
Semenjak Khawarij berkumpul, tidaklah ada seorang yang mengunjungi Ali radhiyallahu ‘anhu melainkan dia berkata –mengingatkan beliau–: “Wahai Amirul Mukminin, mereka kaum Khawarij telah berkumpul untuk memerangimu.”
Beliau menjawab: “Biarkan mereka, aku tidak akan memerangi mereka hingga mereka memerangiku, dan sungguh mereka akan melakukannya.”
Hingga di suatu hari yang terik, saat masuk waktu dhuhur aku menjumpai Ali radhiyallahu ‘anhu.
Aku berkata: “Wahai Amirul Mukminin, tunggulah cuaca dingin untuk
shalat dhuhur, sepertinya aku akan mendatangi mereka (Khawarij)
berdialog.”
‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata: “Wahai Ibnu Abbas, sungguh aku mengkhawatirkanmu!”
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma: “Wahai Amirul Mukminin,
janganlah kau khawatirkan diriku. Aku bukanlah orang yang berakhlak
buruk dan aku tidak pernah menyakiti seorang pun.” Maka Ali radhiyallahu ‘anhu mengizinkanku.
“Jubah terbaik dari Yaman segera kupakai, kurapikan rambutku, dan
kulangkahkan kaki ini hingga masuk di barisan mereka di tengah siang.”
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Sungguh aku dapati
diriku masuk di tengah kaum yang belum pernah sama sekali kujumpai satu
kaum yang sangat bersemangat dalam ibadah seperti mereka. Dahi-dahi
penuh luka bekas sujud, tangan-tangan menebal bagaikan lutut-lutut unta.
Wajah-wajah mereka pucat pasi karena tidak tidur, menghabiskan malam
untuk beribadah.”
Kuucapkan salam pada mereka. Serempak mereka menyambutku: “Marhaban, wahai Ibnu ‘Abbas. Apa gerangan yang membawamu kemari?”
Aku berkata: “Sungguh aku datang pada kalian dari sisi sahabat
Muhajirin dan sahabat Anshar, juga dari sisi menantu Rasulullah
shallallahu’alaihi wasallam, yang kepada merekalah Al-Qur’an diturunkan
dan merekalah orang-orang yang paling mengerti makna Al-Qur’an daripada
kalian.”
Pelajaran yang bisa diambil dari perkataan Ibnu ‘Abbas diantaranya:
Muqadimah ini seakan-akan sebagai “gertakan” kepada lawan debat (Khawarij) bahwa kebenaran ada pada sisi pendebat (Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma)
- Sebelum memulai perdebatan, beliau mengingatkan bahwa beliau mewakili kaum yang Allah telah ridho padanya dan mereka pun ridho kepada Allah (lihat surat At Taubah ayat 100)
- Beliau mengingatkan akan besarnya kedudukan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu yang selain sebagai sahabat juga menjadi menantu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.
- Beliau mengingatkan bahwa sahabat dari Muhajirin dan Anshar adalah kaum yang menyaksikan turunnya Al-Qur’an sehingga merekalah yang paling mengerti maknanya. Dan penggalan ini juga mengisyaratkan bahwa seharusnya cara beragama yang benar adalah dengan mengembalikan kepada pemahaman para Sahabat radhiyallahu’anhum karena mereka adalah kaum yang paling mengerti tafsir dan praktek dari Al-Qur’an dan Sunnah.
Begitu mendengar ucapan Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma yang
penuh makna dan merupakan prinsip hidup –yang tentunya tidak mereka
sukai karena menyelisihi prinsip sesat mereka–, berkatalah sebagian
Khawarij memberi peringatan: “Jangan sekali-kali kalian berdebat dengan
seorang Quraisy (yakni Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhu). Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman: “Sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar.” (Az-Zukhruf: 58)
Perkataan ini menunjukkan kebodohan mereka dalam menafsirkan Al-Qur’an, sementara Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam telah mendo’akan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhu untuk menjadi orang yang paham terhadap agama serta tafsir “اللهم فقه في الدين و علمه تئويل” Ya Allah, faqihkan dia dalam agama dan ajarkanlah dia ta’wil (tafsir) [HR Bukhari - Muslim]
Berkata dua atau tiga orang dari mereka: “Biarlah kami yang akan mendebatnya!”.
Aku berkata: “Wahai kaum, datangkan untukku alasan, mengapa kalian
membenci menantu Rasulullah n beserta sahabat Muhajirin dan Anshar,
padahal kepada merekalah Al-Qur’an diturunkan, Tidak ada pula seorang pun dari sahabat yang bersama kalian, dan ia (Ali radhiyallahu’anhu adalah orang) yang paling mengerti dengan tafsir Al-Qur’an?”
Mereka berkata: “Kami punya tiga alasan.”
Aku berkata: “Sebutkan (tiga alasan kalian).”
Mereka berkata: “Pertama: Sungguh dia telah jadikan
manusia sebagai hakim (pemutus perkara) dalam urusan Allah Ta’ala,
padahal Allah Ta’ala berfirman: إن الحكم إلا لله “…Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah...” (Yusuf: 40)
Hukum manusia tidak ada artinya di hadapan firman Allah l.[3]
Yang dimaksud mereka adalah ketika Ali radhiyallahu’anhu melakukan tahkim (berhukum) dengan keputusan Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu’anhu dari pihak beliau dan ‘Amr bin Al-Ash radhiyallahu’anhu dari pihak Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu’anhuma untuk melakukan shulh (perdamaian), demi menjaga darah-darah muslimin setelah sebelumnya terjadi perang Shiffin di bulan Shafar tahun 37 H.
Aku berkata: “Ini alasan kalian yang pertama. Lalu apa lagi?”
Mereka berkata: “Adapun yang kedua, sesungguhnya dia
telah berperang dan membunuh tapi dia tidak mau menawan dan tidak
mengambil rampasan perang. Padahal (jika) yang diperangi itu orang
kafir, maka boleh menawan dan mengambil harta mereka. Andaikan yang
diperangi itu orang-orang mukmin, tentunya tidak halal memerangi
mereka.”
Yaitu perang Jamal tahun 36 H. Perang antara barisan ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu dan barisan Aisyah radhiyallahu’anha. Hal yang harus diketahui tentang perang Jamal, bahwasanya dalam perang tersebut sama sekali Ali bin Abi Thalib maupun Aisyah tidak menginginkan adanya peperangan. Yang terjadi adalah keinginan Aisyah untuk melakukan ishlah (perbaikan hubungan) antara dua barisan kaum muslimin. Berangkatlah Aisyah menuju Bashrah bersama Thalhah, Az-Zubair dan sejumlah kaum muslimin dengan tujuan ishlah. Perdamaian pun terjadi di antara kedua belah pihak. Namun para penyulut fitnah tidak tinggal diam dengan ketenangan dan perdamaian yang terwujud. Mereka melakukan makar dengan memunculkan penyerangan dari dua kubu sekaligus. Maka Ali menyangka beliau diserang, sehingga harus membela diri. Demikian pula Aisyah menyangka diserang sehingga harus membela diri, hingga terjadilah peperangan yang sesungguhnya tidak diinginkan. Yang harus diketahui pula, bahwasanya tidak ada seorang sahabat pun yang ikut dalam fitnah tersebut. (Lihat Al-Bidayah wa Nihayah seri Khulafa’ur Rasyidin karya Ibnu Katsir)
Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma berkata: “Lalu apa alasan kalian yang ketiga?”
Mereka berkata: “Ketiga: Dia telah hapus sebutan Amirul Mukminin dari dirinya. Kalau dia bukan amirul mukminin (karena menghapus sebutan itu) berarti dia adalah amirul kafirin (pemimpin orang-orang kafir).”
Perkataan mereka ini menunjukkan betapa mereka sangat cepat memberikan vonis kafir dan memberontak kepada pemimpin yang sah dengan pemahamannya sendiri.
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma berkata: “Adakah pada kalian alasan selain ini?” Mereka berkata: “Cukup sudah bagi kami tiga perkara ini!”
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma berkata: “Ucapan kalian bahwa Ali radhiyallahu’anhu
telah menggunakan manusia dalam memutuskan perkara (untuk mendamaikan
persengketaan antara kaum muslimin -pen), sebagai jawabannya akan
kubacakan ayat yang membatalkan syubhat kalian. Jika ucapan kalian
terbantah, maukah kalian kembali (kepada jalan yang benar)?”
Perhatikan persyaratan yang diajukan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma sebelum menyelesaikan perdebatan, yaitu menentukan tempat kembali jika ternyata yang didebat berada pada kesalahan. Sehingga perdebatan yang dilakukan membawa hasil yang diinginkan, yaitu mengajak kembali kepada Rabb (Surat An-Nahl 125). Maka perdebatan yang baik untuk mengajak/menyeru untuk kembali kepada Rabb ‘Azza wa Jalla adalah debat yang diperintahkan.
Mereka berkata: “Ya, tentu kami akan kembali.”
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma berkata: “Ketahuilah,
sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla telah menyerahkan di antara hukum-Nya
kepada hukum (keputusan) manusia, seperti dalam menentukan harga kelinci
(sebagai tebusan atas kelinci yang dibunuh saat ihram) Allah Ta’ala
berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang
buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya
dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak
seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan (hukum) dua
orang yang adil di antara kamu, sebagai hadyu yang dibawa sampai ke
Ka’bah, atau (dendanya) membayar kafarat dengan memberi makan
orang-orang miskin, atau berpuasa seimbang dengan makanan yang
dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya.
Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barangsiapa yang kembali
mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi
mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.” (Al-Maidah: 95)
Demikian pula dalam perkara perempuan dan suaminya yang bersengketa,
Allah Ta’ala juga menyerahkan hukumnya kepada hukum (keputusan) manusia
untuk mendamaikan antara keduanya. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara
keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan
seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu
bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada
suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha mengenal.” (An-Nisa: 35)
Maka demi Allah, jawablah oleh kalian. Apakah diutusnya seorang
manusia untuk mendamaikan hubungan mereka dan mencegah pertumpahan darah
di antara mereka lebih pantas untuk dilakukan, atau hukum manusia
perihal darah seekor kelinci dan urusan pernikahan wanita? Menurut
kalian manakah yang lebih pantas?”
Mereka katakan: “Bahkan inilah (yakni mengutus manusia untuk mendamaikan manusia dari pertumpahan darah) yang lebih pantas.”
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma berkata: “Apakah kalian telah keluar dari masalah pertama?” Mereka berkata: “Ya.”
Ibnu Abbas melanjutkan: “Adapun ucapan kalian bahwa Ali radhiyallahu’anhu telah memerangi tapi tidak mau mengambil ghanimah
dari yang diperangi dan tidak menjadikan mereka sebagai tawanan,
sungguh (dalam alasan kedua ini) kalian telah mencerca ibu kalian (yakni
Aisyah).
Demi Allah! Kalau kalian katakan bahwa Aisyah bukan ibu kita (yakni
kafir), kalian sungguh telah keluar dari Islam (karena mengingkari
firman Allah). Demikian pula kalau kalian menjadikan Aisyah sebagai
tawanan perang dan menganggapnya halal sebagaimana tawanan lainnya
(sebagaimana layaknya orang-orang kafir), maka kalianpun keluar dari
Islam. Sesungguhnya kalian berada di antara dua kesesatan, karena Allah
Ta’ala berfirman:
“Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka.” (Al-Ahzab: 6)
Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma berkata: “Apakah kalian telah keluar dari masalah ini?”
Mereka menjawab: “Ya.”
Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma berkata lagi: “Adapun ucapan kalian bahwasanya Ali radhiyallahu’anhu telah menghapus sebutan Amirul Mukminin dari
dirinya, maka (sebagai jawabannya) aku akan kisahkan kepada kalian
tentang seorang yang kalian ridhai, yaitu Rasulullah Shallallahu’alaihi
wasallam. Ketahuilah, bahwasanya beliau di hari Hudaibiyah (6 H)
melakukan shulh (perjanjian damai) dengan orang-orang
musyrikin, Abu Sufyan dan Suhail bin ‘Amr. Tahukah kalian apa yang
terjadi? Ketika itu Rasulullah n bersabda kepada Ali radhiyallahu’anhu:
“Wahai Ali, tulislah perjanjian untuk mereka.” Ali menulis: “Inilah
perjanjian antara Muhammad Rasulullah…” Segera orang-orang musyrik
berkata: “Demi Allah! Kami tidak tahu kalau engkau rasul Allah. Kalau
kami mengakui engkau sebagai rasul Allah tentu kami tidak akan
memerangimu.”
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Ya Allah, sungguh
engkau mengetahui bahwa aku adalah Rasulullah. Wahai Ali tulislah: Ini
adalah perjanjian antara Muhammad bin Abdilah…’.” (Rasulullah
memerintahkan Ali untuk menghapus sebutan Rasulullah dalam perjanjian)
Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma berkata: “Demi Allah, sungguh Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam lebih mulia dari Ali radhiyallahu’anhu.
Meskipun demikian, beliau menghapuskan sebutan Rasulullah dalam
perjanjian Hudaibiyah…” Apakah dengan perintah Rasul menghapuskan kata
Rasulullah dalam perjanjian kemudian kalian mengingkari kerasulan
beliau? Sebagaimana kalian ingkari keislaman Ali karena menghapus
sebutan Amirul Mukminin?
Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma berkata: “Maka kembalilah dua
ribu orang dari mereka, sementara lainnya tetap memberontak (dan berada
di atas kesesatan), hingga mereka diperangi dalam sebuah peperangan
besar (yakni perang Nahrawan).”
Sungguh sebuah kisah yang penuh dengan keteladanan dalam mendebat. Tidak ada kata-kata kasar maupun cacian yang keluar dari lisan Ibnu ‘Abbas, padahal yang dihadapi beliau adalah suatu kaum yang merupakan cikal bakal bid’ah, yang darinya muncul cabang-cabang bid’ah yang banyak. Beliau radhiyallahu’anhu tampil dengan penuh percaya diri karena berada diatas kebenaran, mendebat dengan niat yang ikhlas, serta dibarengi dengan ilmu yang mendalam. Maka dari itu, perhatikanlah kisah ini.
Selesai jam 22.21 waktu Muscat, 12 April 2011
Beberapa faedah dicatat dari kajian Ushul Sunnah yang disampaikan Ustadz Abdullah Zaen MA ketika membahas pasal:
“وترك المراء والجدال والخصومات في الدين”
Kisah dialog ini juga terdapat dalam kitab Al-Mustadrak karya Al-Imam
Al-Hakim (2/150-152), dengan sanad yang shahih sesuai dengan
syarat Al-Imam Muslim
Sumber: pustakaalatsar.wordpress.com
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama