Pendidikan anak adalah perkara yang sangat penting di dalam Islam. Di
dalam Al-Quran kita dapati bagaimana Allah menceritakan petuah-petuah
Luqman yang merupakan bentuk pendidikan bagi anak-anaknya. Begitu pula
dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kita temui
banyak juga bentuk-bentuk pendidikan terhadap anak, baik dari perintah
maupun perbuatan beliau mendidik anak secara langsung.
Tentang perkara ini, Allah azza wa jalla berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari
api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu”. (At-Tahrim:
6).
Dan di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan
Al-Imam Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap di antara kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban.”
Untuk itu -tidak bisa tidak-, seorang guru atau orang tua harus tahu
apa saja yang harus diajarkan kepada seorang anak serta bagaimana metode
yang telah dituntunkan oleh junjungan umat ini, Rasulullah Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam. Beberapa tuntunan tersebut antara lain:
- Menanamkan Tauhid dan Aqidah yang Benar kepada Anak.
- Mengajari Anak untuk Melaksanakan Ibadah.
- Mengajarkan Al-Quran, Hadits serta Doa dan Dzikir yang Ringan kepada Anak-anak.
- Mendidik Anak dengan Berbagai Adab dan Akhlaq yang Mulia.
- Melarang Anak dari Berbagai Perbuatan yang Diharamkan.
- Menanamkan Cinta Jihad serta Keberanian.
- Membiasakan Anak dengan Pakaian yang Syar’i.
Pendidikan Luqman al Hakim kepada anaknya.
Wasiat Luqmanul Hakim kepada anaknya sebagaimana Allah telah berfirman:
يا بني لا تشرك بالله إن الشرك لظلم عظيم
“Wahai anakku, janganlah engkau berbuat syirik kepada Allah karena
sesungguhnya kesyirikan itu adalah kezaliman yang besar” (QS. Luqman
:13).
Dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan : Luqman adalah seorang hamba
sholeh, berkulit hitam yang Allah telah anugrahkan padanya hikmah
(pemahaman ilmu dan ta’bir). Dia telah memberikan wasiat kepada anaknya
yang sangat disayangi dan dicintai dengan sesuatu wasiat yang paling
afdhol dari perkara yang diketahuinya. Oleh karenanya, dia memberikan
nasehat kepada anaknya yang pertama adalah agar dia menyembah Allah saja
dan tidak mensyarikatkan sedikitpun dengan-Nya. Kemudian dia
menjelaskan bahwa kesyirikan itu adalah sebesar-besar kezaliman. [Tafsir
Ibnu Katsir III / 453].
Luqman yang dimaksud dalam ayat-ayat ini menurut Ibnu Katsir adalah Luqman bin Anqa’ bin Sadun.
Dalam Tarikh nya, Ibnu Ishak menuturkan, bahwa Luqman bernama Luqman
bin Bau’raa bin Nahur bin Tareh, dan Tareh bin Nahur merupakan nama dari
Azar, ayah Nabi Ibrahim alaihis salam.
Wahab bin Munabbih mengatakan bahwa Luqman adalah putra dari saudari kandung Nabi Ayyub alaihis salam.
Muqatil menuturkan, Luqman adalah putra dari bibinya Nabi Ayyub alaihis salam.
Imam Zamakhsyari menguatkan dengan mengatakan: Dia adalah Luqman bin
Bau’raa putra saudari perempuan Nabi Ayyub atau putra bibinya.
Riwayat lain mengatakan, Luqman adalah cicit Azar, ayahnya Nabi
Ibrahim alaihis salam. Luqman hidup selama 1000 tahun, ia sezaman bahkan
gurunya Nabi Daud. Sebelum Nabi Daud diangkat menjadi Nabi, Luqman
sudah menjadi mufti saat itu, tempat konsultasi dan bertanya Nabi Daud
alaihis salam. Wallahu a’lam.
Yang menarik disini bahwa ternyata sosok Luqman bukanlah seorang yang
terpandang atau memiliki pengaruh. Ia hanya seorang hamba Habasyah yang
berkulit hitam dan tidak punya kedudukan sosial yang tinggi di
masyarakat. Namun hikmah yang diterimanya menjadikan ucapannya dalam
bentuk pesan dan nasehat layak untuk diikuti oleh seluruh orang tua
tanpa terkecuali. Dalam banyak riwayat dikatakan, ia seorang budak
belian, berkulit hitam, berparas pas-pasan, hidung pesek, kulit hitam
legam. Namun demikian, namanya diabadikan oleh Allah menjadi nama salah
satu surat dalam al-Qur’an, surat Luqman. Penyebutan ini tentu bukan
tanpa maksud. Luqman diabadikan namanya oleh Allah, karena memang orang
shaleh yang patut diteladani. Bahwa Allah tidak menilai seseorang dari
gagah tidaknya, juga tidak dari statusnya, jabatannya, warna kulitnya
dan lainnya. Akan tetapi Allah menilai dari ketakwaaan dan
kesalehannnya. Luqman merupakan sosok budak hina, hitam, akan tetapi
Allah abadikan karena ketakwaan dan kesalehannya.
Qatadah pernah menuturkan dari Abdullah bin Zubair bahwasannya ia
pernah bertanya kepada Jabir bin Abdullah tentang Luqman. Jabir
menjawab: “Dia berbadan pendek dan berhidung pesek, orang Nubi, Mesir”.
Sa’id bin al-Musayyib juga menuturkan bahwa Luqman termasuk orang
berkulit hitam dari Mesir, akan tetapi sangat mulia, dan Allah
memberikan hikmah kepadanya, juga Luqman menolak untuk diangkat sebagai
Nabi.
Seorang laki-laki berkulit hitam datang mengadu kepada Said bin
al-Musayyib. Sa’id kemudian berkata: “Janganlah bersedih lantaran kulit
kamu hitam, karena di antara manusia pilihan itu, ada tiga orang
semuanya berkulit hitam: Bilal, Mihja’ budak Umar bin Khatab dan
Luqmanul Hakim”.
Mewariskan Harta dan Buku, untuk Pendidikan Anak.
- Sebagaimana dikatakan oleh Imam As Syafi’i, bahwa ilmu tidak akan
diperoleh kecuali dengan 6 perkara, salah satunya adalah harta atau
materi. Oleh karena itu, para ulama tidak tanggung-tanggung merogoh
kocek, guna kelangsungan pendidikan anak-anak mereka.
- Siapa yang tidak mengenal Imam As Suyuthi (991 H),seorang ulama
besar yang memiliki lebih dari 600 karya. Menguasai berbagai macam
disiplin keilmuan dalam Islam, hafal lebih dari 200 ribu hadits. Bahkan
ia mengakui bahwa parangkat ijtihad sudah ia miliki. Dan waktu berumur
21 sudah menghasilkan karya. Salah satu karya yang amat populer bagi
masyarakat muslim Indonesia adalah Tafsir al Jalalain. Kehebatan beliau
tidak lepas dari pendidikan dan jerih payah ayahnya dalam mempersiapkan
pendidikannya. Ayahnya telah mempersiapkan sebuah perpustakaan yang
lengkap dengan berbagai macam kitab, sebelum As Suyuthi lahir, sehingga
ulama Syafi’iyah ini dijuluki sebagai Ibnu Al Kutub (anak buku), karena
beliau terlahir di sela-sela tumpukan buku. Maka tidaklah heran, jika
semasa mudah As Suyuthi sudah menguasai banyak rujukan.
- Ibnu Al Jauzi (510 H), seorang ulama ternama dalam madzhab Hambali
juga banyak mendapatkan warisan dari sang ayah, guna menopang
pendidikannya. Hal ini terungkap, tatkala ia memberi nasehat kepada
anak-anaknya, agar senantiasa bersabar dalam mencari ilmu, dan
senantiasa menjaga kehormatan diri. Beliau menulis dalam Laftah Al
Kabid, fi Nashihati Al Walad, tentang nasehatnya kepada anaknya, sewaktu
mereka masih kecil: ”Ketahuilah wahai anakku, bahwa ayahku adalah
seorang yang kaya, dan telah meninggalkan ribuan harta. Ketika aku
baligh, ia memberiku 20 dinar dan 2 rumah. Lalu aku mengambi dinar untuk
kubelanjakan buku, lalu aku jual rumah dan aku gunakan uangnya unyuk
mencari ilmu, hingga harta itu habis tidak tersisa. Ayahmu tidak terhina
dikarenakan mencari ilmu, sehingga berkeliling ke negeri-negeri untuk
mencari belas kasih orang lain. Aku merasa kecukupan, Allah berfirman:
”Barang siapa bertaqwa kepada Allah, maka Allah akan memberikan jalan
keluar dan member rizki dengan cara yang tidak disangka-sangka”.
Lalu beliau mengatakan, ”Maka, bersungguh-sungguhlah wahai anakku
untuk tetap menjaga kehormatanmu, hingga tidak mencari-cari dunia yang
akan menghinakan pemiliknya. Ada yang mengatakan bahwa, barang siapa
qona’ah terhadap roti, maka ia tidak akan menjadi hamba bagi manusia”.
Ibnu Al Jauzi berani menempuh kesusahan di saat beliau mencari ilmu,
antara lain kesusahan dalam rezeki, akan tetapi beliau tetap bersabar.
Hingga ketika ilmu yang beliau peroleh sudah amat banyak, maka rezekilah
yang mendatanginya (Lihat biografi beliau dalam Tadzkirah Huffadz, Imam
ad Dzahabi, 4/1347).
- Yahya bin Ma’in (233 H) juga tidak kalah hebatnya, guru Imam
Bukhari ini mendapatkan warisan dari ayahnya sebesar 1 juta dirham dan
50 ribu dinar. Semua itu dihabiskan Yahya untuk mencari hadits, sehingga
sandalpun ia tidak memilikinya. Dari harta itu, Yahya memiliki 114 rak
yang penuh buku (lihat, Tahdzib At Tahdzib, Al Atsqalani, 11/282).
- Begitu juga Imam As Syaibani Al Kufi (189 H), salah satu murid
Imam Abi Hanifah, beliau pernah mengatakan:”Ayahku mewariskan kepadaku
30 ribu dirham. Aku gunakan 15 ribu untuk ilmu nahwu dan syair, dan
sisanya untuk hadits dan fiqih (lihat, Tarikh Al Bagdad, Khotib, 2/173).
- Begitu pula yang dialami Hisham bin Ammar At Tsulami (245 H), guru
dari Imam Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Nasa’i dan yang lain. Ayahnya
rela menjual rumah mereka seharga 20 dinar, untuk ongkos ke Madinah,
dalam rangka mendengar hadits dari Imam Malik (lihat, Tahdzib Al Kamal,
Al Mizzi, 3/1144).
- Tidak jauh beda dengan pengorbanan orang tua dari Ali Bin Ashim Al
Wasithi (201 H), salah seorang Hafidz Baghdad, yang juga menjadi syeikh
Imam Ahmad dan Yahya Ad Duhli (guru Imam Al Bukhari). Dimana suatu
saat, ayahnya mengatakan kepadanya,”Telah aku berikan uang sebesar 100
ribu dinar, dan aku tidak mau melihat wajahmu, kecuali setelah kamu
mendapatkan 100 ribu hadits!” (lihat, Tadzkirah Al Huffadz, Ad Dzahabi,
1/317).
- Tidak jauh beda antara ulama klasik dan ulama kontemporer, Syeikh
Badru Al Alim, Muhadits India, yang ikut memberi ta’liq (komentar)
kepada Faidhu Al Bari, syarah (penjelasan) dari Shohih Al Bukhari, yang
ditulis oleh Al Muhadits Anwar Syah Al Kashmiri, juga mempersiapkan
pendidikan anak-anaknya dengan baik. Saat awal-awal ia bermukim di
Madinah, beliau membeli kitab Al Ajwibah Al Fadhilah, yang ditulis oleh
Imam Laknawi, padahal usia beliau sudah tua, dan tidak mampu lagi
membaca. Akhirnya beliau menyatakan kepada Syeikh Abu Ghuddah, muridnya,
”Kamu tahu bahwa aku tidak mampu lagi membacanya, akan tetapi, aku
membelinya untuk kuwariskan kepada keluarga dan anak-anakku, itu lebih
baik bagi mereka daripada warisan yang berupa harta”. (Lihat, Shofhat
min Shabri Al Ulama, 300).
Memilih Rezeki Halal, untuk Pendidikan Anak.
Para ulama tidak hanya mewariskan harta untuk pendidikan anak-anak
mereka, akan mereka juga menjaga agar harta yang diberikan kepada
anak-anak mereka adalah harta yang bersih syubhat dan halal. Karena,
bersih tidaknya harta juga mempengaruhi bersih tidaknya ilmu yang
diperoleh.
- Adalah Kamal Al Ambari (513 H), penulis Nuzhah Al Auliya, yang
juga seorang ulama nahwu, yang memiliki harta pas-pasan. Mendapat rumah
dari warisan ayahnya, dan hanya mengandalkan sewa kedai, yang dalam
sebulan cuma menghasilkan setengah dinar.
Suatu saat khalifah Al Mustadhi’ mengirimkan utusan kepadanya, dengan
membawa uang 500 dinar, untuk diberikan kepadanya. Akan tetapi Al
Ambari menolak. Akan tetapi utusan tersebut mengatakan, ”Kalau engkau
tidak mau, berikanlah harta ini kepada anakmu”. Al Ambari menjawab,”Jika
aku yang menciptakannya, maka akulah yang memberinya rezeki.”
Perkataan Al Ambari menunjukkan bahwa Allah telah mengatur rizki
anaknya, hingga ia tidak perlu menerima memberikan hadiyah itu kepada
anaknya, yang mana ia sendiri enggan menerima harta pemberian penguasai,
karena wara’ (hati-hati).
Guru dan Sahabat Anaknya dalam Mencari Ilmu.
Hal yang tidak bisa ditinggalkan dalam mendidik anak adalah
keteladanan. Jika orang tua menginginkan anaknya mencintai ilmu, maka ia
sendiri juga harus mencintai ilmu, hingga bisa menjadi teladan yang
baik bagi anak-anaknya.
- Para ulama sendiri mengajak anak-anaknya untuk bersama-sama
melakukan perjalanan dan belajar dengan para ulama lain. Semisal Asad
bin Al Furat (213 H), seorang murid Imam Malik, yang sudah diajak
ayahnya “menjelajah” sejak ia berumur 2 tahun, untuk mencari ilmu,
bersama-sama dengan pasukan Arab, menuju Qairawan, Tunis, dan belajar Al
Qur’an di negeri itu, lalu meriwayatkan Al Muwatha’ dari Ibnu Ziyad.
(lihat, Syajarah An Nura Az Zakiyah, 62).
- Begitu pula Imam As Suyuthi (991 H), sejak berumur 3 tahun sudah
dibawah ayahnya menghadiri majelis Ibnu Hajar Al Atsqalani. Wafatnya
sang ayah tidak berarti pendidikan si anak harus dilalaikan. Ayah
Suyuthi sebelum wafat sudah berwasiyat kepada Kamaluddin bin Hammam,
ulama masa itu untuk mendidik As Suyuthi.
- Hal yang sama dilakukan oleh ayah dari Ibnu Mulaqqin, guru dari
Ibnu Hajar Al Atsqalani dari Mesir. Sebelum menjadi yatim, ayahnya telah
menitipkan pendidikannya kepada seorang ulama yang bernama Syeikh Isa
Al Maghribi, seorang yang biasa mentalqin (membacakan) Al Qur’an, kepada
para penuntut ilmu, hingga ia lebih dikenal dengan sebutan Ibnu
Mulaqqin (anak pentalqin). Beliau adalah ulama yang paling banyak
karyanya di zaman itu.
- Imam Sam’ani (562 H), sejak berumur 4 tahun, ayahnya, Imam Abu
Bakar menghadirkannya ke beberapa ulama, seperti Ali Abdu Al Ghaffar As
Sairazi, Abu ‘Ala Al Qushairi, dan beberapa ulama. Lalu saat ia berumur 9
tahun, ayahnya membawanya ke Naisabur. Tidak hanya itu, setelah ia
pulang ke Marwa pada umur 38 dan menikah, anaknya yang bernama Abu
Mudhafar yang masih berumur 3 tahun pun ia bawa bersamanya kembali ke
Naisabur dalam rangka berguru kepada beberapa ulama di sana. (lihat,
Thabaqat As Syafi’iyah, As Subki, 7/180).
- Imam Abu Al Waqt As Sijzi (553 H), yang disebut Imam Ad Dzahabi
sebagai Syeikh Al Islam, yang juga merupakan guru Ibnu Al jauzi, sudah
melakukan perjalanan mencari ilmu sejak umur 7 tahun. Ia memiliki kisah
yang amat dahsyat, tatkala melakukan perjalanan mencari ilmu bersama
ayahnya.
Suatu saat ia bertutur kepada salah satu muridnya Yusuf bin Ahmad As
Syairazi: ”Wahai anakku, aku telah melakukan perjalanan untuk menyimak
As Shahih dengan berjalan bersama ayahku, dari Harat menuju Dawudi.
Umurku belum ada 10 tahun. Saat melakukan perjalanan, ayahku memberiku
dua batu, jika aku terlihat lelah, maka ia menyuruhku untuk melempar
satu batu, lalu aku melanjutkan perjalanan. Kadang ia bertanya,”engkau
sudah lelah?”, maka aku menjawab,”belum”. “Kenapa jalanmu lamban?”. Maka
aku cepatkan langkahku, hingga aku tidak mempu lagi, lalu ia
menggendongku”.
Suatu saat mereka berpapasan dengan rombongan petani. Dan mereka
menyeru kepada ayah As Sijzi, wahai Syeikh Isa, biarkan anak ini naik
kendaraan bersama kami, kita bersama-sama menuju Bushanj. Maka ayahnya
mengatakan, “Aku berlindung kepada Allah, dari naik kendaraan ketika
mencari hadits, akan tetapi kami memilih jalan”.
Ketika bertemu dengan Abdul Baqi Al Harawi, ia menawariku manisan,
aku menjawab,”Wahai tuan, saya lebih mencintai satu juz dari Abu Jahm
lebih baik daripada makan manisan”. Ia tersenyum dan mengatakan,”jika
yang masuk makanan, yang keluar adalah omongan”.
Lihat, bagaimana ayah As Sijzi dalam mendidik anaknya, hingga anak
yang masih kecil itu sudah memiliki kecintaan yang tinggi terhadap
hadits. Dan bagaimana ayah As Sijzi, mengajari anaknya menjaga azzam,
guna melawan rasa capek selama melakukan perjalanan dengan menggunakan
sarana batu.
- Begitu pula banyak para ulama, disamping menjadi ayah, juga
menjadi guru bagi anak-anaknya, semisal Kamal Al Ambari memperolah
hadits dari ayahnya, Tajuddin As Subki (771 H), mengambil ilmu dari
ayahnya, Taqiyuddin As Subki. Bagitu pula Abu Zur’ah Al Iraqi
mendapatkan ilmu dari ayahnya Hafidz Al Iraqi, hingga ia meneruskan
syarah Tharhu At Tasrib yang telah disyarah Hafidz Al Iraqi sebelum
wafat. Juga amat banyak periwayat hadits yang mengambil dari ayah, kakek
dan seterusnya.
- Begitu juga Imam As Syaukani penulis Nail Al Authar, telah membaca
kitab Al Azhar, fiqih madzhab Zaidiyah dari ayahnya. Ada kisah menarik
dalam hal ini, yang mencerminkan kekritisan Imam As Syaukani. Di
sela-sela proses belajar dengan ayahnya, ia bertanya: “Ayah mengatakan,
ini madzhab Hanafi, ini madzhab Fulani, mana yang benar dari
pendapat-pendapat ini?” Ayahnya menjawab: “yang benar adalah pendapat
yang dirajihkan Imam Al Hadi”. Imam As Syaukani pun menanggapi:”Tidak
mungkin ijtihad Imam Al Hadi benar semua, pasti ada yang salah. Maka,
bagaimana kita tahu pendapat itu benar?” Akhirnya ayah Syaukani
membawanya berguru kepada beberapa ulama di Yaman.
Selalu memantau hasil belajar anak.
Tidak hanya mengajar atau memilih guru yang baik. Akan tetapi para
ulama juga memantau hasil belajar si anak. Simak penuturan Tajuddin As
Subki (771H):”Aku jika datang dari seorang syeikh, maka ayahku
(Taqiyuddin As Subki) berkata kepadaku,”tunjukkan apa yang telah kamu
peroleh, yang kamu baca dan yang kamu dengar”. Maka, aku menerangkan
tentang hal-hal yang telah kuperoleh dalam majelis. Jika aku pulang dari
Ad Dzahabi, ia berkata,”tunjukkan yang telah engkau dapat dari
syeikhmu”. Jika aku pulang dari Syeikh Najmuddin Al Qahfazi, ia
mengatakan,”yang kau dapat dari masjid Thingkiz”. Jika aku pulang dari
Syeikh Syamsuddin Ibnu Naqib, maka ia mengatakan,”yang kamu dapati dari
Syamiyah”. Jika aku pulang dari Syeikh Abu Abbas Al Andarsy, ia
mengatakan, ”yang kau dapati dari masjid”. Jika aku pulang dari Hafidz
Al Mizzi, ia mengatakan,”yang kamu peroleh dari As Syeikh”. Ia
melafadzkan kata As Syeikh dengan fashih, dan meninggikan suaranya. Aku
mengerti, bahwa itu bertujuan agar aku juga ikut merasakan kebesaran
nama Al Mizzi, hingga aku lebih banyak mendatangi majelisnya”. (lihat,
Thabaqat As Syafi’iyah, As Subki, 10/399).
Hasilnya, tidak diragukan lagi. Tajuddin As Subki menjadi ulama yang
cukup diperhitungkan, khususnya di kalangan muhaditsin dan madzhab As
Syafi’i. Sehingga Al Mizzi menginginkan murid-muridnya mencatat As Subki
dalam kelompok ulama thabaqat ulya (tingkatan tertinggi), begitu juga
Imam Ad Dzahabi, menginginkan hal yang sama, walau usia As Subki masih
relatif muda, Ad Dzahabi menilainya sebagai muhadits jayyid (baik). Akan
tetapi orang tuanya, Taqiyuddin memprotes, cukup thabaqat pemula. Akan
tetapi para gurunya juga tidak terima. Akhirnya As Subki dimasukkan
thabaqat wustha (tingkatan pertengahan).
Secara tidak langsung, Taqiyuddin mengajari anaknya, Tajuddin, agar
senantiasa rendah hati, walau ilmunya sudah hampir setara dengan para
gurunya.
Cara Asy-Syaikh Muqbil Mendidik Putri Beliau.
Pernah membaca buku Nasehati lin Nisa? Buku yang telah diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Nasehatku bagi Para Wanita ini
ditulis oleh seorang aalimah (ulama wanita) dari negeri Yaman yang
bernama Ummu Abdillah Al-Wadi’iyah. Beliau hafizhahallah adalah putri
dari ulama ahlul hadits di masa kita, yaitu Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi
Al-Wad’i rahimahullah.
Ummu Abdillah adalah seorang aalimah yang memiliki banyak keutamaan.
Menurut Al-Ustadz Muhammad Barmim dalam biografi Syaikh Muqbil, Ummu
Abdillah mengajar di madrasah nisa’ (khusus wanita) dan memiliki beragam
karya tulis ilmiyah. Di antaranya:
- Shahihul Musnad fis Syamail Muhammadiyah (tentang kesempurnaan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dicetak dalam dua jilid)
- Jamius Shahih fi ilmi wa Fadhlihi (tentang keutamaan ilmu)
- Tahqiq kitab As-Sunnah Ibnu Abi Ashim
- Nasehati lin Nisa
- dan sekarang beliau masih mengerjakan Shahihul Musnad min Sirah Nabawiyah
Yang ingin saya angkat dalam artikel ini adalah bagaimana cara Syaikh
mendidik putrinya sehingga tumbuh menjadi seorang aalimah. Tema ini
mungkin jarang diangkat karena biasanya yang dipersiapkan sebagai
seorang alim atau ulama adalah anak laki-laki saja. Pernahkah kita
bercita-cita putri kita menjadi seorang aalimah? Kalau memang ada
keinginan tersebut, mungkin kita bisa bercermin terlebih dahulu dengan
metodologi Asy-Syaikh dalam mendidik putrinya.
Ummu Abdillah berkisah tentang bagaimana ayahanda beliau –Syaikh Muqbil- mendidik putri-putrinya,
… Ayahanda tidak pernah menyia-nyiakan kami, betapa pun sibuknya
beliau. Oleh karena itulah beliau sangat perhatian terhadap kami dalam
mempelajari Al-Quran. Beliau selalu menuntun kami dalam membaca
Al-Quran. Kadang beliau rekam agar hapalan kami semakin kokoh. Suatu
ketika saudari saya menghapal, dan ayahanda sedang berada di
perpustakaan. Saudariku tadi mencari beliau, ingin direkamkan
hapalannya. Beliau pun meninggalkan risetnya, merekam hapalan saudariku
lalu kembali lagi ke perpustakaan.
Begitu kami mengetahui qiraah yang baik, beliau membeli kaset qiraah
Syaikh Al-Husari untuk kami. Beliau juga membelikan untuk masing-masing
putrinya satu tape recorder tanpa radio. Ini bentuk penjagaan beliau
agar kami tidak mendengar nyanyian.
Setelah kami mengerti lebih banyak, kami dibelikan masing-masing
sebuah tape recorder dengan radionya, namun beliau tetap memperingatkan
kami terhadap nyanyian dengan keras. Dan alhamdulillah, kami menerima
peringatan tersebut. Kami tidak mendengarkan nyanyian sama sekali,
seiring dengan rasa tidak senang terhadap nyanyian.
Dalam menghapal, beliau memerintahkan kami untuk hanya menggunakan
satu mushaf dari satu penerbit karena itu akan membantu memperkokoh
hapalan. Kalau beliau melihat di tangan kami ada mushaf yang berbeda,
beliau akan memberi peringatan keras dan sangat marah.
Di antara murid beliau ada orang-orang Sudan dan Mesir yang datang
beserta istri-istrinya. Di antara istri-istri mereka ada yang mengajar
kami dengan diberi imbalan jasa oleh ayah sebagai bentuk perhatian
beliau terhadap pendidikan. Dan apabila di buku-buku yang dipergunakan
oleh para guru wanita tersebut ada gambar makhluk bernyawanya, beliau
memerintahkan kami untuk menghapusnya. Kami pun menghapus gambar-gambar
tersebut disertai dengan kebencian yang sangat terhadap gambar-gambar
itu.
Lalu setelah itu kami pun diajari ilmu-ilmu syar’i Al Kitab dan
As-Sunnah, sehingga kami pun menghafal bersama para guru tersebut dan
kami pun hapal beberapa hadits walhamdulillah.
Beliau rahimahullah terkadang bersenang-senang dan bergurau bersama
kami, dalam perkara yang diizinkan oleh Allah. Berbeda dengan kebanyakan
kaum muslimin –kecuali yang dirahmati oleh Allah- yang bersenang-senang
bersama anak-anak mereka dengan televisi, nyanyian, permainan-permainan
gila, serta kerusakan lainnya. Padahal nabi kita bersabda, “Kamu
sekalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban tentang
apa yang dipimpinnya.”
Beliau selalu melarang kami terlalu banyak keluar, dan beliau selalu mengharuskan kami untuk tidak keluar kecuali seizin beliau.
Ini apa yang dijalankan beliau semasa kami kecil.
Ada pun tentang pendidikan kami, beliau sangat ingin kami mendalami
agama Allah dan mencari bekal ilmu syar’i. Sebab itulah, beliau
mencurahkan kemampuan beliau untuk membantu kami menuntut ilmu dan
membuat kami menggunakan kesempatan kami dengan sebaik-baiknya. Beliau
selalu menyediakan waktu khusus untuk mendidik kami. Setiap hari kedua,
beliau menanyakan pelajaran yang telah lalu. Jika pelajaran itu terlalu
berat, maka beliau berikan dengan cara yang jauh lebih ringan.
Di antara pelajaran yang khusus kami pelajari di rumah adalah:
- Qatrun Nada sampai dua kali
- Syarh Ibnu Aqil sampai dua kali juga
- Tadribur Rawi
- Mushilut Thullabi ila Qowaidil I’rab (namun tidak selesai karena beliau sakit)
Majelis beliau senantiasa penuh dengan kebaikan, diskusi, dan pengarahan, sampai pun di atas hidangan makan atau via telepon.
Ketika beliau di Saudi sebelum berangkat ke Jerman, ayahanda
mengucapkan salam lewat telepon kepada saya, “Assalamu’alaikum
warahmatullah wabarakatuh”. Saya menjawab tanpa mengucapkan,
“Wabarakatuh”. Beliau bertanya (menegur), “Mengapa tidak engkau balas
dengan yang lebih utama?” sebagai isyarat pengamalan ayat ke 86 dari
surat An-Nisa.
Terkadang beliau sengaja salah memberikan pertanyaan untuk menguji
pemahaman kami, sebagaimana itu beliau lakukan juga kepada murid
laki-laki. Kadang beliau bertanya tentang soal yang cukup berat, untuk
memberikan faedah namun disuguhkan dengan pertanyaan terlebih dahulu.
Metode ini pun diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
sebagaimana di dalam hadits Muadz.
Kadang ketika kami menemui kesulitan dalam pelajaran atau riset kami,
beliau memerintahkan kami untuk meneruskan riset tersebut, atau beliau
mengikuti kami ke perpustakaan dan membantu kami. Inilah yang
menyebabkan kami begitu berduka karena kehilangan beliau rahimahullah.
Siapa yang akan memperhatikan kami sepeninggal ayahanda?
Beliau selalu mendidik dan mengarahkan kami dengan lemah lembut. Dan
dengan karunia Allah, kami tidak terdorong sedikit pun untuk menentang
beliau, karena semua itu adalah demi kemaslahatan dan keuntungan kami
juga. Semuanya adalah mutiara yang diuntai dengan Al-Kitab dan
As-Sunnah.
Di antara yang mengagumkan pada diri beliau adalah tidak pernah
memaksakan kepada kami dalam perkara ijtihad kami yang memiliki sisi
pandang lain. Kalau kami sudah memahami suatu masalah yang berbeda
dengan pemahaman beliau maka beliau tidak memaksa kami, seperti juga
kebiasaan beliau bersama murid-muridnya yang laki-laki. Beliau tidak
pernah menekan mereka untuk memahami sesuatu yang masih perlu
dipertimbangkan. Ini, sebagaimana para pembaca lihat, adalah kemuliaan
yang sangat jarang ditemukan.
Beliau rahimahullah juga memperingatkan kami dari masyarakat, karena
masyarakat kami adalah masyarakat yang rusak, bersegera dalam kesesatan
dan hal-hal yang tidak berguna, kecuali yang dirahmati Allah.
Beliau juga memperingatkan kami dari sikap sombong. Beliau sangat
benci kepada wanita yang sombong terhadap suaminya, beliau mengatakan,
“Tidak ada kebaikan wanita yang seperti ini.”
Beliau mendorong kami untuk bersikap zuhud terhadap dunia yang rendah
ini. Beliau bimbing kami untuk meniatkan apa yang kami makan dan minum
untuk menguatkan kami dalam bertakwa, agar memperoleh pahala dari Allah.
Beliau katakan, “Janganlah kamu sibukkan dirimu menyiapkan berbagai
hidangan makanan. Apa yang mudah diolah, kita makan.”
Beliau bangkitkan semangat kami. Beliau bukan termasuk orang yang
suka meruntuhkan semangat keluarga dan anak-anak perempuannya. Beliau
membentuk kami dengan sebaik-baiknya, agar kami mudah dan bersemangat
untuk bersungguh-sungguh dalam memperoleh ilmu yang bermanfaat.
Di antara ucapan beliau kepada saya, “Saya berharap agar kamu menjadi
wanita yang faqih.” Ya Allah, wujudkanlah harapan ayahanda, duhai Zat
yang tidak diharap kecuali kepada-Nya, tempatkanlah beliau di surga
firdaus yang tinggi.
(Diringkas dari buku “Secercah Nasehat dan Kehidupan Indah Ayahanda
Al-Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi’I”, terbitan pustaka Al-Haura
Jogjakarta).
Referensi:
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama