﴿ لَقَدْ خَلَقْنَا الإِنسَانَ فِي كَبَد ٍ﴾
“Sesungguhnya Aku telah menciptakan manusia berada dalam susah payah” (QS. Al-Balad: 4)
Makna kabad dalam ayat di atas adalah sengsara, menderita, susah paya karena musibah-musibah di dunia dan kesulitan-kesulitan akhirat.
Karena hidup di dunia adalah ujian, Allah swt berfirman: “Dialah
yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di
antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia lebih perkasa lagi Maha
Pengampun” (QS. Al-Mulk/67:2).
Maka peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia ini adakalanya terasa manis, dan sebaliknya ada yang terasa pahit, dan kejadian-kejadiannya ada yang tampak indah dan menyenangkan, dan sebaliknya ada yang tampak jelek dan menakutkan. Dan peristiwa dan kejadian itu, baik yang terasa manis, tampak indah dan menyenangkan maupun yang terasa pahit, tampak jelek dan menakutkan, semua akan berhenti dengan selesainya kehidupan itu sendiri, yaitu kematian.
Maka peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia ini adakalanya terasa manis, dan sebaliknya ada yang terasa pahit, dan kejadian-kejadiannya ada yang tampak indah dan menyenangkan, dan sebaliknya ada yang tampak jelek dan menakutkan. Dan peristiwa dan kejadian itu, baik yang terasa manis, tampak indah dan menyenangkan maupun yang terasa pahit, tampak jelek dan menakutkan, semua akan berhenti dengan selesainya kehidupan itu sendiri, yaitu kematian.
Semua yang
manis, indah dan menyenangkan, itulah mungkin yang kita sebut
kenikmatan dan karunia. Dan semua yang pahit, jelek dan menakutkan dari
peristiwa yang menimpah kita, itulah mungkin yang kita sebut musibah.
Namun yang perlu kita bangun dalam diri kita adalah bahwa dibalik peristiwa itu ada hikmah, baik yang dinilai sebagai keburukan atau kebaikan.bukankah Allah mengatakan dalam Al-Qur’an bahwasannya:
“Dialah yang membuat segala sesuatu dengan sebaik-baiknya” (QS. Al-sajdah/32:7).
Prof. M.
Quraiys Shihab mengatakan: “Segala yang diciptakan oleh Allah semuanya
adalah baik. Keburukan adalah akibat keterbasan pandangan. Ia sebenarnya
tidak buruk, tetapi nalar manusia mengiranya demikian. Ini serupa
dengan yang memandang amputasi tanpa mempertimbangkan sebab dan
tujuannya. Tetapi jika diketahui penyebab, tujuan dan dampak akhirnya,
maka sang dokter yang mengamputasi, keputusan itu akan sangat terpuji.
Ini juga serupa dengan yang memandang titik hitam (tahi lalat) pada
wajah seorang perempuan. Keterbatasan pandangan pada objek tersebut
menjadikan si pemandang melihatnya buruk. Tetapi jika wajah dipandang
secara menyeluruh, maka titik hitam tersebut justru menjadi unsur
kecantikannya. Karena itulah, maka Allah mengingatkan bahwa:
“Boleh
jadi engkau tidak senang kepada sesutu, padahal dia itu baik untuk
kamu, dan boleh jadi juga engkau menyenangi sesuatu padahal itu buruk
untuk kamu, Allah mengatahui dan kamu tidak mengetahui” (QS. Al-Baqarah/2:216).
(Jurnal Studi Al-Qur’an Vol. I No. 1, januari 2006).
(Jurnal Studi Al-Qur’an Vol. I No. 1, januari 2006).
Musibah dan Bala’ (ujian) Pasti Datang
Allah swt berfirman: “Dan aku pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan.Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar” (QS. Al-Baqarah/2:155).
Itulah contoh beberapa musibah atau bala’
yang dapat menimpah semua orang. Baik disebabkan karena ulah
tangan-tangan jahat manusia atau memang sudah kehendak Allah swt, untuk
menjelaskan bahwa kehidupan ini adalah ujian.
Allah berfirman:
“Tak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah” (QS.Al-Taghaabun/64:11).
Musibah
pada dasarnya didatangkan Allah karena ulah atau kesalahan manusia.
Sedangkan bala’ tidak mesti demikian, dan bahwa tujuan bala’ adalah
peningkatan derajat seseorang di hadapan Allah SWT.
Maka kita dapat mendengar, melihat, bahkan mungkin merasakannya sendiri adanya
musibah atau bala’. Orang yang tinggal di daerah dataran tinggi, dengan
mudah terkena musibah longsor. Yang tinggal di daerah dataran rendah,
dengan mudah tersapu musibah banjir. Dan yang merasa aman, karena ia
tinggal di daerah yang dipandang aman, jauh dari longsor ataupun banjir,
kalau waktunya sudah tiba, musibah pasti datang kepadanya, atau justru
ia yang mendatangi musibah. Musibah itu bisa berupa kebakaran,
kecelakaan, sakit, Lumpur panas, kematian dan yang lainnya. Dan cukuplah
sebagai pelajaran yang tak terlupakan sekaligus peringatan bagi kita
semua, ketika Allah swt menunjukkan sedikit keagungan dan kebesaran-Nya,
dengan tsunami yang pernah memporak-porandakan bumi Aceh dan Sumatra
Utara, bahkan sekian banyak Negara di kawasan asia pada akhir tahun 2004
dan yang mengakibatkan korban jiwa ratusan ribu orang, sungguh
merupakan peristiwa yang sangat luar biasa serta menimbulkan dampak yang
amat besar, bukan saja dari segi fisik material, bahkan juga psikis dan
spiritual.
Berbagai
anggapan muncul dan sekian banyak orang goncang hati dan imannya. Ada
yang berkata bahwa Allah telah murka, ada juga yang melontarkan ucapan
bahwa Tuhan kejam dan tidak lagi mengasihi.
Sebagai seorang beragama yang percaya akan ke-Esa-an Allah dan kasih sayangnya, yang dilukiskan-Nya sendiri dengan Ia mewajibkan atas diri-Nya rahmah (kasih sayang), maka
semua ungkapan di atas tidaklah pantas terlintas dalam benak,
lebih-lebih dari seorang muslim yang bersangka baik kepada Khaliqnya.
Kita harus yakin bahwa Allah SWT adalah Rabb al-Alamin (Pemelihara seluruh alam).
Dan dalam konteks pemeliharaan-Nya itu, terjadi sekian banyak hal yang
antara lain dapat terlihat –menurut sudut pandang manusia- sebagai
malapetaka atau musibah.
Musibah dan bala’ & Sikap seorang Muslim
Karena ujian dan musibah merupakan sebuah kepastian, maka tak seorangpun yang luput darinya. Semakin tinggi kedudukan seseorang, semakin berat pula ujiannya. Karena itu, Rasulullah saw pernah mengajarkan jurus jitu kepada umat Islam dalam menjalani ujian hidup ini, terutama untuk menghadapi musibahnya, sekaligus sebagai pujian bagi seorang mukmin yang telah berhasil mendapatkan manisnya keimanan. Rasulullah saw mengatakan:عَجَبًا ِلأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ ِلأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ . رواه مسلم
“Orang
mukmin itu memiliki keunikan, sehingga suluruh urusannya menjadi baik
untuknya, dan keunikan ini tidak dimiliki oleh siapapun kecuali oleh
orang yang mukmin. Yaitu; apabila ia mendapatkan kenikmatan, ia pandai
bersyukur, hal ini baik baginya, dan apabila ia mendapatkan musibah, ia
tegar bersabar, hal ini juga baik baginya” (HR. Muslim (No. 5318) riwayat dari sahabat Abu Yahya Shuhaib bin Sinan ra).
Bahkan di dalam hadits qudsiy, Rasulullah menerangkan, bahwa Allah berfirman:
يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى مَا لِعَبْدِي الْمُؤْمِنِ عِنْدِي جَزَاءٌ إِذَا قَبَضْتُ صَفِيَّهُ مِنْ أَهْلِ الدُّنْيَا ثُمَّ احْتَسَبَهُ إِلاَ الْجَنَّةُ . رواه البخاري
“Tidak
ada balasan bagi hamba-Ku yang mukmin dari penduduk dunia, ketika Aku
mengambil kesenagannya lalu ia merelakannya, kecuali surga” (HR. Bukhari (No. 5944) riwayat dari Abu Hurairah ra).
Sehingga
seorang muslim dengan keimanan yang ia miliki dapat melihat ujian atau
bala’ sebagai hal yang menyenangkan. Allah berfirman:
“Tiap-tiap
yang berjiwa akan merasakan mati. Aku akan mengujimu dengan keburukan
dan kebaikan sebagai fitnah. Dan hanya kepada Akulah kamu dikembalikan” (QS.
Al-Anbiya/21:35).
Nabi Sulaiman as, misalnya, yang diberi aneka kuasa dan kenikmatan, menyadari fungsi nikmat sebagai ujian sehingga beliau berkata sebagimana diabadikan Al-Qur’an: “Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mengujiku, apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmatnya)?” (QS. Al-Naml/27:40).
Nabi Sulaiman as, misalnya, yang diberi aneka kuasa dan kenikmatan, menyadari fungsi nikmat sebagai ujian sehingga beliau berkata sebagimana diabadikan Al-Qur’an: “Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mengujiku, apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmatnya)?” (QS. Al-Naml/27:40).
Maka
cukuplah sebagai solusi terapi mental yang paling manjur bagi
orang-orang yang beriman ketika musibah dunia menguncangnya, pesan Allah
berikut ini: “… Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang
sabar. Yaitu, orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka
berkata:”Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Roji’un” (sesungguhnya kami milik
Allah, dan kepada-Nya kami kembali). Mereka itulah orang memperoleh
ampunan dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang
mendapat petunjuk” (QS. Al-Baqarah/2:155-157).
Dengan
ingat dan sadar, dari mana kita berasal, untuk apa kita hidup dan kemana
kita akan kembali ? seseorang akan mendapatkan kembali kekuatan dan
staminanya untuk terus bertahan dan melanjutkan sisa perjalanan hidupnya
untuk menjadi lebih baik. Sementara ajaran idiologi selain Islam tidak
sanggup menyelamatkan pemeluknya dari keterpurukan moral dan mental
bahkan bunuh diri, di saat peristiwa dunia menghimpitnya dan musibah
mengguncang kehidupannya. Maha Suci Engkau ya Allah, yang seluruh
penghuni langit dan bumi selalu bertasbih kepada-Mu.
Macam-macam Musibah
1. Musibah sebagai ujian.
Musibah ini diberikan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman untuk menguji keimanan mereka, agar di ketahui siapa di antara mereka yang imannya benar-benar mutiara dan yang imannya hanya sekedar beling pecahan kaca.
Allah berfirman:
”Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan saja mengatakan
“kami telah beriman” sedang mereka tidak diuji lagi ? Dan sesungguhnya
Allah telah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia
mengetahui orang-orang yang dusta” (QS. Al-Ankabut/29:2)
Maka
musibah ini bertujuan untuk menempa manusia beriman, agar tidak berputus
asa akibat jatuhnya musibah, walau hal tersebut terjadi karena
kesalahan sendiri. Sebab boleh jadi ada kesalahan yang tidak disengaja
atau karena kelengahan. Dalam Al-Qur’an Allah SWT menjelaskan:
“Tidak
suatu musibah pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu
sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfudh) sebelum Aku
menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.
(Aku jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita
terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu
gembira terhadap apa yang diberikan kepadamu. Dan Allah tidak menyukai
setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri” (QS. Al-Hadid/57:22)
2. Musibah sebagai peringatan & peghapus dosa.
Musibah
ini diberikan kepada orang-orang mukmin yang telah melakukan dosa dan
berhak untuk disiksa, lalu Allah ingin menghapus dosa-dosanya dengan
musibah ini agar selamat dari siksa-Nya.
Allah berfirman: “dan
musibah apapun yang menimpa kamu, maka ia disebabkan oleh perbuatan
tangan kamu sendiri, dan Allah mema’afkan sebagian besar (dari
kesalahan-kesalahanmu). (QS. Al-Syura/42:30).
Rasulullah saw juga bersabda:
” مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حُزْنٍ وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلاَّ كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ “.
”
Tak satupun musibah yang menimpah orang mukmin, seperti sakit, rasa
lelah, duka, cemas dan kesedihan sampai duri yang menusuknya, kecuali
dosa-dosanya akan dihapus dengannya” (HR. Bukhari (5210), Muslim (4670), Tirmidzi dan ahmad. Riwayat dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah ra).
Di ayat yang lain Allah berfirman: “Nikmat apa saja yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja yang menimpamu, maka dari (keselahan) dirimu sendiri” (QS. Al-Nisa’/4:79).
3. Musibah sebagai adzab.
Musibah ini datang sebagai tanda murka Allah kepada orang-orang pelaku dosa dan jauh dari keimanan dan taqwa.
Simaklah firman Allah berikut:
“ Jikalau
sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa. Pastilah Aku
akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Tetapi
mereka mendustakan (ayat-ayat-Ku) itu, maka Aku siksa mereka disebabkan
perbuatannya.
Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan-Ku di malam hari di waktu mereka sedang tidur ?
Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan-Ku di waktu pagi hari ketika mereka sedang bermain ?
Maka
apakah mereka merasa aman dari Adzab Allah (yang tidak terduga-duga)?
Tiadalah yang merasa aman dari adzab Allah kecuali orang yang merugi. (QS. Al-A’rof/7:96-99).
Menghadapi
musibah ini, masyarakat pelaku kejahatan dan dosa harus segera kembali
kepada ajaran Allah dan syari’at-Nya, dengan bertaubat secara serius dan
istighfar sebanyak-banyaknya.
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama