
Mengenai jumlah raka’at sholat tarawih ada baiknya membaca tulisan kecil dari al-ustadz abul jauza’ hafidzahullahu mengenai hal ini dimana dari tulisannya saya sendiri memahami bahwa yang shahih adalah 11 raka’at[1].
Nah, selanjutnya bagaimana dengan mereka yang melaksanakan lebih dari itu ( 23 rakaat , dan selainnya ) ? sedangkan tidak ada satupun dalil/nash yang menerangkan bahwa sholat tarawih adalah 23 rakaat dan selainnya ?
Tidak ada masalah ijtihadiyah di antara ahli ilmu yang disikapi
dengan sensitif sedemikian rupa selain masalah ini ( jumlah raka’at
sholat tarawih), sehingga nantinya menjadi sebab terjadinya perpecahan
dan fitnah di antara umat Islam. Marilah kita dengan jernih mensikapinya
dengan bijak karena telah kita ketahui hal ini adalah perkara
khilafiyah dari para kalangan ulama salafush-shalih.
Ada dua kelompok ekstrim dalam masalah ini;
Kelompok pertama, mereka yang mengingkari orang yang menambah (rakaat Taraweh) dari sebelas rakaat dan membid’ahkan prilakunya. Kelompok kedua,
mereka yang mengingkari orang yang hanya menunaikan sebelas rakaat dan
mengatakan, ‘Mereka telah menyalahi ijma’ (konsensus para ulama’).”
Mari kita simak nasehat dari syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu
tatkala beliau melihat fenomena ini terjadi dalam masyarakat islam saat
ini ;
لا ينبغي لنا أن نغلو أو نفرط ، فبعض الناس يغلو من حيث التزام السنة في
العدد، فيقول : لا تجوز الزيادة على العدد الذي جاءت به السنَّة ، وينكر
أشدَّ النكير على من زاد على ذلك ، ويقول : إنه آثم عاصٍ .
وهذا لا شك أنه خطأ ، وكيف يكون آثماً عاصياً وقد سئل النبي صلى الله
عليه وسلم عن صلاة الليل فقال : مثنى مثنى ، ولم يحدد بعدد ، ومن المعلوم
أن الذي سأله عن صلاة الليل لا يعلم العدد ؛ لأن من لا يعلم الكيفية فجهله
بالعدد من باب أولى ، وهو ليس ممن خدم الرسول صلى الله عليه وسلم حتى نقول
إنه يعلم ما يحدث داخل بيته ، فإذا كان النبي صلى الله عليه وسلم بيَّن له
كيفية الصلاة دون أن يحدد له بعدد : عُلم أن الأمر في هذا واسع ، وأن
للإنسان أن يصلِّيَ مائة ركعة ويوتر بواحدة .
وأما قوله صلى الله عليه وسلم ” صلوا كما رأيتموني أصلي ” فهذا ليس على
عمومه حتى عند هؤلاء ، ولهذا لا يوجبون على الإنسان أن يوتر مرة بخمس ،
ومرة بسبع ، ومرة بتسع ، ولو أخذنا بالعموم لقلنا يجب أن توتر مرة بخمس ،
ومرة بسبع ، ومرة بتسع سرداً ، وإنما المراد : صلوا كما رأيتموني أصلي في
الكيفية ، أما في العدد فلا إلا ما ثبت النص بتحديده .
وعلى كلٍّ ينبغي للإنسان أن لا يشدد على الناس في أمر واسع ، حتى إنا
رأينا من الإخوة الذين يشددون في هذا مَن يبدِّعون الأئمة الذين يزيدون على
إحدى عشرة ، ويخرجون من المسجد فيفوتهم الأجر الذي قال فيه الرسول صلى
الله عليه وسلم ” من قام مع الإمام حتى ينصرف كُتب له قيام ليلة ” رواه
الترمذي ( 806 ) وصححه الألباني في صحيح الترمذي ( 646 ) ، وقد يجلسون إذا
صلوا عشر ركعات فتنقطع الصفوف بجلوسهم ، وربما يتحدثون أحياناً فيشوشون على
المصلين .
ونحن لا نشك بأنهم يريدون الخير ، وأنهم مجتهدون ، لكن ليس كل مجتهدٍ يكون مصيباً .
والطرف الثاني : عكس هؤلاء ، أنكروا على من اقتصر على إحدى عشرة ركعة
إنكاراً عظيماً، وقالوا : خرجتَ عن الإجماع قال تعالى : { ومن يشاقق الرسول
من بعد ما تبين له الهدى ويتبع غير سبيل المؤمنين نوله ما تولى ونصله جهنم
وساءت مصيراً } ، فكل من قبلك لا يعرفون إلا ثلاثاً وعشرين ركعة ، ثم
يشدِّدون في النكير ، وهذا أيضاً خطأ .
” الشرح الممتع ” ( 4 / 73 – 75 )
Tidak selayaknya kita bersikap berlebih-lebihan atau terlalu
meremehkan. Sebagian orang berlebih-lebihan untuk konsisten dalam
memegang sunnah dari sisi bilangan (rakaat qiyam), dia mengatakan:
‘Tidak dibolehkan menambah bilangan melebihi apa yang telah ada dalam
sunnah.’ Dia sangat mengingkari orang yang menambahnya sambil
mengatakan, bahwa orang tersebut telah berbuat dosa dan maksiat. Tidak
diragukan lagi bahwa sikap ini merupakan kekeliruan. Bagimana orang itu
dikatakan berdosa dan bermaksiat, padahal Nabi sallallahu’alaihi
wasallam pernah ditanya tentang shalat malam, maka beliau bersabda, “Dua (rakaat)-dua (rakaat)”
tanpa menentukan bilangan. Dapat dipahami bahwa sang penanya tentang
shalat malam tersebut tidak mengetahui bilangannnya, karena orang yang
tidak tahu tata caranya, maka mestinya dia lebih tidak tahu bilangannya,
sedangkan dia bukan termasuk orang yang melayani Nabi sallallahu
‘alaihi wa sallam sehingga kita dapat mengatakan dia telah mengetahui
apa yang terjadi dalam rumahnya. Maka, jika Nabi sallallahu ‘alaihi wa
sallam telah menjelaskan tata cara tanpa membatasi jumlah bilangan,
dapat dikatakan bahwa masalah ini bersifat luas. Seseorang dibolehkan
shalat seratus rakaat dan shalat witir satu rakaat.
Adapun sabda Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam: “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.”
Hadits ini tidak bersifat umum, bahkan juga bagi mereka. Oleh karena
itu mereka tidak mewajibkan seseorang untuk shalat witir sesekali lima
rakaat, sesekali tujuh (rakaat), dan sesekali sembilan (rakaat). Kalau
kita mengambil akan keumuman hadits ini, pasti kita katakan, seharusnya
engkau witir sesekai lima (rakaaat), sesekali tujuh (rakaat) dan
sesekali sembilan (rakaat) secara langsung. Akan tetapi maksudnya adalah
shalatlah kalian seperti kalian melihat aku menunaikan shalat dalam
tata caranya. Adapun dalam hal bilangan (rakaat) tidak (termasuk dalam
pemahaman hadits ini) melainkan apa yang telah ditetapkan dalam nash
terkait penentuan bilangannya.
Secara umum, seyogyanya bagi seseorang janganlah terlalu keras kepada
orang-orang dalam masalah yang luas. Sampai kami melihat di antara
saudara-saudara yang ekstrim dalam masalah ini, sehingga ada yang
membid’ahkan para ulama yang berpendapat (bolehnya shalat malam) lebih
dari sebelas (rakaat). Lalu mereka meninggalkan masjid (sebelum shalat
taraweh selesai) sehingga dia luput mendapatkan apa yang Nabi sallallahu
‘alaihi wa sallam sabdakan:
من قام مع الإمام حتى ينصرف كُتب له قيام ليلة )رواه الترمذي، رقم 806، وصححه الألباني في صحيح الترمذي، رقم 646 )
“Sesungguhnya orang yang melakukan shalat bersama imam hingga selesai, maka akan dicatat baginya sebagai shalat malam”. (HR. Tirmizi, 806. Dishahihkan oleh Al-Albany dalam shahih Tirmizi, no. 646)
Terkadang mereka duduk-duduk setelah menyelesaikan sepuluh rakaat,
hingga barisan shalat terputus karena duduknya mereka. Bahkan kadang
mereka saling berbicara sehingga mengganggu orang-orang yang (sedang)
shalat. Tidak kami ragukan, bahwa mereka ingin kebaikan, dan mereka
berijtihad. Akan tetapi tidak setiap orang yang berijtihad itu tepat.
Kelompok kedua, kebalikan dari mereka (kelompok pertama), yaitu
yang mengingkari dengan keras mereka yang hanya menunaikan shalat
sebelas rakaat. Mereka mengatakan: “Engkau telah keluar dari ijma
(konsensus para ulama), padahal Allah Ta’ala berfirman:
ومن يشاقق الرسول من بعد ما تبين له الهدى ويتبع غير سبيل المؤمنين نوله ما تولى ونصله جهنم وساءت مصيراً
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran
baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami
biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan
Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk
tempat kembali.” (QS. An-Nisa: 115)
Orang-orang sebelum kalian tidak mengenal (bilangan rakaat) selain
dua puluh tiga rakaat. Maka dengan ekstrim mereka mengingkarinya (yang
shalat sebelas rakaat). Ini juga suatu kesalahan. (As-Syarhu Al-Mumti, 4/73-75)
قال الشيخ ابن عثيمين رحمه الله عند الكلام على مسألة من يصلي مع الإمام
عشر ركعات ثم يجلس وينتظر صلاة الوتر ولا يكمل صلاة التراويح مع الإمام :
ويؤسفنا كثيراً أن نجد في الأمة الإسلامية المتفتحة فئة تختلف في أمور
يسوغ فيها الخلاف ، فتجعل الخلاف فيها سبباً لاختلاف القلوب ، فالخلاف في
الأمة موجود في عهد الصحابة ، ومع ذلك بقيت قلوبهم متفقة .
فالواجب على الشباب خاصة ، وعلى كل الملتزمين أن يكونوا يداً واحدةً ومظهراً واحداً ؛ لأن لهم أعداءً يتربصون بهم الدوائر .
” الشرح الممتع ” ( 4 / 225 )
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata berkenaan dengan
permasalahan orang yang shalat bersama imam sepuluh rakaat kemudian
duduk dan menunggu shalat witir (sementara) dia tidak menyempurnakan
shalat Taraweh bersama imam: “Yang sangat kami sayangkan sekali, di
tengah umat Islam yang kian terbuka, ada segolongan orang yang bertikai
dalam masalah-masalah yang masih dibolehkan adanya perbedaan pendapat.
Dan menjadikan perbedaan tersebut sebagai sebab hilangnya kesatuan hati.
Perbedaan dalam umat ini telah ada sejak masa para shahabat, meskipun
begitu, hati mereka tetap menyatu. Maka seharusnya, khusus kepada para
pemuda dan setiap orang yang konsisten dalam memegang agama, hendaklah
dalam satu langkah dan satu sikap. Karena di sana banyak musuh mereka
yang mencari-cari kesempatan. (As-Syarhu Al-Mumti’, 4/225)
Adapun dalil kelompok yang mengatakan tidak boleh menambah dari
delapan rakaat dalam shalat Taraweh adalah hadits Abu Salamah bin
Abdurrahman bahwa beliau bertanya kepada Aisyah radhiallahu’anha:
كيف كانت صلاة رسول الله صلى الله عليه وسلم في رمضان ؟
فقالت : ما كان يزيد في رمضان ولا في غيره على إحدى عشرة ركعة يصلي أربعا
فلا تسل عن حسنهن وطولهن ثم يصلي أربعا فلا تسل عن حسنهن وطولهن ثم يصلي
ثلاثا فقلت يا رسول الله أتنام قبل أن توتر قال يا عائشة إن عينيَّ تنامان
ولا ينام قلبي ” . رواه البخاري ( 1909 ) ومسلم ( 738 ) .
“Bagaiamana cara shalat Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam pada bulan Ramadan?” Beliau menjawab: “Beliau tidak pernah menambah di bulan Ramadan dan selain Ramadan dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat (rakaat), jangan tanya bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat lagi empat (rakaat), jangan tanya bagus dan panjangnya, kemudian beliau shalat tiga (rakaat). Maka aku (Aisyah) berkata: “Wahai Rasulullah! Apakah engkau tidur sebelum shalat witir? Beliau menjawab: “Wahai Aisyah sesungguhnya kedua mataku terpejam (akan tetapi) hatiku tidak tertidur.” (HR. Bukhari, no. 1909, Muslim, no. 738)
Mereka mengatakan: “Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah
selalu melaksanakan demikian dalam shalat malam, baik di bulan Ramadan
maupun selain Ramadan.”
Para ulama menolak menjadikan hadits ini sebagai dalil (tidak
bolehnya shalat malam lebih dari sebelas rakaat), sebab hal ini adalah
perbuatan beliau sallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan perbuatan tidak
menunjukkan kewajiban. Di antara dalil yang jelas bahwa shalat lail, di
antaranya shalat Taraweh, tidak ditentukan bilangan rakaatnya, adalah
hadits Ibnu Umar radhiallahu’anhuma sesungguhnya seseorang bertanya
kepada Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam tentang shalat malam.
Maka Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Shalat malam dua
(rakaat) dua (rakaat), kalau di antara kalian khawatir (datang waktu)
subuh, maka shalatlah satu rakaat untuk witir dari shalat yang telah
dilaksanakan.” (HR. Bukhari, 946. Muslim, 749)
قال السرخسي وهو من أئمة المذهب الحنفي :
فإنها عشرون ركعة سوى الوتر عندنا .
” المبسوط ” ( 2 / 145 )
As-Sarkhasi, beliau termasuk tokoh dalam mazhab Hanafi, berkata: “Sesungguhnya (shalat malam) dalam (mazhab) kami adalah dua puluh rakaat selain witir.” (Al-Mabsuth, 2/145)
وقال ابن قدامة :والمختار عند أبي عبد الله ( يعني الإمام أحمد ) رحمه الله ، فيها عشرون ركعة ، وبهذا قال الثوري ، وأبو حنيفة ، والشافعي ، وقال مالك : ستة وثلاثون .” المغني ” ( 1 / 457 )
Ibnu Qudamah berkata: “Yang dipilih menurut Abu Abdullah (yakni Imam Ahmad) rahimahullah dalam (shalat malam) adalah dua puluh rakaat. Pendapat juga dipilih oleh Ats-Tsauri, Abu Hanifah dan Asy-Syafi’i. Sedangkan Imam Malik mengatakan: Tiga puluh enam (rakaat).” (Al-Mughni, 1/457)
Syaikhul islam Ibnu Taimiyah berkata dalam kitabnya Majmu’ al-Fatawa 22/272
“Shalat malam di bulan Ramadhan tidaklah dibatasi oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan bilangan tertentu. Yang dilakukan
oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah beliau tidak menambah di
bulan Ramadhan atau bulan lainnya lebih dari 13 raka’at. Akan tetapi
shalat tersebut dilakukan dengan raka’at yang panjang. Tatkala ‘Umar
mengumpulkan manusia dan Ubay bin Ka’ab ditunjuk sebagai imam, dia
melakukan shalat sebanyak 20 raka’at kemudian melaksanakan witir
sebanyak tiga raka’at. Namun ketika itu bacaan setiap raka’at lebih
ringan dengan diganti raka’at yang ditambah. Karena melakukan semacam
ini lebih ringan bagi makmum daripada melakukan satu raka’at dengan
bacaan yang begitu panjang.
Sebagian salaf pun ada yang melaksanakan shalat malam sampai 40
raka’at, lalu mereka berwitir dengan 3 raka’at. Ada lagi ulama yang
melaksanakan shalat malam dengan 36 raka’at dan berwitir dengan 3
raka’at.
Semua jumlah raka’at di atas boleh dilakukan. Melaksanakan shalat
malam di bulan Ramadhan dengan berbagai macam cara tadi itu sangat
bagus. Dan memang lebih utama adalah melaksanakan shalat malam sesuai
dengan kondisi para jama’ah. Kalau jama’ah kemungkinan senang dengan
raka’at-raka’at yang panjang, maka lebih bagus melakukan shalat malam
dengan 10 raka’at ditambah dengan witir 3 raka’at, sebagaimana hal ini
dipraktekkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri di bulan
Ramdhan dan bulan lainnya. Dalam kondisi seperti itu, demikianlah yang
terbaik.
Namun apabila para jama’ah tidak mampu melaksanakan
raka’at-raka’at yang panjang, maka melaksanakan shalat malam dengan 20
raka’at itulah yang lebih utama. Seperti inilah yang banyak dipraktekkan
oleh banyak ulama. Shalat malam dengan 20 raka’at adalah jalan
pertengahan antara jumlah raka’at shalat malam yang sepuluh dan yang
empat puluh. Kalaupun seseorang melaksanakan shalat malam dengan 40
raka’at atau lebih, itu juga diperbolehkan dan tidak dikatakan makruh
sedikitpun. Bahkan para ulama juga telah menegaskan dibolehkannya hal
ini semisal Imam Ahmad dan ulama lainnya.[2]
قال شيخ الإسلام ابن تيمية :
والتراويح إن صلاها كمذهب أبي حنيفة ، والشافعي ، وأحمد : عشرين ركعة أو
: كمذهب مالك ستا وثلاثين ، أو ثلاث عشرة ، أو إحدى عشرة فقد أحسن ، كما
نص عليه الإمام أحمد لعدم التوقيف فيكون تكثير الركعات وتقليلها بحسب طول
القيام وقصره .
الاختيارات ص ( 64 )
Sykehul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “ Taraweh kalau dilaksanakan
cara shalatnya seperti madzhab Abu Hanifah, Syafi’i dan Ahmad dua puluh
rakaat atau seperti madzhab Malik tiga puluh enam (rakaat) atau tiga
belas atau sebelas, maka itu bagus. Sebagaimana telah dinyatakan oleh
Imam Ahmad bahwa masalah ini bukan perkara tauqifi (baku), maka boleh
memperbanyak atau menyedikitkan rakaat, sesuai dengan panjang dan
pendeknya qiyam.” (Al-Ikhtiyarat, hal. 64)
Dari pendapat para ulama dalam berbagai madzhab yang diakui, jelas
bahwa perkara ini sangatlah luas. Maka tidak mengapa menambah rakaat
lebih dari sebelas rakaat. Adapun yang shalat sebelas rakaat sesuai
dengan sifat yang dilakukan Nabi sallallahu ‘alaih wa sallam maka dia
telah sesuai dengan sunnah. Dan tidak seharusnya mengingkari orang yang
melakukan salah satu dari dua amalan tersebut.
Selanjutnya timbul pertanyaan lagi, apakah sholat tarawih dilakukan berjama’ah atau sendiri-sendiri ?
Shalat qiyam (Taraweh) disyariatkan pada bulan Ramadan, baik secara
berjama’ah maupun seorang diri. Pelaksanaan secara berjama’ah lebih
utama dibanding seorang diri. Terdapat riwayat yang telah tetap dalam
Ash-Shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim), sesungguhnya Nabi sallallahu
‘alaihi wa sallam menunaikan shalat dengan para shahabat beberapa malam.
Ketika memasuki malam ke tiga atau keempat beliau tidak keluar (untuk
menunaikan shalat) bersama mereka. Ketika pagi hari beliau bersabda:
“Tidak ada yang menghalangiku untuk keluar (menunaikan shalat) bersama kalian semua, melainkan aku khawatir dia (qiyam) akan diwajibkan kepada kalian.” (HR. Bukhari, no. 1129)لَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ. (رواه البخاري، رقم 1129 ، و فى لفظ مسلم، رقم 761) ولكنى خشيت أن تفرض عليكم الليل فتعجزوا عنها.
Dalam redaksi Muslim, no. 761, (Beliau bersabda),
“Akan tetapi aku khawatir (qiyamul lail) diwajibkan kepada kalian,
sehingga kalian tidak mampu (melaksanakannya).”
فثبتت الجماعة في التراويح بسنة النبي صلى الله عليه وسلم ، وذكر النبي
صلى الله عليه وسلم المانع من الاستمرار في صلاتها جماعة ، وهو خوف أن
تُفرض ، وهذا الخوف قد زال بوفاة الرسول صلى الله عليه وسلم ، لأنه لما مات
صلى الله عليه وسلم انقطع الوحي فأمن من فرضيتها ، فلما زالت العلة وهو
خوف الفريضة بانقطاع الوحي ، فحينئذ تعود السنية لها .
انظر ” الشرح الممتع ” للشيخ ابن عثيمين ( 4 / 78 )
Telah tetap bahwa berjama’ah dalam Taraweh ada sunnah Nabi sallallahu
‘alaihi wa sallam, dan Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam telah
menyebutkan bahwa penghalang untuk meneruskan shalatnya secara
berjama’ah adalah khawatir diwajibkan. Dan ketakutan tersebut kini telah
hilang dengan wafatnya Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena
setelah beliau sallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, wahyu terputus, maka
dengan demikian telah aman dari (turunnya wahyu) untuk mewajibkannya.
Ketika illat (sebab suatu hukum) telah hilang yaitu takut diwajibkan
dengan terputusnya wahyu, maka itu berarti harus kembali kepada ke
sunnah (semula).” (Silakan lihat Syarhu Al-Mumti, karangan Syekh Ibnu Utsaimin, 4/78).
قال الإمام ابن عبد البر – رحمه الله – :
وفيه : أن قيام رمضان سنة من سنن النبي صلى الله عليه وسلم ، مندوب
إليها ، مرغوب فيها ، ولم يسن منها عمر بن الخطاب إذ أحياها إلا ما كان
رسول الله صلى الله عليه وسلم يحبه ويرضاه ، ولم يمنع من المواظبة عليه إلا
خشية أن يفرض على أمته ، وكان بالمؤمنين رؤوفا رحيما – صلى الله عليه وسلم
– ، فلما علم ذلك عمر من رسول الله صلى الله عليه وسلم وعلم أن الفرائض لا
يزاد فيها ولا ينقص منها بعد موته عليه الصلاة والسلام : أقامها للناس
وأحياها وأمر بها ، وذلك سنة أربع عشرة من الهجرة ، وذلك شيء ادخره الله له
وفضَّله به .
“التمهيد ” ( 8 / 108 ، 109 )
Imam Ibnu Abdul Bar rahimahullah berkata: “Hadits tersebut
menunjukkan bahwa qiyam Ramadan merupakan salah satu sunnah Nabi
sallallahu ‘alaihi wa sallam, disunnahkan dan dianjurkannya. Bukan Umar
bin Khattab yang mengadakan sunnah tersebut, dia cuma sekedar
menghidupkannya. Sesuatu yang disukai dan diridai Rasulullah sallallahu
‘alaihi wa sallam, sebab tidak ada yang menghalangi beliau untuk terus
menerus melakukannya selain kekhawatirannya hal tersebut diwajibkan
kepada umatnya. Dan beliau –sallallahu ‘alaihi wa sallam – dikenal
sangat mengasihi dan menyangi orang-orang mukmin.
Maka ketika Umar mengetahui hal tersebut dari Rasulullah sallallahu
‘alaihi wa sallam dan mengetahui bahwa kewajiban-kewajiban tidak boleh
ditambah dan tidak boleh berkurang sepeninggal beliau sallallahu ‘alaihi
wa sallam, Maka beliau kembali melakukan dan menghidupkan shalat
Taraweh berjamah Hal itu terjadi pada tahun empat belas hijriyah,
sebagai karunia dan keutamaan Allah padanya. (At-Tamhid, 8/108-109)
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ :
خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَيْلَةً فِي
رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ ، فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ
، يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ ، وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي
بِصَلاتِهِ الرَّهْطُ ، فَقَالَ عُمَرُ : إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ
هَؤُلاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ، ثُمَّ عَزَمَ
فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ، ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً
أُخْرَى ، وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلاةِ قَارِئِهِمْ ، قَالَ عُمَرُ :
نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ ، وَالَّتِي يَنَامُونَ عَنْهَا أَفْضَلُ مِنْ
الَّتِي يَقُومُونَ – يُرِيدُ آخِرَ اللَّيْلِ – وَكَانَ النَّاسُ
يَقُومُونَ أَوَّلَهُ . رواه البخاري ( 1906 )
Abdurrahman bin Abdun Al-Qari berkata: “Suatu malam di bulan Ramadan,
aku bersama Umar berangkat menuju ke masjid. Ternyata orang-orang
shalat berpencar-pencar. Ada yang shalat seorang diri, dan ada yang
shalat dengan sejumlah orang yang mengikuti. Maka beliau berkata: “Demi
Allah, sesungguhnya aku berpandangan, lebih baik kalau mereka
dikumpulkan di belakang satu qari (imam). Setelah keinginan beliau
bulat, mereka dikumpulkan dengan imam Ubay bin Ka’b. Kemudian saya
keluar lagi bersama Umar pada malam lain. Sementara (kini) orang-orang
menunaikan shalat dengan satu qari (imam). Maka Umat berkomentar:
“Inilah sebaik-baik bid’ah (sesuatu yang baru), waktu yang mereka
gunakan untuk tidur (akhir malam) lebih baik dibandingkan waktu yang
mereka gunakan untuk shalat –maksudnya akhir malam-. Pada awalnya,
orang-orang waktu itu menunaikan shalat pada awal malam.” (HR. Bukhari, no. 1906)
قال شيخ الإسلام ابن تيمية – في معرض رده على الذين يحتجون بقول عمر : ” نعمت البدعة ” على تجويز البدع – :
أما قيام رمضان فإن رسول اللَّه صلى الله عليه وسلم سنَّه لأمَّته ،
وصلَّى بهم جماعة عدة ليالٍ ، وكانوا على عهده يصلون جماعة وفرادى ، لكن لم
يداوموا على جماعة واحدة ؛ لئلا تفرض عليهم ، فلما مات النبي صلى الله
عليه وسلم استقرت الشريعة ، فلما كان عمر رضي الله عنه جمعهم على إمامٍ
واحدٍ ، وهو أُبي بن كعب الذي جمع الناس عليها بأمر من عمر بن الخطاب رضي
الله عنه ، وعمر رضي الله عنه هو من الخلفاء الراشدين ، حيث يقول صلى الله
عليه وسلم : “عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين من بعدي عضوا
عليها بالنواجذ ” يعنى الأضراس ؛ لأنها أعظم في القوة ، وهذا الذي فعله هو
سنة لكنه قال ” نعمت البدعة هذه ” ، فإنها بدعة في اللغة لكونهم فعلوا ما
لم يكونوا يفعلونه في حياة رسول الله صلى الله عليه وسلم ، يعني : من
الاجتماع على مثل هذه ، وهي سنة من الشريعة “. ” مجموع الفتاوى ” ( 22 /
234 ، 235 )
Syaikhul Islam berkata –ketika membantah orang membolehkan bid’ah
dengan argumen perkataan Umar: Inilah sebaik-baik bid’ah-, “Adapun qiyam
Ramadan (Taraweh), sesungguhnya Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa
sallam telah menganjurkan kepada umatnya. Beliau shalat dengan (para
shahabat) secara berjama’ah beberapa malam. Mereka pada masanya
menunaikan (shalat qiyam) secara berjama’ah dan seorang diri. Akan
tetapi beliau tidak terus menerus melaksanakan dalam satu jama’ah agar
tidak diwajibkan kepada umatnya. Ketika beliau wafat, maka syariat
menjadi baku (tidak berubah). Pada masa (kekhalifahan) Umar
radhiallahu’anhu, beliau mengumpulkan (jamaah shalat Taraweh) dengan
satu imam, yaitu Ubay bin Ka’b. Orang-orang shalat di belakangnya atas
perintah Umar bin Khatab radhiallahu’anhu. Dan Umar radhiallahu’anhu
adalah salah seorang Khulafaur Rasyidin, yang Rasulullah sallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda tentang mereka: “Hendaklah kalian berpegang
teguh terhadap sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat
petunjuk setelahku. Peganglah dengan gigi geraham.” Karena ia adalah
pegangan yang sangat kuat. Karena yang beliau laksanakan adalah sunnah
Nabi, sedangkan beliau berkata: “Inilah sebaik-baik bid’ah.” Maka yang
dimaksud bid’ah di sini adalah dari sisi bahasa, karena mereka
melaksanakan apa yang tidak mereka lakukan pada masa kehidupan
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu berkumpul seperti
demikian. Maka dia termasuk salah satu ajaran dalam syariat.” (Majmu Fatawa, 22/ 234, 235)
“Sesungguhnya orang yang melakukan shalat bersama imam hingga selesai, maka akan dicatat baginya sebagai shalat malam”. (HR. Tirmizi, 806. Dishahihkan oleh Al-Albany dalam kitab Shahih Tirmizi).من قام مع الإمام حتى ينصرف كتب له قيام ليلة (رواه الترمذى، رقم 806، و صححه الالباني فى صحيح الترمذى)
Bagaimana dengan wanita ?
Yang lebih utama bagi para wanita dalam qiyamul lail adalah melakukannya di rumah, berdasarkan hadits berikut ini :
وعن أُمِّ حُمَيْدٍ امْرَأَةِ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ أَنَّهَا
جَاءَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا
رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أُحِبُّ الصَّلاةَ مَعَكَ قَالَ قَدْ عَلِمْتُ
أَنَّكِ تُحِبِّينَ الصَّلاةَ مَعِي وَصَلاتُكِ فِي بَيْتِكِ خَيْرٌ لَكِ
مِنْ صَلاتِكِ فِي حُجْرَتِكِ وَصَلاتُكِ فِي حُجْرَتِكِ خَيْرٌ مِنْ
صَلاتِكِ فِي دَارِكِ وَصَلاتُكِ فِي دَارِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاتِكِ
فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ وَصَلاتُكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ
صَلاتِكِ فِي مَسْجِدِي قَالَ فَأَمَرَتْ فَبُنِيَ لَهَا مَسْجِدٌ فِي
أَقْصَى شَيْءٍ مِنْ بَيْتِهَا وَأَظْلَمِهِ فَكَانَتْ تُصَلِّي فِيهِ
حَتَّى لَقِيَتْ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ . رواه الإمام أحمد ورجال إسناده
ثقات
Dari Ummu Humaid, isteri Abu Humaid As-Sa’idy, sesungguhnya beliau
datang (menemui) Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya: “Wahai
Rasulullah, sesungguhnya aku suka shalat bersama anda engkau. Beliau
menjawab: “Sungguh aku mengetahui bahwa engkau suka menunaikan shalat
bersamaku, akan tetapi shalatmu di kamar tidurmu lebih baik dibandingkan
shalatmu di ruang tengah rumahmu, dan shalatmu di ruang tengah rumahmu
lebih baik dibandingkan shalatmu di masjid khusus rumahmu, dan shalatmu
di masjid khusus rumahmu, lebih baik dibandingkan shalatmu di masjid di
sekitar masyarakatmu, dan shalatmu di masjid sekitar masyarakatmu lebih
baik dibandingkan shalatmu di masjidku. Kemudian dia (Ummu Humaid) minta
dibangunkan baginya masjid (tempat shalat) di tempat paling ujung
rumahnya dan paling gelap. Maka beliau shalat di sana sampai bertemu
dengan Allah Azza Wa Jalla (wafat).” (HR. Ahmad, para perawinya tsiqah/terpercaya).
Dan berdasarkan sabda Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Jangan kalian melarang isteri-isteri kalian ke masjid. Akan tetapi rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka.” (HR. Abu Daud, dalam sunannya, tercantum dalam kitab Shahih Al-Jami, 7458)لا تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمْ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ. (رواه أبو داود في سننه باب ما جاء في خروج النساء إلى المسجد : باب التشديد في ذلك . وهو في صحيح الجامع 7458)
Akan tetapi keutamaan semacam ini jangan sampai menjadi penghalang
untuk memberi izin kepada para wanita pergi ke masjid. Sebagaimana
hadits Abdullah bin Umar radhiallahu’anhuma, dia berkata, saya mendengar
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Janganlah kalian melarang para wanita pergi ke masjid jika mereka mereka minta izin kepada kalian.” Lalu Bilal bin Abdullah berkata: “Demi Allah, sungguh kami akan melarangnya.” Kemudian Abdullah (bin Umar) menemuinya dan mencelanya dengan celaan yang belum pernah aku dengarkan (celaan) semacam itu, seraya beliau berkata, ‘Aku beritahu engkau ucapan Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam, tapi kamu justeru mengatakan, ‘Demi Allah sungguh kami akan melarangnya!” (HR. Muslim, no. 667)لا تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمْ الْمَسَاجِدَ إِذَا اسْتَأْذَنَّكُمْ إِلَيْهَا قَالَ فَقَالَ بِلالُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ وَاللَّهِ لَنَمْنَعُهُنَّ قَالَ فَأَقْبَلَ عَلَيْهِ عَبْدُ اللَّهِ فَسَبَّهُ سَبًّا سَيِّئًا مَا سَمِعْتُهُ سَبَّهُ مِثْلَهُ قَطُّ وَقَالَ أُخْبِرُكَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَقُولُ وَاللَّهِ لَنَمْنَعُهُنَّ رواه مسلم 667
عَنْ أَبي ذَرٍ رضي الله عنه قَالَ: صُمْنَا معَ رَسُولِ الله
صلى الله عليه وسلم رَمَضَانَ فَلَمْ يَقُمْ بنا شَيءٌ مِنَ الشَّهرِ
حَتَّى بَقيَ سَبعٌ فَقَام بنا حتَّى ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيلِ، فلمَّا
كَانتْ السَّادسَةُ لم يَقُم بِنَا، فلمَّا كانت الخَامِسَةُ قام بِنَا
حتَّى ذَهَبَ شطْرُ اللَّيلِ فَقُلتُ: يا رَسُولَ الله، لو نَفَلْتَنَا
قِيَامَ هذهِ اللَّيلةِ، قَالَ: فَقَالَ: إنَّ الرَّجُلَ إذا صَلَّى مَعَ
الإِمَامِ حَتَّى يَنصَرِفَ حُسِبَ له قِيَامُ لَيلَةٍ، قالَ: فلمَّا كانَت
الرَّابِعَةُ لم يَقُمْ، فلمَّا كانت الثَّالثَةُ جَمَعَ أَهْلَهُ
ونِسَاءَهُ والنَّاسَ فقَامَ بنَا حتَّى خَشِينَا أن يَفُوتَنَا الفَلاحُ.
قَالَ: قُلتُ: مَا الفَلاحُ؟ قَالَ: السَّحُورُ، ثمَّ لم يَقُم بنَا
بَقِيَّة الشَّهر رواه الأربعة وصححه الترمذي.
Dari Abu Dzarr radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Kami pernah berpuasa bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
pada bulan Ramadlan. Tidaklah beliau shalat tarawih bersama kami hingga
tersisa tujuh hari dari bulan tersebut. Saat itu baru beliau shalat
bersama kami hingga berakhir/selesai pada sepertiga malam (yang
terakhir). Pada saat malam tersisa enam hari lagi, beliau kembali tidak
shalat bersama kami. Ketika malam tersisa lima hari lagi, maka beliau
shalat bersama kami hingga berakhir/selesai pada waktu tengah malam. Aku
berkata : “Wahai Rasulullah, seandainya kita shalat kembali pada (sisa)
malam ini ?”. Maka beliau menjawab : ”Sesungguhnya, seseorang yang shalat bersama imam hingga selesai, maka dihitung baginya shalat semalam suntuk”.
Ketika malam tersisa empat hari lagi, beliau tidak shalat bersama kami.
Namun ketika malam tinggal tersisa tiga hari, beliau mengumpulkan
keluarganya, istri-istrinya, dan orang-orang yang ada; kemudian shalat
bersama kami hingga kami khawatir tertinggal waktu falah. Aku pernah
bertanya : ”Apa makna falah itu ?”. Beliau shallallaahu ’alaihi wasallam menjawab : ”Waktu sahur”. Kemudian beliau kembali tidak shalat bersama kami pada sisa malam di bulan Ramadlan tersebut.[Diriwayatkan oleh empat imam, dan dishahihkan oleh At-Tirmidzi] [3].
Didalam hadits diatas mengandung beberapa faidah dan salah satunya
dianjurkan bagi seorang wanita sholat taraweh berjama’ah di masjid[4]karena memang banyak manfaat yang didapat tanpa mengesampingkan mudharatnya dan harus memperhatikan syarat-syarat yang berlaku[5].
Demikian yang bisa tersampaikan mengenai beberapa pembahasan sholat
tarawih dan semoga menjadi bekal ilmu yang bermanfaat bagi kita sekalian
dan bijak dalam masalah khilafiyah.
Wallahu ta’ala a’lam bish-showab.
Kesimpulan :
1. Hadist yang shahih mengenai jumlah tarawih adalah 11 rakaa’at
2. Lebih utama bagi seorang laki-laki sholat tarawih berjama’ah di
masjid, sedangkan bagi wanita lebih utama di rumah sendiri, namun
dianjurkan sholat berjama’ah dimasjid dengan tetap pada kaidah-kaidah
dan syarat yang berlaku.
3. Para ulama salafush-shalih pernah melakukan sholat taraweh lebih dari 11 raka’at
4. Para ulama sangatlah bijak dan saling menghargai mengahadapi
permasalahan ini ( Masalah jumlah raka’at sholat tarawih, semestinya
bagi kita lebih bijak lagi mensikapinya dan tidak menjadikan perbedaan
ini sebagai sebab timbulnya perpecahan.
Catatan tangan :
[1].Bisa dilihat lebih lanjut (abul-jauzaa.blogspot.com )
[2].Untuk scan kitabnya bisa dilihat disini (www.facebook.com)
[3]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 1375), At-Tirmidzi (no. 806) dan ia berkata : Hasan shahih,
An-Nasa’i (3/83), Ibnu Maajah (no. 1327), Ahmad (5/163). Dishahihkan
oleh Ibnu Khuzaimah (no. 2205) dan Ibnu Hibban (no. 2547).
[4].Selengkapnya bisa lihat disini (abul-jauzaa.blogspot.com)
[5].Dalam artikel rumaysho.com
Referensi / Sumber tulisan :
1. Banyak mengambil faidah dari website resmi Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid hafidzahullahu (www.islamqa.com) semoga Allah membalas jerih payahnya menyebarkan ilmu dengan kebaikan
2. Faidah yang sangat berharga dari artikel al-ustadz Abul Jauza’ abul-jauzaa.blogspot.com, semoga Allah membalas jerih payahnya menyebarkan ilmu dengan kebaikan
3. Dan dari tulisan al-ustadz Muhammad Abduh Tuasikal rumaysho.com, semoga Allah membalas jerih payahnya menyebarkan ilmu dengan kebaikan.
4. Kitab Majmu’ al fatawa – Syaikhul islam ibnu taimiyah.
- Sahabat kalian yang masih dalam proses belajar –
–Thifal Izzah Ramadhani–
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama