Setelah ana tunjukkan buku yang dimaksud, maka
wanita itu pun mencurahkan isi hatinya ke ana. Dia mengatakan bahwa
belum lama ini suaminya menikah lagi dengan wanita lain. Namun yang
tidak disukainya adalah, ketika suaminya ingin menikah, maka suaminya
mencari-cari kesalahan dan kekurangan yang ada pada istrinya, untuk
dijadikan alasan dan pembenaran agar suaminya bisa menikah lagi dengan
wanita lain.
Padahal kesalahan dan kekurangan yang ada pada istrinya itu
masih tergolong biasa dan bisa dimaafkan, bahkan sejak dulu memang
seperti itu. Namun ketika suaminya memiliki niat untuk menikah lagi,
maka barulah kesalahan dan kekurangan istrinya ditampakkan seolah-olah
sesuatu yang sangat besar dan fatal, bahkan dijadikan alasan oleh
suaminya supaya dia bisa menikah lagi dan orang-orang tidak beranggapan
negatif ke suaminya, bahkan sebaliknya orang-orang yang malah beramsumsi
negatif kepada istri pertamanya. Inilah kecurangan yang ada pada
suaminya, dia (suaminya) berbuat seolah-olah kesalahan bukan pada
dirinya, melainkan pada istrinya, sehingga dia menikah lagi dengan
alasan istri pertamanya ‘tidak baik’. Dan jika dia tidak berbuat seperti
itu (kecurangan), maka orang-orang akan menyalahkan dia (suaminya)
karena menikah lagi, dan orang-orang akan membela istri pertamanya,
karena di daerah kami, poligami (menikah lagi) masih dianggap aib.
Wanita itu juga mengatakan ke ana, seandainya suaminya menikah lagi
dengan alasan ingin mengamalkan sunnah dan bisa berbuat adil, dan bukan
karena kesalahan-kesalahan atau kekurangan yang ada pada diri istrinya,
maka wanita itu sangat meridhai bahkan mendukung niat baik suaminya itu.
Jika diawal poligaminya saja sang suami sudah tidak mampu berbuat adil
dan bermain curang, maka apalagi yang selanjutnya?
===================
Jika shalat, puasa, haji, sedekah, dan amalan-amalan lainnya
membutuhkan ilmu terlebih dahulu, begitu juga hal nya dengan poligami,
lebih sangat membutuhkan ilmu juga. Ilmu bagaimana berbuat adil terhadap
istri-istrinya, sampai dalam nafkah, jadwal/waktu, mendidik/mengajar,
bercanda, bermain, berjima sampai masalah adil dalam berciuman. Selain
itu juga adil dalam tanggung jawab kepada istri-istrinya serta
anak-anaknya, bagaimana nantinya dia harus mampu menafkahi
istri-istrinya seumur hidupnya baik materi dan non materi, memberikan
pakaian, tempat tinggal, bersedekah kepada keluarganya (orangtua sang
istri serta saudara-saudaranya). Bertanggung jawab juga kepada anak-anak
dari istri-istrinya itu seumur hidupnya (entah itu 2 orang anak, atau 5
orang, atau 10 orang), menafkahinya, mendidiknya, menyekolahkannya,
dll.
Seseorang yang berilmu akan melihat poligami itu adalah sebuah
tanggung jawab yang besar serta memiliki keutamaan yang besar pula.
Sedangkan seseorang yang awwam melihat poligami itu adalah sebatas
kenikmatan dalam hal jima’ semata….
Wallahu a’lam.
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama