada Hamzah,
'Ubaida bin'l-Harith dan Sa'd b. Abi Waqqash, demikian juga
persekutuan-persekutuan yang telah diadakan dengan Banu Dzamra, Banu
Mudlij, dan lain-lain, memperkuat maksud tujuan kedua tadi, begitu juga
pengambilan jalan penduduk Mekah ke Syam membuktikan pula sebagian
tujuan kaum Muslimin itu.
Bahwa dengan adanya satuan-satuan (sariya)
yang dimulai enam bulan sesudah mereka tinggal di Medinah dan yang
hanya diikuti oleh pihak Muhajirin saja tujuannya hendak memerangi
Quraisy dan menyerbu kafilah-kafilah mereka, ini akan membuat orang
jadi sangsi dan harus berpikir lagi. Pasukan Hamzah tidak lebih dari 30
orang dari Muhajirin, pasukan 'Ubaida tidak lebih dari 60 orang,
demikian juga pasukan Sa'd yang menurut suatu sumber 8 orang, dan
menurut sumber yang lain 20 orang. Sedang petugas-petugas yang mengawal
kafilah-kafilah Quraisy biasanya berlipat ganda jumlahnya. Sejak
Muhammad tinggal di Medinah dan mulai mengadakan persekutuan dengan
kabilah-kabilah setempat dan dengan daerah-daerah yang berdekatan,
pihak Quraisy makin memperbanyak jumlah orang dan perlengkapannya. Baik
Hamzah, 'Ubaida ataupun Sa'd, betapapun keberanian mereka itu sebagai
kepala satuan-satuan Muhajirin, namun persiapan yang ada pada mereka
tidak cukup memberi semangat untuk melakukan perang. Bagi mereka ini
semua, kiranya cukup dengan menakut-nakuti Quraisy saja, tanpa
mengadakan perang; kecuali apa yang dilakukan orang tentang anak panah,
yang pernah dilepaskan Sa'd itu.
Disamping itu kafilah-kafilah Quraisy ini
dikawal oleh penduduk Mekah yang mempunyai hubungan darah dan pertalian
kerabat dengan sebagian besar kaum Muhajirin. Jadi tidak mudah bagi
mereka itu mau saling bunuh, atau satu sama lain mau melakukan balas
dendam, atau akan melibatkan Mekah dan Medinah bersama-sama ke dalam
suatu perang saudara, suatu hal yang selama tiga belas tahun
terus-menerus, dari mulai kerasulan Muhammad sampai pada waktu
hijrahnya, kaum Muslimin dan orang-orang pagan di Mekah sudah mampu
menghindarinya. Orang-orang Islam itu sudah mengetahui bahwa Ikrar
'Aqaba dulu itu adalah ikrar pertahanan (defensif), pihak Aus dan
Khazraj sama-sama berjanji akan melindungi Muhammad. Mereka tidak
pernah memberikan janji kepadanya atau kepada siapapun dari
sahabat-sahabatnya bahwa mereka akan melakukan tindakan permusuhan
(agresi).
Pendapat kami tentang satuan-satuan ini
Sungguhpun
sudah begitu, memang tidak mudah orang akan menyerah begitu saja
kepada ahli-ahli sejarah, yang dalam penulisan sejarah hidup Nabi yang
baru dimulai hampir dua abad kemudian sesudah wafatnya itu mengatakan,
bahwa satuan-satuan dan perjalanan-perualanan yang mula-mula itu
tujuannya memang sengaja hendak melakukan perang. Oleh karena itu, dalam
hal ini seharusnya ada suatu penafsiran yang lebih dekat diterima akal
dan sesuai pula dengan politik kaum Muslimin pada periode mula-mula
mereka berada di Medinah, serta sejalan pula dengan kebijaksanaan Rasul
yang pada masa itu didasarkan pada prinsip-prinsip persetujuan dan
saling pengertian dengan pelbagai macam kabilah; di satu pihak guna
menjamin adanya kebebasan melakukan dakwah agama, di pihak lain guna
menjamin adanya kerja sama yang baik dan bertetangga baik.
Menyudutkan perdagangan Quraisy
Menurut
hemat saya adanya satuan-satuan yang mula-mula ini tidak lain
maksudnya supaya pihak Quraisy mengerti, bahwa kepentingan mereka
sebenarnya bergantung kepada adanya saling pengertian dengan pihak
Muslimin yang juga dari keluarga mereka, yang telah terpaksa keluar
dari Mekah, karena mengalami tekanan-tekanan. Pengertian ini berarti
bahwa kedua belah pihak harus menghindari adanya bencana permusuhan dan
kebencian serta menjamin bagi pihak Islam adanya kebebasan menjalankan
dakwah agama, dan bagi pihak Mekah adanya keselamatan dan keamanan
perdagangan mereka dalam perjalanannya ke Syam.
Sebenarnya perdagangan yang dikirimkan dari
Mekah dan Ta'if dan yang didatangkan ke Mekah dari bagian Selatan,
adalah perdagangan yang cukup besar. Sebuah kafilah adakalanya
berangkat dengan 2.000 unta dengan muatan seharga lebih dan 50.000
dinar. Menurut perkiraan Sprenger ekspor Mekah setiap tahunnya mencapai
jumlah 250.000 dinar atau kira-kira 160.000 pounsterling. Apabila bagi
pihak Quraisy sudah pasti bahwa bahaya yang mengancam perdagangan ini
datangnya dari anak negeri sendiri yang kini sudah mengungsi ke Medinah,
hal ini telah membuatnya berpikir-pikir dalam hal mengadakan saling
pengertian dengan mereka, suatu saling pengertian yang memang
diharapkan oleh pihak Muslimin, yakni jaminan adanya kebebasan
melakukan dakwah agama serta kebebasan memasuki Mekah dan melakukan
tawaf di Ka'bah. Tetapi saling pengertian demikian ini takkan ada kalau
Quraisy tidak dapat memperhitungkan kekuatan pihak Muhajirin dari anak
negerinya sendiri itu, yang kini akan mencegat dan menutup jalan
lalu-lintas perdagangannya.
Inilah yang menurut penafsiran saya yang
menyebabkan Hamzah dan rombongannya dari kalangan Muhajirin kembali,
setelah berhadapan dengan Abu Jahl b. Hisyam di pantai Jazirah, begitu
keduanya dilerai oleh Majdi b. 'Amr. Selanjutnya seringnya
satuan-satuan Muslimin itu menuju rute perdagangan pihak Mekah dengan
suatu jumlah yang sukar sekali dapat dibayangkan bahwa mereka sedang
menuju perang, dapat ditafsirkan demikian. Juga ini pula yang
mengartikan betapa besarnya hasrat Nabi - setelah melihat kecongkakan
Quraisy dan sikapnya dalam menghadapi kekuatan Muhajirin - ingin
mengadakan perdamaian dengan kabilah-kabilah yang tinggal di sepanjang
rute perdagangan itu serta mengadakan persekutuan dengan mereka yang
beritanya tentu akan sampai juga kepada Quraisy. Dengan itu kalau-kalau
mereka mau insaf dan kembali memikirkan perlunya ada saling pengertian
dan persetujuan itu.
Anshar dan perang Agresi
Pendapat
ini kuat sekali landasannya, yakni bahwa dalam perjalanan Nabi a.s. ke
Buwat dan 'Usyaira itu tidak sedikit kalangan Anshar dari penduduk
Medinah yang menyertainya. Padahal Anshar itu hanya berikrar untuk
mempertahankannya, bukan untuk melakukan serangan bersama-sama. Hal ini
akan jelas terlihat dalam Perang Besar Badr, tatkala Muhammad kemudian
kembali tanpa melakukan pertempuran, yang juga disetujui oleh
orang-orang Medinah. Apabila pihak Anshar memang tidak melihat adanya
suatu pelanggaran terhadap ikrar mereka jika Muhammad mengadakan
perjanjian dengan pihak lain, ini tidak berarti bahwa mereka juga harus
ikut memerangi penduduk Mekah. Bagi ke duanya alasan berperang yang
akan dibenarkan oleh etik Arab atau oleh tata hubungan mereka satu sama
lain, tidak ada. Meskipun dalam perjanjian-perjanjian perdamaian yang
diadakan Muhammad guna memperkuat kedudukan Medinah di samping
melemahkan tujuan dagang Quraisy itu merupakan suatu proteksi, namun
hal ini samasekali tidak berarti sama dengan suatu pengumuman perang
atau sesuatu usaha lain kearah itu.
Jadi pendapat yang mengatakan bahwa
keberangkatan satuan-satuan Hamzah, 'Ubaida bin'l-Harith dan Sa'd bin
Abi Waqqash hanya untuk memerangi Quraisy, dan menamakannya sebagai
suatu penyerbuan, sukar sekali dapat dicernakan. Juga adanya pendapat
bahwa kepergian Muhammad ke Abwa', Buwat dan 'Usyaira tidak lain dan
suatu penyerbuan, adalah sangat dibuat-buat, yang pada dasarnya sudah
tertolak oleh keberatan-keberatan yang kami kemukakan tadi.
Penulis-penulis riwayat hidup Muhammad yang telah mengambil alih
pendapat tersebut tidak lain memperlihatkan bahwa mereka menulis peri
hidup Muhammad itu baru pada akhir-akhir abad kedua Hijrah, dan bahwa
mereka sangat terpengaruh oleh adanya peperangan-peperangan yang
terjadi kemudian sesudah Perang Besar Badr. Segala bentrokan-bentrokan
yang terjadi sebelum itu, yang tujuannya bukan untuk berperang, lalu
mereka anggap sebagai peperangan, yang dikaitkan pula pada
peristiwa-peristiwa kaum Muslimin masa Nabi.
Rupanya tidak sedikit kalangan Orientalis
yang memang sudah mengetahui adanya sanggahan demikian ini, meskipun
tidak mereka sebutkan dalam buku-buku mereka itu. Adapun yang membuat
kita menduga mereka sudah mengetahui hal ini - disamping usaha mereka
menyesuaikan diri dengan ahli-ahli sejarah dari kalangan Islam mengenai
tujuan Muhajirin dan terutama Muhammad dalam menghadapi pihak Mekah
sejak mula-mula mereka tinggal di Medinah - ialah karena mereka sudah
menyebutkan, bahwa satuan-satuan yang mula-mula ini tujuannya tidak lain
ialah merampok barang-barang dagangan kafilah dan bahwa kebiasaan
merampok sudah menjadi watak orang-orang pedalaman dan bahwa penduduk
Medinah hanya tertarik pada barang rampasan dalam mengikuti Muhammad
dengan melanggar janji mereka di 'Aqaba.
Watak penduduk Medinah
Ini
adalah pendapat yang terbalik, sebab penduduk Medinah - seperti juga
penduduk Mekah - bukanlah orang-orang pedalaman yang hidupnya dari
menjarah dan merampok. Disamping itu sesuai dengan watak orang yang
hidup dari hasil pertanian, merekapun lebih suka tinggal menetap dan
samasekali mereka tidak tertarik melakukan perang kecuali jika ada
alasan yang luarbiasa
Sebaliknya kaum Muhajirin, mereka berhak
membebaskan harta-benda mereka dari tangan Quraisy. Tetapi sungguhpun
begitu mereka bukan pihak yang mendahului sebelum terjadinya peristiwa
Badr. Juga bukan itu pula yang telah mendorong dikirimnya satuan-satuan
dan ekspedisi-ekspedisi yang mula-mula itu. Selanjutnya, masalah
perang ini memang belum diundangkan dalam Islam, sedang Muhammad dan
sahabat-sahabatnya bertindak bukanlah dengan tujuan ala pedalaman
(badui) seperti diduga oleh kaum Orientalis, melainkan apa yang sudah
berlaku dan dilaksanakan oleh Muhammad dan sahabat-sahabatnya ialah
jangan sampai ada orang yang mau diperdayakan dari agamanya dan supaya
ada kebebasan berdakwah sebagaimana mestinya. Nanti penjelasan dan
pembuktiannya akan kita lihat juga. Di situ akan tampak lebih jelas di
depan kita, bahwa tujuan Muhammad dengan perjanjian-perjanjian itu
ialah guna memperkuat Medinah, supaya jangan ada jalan bagi pihak
Quraisy dalam mengejar kehendaknya itu, atau mencoba melakukan
kekerasan terhadap kaum Muslimin seperti yang pernah mereka usahakan
dulu ketika hendak mengembalikan orang-orang Islam dari Abisinia. Dalam
pada itu ia pun tidak keberatan mengadakan perjanjian dengan pihak
Quraisy asalkan kebebasan berdakwah untuk agama Allah tetap dijamin,
dan jangan ada lagi kebencian. Agama hanyalah bagi Allah.
Menakut-nakuti Yahudi
Dibalik
satuan-satuan dan ekspedisi-ekspedisi bersenjata ini barangkali masih
ada tujuan lain yang dimaksud oleh Muhammad. Barangkali maksudnya akan
menakut-nakuti orang-orang Yahudi yang tinggal di Medinah dan
sekitarnya. Kita sudah menyaksikan, bahwa ketika Muhammad baru sampai di
Medinah, pihak Yahudi berhasrat hendak merangkulnya. Akan tetapi
setelah mereka mengadakan perjanjian perdamaian dan persetujuan akan
kebebasan mengadakan dakwah agama serta melaksanakan upacara dan
kewajiban agama, begitu mereka melihat keadaan Muhammad yang stabil dan
panji Islam yang megah dan menjulang tinggi, mulai mereka membalik
memusuhi Nabi dan berusaha hendak menjerumuskannya. Kalaupun dalam
melakukan permusuhan ini mereka tidak berterus-terang karena
dikuatirkan kepentingan perdagangan mereka akan jadi kacau bila sampai
terjadi perang saudara antara penduduk Medinah, atau karena masih
memelihara perjanjian perdamaian dengan mereka itu, maka mereka telah
menempuh segala macam cara guna menyebarkan fitnah di kalangan
orang-orang Islam serta membangkitkan kebencian antara Muhajirin dan
Anshar, membangunkan kembali kedengkian lama antara Aus dan Khazraj
dengan menyebut-nyebut sejarah Bu'ath dan cerita yang terdapat dalam
persajakan.
Intrik-intrik Yahudi
Kaum
Muslimin sudah mengetahui benar adanya komplotan mereka serta caranya
yang berlebih-lebihan itu, sampai-sampai mereka dimasukkan kedalam
kelompok kaum munafik, malah dianggap lebih berbahaya lagi. Mereka
pernah dikeluarkan dari mesjid secara paksa. Orang tidak mau
duduk-duduk atau bicara dengan mereka. Dan akhirnya Nabi a.s. menolak
mereka sesudah diusahakannya meyakinkan mereka dengan alasan dan bukti.
Sudah tentu pula apabila orang-orang Yahudi Medinah dibiarkan berbuat
sekehendak hati, mereka akan terus menjadi-jadi dan terus berusaha
mengobarkan fitnah. Dari segi istilah kecermatan diplomasi tidak cukup
hanya peringatan dan meminta kewaspadaan terhadap kelicikan mereka itu
saja, tapi harus pula supaya mereka berasa bahwa Muslimin juga punya
kekuatan yang akan dapat menumpas setiap fitnah yang ada, membasmi
jaringan-jaringan fitnah serta mengikis sampai ke akar-akarnya. Cara
yang paling baik untuk membuat mereka merasakan hal ini ialah dengan
mengirimkan satuan-satuan serta menghadapkannya pada
benterokan-benterokan senjata pada beberapa tempat, tapi jangan sampai
kekuatan Muslimin itu jadi hancur, yang oleh pihak Yahudi memang
diinginkan, dan juga diinginkan oleh pihak Quraisy.
Islam dan Perang
Tipu-daya
inilah yang sudah terjadi. Dan terjadinya ini terhadap orang semacam
Hamzah, orang yang cepat marah. Untuk menghentikan pertempuran tidak
cukup hanya dengan perantaraan seorang pemisah yang mengajak berdamai
padahal belum terjadi suatu kontak senjata. Kemudian berhentinya
pertempuran itupun dengan terhormat, dengan suatu siasat yang sudah
teratur, dengan taktik yang jelas bermaksud mencapai tujuan-tujuan
tertentu, yakni seperti yang sudah kita sebutkan - dari satu segi guna
menakut-nakuti pihak Yahudi, dan dari segi lain suatu usaha ke arah
persetujuan dengan pihak Quraisy untuk memberikan kebebasan yang penuh
dalam menjalankan dakwah agama serta upacara-upacara keagamaan, yang
sebenarnya memang tidak perlu sampai terjadi perang.
Akan tetapi ini tidak berarti, bahwa Islam
menolak perang dalam hal membela diri dan membela keyakinan terhadap
siapa saja yang hendak memperdayanya. Sekali-kali tidak. Bahkan Islam
mewajibkan pembelaan demikian ini. Tetapi artinya, Islam masa itu, juga
sekarang dan demikian pula seterusnya, ia menolak perang permusuhan.
"Dan janganlah kamu melakukan pelanggaran
(agresi) sebab Allah tidak menyukai orang-orang yang melakukan
pelanggaran." (Qur an, 2: 190)
Apabila kepada Muhajirin pada waktu itu
dibenarkan menuntut harta-benda mereka yang telah ditahan oleh Quraisy
ketika mereka hijrah, maka membela orang-orang beriman yang mau
diperdaya dari agama mereka lebih-lebih lagi dibenarkan. Untuk maksud
inilah pertama sekali hukum perang itu diundangkan.
Bukti terhadap hal ini ialah adanya
ayat-ayat yang diturunkan sehubungan dengan satuan Abdullah ibn Jahsy.
Dalam bulan Rajab tahun itu ia dikirimkan oleh Rasulullah bersama-sama
beberapa orang Muhajirin, dan sepucuk surat diberikan kepadanya dengan
perintah untuk tidak dibuka sebelum mencapai dua hari perjalanan. Ia
menjalankan perintah itu. Kawan-kawannyapun tak ada yang dipaksanya.
Dua hari kemudian Abdullah membuka surat itu, yang berbunyi: "Kalau
sudah kaubaca surat ini, teruskan perjalananmu sampai ke Nakhla (antara
Mekah dan Ta'if) dan awasi keadaan mereka. Kemudian beritahukan kepada
kami."
Disampaikannya hal ini kepada
kawan-kawannya dan bahwa dia tidak memaksa siapapun. Kemudian mereka
semua berangkat meneruskan perjalanan, kecuali Said b. Abi Waqqash
(Banu Zuhra) dan 'Utba b. Ghazwan yang ketika itu sedang pergi mencari
untanya yang sesat tapi oleh pihak Quraisy mereka lalu ditawan.
Sekarang Abdullah dan rombongannya
meneruskan perjalanan sampai ke Nakhla. Di tempat inilah mereka bertemu
dengan kafilah Quraisy yang dipimpin oleh 'Amr bin'l-Hadzrami dengan
membawa barang-barang dagangan. Waktu itu akhir Rajab. Teringat oleh
Abdullah b. Jahsy dan rombongannya dari kalangan Muhajirin akan
perbuatan Quraisy dahulu serta harta-benda mereka yang telah dirampas.
Mereka berunding. "Kalau kita biarkan mereka malam ini mereka akan
sampai di Mekah dengan bersenang-senang. Tapi kalau mereka kita gempur,
berarti kita menyerang dalam bulan suci,2" kata mereka.
Mereka maju-mundur, masih takut-takut akan
maju. Tetapi kemudian mereka memberanikan diri dan sepakat akan
bertempur, siapa saja yang mampu dan mengambil apa saja yang ada pada
mereka. Salah seorang anggota rombongan itu melepaskan panahnya dan
mengenai 'Amr bin'l-Hadzrami yang kemudian tewas. Kaum Muslimin menawan
dua orang dari Quraisy.
Sesampainya di Medinah Abdullah b. Jahsy
membawa kafilah dan kedua orang tawanannya itu kepada Rasul, dan kelima
barang rampasan itu diserahkan mereka kepada Muhammad. Tetapi setelah
melihat mereka ini ia berkata, "Aku tidak memerintahkan kamu berperang
dalam bulan suci."
Kafilah dan kedua tawanan itu ditolaknya.
Samasekali ia tidak mau menerima. Abdullah b. Jahsy dan teman-temannya
merasa kebingungan sekali. Teman-teman sejawat mereka dari kalangan
Musliminpun sangat menyalahkan tindakan mereka itu.
Kesempatan ini oleh Quraisy sekarang
dipergunakan. Disebarkannya provokasi kesegenap penjuru, bahwa Muhammad
dan kawan-kawannya telah melanggar bulan suci, menumpahkan darah,
merampas harta-benda dan menawan orang. Karena itu orang-orang Islam
yang berada di Mekahpun lalu menjawab, bahwa saudara-saudara mereka
seagama yang kini hijrah ke Medinah melakukan itu dalam bulan Sya'ban.
Lalu datang orang-orang Yahudi turut mengobarkan api fitnah. Ketika
itulah datang firman Tuhan:
"Mereka bertanya kepadamu tentang perang
dalam bulan suci. Katakanlah: "Perang selama itu adalah soal
(pelanggaran) besar. Tetapi menghalangi orang dari jalan Allah dan
mengingkari-Nya, menghalangi orang memasuki Mesjid Suci dan mengusir
orang dari sana, bagi Allah lebih besar (pelanggarannya). Fitnah itu
lebih besar dan pembunuhan. Dan mereka akan tetap memerangi kamu,
sampai mereka berhasil memalingkan kamu dari agamamu, kalau mereka
sanggup." (Qur'an, 2: 217)
Dengan adanya keterangan Qur'an dalam soal
ini hati kaum Muslimin merasa lega kembali. Penyelesaian kafilah dan
kedua orang tawanan itu kini di tangan Nabi, yang kemudian oleh Quraisy
akan ditebus kembali. Tetapi kata Nabi:
"Kami takkan menerima penebusan kamu,
sebelum kedua sahabat kami kembali - yakni Sa'd b. Abi Waqqash dan
'Utba ibn Ghazwan. Kami kuatirkan mereka di tangan kamu. Kalau kamu
bunuh mereka, kawan-kawanmu inipun akan kami bunuh."
Setelah Said dan 'Utba kembali, Nabi mau
menerima tebusan kedua tawanan itu. Tapi salah seorang dari mereka,
yaitu Al-Hakam b. Kaisan masuk Islam dan tinggal di Medinah, sedang
yang seorang lagi kembali kepada kepercayaan nenek-moyangnya.
Pasukan Abdullah b. Jahsy ini dan ayat suci
yang diturunkan karenanya itu, patut sekali kita pelajari. Menurut
hemat kami, ini adalah suatu persimpangan jalan dalam politik Islam.
Kejadian ini merupakan peristiwa baru, yang memperlihatkan adanya jiwa
yang kuat dan luhur, suatu kekuatan yang bersifat insani, meliputi
seluk-beluk kehidupan material, moral dan spiritual. Ia begitu kuat dan
luhur dalam tujuannya hendak mencapai kesempurnaan. Quran memberikan
jawaban kepada mereka yang ikut bertanya tentang perang dalam bulan
suci: adalah itu termasuk pelanggaran-pelanggaran besar, yang diiakan
bahwa itu memang masalah besar. Tetapi ada yang lebih besar dari itu.
Menghalangi orang dari jalan Allah serta mengingkari-Nya adalah lebih
besar dari perang dan pembunuhan dalam bulan suci, dan memaksa orang
meninggalkan agamanya dengan ancaman, dengan bujukan atau kekerasan
adalah lebih besar daripada membunuh orang dalam bulan suci atau bukan
dalam bulan suci. Orang-orang musyrik dan Quraisy yang telah
menyalahkan kaum Muslimin karena mereka melakukan perang dalam bulan
suci mereka akan selalu memerangi umat Islam supaya berpaling dari
agamanya bila mereka sanggup. Apabila pihak Quraisy dan orang-orang
musyrik itu semua melakukan pelanggaran-pelanggaran ini, menghalangi
orang dari jalan Allah dan mengingkariNya, apabila mereka ternyata
mengusir orang dari Mesjid Suci, memperdayakan orang dari agamanya,
maka jangan disalahkan orang yang menjadi korban penindasan dan
pelanggaran itu bila ia juga memerangi mereka dalam bulan suci. Tetapi
bagi orang yang tidak mengalami beban penderitaan ini, melakukan perang
dalam bulan suci memang suatu pelanggaran.
Fitnah itu lebih besar dari pembunuhan.
Memang benar. Bahkan barangsiapa melihat orang lain mencoba membujuk
atau memfitnah orang dari agamanya atau mengalangi dari jalan Allah ia
harus berjuang demi Allah melawan fitnah itu sampai agama dapat
diselamatkan. Di sinilah kalangan Orientalis dan misi-misi penginjil
itu mengangkat suara keras-keras: Lihatlah tuan-tuan! Muhammad dan
agamanya itu menganjurkan orang berperang dan berjuang demi Allah
(aljihad fi sabilillah) atau memaksa orang masuk Islam dengan pedang.
Bukankah ini yang namanya fanatik? Sedang agama Kristen tidak mengenal
adanya peperangan dan membenci perang. Sebaliknya malah menganjurkan
toleransi, memperkuat tali persaudaraan antara sesama manusia, untuk
Tuhan dan untuk Jesus.
Sebenarnya saya tidak ingin berdebat dengan
mereka, kalau saya mengutip sebuah kalimat saja dalam Injil: "Bukannya
Aku datang membawa keamanan, melainkan pedang" dan seterusnya juga
tidak tentang arti yang terkandung dalam kalimat tersebut. Umat Islam
mengakui agama Isa itu seperti sudah disebutkan dalam Qur'an. Tetapi
yang terutama perlu saya sampaikan ialah menjawab kata-kata mereka:
Muhammad dan agamanya menganjurkan perang dan memaksa orang masuk Islam
dengan pedang. Ini adalah suatu kebohongan yang ditolak oleh Qur'an:
"Tak ada pemaksaan dalam agama. Sudah jelas mana jalan yang benar, mana yang salah." (Qur'an, 2: 256)
"Berjuanglah kamu untuk Allah melawan
mereka yang memerangi kamu. Tetapi janganlah kamu melakukan pelanggaran
(agresi) sebab Allah tidak menyukai orang-orang yang melakukan
pelanggaran ." (Qur'an, 2: 190)
Dan masih banyak ayat-ayat lain selain dari kedua ayat suci tersebut.
Dalam arti yang sebenarnya, berjuang demi
Allah, ialah seperti disebutkan dalam ayat-ayat yang kita kutip tadi
dan yang turun sehubungan dengan pasukan Abdullah b. Jahsy, yaitu
memerangi mereka yang membuat fitnah dan membujuk si Muslim dari
agamanya atau mengalanginya dari jalan Allah. Perang dalam arti untuk
kebebasan berdakwah agama. Atau dengan kata lain menurut bahasa
sekarang: Mempertahankan idea dengan senjata yang dipergunakan oleh
pihak yang memerangi idea itu. Apabila ada seseorang yang hendak
membujuk orang lain dengan jalan propaganda dan logika tanpa memaksanya
dengan atau tanpa kekerasan melalui cara-cara suap-menyuap atau
penyiksaan dengan maksud supaya orang itu meninggalkan ideanya - maka
sudah tentu ia akan menghadapi orang itu dengan jalan menggugurkan
argumen dan logikanya tadi.
Tetapi, apabila dalam usahanya menghadapi
orang dan ideanya itu ia menggunakan kekerasan senjata maka kekerasan
senjata itupun harus dilawan dengan kekerasan senjata pula, bila memang
mampu ia berbuat begitu. Tidak lain sebabnya ialah, karena harga diri
manusia itu tersimpul hanya dalam sepatah kata saja, yaitu: akidahnya.
Akidah itu lebih berharga - bagi orang yang mengenal arti kemanusiaan -
daripada harta, daripada kekayaan, kekuasaan dan daripada hidupnya
sendiri; hidup materi yang sama-sama dimiliki oleh manusia dan hewan,
sama-sama makan dan minum, mengalami pertumbuhan tubuh dan enersi.
Akidah adalah suatu komunikasi moral antara manusia dengan manusia, dan
komunikasi rohani antara manusia dengan Tuhan. Nasib inilah yang telah
memberikan kelebihan kepada manusia di atas makhluk lain dalam hidup
ini, yang membuat dia mencintai sesamanya seperti mencintai dirinya
sendiri. Ia mengutamakan orang yang hidup sengsara, hidup miskin dan
tidak punya, daripada keluarganya sendiri, meskipun keluarganya itu
sedang dalam kekurangan. Ia mengadakan komunikasi dengan alam semesta
supaya bekerja secara tekun, supaya dapat mengantarkannya kepada
kesempurnaan hidup seperti yang sudah diberikan Tuhan kepadanya
Apabila akidah yang semacam ini yang ada
pada manusia, lalu ada orang lain yang mau membuat fitnah, mau
menceraikannya, sedang dia tak dapat membela diri, ia harus berbuat
seperti dilakukan orang-orang Islam dulu sebelum mereka hijrah ke
Medinah. Dideritanya segala perbuatan kejam dan serba kekerasan itu,
dihadapinya segala penghinaan dan ketidakadilan, dengan hati yang tabah.
Rasa lapar dan serba kekurangan yang bagaimanapun juga tidak sampai
menghalangi semangatnya berperang terus pada akidahnya.
Inilah yang telah dilakukan oleh orang-orang Islam dahulu, dan ini pula yang telah dilakukan oleh orang-orang Kristen dahulu.
Akan tetapi mereka yang tabah
mempertahankan akidah itu bukanlah orang-orang kebanyakan. Mereka
terdiri dari manusia-manusia terpilih, yang telah diberi kekuatan iman
oleh Tuhan, sehingga karenanya akan terasa kecil segala siksaan dan
kekejaman yang dialaminya, sehingga dapat ia meratakan gunung-gunung,
dan apa yang dikatakannya kepada gunung supaya pindah dari tempatnya,
gunung itu akan pindah - seperti kata Injil juga. Tetapi jika orang
menangkis fitnah dengan senjata yang dipakai membuat fitnah itu dan
dapat menolak pihak yang akan menghalanginya dari jalan Allah dengan
cara yang dipakainya itu pula, maka orang itu harus melakukannya. Kalau
tidak ini berarti, akidahnya masih goyah, imannyapun masih lemah.
Inilah yang telah dilakukan oleh Muhammad
dan sahabat-sahabatnya setelah keadaannya di Medinah mulai stabil. Dan
ini pula yang telah dilakukan oleh orang-orang Kristen setelah
kekuasaan mereka di Rumawi dan Rumawi Timur mulai stabil, dan sesudah
hati maharaja-maharaja Rumawi itu mulai pula lunak terhadap agama
Kristen.
Misi-misi penginjil itu berkata: Tetapi
jiwa Kristen itu secara mutlak menjauhkan diri dari peperangan. Di sini
saya tidak bermaksud membahas benar tidaknya kata-kata itu. Akan
tetapi di hadapan kita sejarah Kristen adalah saksi yang jujur, juga di
hadapan kita sejarah Islam adalah saksi yang jujur pula. Sejak masa
permulaan agama Kristen hingga masa kita sekarang ini seluruh penjuru
bumi telah berlumuran darah atas nama Almasih. Telah dilumuri oleh
Rumawi, dilumuri oleh bangsa-bangsa Eropa semua. Perang-perang Salib
terjadi karena dikobarkan oleh orang-orang Kristen, bukan oleh orang
Islam. Mengalirnya pasukanpasukan tentara sejak ratusan tahun dari Eropa
menuju daerah-daerah Islam di Timur, adalah atas nama Salib:
peperangan, pembunuhan, pertumpahan darah. Dan setiap kali, paus-paus
sebagai pengganti Jesus, memberi berkah dan restu kepada
pasukan-pasukan tentara itu, yang bergerak maju hendak menguasai
Bait'l-Maqdis (Yerusalem) dan tempat-tempat suci Kristen lainnya.
Adakah barangkali paus-paus itu semua
orang-orang yang sudah menyimpang dari agamanya (heretik) ataukah
kekristenan mereka itu yang palsu? Ataukah juga karena mereka itu
pembual-pembual yang bodoh, tidak mengetahui bahwa agama Kristen secara
mutlak menjauhkan diri dari perang? Atau akan berkata: Itu adalah Abad
Pertengahan, abad kegelapan; janganlah agama Kristen juga yang
diprotes. Kalau itu juga yang kadang mereka katakan, maka abad
keduapuluh ini, masa kita hidup sekarang inipun, yang biasa disebut abad
kemajuan dan humanisma - toh dunia juga telah mengalami nasib seperti
yang dialami oleh Abad-abad Pertengahan yang gelap itu. Sebagai wakil
Sekutu - Inggeris, Perancis, Itali, Rumania dan Amerika Lord Allenby
berkata di Yerusalem, pada penutup Perang Dunia Pertama, ketika kota
itu didudukinya dalam tahun 1918: "Sekarang Perang Salib sudah
selesai."
Orang-orang suci dalam Islam dan Kristen
Apabila
di kalangan orang-orang Kristen ada orang-orang suci yang dalam
berbagai zaman menolak adanya perang dan dalam arti persaudaraan insani
mereka telah mencapai puncaknya, bahkan persaudaraannya dengan
unsur-unsur alam semesta, maka di kalangan kaum Muslimin juga ada
orang-orang suci, yang jiwanya sudah begitu luhur. Mereka mengadakan
komunikasi dalam arti persaudaraan, kasih-sayang dan emanasi dengan
alam semesta ini, dengan jiwa yang sudah sarat oleh pengertian kesatuan
wujud. Tetapi orang-orang suci itu - baik dari kalangan Kristen atau
Islam - kalaupun mereka sudah mencerminkan cita-cita yang luhur, namun
mereka tidak menterjemahkan kehidupan insani dalam perkembangannya yang
terus-menerus serta dalam perjuangannya mencapai kesempurnaan, yakni
kesempurnaan yang hendak kita coba mencerminkannya. Lalu pikiran kita
terhenti, imajinasi kita terhenti, tanpa dapat kita pahami
seteliti-telitinya, meskipun dalam menggambarkan itu kita sudah cukup
mengambil risiko sebagai pendahuluan usaha kita kearah itu.
Dan kini sudah lampau masa seribu tiga
ratus limapuluh tujuh tahun sejak hijrahnya Nabi dari Mekah ke Yathrib
itu. Tetapi meskipun begitu dalam berbagai zaman manusia makin hebat
juga berlumba-lumba melakukan perang, membuat senjata-senjata jahanam
dan fatal. Kata-kata mencegah perang, penghapusan persenjataan dan
menunjuk badan arbitrasi, tidak lebih dari kata-kata yang biasa
diucapkan pada setiap selesai perang, waktu bangsa-bangsa sedang
mengalami kehancuran. Atau ini hanya serangkaian propaganda yang
dilontarkan ketengah-tengah kehidupan oleh orang-orang yang sampai
sekarang belum mampu - dan siapa tahu barangkali takkan pernah mampu -
mewujudkan hal ini, mewujudkan perdamaian yang sebenarnya, perdamaian
dengan rasa persaudaraan dan rasa keadilan, sebagai ganti perdamaian
bersenjata, sebagai lambang perang yang akan mengantarkan kita kepada
kehancuran.
Islam agama kodrat
Islam
bukan agama ilusi dan khayal, juga bukan agama yang terbatas mengajak
individu saja mencapai kesempurnaan, tapi Islam adalah agama kodrat
(fitrah), yang dengan itu seluruh umat manusia, dalam arti individu dan
masyarakat, dikodratkan. Ia adalah agama yang didasarkan pada
kebenaran, kebebasan dan tata-tertib. Dan oleh karena perang adalah
kodrat manusia juga, maka membersihkan atau mengoreksi pikiran tentang
perang dalam jiwa kita lalu menempatkannya kedalam batas-batas
kemampuan manusia yang maksimal, adalah cara yang mungkin dapat dicapai
oleh kodrat manusia itu, dan yang akan melahirkan kelangsungan evolusi
hidup umat manusia dalam mencapai kebaikan dan kesempurnaannya.
Koreksi atas konsepsi perang ini yang
paling baik ialah hendaknya jangan sampai terjadi perang kecuali untuk
membela diri, membela keyakinan dan kebebasan berpikir serta berusaha
kearah itu. Hendaknya rasa harga diri umat manusia secara integral
benar-benar dipelihara.
Inilah yang sudah. menjadi ketentuan Islam
seperti yang sudah kita lihat dan yang akan kita lihat nanti. Ini
pulalah yang digariskan oleh Qur'an seperti yang sudah dan yang akan
kita kemukakan kepada pembaca mengenai peristiwa-peristiwa serta
hubungannya maka Qur'an itu diturunkan.
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama